You Said It's Forever
Sena menghela napas panjang dan menghempaskan tubuhnya ke kasur. Sambil berbaring ia menatap langit - langit di atasnya sampai matanya terasa pedih. Diingatnya seseorang yang tak dilihatnya hampir empat, lima bulan ini. Memorinya berpacu dengan waktu, mengantarkan kembali bayang - bayang kenangan saat ia menghabiskan waktu dengan orang itu. Orang yang sudah dikenalnya sejak dua tahun lalu, orang yang membuatnya terikat dan melekat, mencintai American Football seperti sekarang ini, orang yang berbagi ciuman pertama dan pelukan hangat sepanjang latihan musim dingin dengannya.
'Shin-san... Shin-san... dimana kamu sekarang?'
Sena berbisik lirih, namun cukup keras untuk membuat Pitt yang tertidur di kaki ranjangnya terbangun dan mengeong perlahan. Sena tersenyum pahit.
Sena masih ingat saat itu terjadi.
**
Kejuaraan internasional sudah selesai dan tiba saatnya Sena naik ke kelas dua, dan begitu juga jabatannya di Deimon Devilbats yang naik – drastis – menjadi kapten, suatu jabatan yang dipercayakan padanya oleh Hiruma bukan tanpa tujuan.
Yah, ia harus berlatih lebih dan lebih keras lagi, dan menjadi lebih kuat kalau ia mau Deimon Devilbats tetap menjadi tim yang kuat seperti sebelum ditinggalkan oleh Hiruma, Kurita, dan Musashi senpai. Ia ingin menjadi lebih kuat seperti Shin, yang nyaris sempurna di mata Sena. Meski mungkin Shin tetap tak sekuat Gaou atau sehebat Yamato, namun Shin tetaplah Shin, yang bagi Sena sudah seperti seorang kakak, penasihat, konsultan, rival, segalanya.
Kakei berjalan menghampirinya dan mengulurkan tangan. Sena buru - buru melepas helmnya dan menyambut uluran jabat tangan itu.
"Tentu saja, kau Eyeshield yang sebenarnya sekarang. Aku beruntung bisa bertanding dengan mudah melawan Deimon sekarang", ujar Kakei bersahabat.
Sena tertawa gugup.
"Yah begitulah, daftar latihan tanding dengan Deimon sekarang sudah penuh sampai setengah tahun kedepan. Kasihan Mamori nee-san, masih harus mengatur jadwal pertandingan sampai sekarang", jawab Sena sambil melirik kakak-perempuan-ketemu-besar nya di bangku manajer.
"Sena-kun! Ada yang ingin bertemu denganmu!", teriak Mizumachi norak dari bangku pemain lawan, menunjuk ke arah tertentu sambil mencopot bajunya sembarangan. Kakei mengernyitkan alis dan berteriak pada Mizumachi, mengingatkan cowok pirang super tinggi itu untuk tidak melakukannya di lapangan SMA lain.
"Geez... kapan idiot satu itu akan belajar? Huff... OK, thanks buat tanding hari ini. Sampai ketemu kapan - kapan", senyum Kakei sambil berjalan menuju Mizumachi. Sena mengangguk dan berjalan ke ujung lapangan, ke arah yang ditunjuk Mizumachi tadi.
Dan di sana ia melihat Shin, sedang berdiri di bawah sebatang pohon, tidak memakai sweat suit biru seperti yang biasanya ia pakai. Kali ini ia mengenakan celana panjang serta jaket jeans, dengan T-Shirt hitam di balik jaketnya. Sena tersenyum melihat betapa tidak biasanya penampilan Shin kali itu. Selain itu Shin terlihat agak gugup, dengan bibir bawah yang digigit sedikit, dan di tangannya terlihat sebuah kotak berwarna hitam yang sepertinya digenggam terlalu erat.
"Shin-san? Ada apa?", tanya Sena antusias.
"Sena kun....", ujar Shin perlahan, sedikit keraguan tampak di wajahnya, yang meski tetap terlihat tanpa ekspresi. Sena menanti kelanjutan kalimat itu dengan hati berdebar debar. Apa? Apakah yang kira - kira akan dikatakan Shin selanjutnya? Satu detik terasa bagai selamanya saat akhirnya Shin membungkukkan badannya ke arah Sena dan berkata dengan suara keras.
"Kobayakawa – kun, aku menyukaimu. Pergilah denganku, onegai?"
Dada Sena serasa akan meledak karena bahagia, tak didengarnya suara siulan menggoda Mizumachi di belakang dan suara pukulan Kakei tepat di jidat Mizumachi. Namun pada akhirnya ia menjawab pengakuan Shin itu dengan tawa, tawa yang lama dan bahagia.
"Kobayakawa-kun, apa... pengakuanku tadi begitu lucu bagimu?", tanya Shin. Wajahnya merah padam, mungkin kalau wajah Shin bisa memerah. Sena hanya melanjutkan tawanya, hingga akhirnya mereda menjadi tawa kecil, kemudian senyum lebar, dan akhirnya senyum kecil yang manis. Ditatapnya wajah senpai nya itu dengan lega.
Akhirnya.
"Tidak... kau hanya tidak tahu betapa lamanya aku menunggu kata kata itu darimu, Shin san..."
*
Sena terbangun dengan rasa sesak di dadanya.
Itu sudah lama berlalu, lama sekali, mungkin sudah setahun yang lalu. Ya, bahkan ia masih ingat hari dan tanggal saat akhirnya Shin memulai hubungan dengannya. Sebentar lagi akan genap setahun hubungan mereka, dan bagusnya lagi, Shin bahkan entah ada dimana sekarang, masih hidup atau tidak.
Sudah pukul 4 pagi, yang artinya ia harus memulai latihan rutin paginya.
Dan tanpa Shin. Lagi lagi tanpa Shin.
Kalau saja dia bukan kapten Deimon sekarang, bukan orang yang dipercaya seluruh rekan setimnya untuk mempertahankan Deimon, ia pasti masih bergulung di dalam selimutnya, entah sampai kapan. Masih enggan, dihabiskannya lima menit penuh untuk mencari kehangatan di dalam posisi tidurnya, namun tidak ditemukannya. Perasaan kosong yang dingin melingkupinya, menyiksanya sampai ke tulang, meresap sampai ke otak.
Hingga akhirnya Sena memutuskan untuk bangun dan memulai latihan rutinnya sebelum ranjang penuh siksaan kekosongan itu membunuhnya. Ia mencuci muka dan mengganti baju tidurnya dengan jumper putih serta celana training hitam. Setelah ia menutup pintu depan perlahan, ia keluar ke halaman dan menembus pagi dengan kecepatan terbaiknya, mencoba mengosongkan seluruh beban yang memberati tubuhnya, meninggalkannya di belakang. Namun sayang, kali ini kecepatan cahaya yang dimiliki kakinya sama sekali tak membantu.
Sena menangis tanpa suara sementara pagi beranjak merengkuh bumi.
**
Shin menggenggam tangan Sena, dan Sena malu - malu membalas genggaman itu lebih erat. Ia tak peduli pada tipe tatapan mata yang orang - orang di sekitar berikan pada mereka. Ia bahagia, sekarang adalah kencan pertamanya dengan Shin, dan tentu saja ia tidak mau terganggu oleh apapun.
"Shin kun", panggil Sena bahagia. Shin menunduk menatap Sena yang berjalan riang seperti anak kecil di sisinya.
"Ya? Ada apa Sena kun?", tanya Shin dengan senyum yang hampir tak terlihat.
"Kali ini kau akan membawaku ke mana?", tanya Sena balik. Shin mengalihkan pandangan dari Sena dan menjawab dengan gugup.
"A-aku tak tahu, aku tak merencanakan apapun untuk kencan kita kali ini. Kupikir aku akan ikut kemanapun kau pergi, Sena-kun. Selama kau bersamaku itu tak akan jadi masalah", jawab Shin mengejutkan. Namun Sena tersenyum senang dan menarik Shin ke suatu tempat.
Setelah membeli takoyaki – yang tidak akan Shin makan kalau tidak sedang dalam rangka kencan bersama Sena – dan beberapa botol minuman ringan, Sena membawa Shin ke sebuah lapangan football yang sedang tidak dipakai. Lapangan itu terletak di dalam kompleks olahraga di sebuah taman yang luas, dan dikelilingi kolam buatan serta pepohonan yang rimbun.
Sena duduk di atas rumput, di bawah bayangan sebuah pohon, dengan pandangan bebas ke lapangan football itu.
"Kau membawaku untuk melihat lapangan football?", tanya Shin. Sena mengangguk.
"Bukannya hampir setiap hari kita lihat?", tanya Shin lagi, masih penasaran. Sena mencomot sebuah takoyaki dan menggigitnya sedikit, lalu membaginya pada Shin.
"Kali ini beda. Aku melihatnya bersama Shin kun dan kita berdua hanya sebagai penonton", jawab Sena, menatap cowok berambut gelap yang sedang mengunyah takoyaki itu dengan sayang.
"Tapi tidak ada yang bertanding", komentar Shin tanpa ampun. Sena tertawa kecil.
"Tidak penting. Aku hanya ingin melihatnya saja dari kejauhan kali ini", ujar Sena perlahan, lalu diambilnya satu lagi takoyaki dan dimakannya dengan santai. Desir angin sepoi - sepoi dan bunyi gemericik air di kejauhan membuat keduanya santai, menikmati kebersamaan walau dalam kesunyian. Beberapa saat kemudian Shin merengkuhkan tangannya yang berotot ke bahu Sena, menyandarkan kepala runningback itu ke dadanya yang bidang.
"Ne, Shin kun, kalau sudah lulus, kau akan kuliah dimana?", tanya Sena tiba - tiba. Shin berpikir sejenak.
"Kemungkinan besar ke Universitas Ojo. Hampir semua lulusan sekolah menengah atas Ojo juga melanjutkan ke Universitas Ojo. Tim football mereka juga kuat,", jawab Shin seraya mengelus rambut coklat berantakan Sena.
"Kalau begitu, Shin kun, kita akan tetap jadi rival abadi untuk selamanya?", tanya Sena bercanda, tertawa perlahan. Shin tersenyum.
"Ya, kau harus jadi satu - satunya rivalku, satu - satunya milikku, satu - satunya ace ku", jawab Shin serius. Pipi Sena memerah. Saat pertama kali melihat Shin – dan tentu saja di tackle oleh Shin – ia sama sekali tidak menyangka cowok nyaris tanpa ekspresi itu bisa seromantis ini. Sama sekali tidak.
"Aku akan terus bermain football, Shin kun. Football dan Shin kun sudah menjadi satu bagian tak terpisahkan", ujar Sena.
"Kalau begitu aku pun takkan memisahkannya", sambung Shin.
Percakapan berakhir pada ciuman lembut Sena untuk Shin.
Football dan Shin. Selamanya untuk Sena.
Last Time I Saw Him
"Oii!!! Sena!!!"
Monta berteriak cukup keras untuk didengar orang tuli yang sudah mati, namun entah kenapa Sena tidak mendengarnya. Bahkan Monta berjarak tidak sampai dua meter di sebelah kirinya, mencoba untuk memperingatkan Sena yang berlari tanpa tujuan, menatap kosong lapangan yang terbentang di depannya. Akibatnya bola football yang dilempar oleh Yuuto, quarterback baru Deimon yang masih duduk di kelas satu telak mengenai punggungnya dengan sukses.
Sena terjatuh meski sebenarnya ia masih kuat bertahan untuk berdiri. Namun ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini.
"Kobayakawa senpaiii!!! Gomennasai!!! Aku tidak melempar bola ke arah yang benar . ", Yuuto membungkuk pada Sena berulang ulang kali melihat Sena terjatuh. Sena berdiri tanpa semangat, membersihkan debu dari seragamnya, dan memaksa dirinya untuk tersenyum. Ia tidak boleh membiarkan semangat anggota timnya jatuh sekarang, apalagi para anggota baru. Tidak. Meski dirinya sendiri sudah lupa seperti apa wujud semangat itu.
"Tidak apa - apa Yuuto kun. Jangan takut. Aku yang tidak memperkirakan tempat jatuhnya bola. Lemparanmu sudah bagus. Benar - benar tidak apa - apa sama sekali", ujar Sena meyakinkan quarterback barunya yang tampak sangat ketakutan itu.
Sena memperbaiki posisi sarung tangannya dan terpaku sejenak. Ia ingat, selalu ingat Shin selalu melakukan ini, kapanpun ia melihatnya di lapangan. Ia menepuk pipinya dan berlari kembali ke posisinya sebagai runningback.
"Ayo! Kita lakukan lagi!"
Sena sama sekali tidak menyadari bahwa ketakutan Yuuto tidak berasal darinya, tapi dari tatapan menusuk – menjanjikan kematian – seseorang berambut pirang yang sedang mengunyah permen karet di kejauhan.
"Kenapa ia selalu mengganggu pikiranmu, fucking chibi....", gumamnya lirih.
**
Sore itu, hampir lima bulan yang lalu, Sena mengganti seragam football merahnya dengan sweat shirt biru muda dan training hitam sambil bernyanyi riang. Latihan rutin siang sudah selesai dan ini hari Sabtu, jadwalnya untuk jogging sore bersama Shin. Ia memasukkan dua botol besar air mineral ke dalam tas punggung dan menggendongnya, terasa hampir tanpa beban.
Ia mengayunkan kakinya dengan riang menuju ke sebuah bangunan tua yang tampak mencolok di sudut Tokyo. Bangunan bergaya kastil tua Eropa yang secara mengejutkan masih terlihat cocok dengan pencakar langit yang mencuat di sekelilingnya. Bangunan kompleks sekolah dan universitas Ojo yang sudah sangat dikenalnya akhir akhir ini. Ya, tiga kali seminggu ia dan Shin melakukan jogging sore bersama, dan kalau bukan Shin yang menjemputnya di Deimon, maka Sena yang akan menemuinya di depan pintu gerbang Ojo, dan mereka akan berlari bersisian sepanjang sore, melupakan waktu sampai malam menjelang.
Sore itu halaman muka Ojo yang bergaya Eropa, lengkap dengan air mancur ksatrianya cukup lengang. Hanya tampak beberapa orang murid Ojo yang bercakap - cakap tentang akhir pekan dengan santai. Sena tahu tidak sebaiknya ia langsung masuk ke dalam dan mencari Shin, itu akan terlalu menghebohkan dan makan waktu. Disamping itu ia tahu tidak sampai semenit lagi Shin yang selalu tepat waktu itu akan keluar, mengenakan sweat suit birunya yang biasa dan menyapa Sena dengan ciuman ringan di dahi.
Jadi Sena berdiri di balik sebuah pohon di seberang muka pintu gerbang Ojo, melenturkan tubuhnya dan merenggangkan ototnya sambil sesekali melirik ke gerbang. Aneh, tak biasanya begini lama ia harus menanti.
Badan Sena sudah terasa lentur seperti karet saat ia melirik ke gerbang Ojo untuk yang ke lima puluh tujuh kalinya, dan pada akhirnya ia melihat Shin.
Tidak dalam sweat suitnya yang biasa.
Ia masih terbalut seragam Ojo, setelan lengan panjang putih dengan garis hitam di pinggirnya, yang membuat tubuh cowok berotot itu tampak lebih seksi di mata Sena. Sena hampir saja berlari menuju Shin dalam rasa penasarannya, namun mengurungkan niatnya dan berdiri mematung pada tempatnya saat ia melihat apa yang ada di samping Shin.
Tubuh tinggi dan langsing Sakuraba.
Wajahnya memerah dan menunduk, dengan tangan Shin melingkar erat d bahunya, dan...
APA????!!!!!
Tangan Shin di bahunya? Melingkar? Erat??
Sena tak bisa mempercayai penglihatannya, tak bisa percaya bahwa pemandangan itu tak akan bisa berubah jadi lebih buruk lagi saat Shin merangkul Sakuraba keluar dari gerbang Ojo, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri berkali kali, seakan akan sedang mencari cari sesuatu, ATAU mewaspadai sesuatu. Tepat saat kedua remaja itu sampai di muka gerbang, sebuah taksi datang dan langsung melarikan mereka berdua. Entah kemana.
Dan sejak saat itu Sena tak pernah lagi melihat Shin.
Sampai sekarang.
*
Terengah - engah dalam hujan Sena berlari tanpa henti mengitari lapangan football Deimon. Keringat bercampur air hujan –dan mungkin air mata – mengalir di wajahnya, masuk ke mulut dan matanya. Membuatnya pedih. Matahari sudah berlalu dua jam yang lalu dan bahkan Sena tak menyadarinya. Waktu latihan pun sudah selesai pukul lima tadi sore dan Monta menawarkan untuk menemaninya berlatih hingga malam. Namun Sena menolak, meminta – lebih tepatnya memerintahkan – receiver itu untuk pulang dan beristirahat. Dan sekarang tak ada seorangpun yang ada di sampingnya. Dan Sena menginginkan itu, kesepian ini untuk dirinya sendiri. Tak ada yang boleh melihatnya selemah ini. Kalau bukan sang kapten yang bertindak kuat dan tegar, siapa lagi?
Dan mungkin siksaan ini akan membuatnya berhenti memikirkan Shin. Mungkin.
Sena berhenti, meludahkan asinnya air hujan bercampur keringat dan ingat kalau ia belum minum dan makan apapun sejak tadi sore, dan sudah terlambat untuk mengharapkan Mamo neesan menawarkan sports drink padanya dengan senyum lembutnya itu.
Tapi tentu saja ia tidak berharap sesosok cowok kurus pirang berpayung hitam yang akan membawakannya minuman itu.
Dan itulah yang terjadi.
"Hei, fucking chibi. Minum ini atau aku akan menembakmu tepat di selangkangan", perintah iblis dalam penyamaran itu.
"Arigatou Hiruma san...", jawab Sena lirih, meraih botol dari tangan kurus itu dan meminumnya dalam sekali teguk. Dan saat ia akan mengembalikan botol itu, ia mendapati Hiruma sedang menatap wajahnya, dalam, dan tidak tanpa tujuan.
"Hiruma san?", tanya Sena lirih.
Hiruma memajukan posisi payungnya sehingga menaungi tubuh mereka berdua, dan tanpa banyak ekspresi Hiruma mengajukan sebuah pernyataan.
"Aku tahu apa yang mengganggumu..."
The Devil's Embrace
Sena membalikkan tatapan Hiruma dengan bingung. Jangan - jangan Hiruma mau mem blackmail nya, dengan entah apapun yang dikatakannya mengganggu pikiran itu. Memikirkan kemungkinan ini sendiri saja sudah membuat rasa takut dan sedikit jengah pada mantan kaptennya itu.
Ia ingin mengatakan sesuatu yang biasa seperti 'ah itu kan hanya perasaan Hiruma san saja', atau 'hanya hormon pertumbuhan yang mulai bereaksi over' pada Hiruma, hanya untuk menghindari kemungkinan dirinya ditembak mati meski ia tak melihat Hiruma membawa senjata apapun saat itu.
"Sekarang ini kaulah yang mengganggu latihanku, Hiruma san", ujar Sena mengejutkan, hampir hampir shock sendiri. Bisa bisanya ia berkata begitu? Berkata bahwa setan itu mengganggunya sekarang? Ya Tuhan, Sena nyaris bisa merasakan moncong AK-47 menyentuhnya dingin di pelipis.
Namun bukan itu.
"Tch... bukan itu, fucking shrimp. Shin. Shin lah yang mengganggumu", ujar Hiruma serius.
Mata Sena melebar.
Hiruma tahu.
Yeah tentu saja, ia SELALU tahu.
"Apa maksud Hiruma san? Tentu saja bukan itu...."
Penyangkalan Sena terhenti saat ia kembali merasakan derai air hujan membasahi rambutnya. Hiruma telah melempar payung hitamnya jauh ke belakang dan merangkum tubuh kecil runningback itu dalam pelukannya.
"Shin, sudah pergi darimu tanpa kabar selama empat bulan, tiga belas hari, dua puluh tiga jam, dan empat puluh satu menit darimu. Itu yang membuatmu begitu kehilangan daya hidup seperti sekarang ini", sahut Hiruma, mendekap erat dada dan kepala Sena dalam miliknya sendiri.
"Bagai... bagaimana Hiruma san tahu?", tanya Sena lagi, tak membalas pelukan Hiruma, bingung mau bereaksi seperti apa menghadapi setan yang tak bisa ditebak ini.
"Fucking shrimp, jangan bilang kau tak tahu aku selalu memperhatikanmu dari jauh, sejak pertama, tak pernah terlalu percaya diri untuk menyatakan padamu, dan bagaimana aku juga bisa terluka saat tahu dirimu terenggut oleh fucking idiot Shin itu", jawabnya lirih di bahu Sena, tak membiarkan Sena melihat wajahnya yang melekat di bahu Sena yang basah.
"Maaf Hiruma san, tapi aku...."
.....tak bisa berhenti memikirkan Shin, mencintainya, meski ia menghilang begitu lama dariku.....
"Jangan bilang apa apa, aku tahu apa yang akan kau katakan", kata Hiruma, melepaskan pelukannya, dan kini memegang kedua bahu Sena dengan kedua belah tangannya. Sena ingat tangan itu yang dulu melemparnya ke udara saat ia diterima di Deimon, juga tangan yang selalu mempass bola padanya dengan kepercayaan penuh. Tapi bukan tangan itu yang ia inginkan. Maaf. Tapi bukan.
Sena menatap Hiruma dengan pandangan mata meminta maaf dengan sepenuh hati. Ia telah menolak komandan iblis yang menaruh hati padanya.
"Hai... Hiruma san...", timpal Sena lirih. Bukan menyesal.
Sena masih tetap menatap tanah basah di bawah kakinya saat akhirnya Hiruma mengatakan sebuah kalimat yang – pada akhirnya – berhasil membangkitkan minat Sena setelah beberapa bulan terakhir ini.
"Aku tahu dimana Shin", ujar Hiruma percaya diri, dengan tatapan mata menggodanya yang biasa. Sena mengangkat kepalanya dengan cepat.
"Benarkah Hiruma san? Di-dimana dia?", tanya Sena, hampir hampir lupa bernapas.
"Tak akan kuberitahu", jawab Hiruma dengan egoisnya. Lalu ia mencium pipi Sena dengan cepat dan berlalu menuju gerbang Deimon untuk berjalan pulang dalam hujan.
Sena membeku di tengah lapangan.
Tentu saja, pelukan iblis tak menjanjikan apapun selain siksaan lebih dalam.
Meski iblis itu telah menaruh hati padanya.
(Author's Note: Entah kenapa pairing Sena itu harus Shin buatku!! N Hiruma, karena aku gagmau dia jadian sama mamori *yaa!! Go fujoshi rulesss!!!!* jadilah dia benalu di pairing shinXsena hahahaha.... sekali sekali setan ini kudu dibuat miris n tragis xixixixixixix ... atau mau aku pasangin sama Monta atau taki idiot, Youicchan? *evil grin lalu ditembak Hiruma pake bazooka tepat di bokong XD~~* )
