Love That Bullies Him
Sena heran. Betul betul heran.
Kenapa dirinya bisa ada, dan mau-maunya ada – sekali lagi – di tempat, ehem, maksiat ini. Alias sekolah menengah atas Ojo. Dia sempat bersembunyi di balik pohon yang dulu juga digunakannya untuk berteduh seraya menunggu Shin selama sekitar semenit, sebelum menendang pohon itu sekuat tenaga dan berpindah ke balik segerumbul semak–semak.
Ini hari Kamis yang cerah, dan masih belum saatnya pulang sekolah bagi seluruh sekolah menengah atas di Jepang, namun Sena menunggu. Ia tidak suka membolos sekolah hanya untuk mengendap–endap di SMA elite lain seperti ini, tapi ia ingin membuat segalanya jelas. Ia ingin mencari Shin. Atau setidaknya menanyakan keberadaannya pada siapapun yang dikenalnya di Ojo, mungkin Ootawara, atau Wakana, atau Takami.
'Sa-Sakuraba pasti ikut pergi bersama Shin...', pikir Sena, berat di dalam kepalanya, terasa terlalu kasar untuk menelan kata–kata itu mentah–mentah.
Jadi Sena menguatkan hati, keluar dari gerumbul semak–semak dan berjalan masuk ke dalam lingkungan sekolah menengah atas Ojo, masih dengan seragam Deimonnya, langsung menuju lapangan football Ojo yang memiliki akses langsung ke gerbang utamanya. Sena sudah hapal betul lokasi lapangan itu sejak Shin sering mengajaknya kesitu untuk berlatih bersama atau hanya untuk bercakap-cakap, di bawah pandangan mata membunuh anggota team football Ojo yang lain.
'Aku disini mencari kebenaran tentang Shin, mengapa ia menghilang dan... ACKKK!!!!! Sial sial siaaaaaallllll!!!! Kenapa Sakuraba ada disini??!!'
Sena tak menduga orang kedua terakhir yang tidak ingin dilihatnya di bumi ini sedang keluar dari pintu ruang ganti Ojo bersama seorang cowok lain yang dikenali Sena sebagai anggota cadangan Ojo. Posisi Sena sudah kepalang tanggung berada di depan pintu masuk lapangan football Ojo, dan otaknya benar-benar semrawut saat itu, antara ingin masuk dan menanyakan Shin, atau berbalik dan lari, lagi-lagi lari. Bagaimanapun, sebagian dari diri Sena menolak untuk mengetahui kenyataan, jika memang kenyataan itu menyakitkan.
Eyeshield 21 yang tangguh di lapangan, membuang tubuhnya untuk melindungi bola, ternyata tak sanggup menghadapi sakit ini. Sakit yang tidak akan mematahkan tulang iganya, namun hatinya.
Dan itulah yang dilakukan Sena, berbalik dan siap berlari dengan kecepatan 4.2 detik per 40 yardnya saat didengarnya suara Sakuraba memanggilnya.
"Kobayakawa kun!!", seru Sakuraba, mungkin juga sedang berlari mendekati Sena karena Sena mendengar suara Sakuraba – yang terdengar jauh lebih menakutkan dari tawa neraka Hiruma sekarang – semakin keras mendekatinya.
Sena sudah hendak berhenti saat Sakuraba melanjutkan teriakannya.
"Shin....."
Sakuraba jelas-jelas tahu maksud kedatangan Sena saat itu.
Shin.
Sena mempercepat larinya, mengalahkan cahaya, menyurutkan rekor pencapaian suara.
Ia tidak mau mendengarnya
Tidak ingin.
Tidak butuh Shin.
Setidaknya saat ini.
*
Sena terengah-engah hebat saat ia sampai di depan rumahnya. Hebat, jika ia bisa terus berlari dengan kecepatan seperti itu ia mungkin bisa jadi manusia tercepat di seluruh jagad raya ini, mengalahkan Panther, Riku, Yamato, dan Shin-
Arrrggghhhh......
Sena menekan bel rumahnya kuat kuat, berkali kali hingga ibunya datang membukakan pintu dengan wajah terganggu, lalu kaget melihat anak laki-lakinya berdiri di depan pintu, masih dalam posisi memencet bel dengan wajah kosong persisi mayat.
"Sena kun?! Ini baru jam sebelas pagi, kenapa kau sudah pulang?", tanya ibunya penasaran.
"Aku sakit, bu. Aku mau tidur saja", jawab Sena lemah, lalu melewati ibunya dan masuk, naik ke lantai dua dan membanting pintu kamarnya.
Kobayakawa Mihae hanya mengernyitkan alis dan mengangkat bahu melihat ulah anak satu-satunya itu. Lalu ditutupnya pintu dan kembali pada kesibukannya memasak makan siang.
Diingatnya terakhir kali Sena berperilaku seperti itu adalah saat ia masih suka di-bully oleh anak anak lainnya. Apa iya Sena kembali ke hidupnya yang dulu? Siapa yang telah menyebabkan anaknya kembali malas sekolah seperti itu?
"SHIN!!!", jawab Sena, jika ditanya. Sayangnya tidak.
---
Sesampainya di kamar Sena langsung melempar tas dan kaos kakinya ke penjuru ruangan. Begitu pula nasib jas hijau Deimon dan dasinya. Lalu dilepasnya kemeja dan celana panjang, serta seluruh sisa pakaiannya dan ia melangkah masuk ke kamar mandi. Dinyalakannya shower, dan ia melangkah masuk, telanjang dan putus asa.
Disekanya wajahnya, digosoknya pipinya kuat kuat.
Shin kun....
Sena membisikkan nama yang sangat ia sayangi di bawah air yang mengalir menuruni wajahnya dan jatuh di dagunya.
Sekali saja, sekali lagi... hanya sekali lagi aku ingin bertemu denganmu...
Disingkirkannya rambutnya yang melekat di wajahnya, sama inginnya seperti menyingkirkan bayangan Shin yang selalu menyakitinya, lebih lebih karena ia sangat menyayangi Shin. Terlalu sayang.
Kau yang ingin kutemui Shin kun, bukan Sakuraba, atau siapapun...
Sena mulai membangun sebuah tekad dalam hatinya.
Air dingin mengucur dari shower, membasahi kulit pucat Sena yang terbakar matahari, membuat tubuh langsing dan kaki kuatnya gemetar.
Kalau memang kenyataan yang menyakitkan yang harus kuhadapi saat bertemu denganmu terakhir kalinya nanti....
Air shower yang mengalir melalui bibir Sena tiba tiba terasa asin. Tanpa disadarinya butir-butir air mata panas keluar dan mengucur dari matanya, sama deras seperti air shower di kamar mandinya dan ia tak kuasa mencegah itu. Namun kali ini air mata yang keluar adalah air mata dari sebuah keputusan. Keputusan yang pada akhirnya akan menjual hatinya.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu, Shin kun. Sangat mencintaimu....
Sena mematikan showernya dan berjalan keluar dari kamar mandi.
Bisakah kau mengambil rasa sakit ini dari hatiku Shin?
Rasa sakit yang kau berikan padaku
Mengganggu setiap langkahku
Membunuh hatiku
Merusakku...
I Sold My Heart In Tears
Sena menggeser pintu ruang klub dengan kasar, dan seperti sudah diduganya, mantan kaptennya duduk di situ, berkutat dengan laptopnya serta menggelembungkan permen karet sugarless dengan cueknya.
"Hiruma san!", teriak Sena, pertama kalinya ia berteriak pada Hiruma dengan intensitas kemarahan sekaligus hasrat yang kuat seperti sekarang ini.
Yang dipanggil hanya menoleh ke arah pintu, menaikkan alis sedikit dan memecahkan gelembung di mulutnya.
"Ya? Fucking shrimp?", tanyanya, tampak terganggu namun sebetulnya tidak begitu. Ia senang, selalu senang saat Sena memanggilnya, membutuhkannya.
"Beri tahu dimana Shin sekarang", tuntut Sena. Wajahnya tegas dan kemauannya kuat. Ia tidak takut pada setan. Tembaklah mati tubuhnya saat ini juga, disini, kalau bisa, sebab akhirnya Sena telah menyerahkannya pada setan itu.
"Kekeke... aku sudah bilang kemarin, tak akan kuberitahu", jawab Hiruma sambil tertawa kecil, kembali mengalihkan perhatiannya pada laptop. Sena menelan ludah, berjuang untuk mengucapkan kata-kata yang sudah disusunnya sejak semalam.
"Satu kali lagi. Hanya satu kali lagi saja aku ingin bertemu dengan Shin. Untuk memberitahunya bahwa aku akan belajar untuk berhenti mencintainya dan ia hanya bagian dari masa laluku. Setelah itu kau...."
Hiruma memandang kohainya itu dengan terkejut. Matanya membesar. Tidak mungkin....
"Boleh mengambilku...."
Kalau setan bisa menari mungkin itulah yang sudah dilakukan Hiruma dengan bahagianya.
Namun Hiruma masih menatap licik pada Sena, meminta pembuktian atas kalimatnya yang terakhir.
"Kekeke... ohya? Apa buktinya? Apa jaminannya kalau aku memberitahumu?", tanya Hiruma, seringai licik tampak di mulutnya.
"Ini...."
Sena menutup pintu di belakangnya, melangkah mendekati Hiruma dengan pasti, menumpukan tangannya di meja samping Hiruma dan mencium bibir Hiruma. Sena memejamkan matanya erat. Akhirnya ia melakukan ini. Meski ia tak ingin.
Ciuman ringan yang diberikan Sena beralih situasi saat Hiruma meletakkan jarinya di bawah dagu Sena, menerima ciumannya dengan penuh semangat, dan menyelipkan bibirnya di antara bibir Sena, menginginkannya, utuh. Terpaksa, terpaksa sekali Sena mengikuti gerakan lidah Hiruma, menyelaraskannya dengan keinginan belajar, belajar mencintai apa yang tidak bisa ia cintai.
"Hmh... bagus, fucking chibi.... mulai sekarang kau milikku, kekekeke", ujar Hiruma. Sena hanya menunduk. Berharap ia tak akan menyesali keputusannya.
"Hai... Hiruma san...", jawab Sena.
"Tch, sudah pukul setengah empat. Begini saja, aku akan memberitahumu dimana Shin setelah kau latihan sore. Ini pakailah baju latihanmu", kata Hiruma seraya melemparkan T-Shirt resmi Deimon dan training hitam pada Sena, "kau akan tahu dimana Shin setelah kau kembali."
Sena mengangguk, memaksa dirinya tersenyum pada Hiruma dan menuju ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya.
Setelah selesai berganti pakaian dan saat akan menggantung seragamnya, Sena melihat sebuah benda hitam persegi di sudut lokernya.
Sebuah MP4 player berwarna hitam dengan pinggiran perak.
Hadiah dari Shin saat pertama kali ia mengajaknya pergi. Tak bisa diduga bahwa Shin memberinya barang elektronik, karena ia sendiri nyaris tak punya kemampuan menangangi, bukan, memegang benda elektronik apapun. Namun di saat benda elektronik itu berkaitan dengan Sena, Shin akan sangat berhati hati menanganinya, seperti MP4 player ini, yang berisi lagu lagu kesukaan mereka berdua, yang mereka dengarkan bersama saat menikmati waktu.
Mau tak mau Sena tersenyum, mengambil MP4 player itu, menyalakannya, dan memasang earplug di telinganya, lalu menaruhnya di saku celana, berencana untuk menikmatinya sambil jogging.
Biarlah kenangan-kenangan indah saat bersama Shin mengalir kali ini, hanya untuk ditinggalkan. Sena hanya berharap kali ini ia bisa meninggalkannya, setidaknya Hiruma akan membantunya melupakan Shin.
Sena kembali ke ruang club. Hiruma masih asyik dengan laptopnya dan kali ini Sena mencoba untuk meninggalkan ruang klub tanpa suara, namun Hiruma memanggilnya lembut, terdengar agak aneh.
"Oi, fucking chibi..."
Sena merinding mendengar namanya dipanggil, meski dalam etika yang lebih halus daripada fucking shrimp.
"Ha-hai, Hiruma sa-Hiruma kun?", tanya Sena bergetar.
"Larilah lewat pinggir saluran air", ujar Hiruma tanpa nada.
Sena mengangguk dan segera meninggalkan ruangan klub itu.
I Will Be Sorry...
Sena menekan tombol next pada MP4 playernya di saku untuk mendengarkan lagu berikutnya. Lagu yang sebelumnya terlalu lembut untuk dipakai latihan, ia tidak mau tiba-tiba mengantuk di tengah acara latihannya. Dan mengalunlah Blurry yang dinyanyikan oleh Puddle of Mud.
Tanpa diduga Shin lebih suka lagu-lagu barat daripada lagu Jepang sendiri. Dan genre rock favorit Shin membuat MP4 player itu dipenuhi oleh lagu lagu milik Limp Bizkit, Linkin Park, Puddle of Mud, Blink 182, My Chemical Romance, All American Rejects, dan masih banyak lagi. Pada awalnya Sena tidak yakin ia bisa suka, namun lama kelamaan, seiring nada suara Shin mulai menjadi suara terindah yang bisa ia dengar, maka lagu lagu itupun menjadi backsoundnya, dan Sena menyukainya. Sena pun mulai lebih memusatkan perhatian saat pelajaran bahasa Inggris di sekolahnya, ia ingin lebih memahami lagu-lagu itu.
Everything's so blurry
Everything's so fake
And everybody's empty
And everything is so messed up
Pre-occupied without you
I cannot live at all
My whole world surrounds you
I stumble then I crawl
Sena nyaris tertawa mengingat betapa cocoknya lagu ini dengan keadannya sekarang. Yeah Shin, duniaku ada di sekitarmu, dan aku nyaris tak bisa hidup tanpamu, kuakui itu. Dan... kuharap masa-masa itu akan segera berakhir.
You could by someone
You could be my sea
You know that I'll protect you
From all of the obscene
I wonder what you're doing
Imagine where you are
There's oceans between us
But that's not very far
Dengan intensitas seperti laut Shin memperlakukan Sena. Dalam, bergelombang lembut namun kuat, memberinya banyak curahan cintanya, dan biru indah... selalu biru....
Sena berhenti berpikir saat dilihatnya bayangan bersemu kebiruan, buram dan samar di kejauhan. Sena mengusap matanya dan menghela nafas panjang. Apa musim semi sudah menjadi sepanas ini akibat pengaruh global warming? Sehingga mengakibatkan fatamorgana jalan panas?
Sena tak yakin.
Sena melanjutkan joggingnya, dalam kecepatannya yang biasa, yang semakin menurun, menurun, menurun, dan akhirnya berhenti saat bayangan buram itu semakin jelas.
Dan semakin jelas.
Shin.
"Shi-", gumam Sena tanpa sadar.
Wajah Shin terlihat panik, satu satunya ekspresi ekstrim yang pernah dilihat Sena pada wajah Shin sejak pertama kali mengenalnya. Shin mendekatinya dengan kecepatan luar biasa, sementara Sena hanya berdiri diam, menunggu Shin mendekatinya.
Hati Sena berkata untuk diam di tempat. Shin lah yang Sena tunggu, dan ini saatnya, entah apa yang membuat mereka bertemu. Ah... Hiruma pasti sudah tahu....
Namun kakinya berkata lain.
Kedua kaki itu, mungkin tanpa Sena sadari, atau mungkin malah dalam kesadaran penuh, membawanya berlari secepat mungkin ke arah sebaliknya. Kakinya tak ingin Sena bertemu Shin lagi. Dan perasaan itu dengan cepat naik ke hati. Lagi-lagi tubuh dan hati itu menolak tersakiti.
"Tunggu!!! Sena kunn!!!", teriak Shin.
Dan tanpa menunggu Sena mejawab, Shin mengejar Sena, juga secepat yang ia bisa, mentackle Sena dengan Trident Tackle kekuatan penuh. Mungkin bukan maksudnya menyakiti tubuh Sena, namun hanya itu cara darurat yang bisa ia pikirkan untuk menghentikan Sena yang melarikan diri darinya. Tackle itu... jauh lebih kuat dan lebih akurat dari tackle terakhir yang diterima Sena dari Shin...
Sena berteriak, bereaksi atas kesakitan yang menghampiri rusuk-rusuknya dan hatinya. Tidak.... Air mata nyaris meleleh dari matanya.
'Betapa payahnya aku...', ujar Sena dalam hati.
Mereka berdua jatuh berguling keluar jalan yang menurun landai itu dan berhenti di rerumputan. Sempat-sempatnya Sena bersyukur mereka tidak jatuh ke arah saluran air, namun tetap saja, mereka jatuh. Dan saat mereka berhenti, Shin nyaris menindih Sena, menatapnya dengan mata yang terluka dan lecet lecet di sekujur tubuhnya.
'Enak saja! Aku yang lebih sakit tahu?!', bentak Sena dalam hati seraya meraba perutnya yang bekas ditackle dan kepalanya yang mungkin terbentur jalan sedikit. Namun pada kenyataannya ia tak kuasa berkata apa-apa setelah melihat Shin dari dekat, akhirnya.
"Sena-kun...", panggil Shin perlahan. Shin bangkit dari tubuh Sena, berlutut di atas tubuh Sena dan tangan kirinya perlahan meraba bibir bawah Sena yang sedikit berdarah. Namun Sena menepis tangan itu dan berkata kasar.
"Jangan panggil aku Sena kun lagi. Aku... sudah bukan siapa-siapamu lagi. Sakuraba lah yang lebih pantas kau panggil begitu", serang Sena tanpa bisa melihat wajah Shin. Sena membayangkan Sakuraba yang tampan, yang bertubuh tinggi, yang selebritis, yang tentu saja lebih pantas mendampingi Shin yang sempurna daripada dirinya yang cuma... fucking chibi itu.
Namun detik berikutnya Shin tanpa ampun menahan bahu kanan Sena dan memalingkan wajahnya agar mata mereka berdua bisa bertatapan langsung.
"Sena, Sena kun dengarkan aku! Sakuraba tidak ada hubungannya dengan semua ini, yah ada sedikit, tapi bukan seperti yang kau pikirkan", kata Shin.
Mata Sena memanas, dan pada akhirnya, tanpa bisa dicegah, ia meledak.
"Kau sudah pergi begitu lama dariku Shin! Lama sekali! Dan tak ada satu kabarpun darimu! Dan terakhir aku melihatmu kau bersama Sakuraba! Kau merangkulnya! Kau takut aku melihatmu! Kau sekarang miliknya! Bilang saja begitu! Dan sekarang kau datang mentackle ku dan memperlakukanku seolah-olah nggak terjadi apa apa! Kau brengsek Shin! Sialan!! Aku nggak mau lagi melihatmu!! Sekarang bangun dan pergi dari mukaku!!", amuk Sena. Air matanya mengalir deras, melewati pipi dan telinganya yang merah, jatuh di rumput.
"Berhenti menangis, Sena. Itu adalah hal yang paling tidak ingin kulihat di bumi ini...", pinta Shin sungguh-sungguh. Sena menolak. Ia memaki-maki Shin dengan kata-kata yang biasanya digunakan oleh Hiruma. Ia tak peduli. Ia sangat marah sekarang, namun tetap, masih mencintai Shin.
Lalu Shin menciumnya lembut dan merengkuhnya, menawarkan kehangatan tubuh terlatih itu pada hati yang beku milik Sena Kobayakawa. Tanpa paksaan dan tekanan seperi ciuman Hiruma tadi.
Sena tersedak antara tangis dan ciuman itu. Biasanya ciuman Shin selalu dapat menenangkan hatinya yang sedih, namun kali itu tangisnya semakin menjadi. Namun Shin menciumnya lama, lebih lama dari biasanya, menunggu sampai tangis menjadi Sena berubah menjadi isak kecil meski masih tetap tak terkendali. Lalu Shin mendudukkan Sena di depannya, terpesona. Begitu kuat sekaligus rapuh, eksistensi mungil di hadapannya, Sena, Eyeshield 21 yang melegenda.
"Dengar aku Sena....", ujar Shin. Sena menggelengkan kepalanya kuat-kuat, membuat rambut coklat berantakannya semakin berantakan.
"Nggak mau... aku akan bilang kalau kau sudah pindah ke kota lain bersama Sakuraba untuk menghindariku...", tangkis Sena, masih terisak-isak. Shin menyeka air mata dari pipi runningback itu dengan ujung telunjuk kanannya.
"Kobayakawa Sena, dengarkan aku. Sakuraba hanyalah teman biasa untukku dan partner dalam tim. Tidak lebih, tidak kurang. Sekarang diamlah, aku akan memberitahukanmu kemana aku pergi selama lima bulan terakhir ini tanpa memberimu kabar apapun", pinta Shin tegas, dengan wajah serius. Shin memang biasanya terlihat serius, namun kali ini seperti ada campuran keputus asaan di sana, tahu bahwa kalau ia membiarkan Sena pergi kali ini maka ia tidak akan pernah melihat Sena lagi.
Akhirnya, setelah lama menunggu Sena mengangguk, meski ragu.
(Author's Note: Serius nih. Konflik batinnya Sena antara pengen ketemu Shin, bilang masih sayang sama Shin, sama ngerasa udah tersakiti sama Shin, n gag pengen lagi ketemu Shin-nya udah jelas belom? Apa terlalu membingungkan? Sena terlalu plinplan? Yeah dia emang plinplan... hahahaha.... Just wait and see, Youicchan, this story won't end with your ending.... NEXT CHAPTER LAST CHAPTER GOOO!!!! Ripiu ripiu yaaaaa...... mau dibikin versi inggrisnya ni, ada yang mau ngebeta reader-in? Grammar saya hancur lebur si TwT)
