Sorry for waiting for sooooo longgg DX
Blurry
Chapter Three
Shin menarik napas panjang. Siap menceritakan segala sesuatunya.
"Hari itu, Takami kecelakaan. Tubuhnya tidak terluka berat namun kepalanya terbentur cukup keras sehingga ia koma. Kau tidak sadar bahwa Ojo tidak ikut pertandingan resmi manapun sejak saat itu?" tanya Shin. Sena menggeleng. Dengan perasaan bersalah ia mengakui memang bahwa sejak hari Shin menghilang yang ada dalam pikirannya hanyalah dirinya dan Shin. Bahkan meskipun harus, tim footballnya pun hanya menempati sedikit dari ruang pikirannya yang terpecah belah.
"Aku sudah hendak ganti baju dan keluar menemuimu saat kabar itu sampai di telingaku. Sakuraba – dia milik Takami, jelas? Sakuraba langsung pingsan saat itu dan aku terpaksa menanganinya lebih dulu. Dan saat akhirnya ia bangun, ia memintaku untuk menemaninya ke rumah sakit untuk melihat kondisi Takami," jelas Shin. Shin berhenti sejenak melihat perubahan roman wajah Sena.
"Sakuraba... Takami?" bisik Sena lirih. Matanya yang coklat membesar, hatinya diliputi ketidakpercayaan.
Suara Shin nyaris tak terdengar oleh telinganya, hanya bisikan samar yang ditingkahi wajah penuh penyesalan dan bibir yang berbicara dengan panik itu yang tertangkap oleh inderanya yang entah kenapa memudar kepekaannya, seiring panas yang mulai merayap menghampiri mata.
Mau bagaimanapun juga, Sena menyadari bahwa alasan apapun tak akan berguna sekarang.
"Ya... Sakuraba adalah dan akan selalu menjadi milik Takami. Dan satu-satunya alasanku merangkulnya saat itu adalah untuk menenangkannya. Ia betul-betul shock dan histeris saat tahu kondisi Takami. Dan saat itu, aku mencari-carimu di sekitar gerbang Ojo saat itu, berharap kau ada, jadi aku bisa memberitahumu apa yang terjadi. Tapi aku tidak melihatmu, meskipun sepertinya kau ada di sana saat itu karena kau tahu soal aku dan Sakuraba saat itu," lanjut Shin.
Shin mengangkat kepalanya sedikit dan menatap kedua mata Sena, sedikit keengganan karena perasaan bersalah, namun ia membutuhkan kontak mata dari Sena.
Sena hanya menatap ke dalam wajah Shin, namun pandangannya kosong.
"Dan sebelum Takami sempat pulang dari rumah sakit, mendadak aku–kami sekeluarga harus pindah ke Amerika mengikuti ayahku yang dipindahtugaskan, mendadak sekali, sebab bahkan aku tidak sempat membawa baju-bajuku, memberitahu teman-temanku, sekolah hanya diberitahu lewat sebuah surat singkat, dan bahkan... bahkan aku tidak sempat memberitahumu kemana aku pergi..." ujar Shin. Suaranya tercekat. Sena bahkan tak beraksi sedikitpun.
"Sena?" panggil Shin perlahan. Diguncang-guncangkannya bahu laki-laki berambut coklat spike berantakan itu, namun Sena hanya menggigit bibir bawahnya, dan perlahan-lahan sebulir air mata menetes lagi lewat bulu matanya.
Percuma, Shin-san.
"Dengar Sena! Aku pun masih tidak setuju! Setelah sampai di Amerika pun aku hampir selalu memikirkanmu dan berusaha agar aku bisa kembali ke Jepang dan hidup sendirian! Tapi orangtuaku tidak setuju! Kau mengerti kan Sena?!", teriak Shin panik. Sena masih tak berkata apa-apa. Air mata yang mengalir di pipinya kini telah jatuh menetes-netes, membasahi celana trainingnya, dan masih banyak lagi tetesan air mata yang datang berikutnya. Ace Ojo itu kemudian merengkuh Sena kembali dalam pelukannya, mencoba mengurangi isak tangis Sena yang malah semakin menghebat.
Benar-benar sudah terlambat.
"Aku benar-benar minta maaf Sena. Aku... aku tidak ingin meneleponmu, atau mengirim surat padamu, sebab itu akan membuatku semakin merindukanmu. Yang aku lakukan di Amerika hanyalah memikirkanmu, bagaimana cara kembali padamu, di Jepang sini..."
"Su-sudah tidak mungkin ke-kembali lagi... Shin-san...", ujar Sena terbata-bata di tengah tangisnya.
Dalam hati Sena merasa sangat senang karena Shin selalu setia padanya, senang karena bukan Sakuraba yang menyebabkan mereka terpisah seperti ini, Shin tidak menduakannya seperti yang ia kira. Tapi entah kenapa sebuah pepatah yang selalu ia anggap kuno tentang penyesalan yang selalu datang terlambat bergema dengan jelas di otaknya sekarang, menguak aibnya, hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Seharusnya ia bisa lebih sabar dan menunggu sedikit lebih lama. Hanya sedikit saja lebih lama. Tidak ada setengah jam dari sejak ia menyerahkan dirinya pada iblis berkedok murid SMA berambut pirang dan bertelinga lancip itu. Sena tidak tahu kisahnya akan berakhir tragis seperti ini, yang ia tahu adalah bahwa dimana-mana perjanjian dengan iblis tidak boleh dilanggar, atau akan berakibat sangat fatal. Baik untuk dirimu, maupun untuk orang lain yang kau sayangi.
Sial.
Hanya sedikit lebih lama....
"A-apa?" Shin bertanya, mengingat ketidakjelasan kata-kata Sena yang tertutup sedu sedan.
"Tidak mungkin lagi bisa kembali!" raung Sena penuh kegetiran.
Shin melepaskan rengkuhannya, menggenggam kedua bahu Sena dan mencoba menatap mata coklat besar yang basah itu, mencoba mencari tahu apa maksud vonis mendadak Sena yang dijatuhkan sewenang-wenang tanpa ia duga itu.
"Apa maksudmu tidak bisa kembali Sena? Tentu saja bisa! Kau... kau memaafkanku kan?" tanya Shin.
Yang ditanya hanya mengangguk pelan, namun tetap diam dalam bungkam.
Dan sang penanya hanya bisa tertegun saat menemukan mata coklat itu jatuh semakin dalam, tertunduk, dan mendorong dada Shin menjauh dari dirinya.
"Se...na..."
Take it all away
Take it all away
Pain you gave to me
Take it all away
This pain you gave to me
Take it all away
This pain you gave to me
"Kekekeke... dia sekarang milikku, kuso!", sebuah suara berintonasi tinggi menyakitkan, penuh dengan kemenangan dan rasa bangga menyerbu telinga Shin dari belakang. Tanpa sadar laki-laki berambut hitam itu mengutuk dirinya sendiri.
Ia tahu suara milik siapa ini.
Ia tahu apa kaitannya dengan Sena yang bisa dibilang tak bisa berhenti terisak di hadapannya sekarang.
Ia tahu seharusnya ia tak meninggalkan Sena begitu lama.
Ia bisa menebak-nebak dalam hati apa yang terjadi saat ia pergi.
Dan sayangnya, ia bisa mengira-ngira bahwa tak akan ada yang bisa ia perbuat, jika melawan orang ini, dalam hal apapun, terutama kelicikan.
Ia sudah kalah.
Bahkan tanpa perlawanan.
Sang pemilik suara tawa yang khas itu meninggalkan jalan, menjejakkan kakinya ke area berumput dan menyibakkan ranting-ranting yang menghalanginya dengan tangan, dan ia pun berdiri tepat di hadapan Shin, di belakang punggung Sena yang meringkuk dengan malangnya di antara kedua lengan kecilnya sendiri.
"Kau! Apa yang kau lakukan pada Sena?!" geram Shin, sudah berdiri dan nyaris menghantam sosok pirang kurus itu dengan tangannnya yang berotot. Namun ia mengurungkan niatnya begitu menyadari Sena masih ada di antara mereka berdua.
"Che, aku tidak melakukan apapun padanya, kuso! Dia sendiri yang menawarkan dirinya padaku..."
Shin membelalakkan matanya tak percaya.
Mungkinkah... Sena berbuat seperti itu padanya?
"... sebagai ganti untuk informasi tentang keberadaanmu yang tidak penting itu."
Sebuah senyum licik yang mengembang lebar muncul saat itu juga di bibir Hiruma membuat Shin tak bisa lagi menahan amarahnya. Diambilnya sebuah langkah lebar melewati sisi Sena dan diayunkannya kepalan tangannya tepat ke rahang Hiruma. Quarterback Deimon itu sama sekali tidak menghindar, ia membiarkan otot-otot Shin menerjangnya, dan meninggalkan bibir yang pecah di sana, mengalirkan sedikit darah.
"Cukup Shin-san! Jangan pukul Hiruma-san!" seru Sena yang tiba-tiba berdiri, mencengkeram erat lengan Shin, mencegahnya menghajar Hiruma lebih lanjut.
"Ia sudah membujukmu dengan semua kata-kata manisnya yang beracun itu! Harusnya kau tidak begitu mudah percaya padanya!", amuk Shin, berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman Sena.
"Semua sudah terlambat Shin-san! Sudah terlambat! Akuilah! Kau sudah meminta maaf untuk dirimu yang terlambat menemuiku dan begitu pula aku akan minta maaf soal ini! Memang aku yang menyerahkan diriku padanya!"
"Uso... Sena... tidak mungkin kau yang...." Shin berbisik, menurunkan tangannya, kembali menatap Sena yang menatapnya balik dengan mata berkaca-kaca, namun tekad di dalam dirinya sudah kembali.
Tekad untuk melupakan Shin.
Sena mengangguk, melangkah ke arah Hiruma dan berdiri di sisinya.
"Kau... benar-benar akan pergi? Sena?', tanya Shin, seluruh tubuhnya melemas, seakan-akan semua kekuatan fisik yang dimilikinya hilang begitu saja. Bibirnya bergetar, tak sanggup melihat kejadian yang berlangsung tepat di depan matanya.
"Ya... Shin-san," Sena mengiyakan dengan suara sejelas mungkin, meski genggaman tangan kecilnya menunjukkan dualisme hasratnya. Untuk memenuhi janjinya pada Hiruma, dan untuk tetap bersama Shin.
"Kuharap... Hiruma-san tak akan meninggalkanku begitu lama", bisik Sena.
Hiruma merendahkan dirinya hingga kepalanya hampir sejajar dengan Sena, merangkulnya dari belakang dan meletakkan tangan kirinya di dagu Sena, lalu mengecup bibir anak bertubuh kecil itu.
"Aku tak akan mengecewakanmu, kuso chibi..."
Sena berbalik, meremas lengan jas seragam hijau tua Hiruma, mengangguk perlahan pada Shin, dan berlari kembali ke jalan, menjauh dari tempat itu, kembali ke Deimon.
"Sena!" seru Shin putus asa. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari mengejar Sena, namun sebuah tangan dengan jari-jari tirus panjang menyentuh bahu kirinya, membuatnya terpaku, mengehntikan seluruh gerak tubuhnya, bahkan nafasnya untuk sejenak.
"Kuterima Sena seharga satu pukulan darimu," Hiruma mengakhiri dengan kejam.
Shin Seijuurou.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia kalah dengan sangat telak.
*
Shin membuka pintu rumahnya yang dulu ia tempati bersama keluarganya dengan putus asa. Sia-sia sudah seluruh pertengkarannya dengan orangtuanya di Amerika sana tentang keinginannya untuk kembali ke Jepang sendirian, seluruh usahanya untuk bisa menempati rumah ini lagi, seluruh usahanya untuk menemui Sena lagi dan meminta maaf padanya.
Refleks ia memukulkan tangannya ke kusen pintu rumahnya, mencoba menyalurkan seluruh kemarahan yang tak sempat dikeluarkannya pada target yang tepat. Sebenarnya jika tadi Sena tidak mencegah, ia sudah berniat akan membuat pirang brengsek itu masuk rumah sekit setahun penuh
Didengarnya bunyi pelan derak kayu yang dihantamnya, juga aliran ringan darah yang mengalir dari buku-buku jarinya.
Sial, pikirnya.
Ia memang tidak terlalu mengenal Hiruma sebagai pribadi, namun dari strategi-strateginya di lapangan, juga tipe permainan deimon yang dikomandoi olehnya, Shin sudah bisa menebak seperti apakah Hiruma itu. Egois. Tidak mau mengalah. Sukar ditebak. Akan memanfaatkan segala sumber daya untuk mengalahkan lawan.
Ia sejuta kali jauh lebih suka menghadapi Deimon dengan sepuluh Hiruma di dalamnya daripada menghadapi satu Hiruma dalam masalah cinta.
Shin benar-benar sudah kalah kali ini. Tak akan ada strategi apapun, baik secara fisik maupun halus yang bisa mengembalikan Sena padanya. Tidak ada.
Ditinggalkannya ambang pintu dan dihempaskannya tubuhnya ke sofa. Ia ingin pasrah pada kenyataan, namun tidak bisa begitu saja. Sena sudah menjual cinta dan tubuhnya demi satu pertemuan terakhirnya dengan Shin, dan Shin bukannya tidak ingin menghargai hal itu. Hanya saja, hanya saja ia benar-benar menyesal telah pergi tanpa memberitahukan apapun pada Sena. Dan sudah pasti, ia masih menginginkan Sena untuk dirinya sendiri. Tapi ah, quarterback sialan itu....
Shin sedang memijit-mijit pelipisnya ketika terdengar sebuah suara yang mengagetkannya dari arah ambang pintu tempatnya melampiaskan kekesalan tadi.
TOK TOK TOK
"Ah, ya, tunggu sebentar!" seru Shin, ia buru-buru berdiri, mengusap mata, merapikan rambutnya, dan beranjak ke arah pintu. Dan ketika ia membuka pintu, ia mendapati seorang pemuda kecil yang tidak diduganya sama sekali, berdiri dengan sedikit salah tingkah.
"Riku... san?" tanya Shin ragu.
"Ngg... kudengar Shin-san sudah kembali ke rumah, dan ini, ibuku membuat sepiring penuh pie, jadi... aku memutuskan untuk memberikannya sedikit pada Shin-san..." ujar pemuda berkulit tan berambut putih itu seraya mengulurkan sekantong plastik penuh berisi pie kecil berlapis selai buah yang masih hangat padanya. Shin menerima bungkusan itu dengan rasa sedikit tidak percaya. Ditatapnya bergantian, plastik pie dan Riku, plastik pie dan Riku.
"Kau... tidak mempersilakanku masuk?" tanya Riku malu-malu sambil menunjuk bagian dalam apartemen Shin. Beberapa waktu lalu Riku sering sekali datang ke sana untuk bersama-sama melatih Trident Tackle di luar jam latihan resmi.
Shin memaksa dirinya sendiri untuk tersenyum tipis.
Well, mungkin meninggalkan Sena di pelukan Hiruma hanya tinggal masalah waktu.
OWARI
(a/n : asthojim, lebaykah? Si-sinetron banget ya? 0_0a ENIWEI!! Jangan meninggalkan tempat duduk anda dulu! Buat yang ga puas dengan ending ini n pingin Sena berakhir dengan kembali pada Shin, saya menyediakan alternate ending! Silakan tulis aja di review/PM, nanti saya kasih, eh kalo alternate ending boleh dimasukin juga sebagai chapter 4 ga? Ciaossu!)
Review please?
/
\
/
\
/
\
V
