A/N: Akhirnya selesai juga chapter ke-2nya. Maaf banget kalau di chapter yang sebelumnya masalahnya belum kelihatan. Chapter itu memang aku fokuskan di perkenalan karakter dulu (padahal sebenernya nggak nyadar kalau masalahnya belum muncul). Makasih banyak buat para reader yang sudah mau membaca dan makasih yang sebesar-besarnya buat yang udah nge-review.
Yuuichi93
Permasalahannya udah mulai saya munculin di chapter ini. Yuuichi93-san orang Yogya ya? Kapan-kapan boleh ga saya maen ke rumah?^^
Kuroshironimu
Sebelumnya makasih atas pujiannya, mulai sekarang saya akan lebih memperhatikan space breaknya. Tenang aja, saya nggak nganggep review kuroshironimu-san sebagai flame kok^^
Saya terharu, ternyata fanfic saya ada yang mau baca *hiks* *hiks*. Cukup deh basa-basinya, sekarang kita mulai aja chapter ke-2. Selamat membaca!
17 Agustus 1945
"Ayo kak, ayo cepat! Nanti kita terlambat," ucap Sekar sambil menarik tanganku.
"Iya, iya, sabar," jawabku. Hari ini tanggal 17 Agustus tahun 1945, hari yang sudah lama aku tunggu-tunggu.
"Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta Saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita."
Dari kejauhan aku sudah bisa mendengar bosku mulai membacakan pidatonya. Sepertinya aku dan Sekar memang sedikit terlambat. Rupanya di sana sudah penuh dengan orang-orang lain yang juga ingin menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Untungnya kami datang tepat saat dibacakannya bagian yang terpenting.
"Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad. Dengarkanlah proklamasi kami! Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan denn cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."
Begitu proklamasi itu selesai dibacakan, terdengar semua orang yang ada di sana bersorak sorai dan bertepuk tangan. Sekar pun terus bertepuk tangan sambil melompat-lompat kecil ditempatnya berdiri.
7 Oktober 2010
"Aku ingat hari dimana aku mendapatkan kemerdekaanku, hari itu Sekar senang sekali," ucapku pada Vanessa. "Ya, aku juga ingat, setelah itu Sekar juga datang padaku dan dia terus bercerita betapa senangnya dia," tambah Vanessa sambil tersenyum. Mungkin ia sedang mengingat tingkah Sekar waktu itu. Sekar memang sangat akrab dengan Vanessa. Sebelum kejadian itu, Sekar sering bermain bersama Vanessa serta saudara-saudaraku yang lain.
"Tapi sayangnya semua kesenangan itu harus terganggu,"aku kembali menerawang ke langit langit ruang kerjaku, mengingat kejadian yang tak akan pernah aku lupakan itu.
5 September 1945
"Kenapa susah sekali sih meyakinkan negara-negara itu untuk mengakui kemerdekaanku," gerutuku sambil masuk ke dalam kamarku. Tiba-tiba mataku tertuju pada sbuah benda asing yang ada dimeja kerjaku. "Surat apa itu? Perasaan tadi waktu aku pergi belum ada," aku mengambil surat yang ada di atas meja kerjaku itu. Kubuka surat itu dan membaca isinya.
"Kami, HAMENGKUBUWONO IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, menyatakan:
1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa perhubungan antara negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifa langsung dan kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
4. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta hadiningrat mengindahka amanat kami ini. Ngayogyakarta hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1876 ( 5 September 1945) HAMENGKUBUWONO IX."
"Tunggu dulu," aku membaca ulang surat itu sambil mencoba mencerna tulisan yang barusan kubaca. "INI KAN PERNYATAAN BAHWA YOGYAKARTA AKAN BERGABUNG DENGAN INDONESIA!" teriakku begitu menyadari apa maksud dari surat ini. "Kalau Yogyakarta bergabung denganku, berarti dia sudah bukan negara lagi. Kalau dia bukan negara lagi, berarti Sekar akan le...le...le...."
"Lenyap maksud kak Surya?" ucap sebuah suara dari belakangku.
"Aaaaah," aku terlonjak ke belakang karena kaget. "Sekar! Kamu jangan suka muncul tiba-tiba gitu dong!" ucapku pada Sekar yang dengan sukses berhasil mengagetkanku.
"Hehehe, maaf deh kak. Habisnya muka kak Surya kalau kaget lucu deh," ucap Sekar sambil tertawa kecil. "Kamu ini, jangan-jangan surat ini cuma bohongan ya?" tanyaku. "Nggak, surat itu beneran kok," Sekar menjawab pertanyaanku sambil sedikit tertunduk lesu. "Kalau surat ini beneran kok kamu malah santai banget? Gimana kalau kamu bener-bener lenyap?" tanyaku sambil sedikit berteriak.
"Emmm....." Sekar berpikir sebentar. "Aku juga nggak tau kenapa, tapi aku seneng kok bisa jadi bagian dari Indonesia. Berarti kan sekarang aku udah jadi satu sama kakak," jawab Sekar sambil memasang senyum manisnya itu. Aku tidak mengerti kenapa dia masih bisa memasang senyumnya itu, padahal Ia tahu bahwa waktunya tidak lama lagi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Bosku pasti akan menyambut baik keputusan Sultan ini. Dan seharusnya aku juga senang kan kalau Yogyakarta bergabung dengan Indonesia? Tapi aku tidak mau kehilangan Sekar. Aku sudah berjanji pad kakek Kediri untuk selalu menjaga Sekar. Memikirkan semua itu, entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes.
"Kak Surya, kenapa kak Surya nangis?" Sekar mendekatkan tangannya kewajahku. Aku pun langsung memalingkan mukaku, malu karena ketahuan menangis.
"Kak, kak Surya kenapa? Jangan-jangan aku salah ngomong ya?" tanya Sekar lagi.
Aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu kenapa air mataku menetes. Tapi melihat senyum Sekar membuatku sadar bahwa dalam waktu dekat ini aku akan kehilangan senyum itu. Tanpa pikir panjang aku pun memeluk tubuh kecil Sekar. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktu yang bisa kuhabiskan bersama Sekar. Paling tidak sampai waktu itu tiba, aku akan selalu berada disamping Sekar.
"Nggak, kakak nggak apa-apa kok," ucapku sambil melepaskan pelukanku dan menghapus air mataku. "Baguslah kalau nggak apa-apa, soalnya aku nggak suka ngeliat kak Surya sedih," jawab Sekar.
Awalnya aku juga berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata tebakanku keliru. Seiring berjalannya waktu, kesehatan Sekar juga semakin menurun. Setelah bos Sekar alias Sultan memutuskan untuk menggabungkan Yogyakarta dengan Indonesia, kondisi Sekar semakin memburuk. Ia sudah kehilangan kemampuannya sebagai seorang negara.
TBC
A/N: Gimana? Gimana? Gimana? Udah kelihatan belum nih masalahnya? Jangan lupa R&R ya! Nanti saya kasih payung cantik deh. Tapi diambil sendiri di rumah saya ya!
Nini: Wah, boleh juga nih dapet payung cantik. Nanti aku review deh.
Rain: Siapa yang ngomong sama kamu? Orang aku ngomong sama reader kok. Lagian, memangnya kamu tau rumahku dimana?
Nini: Tau, kan aku pernah maen kesana. Rumahmu di jalan ha....*di bekep *
Rain: Awas kalo kamu nyebarin alamat rumahku! Kamu mau rumahku kebanjiran reader yang pada nagihin payung cantik, hah?
Nini: Terserah, kan rumahmu bukan rumahku.
Rain: Udahlah reader, nggak usah pedulikan orang nggak jelas ini *ngomong sama reader dan nyuekin Nini*. Pokoknya tetep ditunggu reviewnya ya! Fanfic ini masih tetap menerima segala macam review. Arigatou gozaimasu^^
