A/N: Sekali lagi makasih buat para reader dan reviewer. Saya tahu, fafic saya masih banyak kekurangannya(tumben saya nyadar). Karena itu saya mohon kritik dan sarannya^^
Yuuichi93
Makasih banget, yuuichi-san udah mau nge-review fanfic saya lagi. Review anda sangat berarti bagi saya. Sekar masih ada nggak di 2010? Silhkan ikuti terus fanfic ini. Whehehehehe^^
P.S Saya tinggal di mana? Nanti saya PM deh^^
Selamat membaca!
25 Oktober 1945
"Sekar! Sekar! Kemana sih dia, kok nggak ada di kamarnya," aku memanggil-manggil Sekar sambil mencarinya ke seluruh penjuru rumah.
"Cublak cublak suweng, suwenge tenggelenter, mambu ketundung gudhel, pak empho lera lere, sapa ngguyu ndelekake...." sayup-sayup aku mendengar suara seseorang menyenandungkan lagu 'Cublak Cublak Suweng' dari arah halaman belakang. "Ah, itu pasti suara Sekar," pikiru dalam hati. Aku pun langsung menuju ke halaman belakang. Ternyata dugaanku benar, Sekar sedang duduk di teras belakang rumah.
"Sekar, sedang apa kamu disini? Kamu kan masih sakit, sebaiknya kamu istirahat saja di kamar."
"Eh, kak Surya, bikin kaget aja. Nggak apa apa kok kak, hari ini aku ngerasa udah baikan. Lagian aku kan bosen kalo suruh di kamar terus."
Sebenarnya aku tahu kalau Sekar pasti bosan terus terusan di kamar. Dia pasti ingin bermain dengan bebas seperti dulu lagi. Tapi kondisinya yang sekarang pasti membuatnya tidak mungin untuk melakukan semua hal itu.
"Tok...tok...tok..." aku mendengar suara pintu depan diketuk.
"Sekar, sepertinya ada tamu, aku mau buka pintu dulu. Kamu boleh duduk-duduk dulu di sini, tapi jangan lama lama ya. Aku takut, nanti kamu sakit lagi."
"Iya kak, bentar lagi aku masuk kok."
"Ya sudah, kalau begitu aku ke depan dulu," ucapku pada Sekar yang hanya menggangguk pelan.
"Tok...tok...tok..." aku mendengar pintu depan di ketuk lagi.
"Iya,iya, tunggu sebentar" aku pun mempercepat langkahku dan bergegas membuka pintu depan.
"Ya, mau cari siapa ya?" ujarku sembari membuka pintu.
"Morning Surya" sapa seorang pemuda yang sudah tidak asing lagi di mataku.
"Inggris?" Jujur saja aku sedikit terkejut. Aku tidak mengira bahwa Inggris akan datang lagi secepat ini.
"Kau ini, bukankah kita sudah lama saling mengenal? Kenapa kau masih memanggilku Inggris? Panggil saja Arthur," ucap pemuda itu sambil sedikit tertawa.
Arthur Kirkland, ya, nama pemuda ini memang Arthur. Tapi bukankah ia tahu, bahwa hanya negara-negara yang benar-benar aku percaya yang ku panggil dengan 'human name' mereka. Apakah itu berarti, dia ingin supaya aku percaya padanya? Kenapa? Kenapa dia ingin aku percaya padanya? Apakah dia benar benar ingin bereman denganku? Bukankah baru sekitar sebulan yang lalu orang-orangku mengusirnya dari tanahku. Saat itu dia datang sebagai wakil sekutu dan aku menyambutnya dengan tangan terbuka. Tapi, ternyata dia tidak datang sendirian. Kedatangannya bersama Belanda lah yang menyebabkan aku mengusirnya.
"Ada keperluan apa kamu datang kemari?" aku tersenyum dengan ramah padanya. Kupikir tidak sopan jika menyambut tamu dengan ketus, walaupun dalam hati aku tetap merasa khawatir.
"Sebenarnya, aku mau mengadakan sedikit perjanjian denganmu."
"Perjanjian?"
"Iya, perjanjian. Aku mendapat tugas dari bosku untuk menyelesaikan beberapa hal di sini. Karena itu, aku butuh izin darimu."
"Baiklah kalau begitu, silahkan masuk dulu!" ajakku.
Setelah pembicaraan yang cukup panjang, kami pun membuat kesepakatan. Aku mengizinkannya untuk membebaskan tawanan Sekutu yang ada di Surabaya. Tapi dengan syarat, bahwa dia tidak akan mengajak Belanda dan hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
27 Oktober 1945
"Gawat Surya! Gawat!" ucap bosku dengan penuh kepanikan begitu aku sampai dirumahnya. Pagi tadi saat aku sedang menemani Sekar, tiba-tiba bosku memanggilku untuk segera datang ke rumahnya.
"Gawat? Sebenarnya ada apa ini pak?" tanyaku penasaran.
"Sekutu, pasukan sekutu!"
'DEG' jantungku mulai berdegug cepat saat bosku menyebutkan kata sekutu. Apa yang terjadi? Apakah aku sudah melakukan kesalahan lagi?
"Mereka menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan tawanan Belanda," lanjut bosku
Sekarang aku benar-benar terkejut. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kukatakan. Lidahku terasa kelu.
"Mereka juga menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Bank Internatio, dan objek vital lainnya." Tambah bosku.
Apa-apaan semua ini? Lagi-lagi dengan mudahnya aku percaya pada Inggris. Aku memberinya izin untuk membebaskan orang-orangnya yang merupakan tawananku. Padahal aku tahu sendiri, bahwa Inggris sudah berkali-kali mengatakan janji-janji manisnya yang akhirnya berakhir dengan kebohongan lagi. Belum genap sebulan aku termakan tipuannya. Sekarang, dia sudah mengingkari janjinya lagi.
21 Juli 1947
"Kak Surya, boleh aku masuk?" tanya Sekar sambil membuka sedikit pintu ruang kerjaku.
"Tentu saja boleh, kenapa kau harus bertanya?"
"Soalnya, kak Surya kelihatannya lagi serius banget. Aku takut malah menggangu," Sekar pun membuka pintu kamarku dan masuk sambil membawa segelas teh. "Ini kak, aku membuatkan segelas teh anget untuk kakak."
"Sekar, kamu itu bukannya istirahat kok malah bikin teh buat kakak?"
"Nggak papa kok kak, kalau cuma bikin teh kan nggak akan bikin aku capek."
"Kamu ini, ngeles terus kalo di kasih tahu," ucapku sambil mengacak acak rambut Sekar.
"Ah, kak Surya, hobi banget sih berantakin rambutku," Sekar pun berusaha merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulahku. "Kak, sebenernya ada masalah apa lagi?" tanya Sekar tiba-tiba. Sepertinya aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Sekar. Sebaik apapun aku menutupinya, dia pasti langsung sadar bahwa ada yang tidak beres.
"Ternyata kamu memang selalu peka." Aku mengambil sebuah surat yang terletak di laci meja kerjaku. "Sebenarnya, sekitar 2 bulan yang lalu 'orang itu' mengirimkan surat ini padaku." Aku menyerahkan sebuah surat pada Sekar. Sekar langsung mengambil surat yang kusodorkan. Dia pasti sudah tahu siapa yang aku maksud dengan 'orang itu'. Ya, 'orang itu' adalah Adriaan van Stachhouwer. Dia adalah negara yang sudah menjajahku selama 3,5 abad, Belanda. Aku tidak pernah suka namanya disebut-sebut di rumahku ini.
Sekar membaca surat yang dikirim oleh Belanda itu. Kira kira bunyinya seperti ini.
Untuk Soerja Djuanda
Sampai kapan kau mau bermain kucing-kucingan denganku? Kau tahu sendiri kan, jika gerilya yang sudah dilakukan pemuda-pemudamu itu tidak terlalu berpengaruh besar bagiku. Kenapa kau tidak menyerah saja dan berkerja sama lagi denganku seperti dulu? Sekarang ini pemerintahanmu hanyalah pemerintahan peralihan. Biar bagaimana pun kau tetap masih berada di bawah kekuasaanku. Aku tidak akan pernah mengizinkanmu mengadakan hubungan diplomatik sendiri. Apapun yang terjadi, kau harus mengizinkan orang-orangku masuk ke wilayahmu.
Segera kirimkan jawabanmu atas surat ini.
Adriaan van Stachouwer
"Aku sudah mengirimkan jawaban atas surat itu. Tapi apa? Dia justru menolak jawabanku. Dia bilang, dia sudah tidak terikat lagi dengan Persetujuan Linggajati." Aku mengeluarkan semua unek-unekku. Aku sudah semakin kesal dengan perbuatan orang itu. Kenapa orang itu tidak bisa membiarkanku hidup tenang? Apakah menjajahku selama 3,5 abad itu belum cukup baginya?
Sekar hanya terdiam mendengar pernyataanku. Tapi dari raut wajahnya, aku bisa melihat bahwa ia juga sependapat denganku.
"Lalu, apa yang akan kak Surya lakukan?" akhirnya Sekar angkat bicara.
"Sampai sekarang, aku hanya memperkuat TNI dan memerintahkan seluruh masyarakat untuk berjaga-jaga. Aku takut, kalau surat ini merupakan peringatan bahwa 'orang itu' akan melakukan agresi." Mendengar jawabanku, Sekar hanya mengangguk pelan.
'BRAAAK'
Tiba-tiba pintu ruang kerjaku dibuka dengan paksa, diikuti masuknya 3 orang pemuda yang memakai setelan baju khaki.
"Ada apa ini, kenapa kalian tiba-tiba menerobos ke dalam rumahku seperti ini?" tanyaku penasaran. Dilihat dari cara pemuda-pemuda ini masuk dan nafas mereka yang tersegal-sengal, pasti ada yang tidak beres di luar sana.
"Gawat Surya, Gawat!" ucap salah satu dari pemuda itu. "Belanda benar-benar melakukan Agresi. Sekarang Belanda sudah berhasil menguasai Jakarta dan kota-kota penting lainnya yang ada di Jawa Barat. Sedangkan di Jawa Tengah sendiri, pasukan Belanda mulai melancarkan serangan ke Semarang dan sekitarnya."
"Sial, aku tidak menyangka 'orang itu' akan melakukan agresi secepat ini. Kalau begitu, ayo cepat kita menuju ke sana." Aku langsung mengambil sebuah bambu runcing yang terletak di ruangan itu. "Sekar, aku pergi dulu. Sebisa mungkin kau jangan keluar rumah. Keadaan di luar sekarang sedang berbahaya." Tanpa menunggu jawaban dari Sekar, aku pun langsung berlari keluar mengikuti 3 orang pemuda tadi.
"Wah, wah, Surya, sepertinya kamu agak sedikit terlambat ya?" ucap sebuah suara yang menyambutku begitu aku sampai di sana. Suara yang sudah tidak asing di telingaku. Suara yang sudah kudengar selama 350 tahun. Suara milik seorang pemuda berambut pirang dan bermata hijau.
"Adriaan...."
