A/N: Akhirnya bisa juga ngapdet cerita ini! Buat yang udah nungguin, maaf ya updatenya lama.
Nini: ….
Rain: Tumben diem aja? Nggak mau ngomentarin nih?
Nini: Nggak ah, kan aku lagi baik.
Rain: Karepmu lah! Buat para reader yang udah mau baca makasih ya! Terus buat yang udah mau review makasih banget ya!
Yuuichi93
Makasih buat sarannya, aku bakalan lebih memperhatiin alurnya. Semoga yang chapter ini nggak kecepetan^^ Ganbarimasu!
Jyasumin-sama
Makasih udah review! Aku baru tahu kalau sound effect itu nggak usah pake tanda kutip *di tendang* Maklum, author baru^^
Desclaimer: Hetalia masih tetep punyanya Hidekaz-sensei. Saya Cuma punya OC dan ceritanya. Oh iya, Surya juga bukan punya saya. Surya itu OC buatan temen saya, Nindi. Makasih ya nin udah di pinjemin OCnya^^
Selamat Membaca!
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
"Wah, wah, Surya, sepertinya kamu agak sedikit terlambat ya?" ucap sebuah suara yang menyambutku begitu aku sampai di sana. Suara yang sudah tidak asing di telingaku. Suara yang sudah kudengar selama 350 tahun. Suara milik seorang pemuda berambut pirang dan bermata hijau.
"Adriaan..."
Di sana, kira-kira beberapa langkah di depanku berdiri pemuda itu. Pemuda yang pernah kupanggil kakak. Pemuda yang pernah merawatku sekaligus merebut kebebasanku, Adriaan van Stachouwer. Dia berdiri terdiam, wajahnya memasang seringai yang paling aku benci. Seakan menyuruhku untuk menghentikan perlawanan dan menyerah saja.
Kesunyian mulai menyelimuti kami. Hanya suara tembakan dari kejauhan yang masih sesekali terdengar. Keadaan di sini sudah porak poranda. Banyak para pejuangku yang terluka parah, dan tidak sedikit pula yang telah gugur. Asap-asap bekas tembakan memenuhi udara, membawa bau mesiu yang memuakkan. Awan di angkasa mulai berarak, menghalangi sang surya menampakkan kemegahannya.
Adriaan mulai melangkah mendekatiku, suara langkah kakinya terasa menggema di sekitar kami.
"Apa maumu?" Aku mengacungkan bambu runcing yang kubawa. Kugenggam erat bambu itu dengan tanganku yang mulai berkeringat. Aku berusaha menutupi rasa takut yang mulai menyerangku.
"Hei, sabar dulu Surya." Adriaan tidak menghiraukan ancaman bambu runcingku. Berlahan, dia memperkecil jarak di antara kami dan terus mendekat. Aku memegang bambu runcingku lebih erat lagi.
Adriaan berhenti tepat di depanku. Bambu runcingku hanya berjarak beberapa centimeter dari mukanya. "Perlawananmu ini sekarang sudah tidak berarti. Buat apa buang-buang tenaga?" Adriaan memegang ujung bambu runcingku dan menurunkannya sedikit, menjauhkan ujung bambu runcing itu dari mukanya. "Kau bisa lihat sendiri kan? Sekarang wilayah ini sudah berada di bawah kekuasaanku. Sekarang hanya tinggal tunggu waktu saja sampai kau menyerah."
"Menyerah? Apa kau bercanda? Aku tidak akan pernah menyerah walau apapun yang kau lakukan. Aku tidak akan membiarkanmu menyiksa orang-orangku lagi. Sudah cukup penderitaanku selama 350 tahun ini." ucapku setengah berteriak.
Ekspresinya mendadak berubah, antara terkejut dan juga kecewa. "Yah, tadinya kupikir kita bisa bicara baik-baik. Tapi ternyata pikiranku salah. Kau masih tetap keras kepala." Aku menutup mataku, kupikir dia akan mengambil senapannya dan menembakku. Kesunyian kembali menyelimuti kami, ya, kesunyian. Aneh, tidak ada suara tembakan. Aku memberanikan diri membuka mataku. Di depanku, Adriaan masih berdiri di sana. Kenapa dia tidak menembakku? Bukankah jika dia menembakku, semua akan lebih mudah baginya? Adriaan membalikkan badannya, pergi meninggalkanku yang masih berdiri terpaku di situ.
"Tunggu! Apa kau mau kabur begitu saja, hah? Urusan kita belum selesai," teriakku padanya. Aku tidak tahu kenapa aku masih memanggilnya, seakan aku berharap bahwa Adriaan yang ada di hadapanku adalah Adriaan yang dulu. Adriaan yang selalu bermain denganku dan Sekar. Adriaan yang mengajariku banyak hal. Adriaan yang menenangkanku dari mimpi buruk ketika aku masih kecil. Adriaan yang selalu tersenyum ramah, sama seperti saat pertama kami bertemu. Adriaan yang selalu kupanggil kakak. Bukan Adriaan yang memanfaatkan hasil kekayaan alamku. Bukan Adriaan yang sering menipuku. Bukan Adriaan yang menyiksa orang-orangku.
"Kabur? Apa kau tidak salah?" pemuda berambut jabrik itu menghentikan langkahnya dan kembali menatapku. "Aku sudah menawarkan kerja sama dan kau menolaknya. Sekarang apa maumu?" Kata-kata ketus keluar dari mulutnya, menyadarkanku bahwa yang sekarang berdiri di depanku bukanlah Adriaan yang dulu.
"Aku mau kau pergi dari tanahku untuk selamanya! Kembalikan wilayahku yang sudah kau rebut!" teriakku. Apakah itu yang benar-benar aku inginkan? Apakah aku menginginkannya pergi meninggalkan aku dan Sekar? Ataukah aku mengharapkan Adriaan yang lama kembali?
"Apakah itu berarti kau mau melawanku? Hahaha, jangan bercanda Surya!" Dia tertawa. Tawa menghina yang menggema di sekitarku. Bukan tawa yang dulu biasa kudengar.
"Kau pikir aku sedang bercanda?"
"Tentu saja kau bercanda. Kau pikir, dengan apa kau akan melawanku? Aku masih memiliki pasukanku yang bersenjata lengkap, sedangkan kau? Lihat sekelilingmu! Pasukanmu sudah banyak yang terluka. Apa kau mau memaksa mereka untuk melawanku?"
Aku hanya tertunduk dalam diam, tak sanggup berkata-kata lagi. Aku tak mau mengakui bahwa semua yang di katakannya memang benar. Sejak awal aku memang sudah kalah dalam hal persenjataan. Sekarang aku benar-benar tidak tahu apa yang sekarang harus kuperbuat.
Seakan tidak menunggu jawaban dariku lagi, Adrian pun pergi meninggalkanku yang masih terdiam.
"Het spitz me," ucap pemuda itu sembari membalikkan badannya dan pergi.
Aku terkejut mendengar kata-katanya sebelum pergi. "Aku pasti salah dengar," pikirku dalam hati. Apakah dia masih Adriaan yang dulu? Karena dalam bahasa Indonesia, het spitz me artinya.... 'maaf'
Aku membiarkan diriku jatuh terduduk, melepaskan bambu runcing yang sembari tadi kugenggam erat. Membiarkannya menggelinding di sebelahku. Pikiranku sekarang benar-benar kacau. Aku masih belum sanggup mencerna semua yang baru saja terjadi. Aku hanya terdiam, menatap bayang Adriaan yang semakin mengecil di kejauhan. Aku memukul tanah di hadapanku. Campuran perasaan kesal dan sedih memenuhi hatiku. Kesal karena aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela orang-orangku. Sedih karena sekarang aku benar-benar kehilangan sosok seorang kakak. Sosok yang selama ini menjadi panutanku.
19 Desember 1948
Siang ini awan memenuhi angkasa, menutupi mentarii yang ingin memancarkan sinarnya. Langit begitu gelap, mempersiapkan hujan yang sebentar lagi akan turun membasahi ibu pertiwi. Di tengah angin yang berhembus kencang, aku berlari sekuat tenaga tanpa menghiraukan nafasku yang sudah mulai habis. Aku tidak sanggup memikirkan hal lain. Yang ada dipikiranku sekarang hanyalah bagaimana caranya supaya aku bisa segera sampai di rumah. Bangunan-bangunan di kanan kiriku bergerak dengan cepat bagaikan sebuah film yang sedang diputar, mengiringi langkahku yang juga semakin cepat. Suara penuh kepanikan dan tangis orang-orang di sepanjang jalan yang kulewati menambah suasana semakin mencekam.
Sebenarnya pagi ini aku dipanggil untuk mengatasi masalah PKI yang baru-baru ini terjadi. Dengan bodohnya aku meninggalkan Sekar tanpa terlalu khawatir soal Adriaan. Aku tertipu dengan janjinya saat Persetujuan Renville. Di tengah situasi yang sedang kacau karena pemberontakan PKI bulan lalu, dia justru mengingkari janjinya. Baru saja aku mendengar berita bahwa Belanda kembali melakukan agresi, dan kali ini tujuannya adalah Yogyakarta.
Dari kejauhan aku mulai bisa melihat bayangan rumahku yang semakin mendekat. Begitu gagang pintu itu berada di tanganku, aku langsung membukanya dengan paksa. Tanpa basa-basi aku membanting pintu rumah dan berlari ke dalam. Tidak mempedulikan sepatu yang masih melekat di kakiku. Tujuan utamaku tentu saja adalah kamar Sekar. Aku harus memastikan bahwa Sekar baik-baik saja.
"Sekar, kamu tidak apa-apa?" tanyaku sembari membuka pintu kamar Sekar dengan terburu-buru. Aku tidak peduli dengan badanku yang sudah sangat lelah dan nafasku yang belum teratur.
Rasa panik dan lelahku seakan menghilang saat aku melihat Sekar sedang duduk di tepi kasurnya. "Kak Surya, aku tidak apa-apa kok. Hanya luka-luka sedikit saja."
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Tadi, begitu aku mendengar kabar bahwa 'orang itu' menyerang Yogyakarta, aku langsung bergegas pulang."
"Memang, tadi Belanda meyerang lagi. Pesawat-pesawat terbang Belanda menghujani jalan, jembatan, dan tempat-tempat lain dengan bom dan roket." Badan Sekar sedikit gemetaran saat dia menceritakan semua itu. Aku tahu kalau Sekar pasti sangat ketakutan, bahkan untuk bercerita. Tapi dia tetap melanjutkan ceritanya. "Tadinya mereka mau juga mau menyerang Keraton. Mereka bahkan sudah memasang lampu sorot yang menunjukkan posisi keraton."
Aku tahu kalau keraton pasti baik-baik saja. Keraton adalah pusat dari Yogyakarta. Sehingga jika terjadi sesuatu pada keraton, Sekar pasti sudah terluka lebih parah dari ini.
"Tapi untungnya ada Nyai," lanjut Sekar. "Sebelum semua itu terjadi, Sultan meminta tolong Nyai untuk melindungi keraton. Sehingga selama serangan berlangsung, keraton ditutupi kabut tebal dan mereka gagal menyerang keraton."
Aku menghela nafas lega. Aku sungguh merasa berterima kasih pada Nyai. Nyai adalah seorang wanita yang sangat cantik yang tinggal di pantai selatan Yogyakarta. Karena itu orang-orang Sekar sering memanggilnya Nyi Roro Kidul. Dia cukup dekat dengan Sekar dan sering membantu Sekar. Walupun terkadang, jika Nyai marah bisa sangat mengerikan.
"Syukurlah kalau begitu. Apakah kau sudah mengucapkan terima kasih?" tanyaku. Sekar pun hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya atas pertanyaanku. Di dalam hati aku bersumpah, aku tidak akan pernah memaafkan apa yang sudah Adriaan perbuat ada Sekar.
Sebulan setelah Adriaan melakukan agresi militer kedua, aku berhasil membenahi pasukanku dan mulai melancarkan serangan balik. Tapi ternyata, Adriaan tidak tinggal diam. Dia memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan antarkota yang didudukinya.
TBC
A/N: Saya tahu fanfic ini masih jauh dari sempurna, karena itu saya butuh review dari senpai-senpai sekalian. Silakan review, mau flame juga boleh^^
Nini:…
Rain: Kok masih diem aja? Nggak seru ah!
Nini:…
Rain: Ni, jangan-jangan kamu lagi kesenengan ya? Gara-gara lolos… *di bekep*
Nini: Diem ga? *ngancem*
Rain: Ngapain diem? Reader juga nggak peduli kok kalau kamu lolos *** ke tingkat provinsi.
Nini: RAIIIIN!
Rain: Ups, maaf kelepasan. *kabur*
Nini: *ngejar*
Rain: Pokoknya review ya! Oh iya, ada tambahan, chapter depan adalah chapter yang terakhir!
