A/N:Yay! Sampe juga di chapter terakhir *teriak-teriak* Sebenernya aku pengen ngapdet chapter ini setelah ujian. Tapi apa daya, aku udah nggak sabar buat ngetik. Makasih, makasih yang sebesar-besarnya buat para reader dan tentunya para reviewer saya yang terhormat.
Yuuichi93
Makasih buat pujiaannya^^
Selamat, tebakan anda benar, chapter terakhir ini berisi Serangan Umum 1 maret! Apakah kamu seorang peramal? *didepak*
NakamaLuna
Emang, waktu itu Belanda nggak mau ngakuin kemerdekaan Indonesia XD Oke deh, sesuai permintaan NakamaLuna, udah saya apdet kan? Whehehehe
Raven
Makasih udah mau baca dan review :3
Saya bingung mau ngomong apa *plak* Pokoknya makasih^^
Luxam
Makasih udah mau baca dan review tiga chapter sekaligus =)
Iya, hampir semua cerita di sini dari kisah nyata kok. Bahkan yang soal nyi roro kidul (guru sejarah saya yang cerita^^). Baguslah kalau fic ini bisa menambah pengetahuan. Whehehehe
Nini03
Akhirnya ngereview juga! Makasih loh reviewnya. Tumben kamu muji? Biasanya Cuma ngehina aku mulu(atau aku yang ngehina kamu terus ya?). Ayo ni, kita main basket tengah malem lagi! Wkakakakaka
Yu'Kaze'Vongola
Salam kenal juga. Rain desu^^
Makasih banget udah di fave. Saya terharu *hiks* *hiks* T_T
Selamat Membaca!
15 Februari 1949
Aku menuju pintu depan rumahku. Baru saja pintu itu mengeluarkan bunyi ketukan berirama yang menandakan seseorang sedang menunggu untuk dipersilakan masuk.
"Sugeng enjang[1] Surya!" sapa seorang pria berusia sekitar 30 tahunan yang sejak tadi menunggu dibukakannya pintu.
"Sultan, sugeng enjang." Aku menjawab salam dari orang yang paling dihormati Sekar ini. Dia adalah bos Sekar, Sultan Hamengkubuwana IX.
"Sekaripun wonten mboten[2]?" tanya Sultan dengan bahasa krama alus, bahasa terhalus dalam bahasa jawa.
"Wo...wonten[3]." Aku sedikit gugup menjawab pertanyaan Sultan. Biar bagaimanapun, bahasa jawaku tidaklah terlalu bagus. Memang, aku mengerti bahwa Sultan menanyakan apakah Sekar ada. Tapi aku tidak yakin apa bahasa jawa yang sopan untuk menjawabnya. Belum sempat aku berpindah dari tempatku berpijak untuk memanggil Sekar, aku mendengar suara tepat di belakangku.
"Sultan? Wonten wigatos menapa panjenengan tindak mriki[4]?" Mau tidak mau kedatangan Sekar melegakanku. "Mangga pinarak rumiyin[5]!" Sekar mempersilakan Sultan untuk duduk. Sepertinya ada sesuatu hal penting yang harus dia bicarakan dengan Sekar. Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan, karena Sekar tidak memperbolehkanku ikut serta dalam pembicaraan itu.
Aku mengintip dari balik tembok, penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku memang tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi melihat Sekar yang sedikit mengerutkan dahinya, mereka pasti sedang membicarakan sesuatu hal yang sangat serius. "Apa yang sebenarnya sedang Sekar rencanakan?" pikirku dalam hati.
1 Maret 1949
Aku masih tetap memejamkan mataku. Walau aku tahu bahwa di luar sana, mentari mulai keluar dari peraduannya. "Kukuruyuuuuk." Suara kokok ayam jago terdengar lagi untuk kesekian kalinya, seakan berusaha untuk membangunkan diriku yang masih berbaring nyaman di atas kasurku. Sayup-sayup, suara kicauan burung masuk melalui sela-sela jendelaku. Berpadu indah dengan suara-suara yang lainnya. "Sreek...sreek...sreek" Suara sapu lidi yang bergesekan dengan tanah ikut terdengar. Diikuti dengan obrolan singkat para ibu yang sedang menuju ke pasar. Sebuah pertanda dimulainya aktivitas dipagi hari.
Alih-alih membangunkanku, suara-suara itu justru membuatku semakin enggan membuka mata. Aku menarik selimutku hingga menutupi tubuhku, menikmati kehangatan di tengah dinginnya pagi. Dulu saat aku masih kecil, aku tidak pernah bisa bangun sendiri di pagi hari. Adriaanlah yang selalu membangunkanku. Dia selalu membuka tirai jendela kamarku, membiarkan sinar matahari yang menyilaukan mengganggu tidurku sambil berkata, "Surya, ini sudah siang cepat bangun!" Kata-katanya lembut tapi tegas. Jika aku masih belum beranjak, Adriaan akan menghampiri kasurku dan mulai menggelitik tubuh kecilku. Membuat tawaku menggema di seluruh ruangan dan menghilangkan rasa kantukku. Jika sudah begitu, mau tidak mau aku pasti segera bangun. Lalu Adriaan akan tersenyum puas karena misinya untuk membangunkanku sudah sukses. Kadang, walaupun aku sudah terbangun, aku tidak beranjak dari kasurku sampai Adriaan membangunkanku.
"Ah, buat apa aku mengingat-ingat masa lalu terus. Bukankah dia yang sudah membuat hidupku dan Sekar menderita?" Aku memukul pelan kepalaku, berusaha menyadarkanku dari lamunan masa laluku. Meskipun enggan, aku mengesampingkan egoku dan memutuskan untuk bangun. Kusingkirkan selimutku dan mulai beranjak pergi, meninggalkan kehangatan dan kenyamanan yang di tawarkan tempat tidurku.
"Hah? Sudah jam 6 rupanya. Tidak biasanya aku bangun sesiang ini." Aku menguap pelan tepat saat aku mendengar suara pintu depan di ketuk.
"Siapa itu? tumben ada tamu sepagi ini." Aku pun bergegas menuju ke pintu depan untuk membukakan pintu.
Di depan rumahku, berdiri seorang pemuda yang merupakan salah satu dari pejuang yang membantuku melawan Adriaan.
"Surya, apa kau sudah tahu?" ucap pemuda itu tanpa basa-basi lagi.
"Tahu? Tahu apa?" tanyaku penasaran. Aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Jadi kau belum tahu?" Aku menggelengkan kepalaku. "Yogyakarta, mereka melakukan perlawanan terhadap Belanda," lanjut pemuda itu.
"Yogyakarta? Melakukan perlawanan terhadap..." Aku tidak menyelesaikan kata-kataku dan langsung berlari ke kamar Sekar.
'BRAK' aku membuka pintu kamar Sekar dengan kasar. Kulihat sekeliling kamar itu berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama. Kamar itu telah kosong. Tanpa kusangka-sangka, hal yang paling kutakutkan terjadi sudah. Jadi inikah yang direncanakan Sekar selama ini?
Aku kembali ke pintu depan. "Tunggu sebentar, aku akan segera mengganti bajuku dan menuju kesana," ucapku pada pemuda yang sedari tadi masih berdiam di depan rumahku itu. Aku pun segera mengganti bajuku dan mengambil benda yang sudah menjadi bagian dari jiwaku. Sebuah bambu runcing yang sudah beratus-ratus tahun kugunakan untuk melawan Adriaan.
Aku segera bergegas menuju ke Kotabaru, sebuah kota yang terletak di Yogyakarta. Pemandangan yang ku lihat sepanjang jalan sungguh menegangkan. Sisa-sisa bekas perlawanan masih terlihat jelas di sana. Beberapa bangunan yang rusak dan para tentara yang terluka menjadi peandangan di sepanjang jalan yang kulewati. Sepertinya Sekar dan orang-orangnya berhasil memukul mundur Adriaan.
Tapi di mana Sekar? Aku terus berlari ke seluruh penjuru kota, mencari di mana kiranya Sekar berada. Aku sedikit bernafas lega ketika dari kejauhan, aku melihat sesosok gadis kecil di tengah medan pertempuran itu. Di sanalah Sekar berdiri, memegang erat sebuah keris miliknya. Keadaan Sekar terlihat parah. Bajunya sedikit terkoyak dan tubuh kecilnya penuh dengan luka-luka.
Tentu saja Sekar tidak sendirian. Adriaan berdiri tepat di depan Sekar, tangannya menyandang sebuah senapan laras panjang miliknya. Kondisi Adriaan juga tidak lebih baik daripada Sekar, bahkan jauh lebih parah. Tubuhnya juga penuh dengan luka-luka. Di pipi kirinya terlihat sebuah goresan luka yang mengeluarkan darah segar. Tapi yang paling parah adalah lengan kanan Adriaan. Tangan kirinya menggenggam erat lengan kanannya. Dari sela-sela jarinya itu, aku melihat darah segar mengalir begitu banyak.
"SEKAR," teriakku sambil berlari ke arah mereka.
"Kak Surya?"
"Surya?"
Sekar dan Adriaan menoleh ke arahku. Mereka terlihat terkejut dengan kehadiranku di sini.
"Adriaan, apa lagi yang sudah kau lakukan pada Sekar?" teriakku pada Adriaan sambil mengacungkan bembu runcingku padanya.
"Apa yang kulakukan? Sebaiknya kau tanya sendiri pada adikmu itu! Apa kau tidak melihat? Sekarang, akulah yang menjadi korban di sini." Teriak Adriaan. Memang, bisa dibilang kondisi Adriaan sangat parah. Darah tidak hanya mengalir dari lengan kananya, tapi juga dari kepala dan kakinya. Selain itu masih banyak luka-luka kecil di sekujur tubuhnya.
"Sudah kak, sudah." Sekar menarik lenganku. "Kak Adriaan sudah cukup terluka parah karena perlawanan orang-orangku."
"Kakak? Kau masih memanggil orang ini dengan sebutan kakak? Apa kau tidak ingat? Orang inilah yang sudah membuat kita menderita selama ratusan tahun." Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sekar. Bisa-bisanya dia masih memanggil orang ini dengan sebutan kakak.
"Tapi kak, kak Adriaan jugalah yang sudah merawat kita sejak kita kecil." Sekar berusaha membela Adriaan. Apakah di mata Sekar, Adriaan yang sekarang ini masih Adriaan yang dulu? Apakah Sekar tidak sadar bahwa kebaikan Adriaan itu hanyalah tipu muslihat belaka?
"Merawat? Kau pikir tindakannya selama ini bisa disebut merawat?"
"Iya kak, aku tahu. Tapi tujuan perlawanku sekarang ini bukan untuk balas dendam dengan kak Adriaan. Aku hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita masih ada. Bahwa Indonesia belum lenyap seperti yang mereka pikir." Aku terdiam mendengar penjelasan dari Sekar. "Sebenarnya aku tidak suka melihat Kak Surya dan Kak Adriaan bermusuhan seperti ini."
"Tapi Sekar, apa kamu tidak menyadari bahwa kebaikannya selama ini hanyalah bohong belaka?" Aku berteriak, berusaha meyakinkan Sekar.
"Bohong? Jadi selama ini kau berpikir bahwa aku membohongimu?" tiba-tiba Adriaan angkat bicara. "Aku tahu Surya, kamu pasti sudah benar-benar membenciku. Tapi aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kalian." Adriaan berjalan mendekatiku dan Sekar. Tangan kirinya sudah tidak lagi memegang lengan kanannya. Membiarkan darah segar itu terus mengalir dari lengannya. "Percayalah, semua itu bukanlah kebohongan belaka. Awalnya aku menolak untuk mengambil hasil kekayaan alammu dan menyiksa orang-orangmu. Tapi aku idak punya kuasa untuk melawan. Alsjeblieft, vergeef me. Ik hou van jullie beiden, zoals mw eigen zus[6]." Saat Adriaan mengucapkan semua itu, aku melihat air mata mengalir di pipinya. Ini pertama kalinya dalam seumur hiduku, aku melihatnya menangis.
'BRUK' tiba-tiba Sekar terjatuh tak sadarkan diri. "Sekar! Sekar! Kamu kenapa?" teriakku sambil duduk di sebelah sekar dan memeluknya. Membiarkan kepala Sekar bersandar padaku.
"Sekar..." ucap Adriaan sambil berusaha menyentuh Sekar.
"Jangan mendekat!" teriakku pada Adriaan. "Kau pikir hanya dengan meminta maaf, semuanya akan selesai begitu saja? Sekarang lihatlah apa yang sudah kau perbuat pada Sekar! Cepat pergi dari sini sekarang juga!" Adriaan hanya terdiam mendengar perkataanku. Raut kesedihan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.
"Kak Surya..." ucap Sekar lirih.
"Sekar? Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan yang bodoh memang. Jelas-jelas aku tahu bahwa Sekar tidak tidak apa-apa.
"Kumohon, jangan usir kak Adriaan."
"Kenapa? Bukankah dia yang menyebabkan semua ini terjadi padamu?"
Tidak menghiraukan kata-kataku, Sekar justru memanggil Adriaan. "Kak Adriaan, kumohon kemari sebentar." Nafas Sekar sudah mulai tidak teratur. Kata-katanya pun terdengar putus-putus.
Adrian segera mendekati kami dan bersimpuh di sebelah Sekar.
"Sepertinya aku sudah mencapai batasku. Waktuku tidak akan lama lagi."
"Sekar, kenapa kau bicara seperti itu? aku tahu kamu pasti akan baik-baik saja," ucapku pada Sekar. Tanpa aku sadari air mataku mulai menetes.
"Kak Surya, kak Adriaan," panggil Sekar. "Aku tidak suka melihat kalian bermusuhan seperti ini." Suara Sekar sedikit bergetar, dan aku melihat tetes-tetes air mata itu mengalir di pipinya. Aku menggenggam erat tangan kecil Sekar, seakan tak mau melepaskannya. Adriaan hanya diam membisu. Tangannya menggenggam tangan kiri Sekar.
"Aku ingin kak Surya dan kak Adriaan seperti dulu lagi, tidak saling membenci seperti sekarang." Tangan Sekar meraih tanganku dan tangan kirinya meraih tangan Adrian. "Kumohon, berbaikanlah." Tangan Sekar menyatukan tanganku dan Adriaan, meletakkan tangan Adriaan di atas tanganku.
"Sekar..." Adriaan berbisik lirih dan menggenggam tanganku. "Tenang saja, mulai sekarang kami tidak akan saling membenci lagi," kata Adriaan pada Sekar.
Mendengar kata-kata Adriaan, senyum merkah di bibir Sekar. Tapi tiba-tiba, Sekar terbatuk-batuk. "Sepertinya kemampuanku sebagai sebuah negara sudah sampai batasnya. Mungkin sebentar lagi aku akan lenyap." Sekar merogoh saku bajunya dan mengambil sebuah pin. Pin persegi panjang dengan dua buah warna, merah dan putih. Pin berbentuk benderaku, bendera Indonesia. "Ini kak," ucap Sekar sambil meyerahkan pin itu padaku. "Mulai sekarang pin ini adalah Yogyakarta. Pakailah pin ini selalu sebagai tanda bahwa aku ada dalam diri kakak."
Aku pun menerima pin itu dan Sekar menggenggam tanganku dan Adriaan. "Kak Surya, kak Adriaan, walaupun aku sudah tidak ada, jangan pernah bermusuhan lagi ya."Itu adalah kata-kata terakhir Sekar. Setelah mengatakan semua itu, tangan Sekar terkulai lemas dan matanya mulai tertutup. "Sekar! Sekar!" teriakku dan Adriaan sambil mengguncang-guncangkan tubuh Sekar. Aku meraih tangannya yang sudah terkulai lemah. Air mataku masih terus mengalir. Sedikit demi sedikit, aku melihat tubuh Sekar mulai lenyap. Tangan Sekar yang kugenggam pun berubah menjadi kehampaan.
"SEKAR!"
7 Oktober 2010(Vanessa POV)
"Sudahlah, Sekar pasti akan sedih jika melihatmu bersedih seperti sekarang ini." Ucapku sambil berdiri dari kursi yang sejak tadi kududuki. "Lagipula, Sekar tidak benar-benar lenyap kan? Dia akan selalu ada dalam dirimu."
"Ah iya, kau benar," Surya berkata pelan sambil menatap sebuah pin merah putih. Pin pemberian dari Sekar.
"Lalu, apakah kau menjalankan wasiat terakhir dari Sekar?" tanyaku
"Ah, itu..." Belum sempat Surya menjawab, aku mendengar suara telepon berbunyi. Sepertinya itu suara handphone Surya, karena sejak tadi handphoneku dalam kondisi mati.
"Halo! Adriaan! Iya, iya, aku tidak lupa kok. Iya, aku segera ke sana." Aku mendengar Surya berbicara sebentar di telepon, sepertinya itu telepon dari Adriaan. Surya menutup telepon dari Adriaan dan berkata padaku, "Kita ngobrol nanti lagi ya, aku sudah janji pada Adriaan untuk membantunya mengadakan acara pasar malam[7] di tempatnya." Aku mengikuti Surya yang beranjak menuju pintu ruang kerjanya.
"Sepertinya pertanyaanku yang terakhir tadi sudah terjawab," aku berkata lirih sambil mengikuti Surya dari belakang.
"Tadi kau bilang apa?" Tanya Surya
"Tidak, bukan apa-apa kok," jawabku sambil tertawa kecil.
FIN
[1] Selamat pagi
[2] Apaakah Sekarnya ada?
[3] A…Ada
[4]Ada keperluan apa anda datang kemari?
[5] Silakan duduk dulu
[6] Kumohon, maafkan aku. Aku benar-benar menyayangi kalian seperti adikku sendiri
[7]Belum lama ini Duta Besar Indonesia di Belanda memang mengadakan pasar malam di Belanda.
A/N: Selesai juga chapter terakhir ini!
Nini: Katanya baru mau ngelanjutin habis ujian.
Rain: Ya mau gimana lagi, aku nggak sabar kalo nunggu selesai ujian.
Nini: Dasar…-_-
Rain: Jangan lupa review ya! Kritik dan saran amat sangat dinanti! Terima kasih^^
