The Way I Love You, chapter 3
Disclaimer : always belong to Kishimoto Sensei ne~
Pair : NaruSasu
Rated : T
Genre : kayaknya lebih condong ke family ya?
Warning : AU. DON'T LIKE, DON'T READ! Shounen Ai, Yaoi, Typo, OOC, berantakan, dll, dkk, dst.
Author Notes : niat bikin two-shot, tapi ternyata masih ada ide lain di kepala saya. Bingung juga membuat Naruto yang begini dewasa, heuheu. Maaf kalau update-nya kelamaan –lagi–. Waktu liburan justru menambah kesibukan saya. Saya bahkan merasa kalau saya tidak akan mendapat liburan yang tenang semester ini, hikss.. Balasan review selalu tersedia di bagian akhir.. Seperti biasa, saya ulang warning di atas, biar ga ada reader yang 'nyasar' : DON'T LIKE DON'T READ! .
Enjoy It!
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
"Aku akan melepaskanmu jika orang tuamu memintanya. Mereka berhak melarang hubungan kita," lanjut Naruto.
"Jadi kau menyerah?" tanya Sasuke dengan nada meremehkan.
"Ya, aku menyerah. Aku tidak mau membuatmu meninggalkan keluargamu dan memilikimu untuk sekedar memenuhi ego-ku."
"Aku tidak percaya. Kupikir kau akan mempertahankan hubungan ini, seperti aku mempertahankannya," dengus Sasuke kecewa.
"Mungkin aku memang harus menekan ego-ku dan melepaskanmu, tapi itu bukan berarti aku bisa membiarkan orang lain menempati posisimu di hidupku. Ini adalah caraku mencintaimu.."
# # #
Sejak sore kemarin sampai siang ini, baik Sasuke maupun Naruto belum saling bicara. Ketika Mikoto menanyakan hal ini, Sasuke hanya mendengus sinis dan meminta Mikoto untuk menanyakannya pada Naruto. Alhasil, siang ini, Mikoto meminta bantuan Naruto untuk menemaninya berbelanja di toko swalayan.
"Kau tahu, Naruto? Sasuke itu penggila tomat sejati. Entah dari siapa kegemarannya itu menurun," ucap Mikoto sembari tertawa pelan.
"Ya, bibi, aku tahu. Dia bahkan pernah menyeretku malam-malam hanya untuk pergi ke toko swalayan dan membeli sekantong tomat," balas Naruto diiringi tawa.
"Dia juga membenci makanan manis. Aku ingat, dulu, Itachi pernah memaksa Sasuke untuk memakan kue tart ketika Sasuke berulang tahun yang ketujuh."
"Lalu apa yang terjadi, bibi?"
Mikoto mengambil satu kotak tissue dan menaruhnya di dalam troli. Dia lalu kembali berjalan, diikuti Naruto.
"Beberapa saat setelah kue itu melewati tenggorokannya, dia langsung berlari ke toilet dan muntah-muntah."
Naruto tertawa lepas ketika membayangkan Sasuke kecil dengan wajah pucat keluar dari dalam toilet hanya karena segigit kue tart. Mikoto memilih beberapa sayur-mayur yang disediakan di rak khusus.
"Apa yang kau sukai dari Sasuke, Naruto?"
"Eh?" mata Naruto melebar karena terkejut, tak menyangka Mikoto akan menanyakan hal itu padanya.
"Apa yang kau sukai dari putra bungsuku yang dingin itu?"
"Aku.." Naruto berfikir sejenak. "Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa aku menyukai lelaki minim ekspresi seperti dia."
Mikoto tertawa geli melihat dan mendengar ekspresi bingung Naruto.
"Jujur saja, bibi, dia itu menyebalkan!" kini Naruto menggembungkan pipinya, membuat tiga goresan yang ada di pipinya nampak jelas.
"Menyebalkan?" Mikoto mengulangi perkataan Naruto.
"Iya! Bibi tahu kan, dia, dengan seenaknya, memanggilku 'Dobe'. Dia juga sering memanggilku 'baka' dan 'usuratonkachi'. Huuh!" sungut Naruto kesal.
"Tapi kau bertahan selama hampir satu tahun dengannya."
"Iya sih~" Naruto menggaruk pipinya dengan jari telunjuk, "aku juga tidak mengerti, kenapa aku tak bisa lepas darinya."
"Dan kau tidak tahu, kenapa kau bisa mencintainya," tambah Mikoto, disambut anggukan mantap Naruto. "Itu artinya, kau benar-benar mencintainya, Naruto."
Naruto menoleh dan mendapati Mikoto tengah tersenyum lembut padanya.
"Kau mencintainya, dan dia pun mencintaimu. Lalu kenapa dengan kalian sekarang? Bukankah kalian tahu perasaan masing-masing?" tanya Mikoto.
"Masalah kali ini tak segampang kelihatannya, bibi," ucap Naruto dengan tatapan meredup. "Aku mencintainya, tapi aku tak berhak memisahkannya dari sumber kebahagian yang dia punya," lirihnya kemudian.
Mikoto menepuk dan mengusap lembut bahu Naruto. Dia bisa merasakan betapa lelaki pirang ini amat berhati-hati dalam mengambil keputusan dan bertindak. Mikoto sendiri yakin kalau sebenarnya Naruto bahkan sama sekali tidak memikirkan perasaan dan keadaannya sendiri.
"Aku yakin, bibi dan paman pasti sudah mengetahui kebenaran tentangku. Dan aku memahami kalau kalian tidak bisa mempercayakan Sasuke padaku," tutur Naruto.
"Aku akan sangat menyayangkan kalau suamiku tidak bisa melihat betapa positifnya dirimu untuk Sasuke."
.
Naruto duduk di beranda rumah dan menikmati malam yang sunyi dan tenang. Dia terlalu menikmati suasana, sehingga tidak menyadari kedatangan Fugaku yang kini berdiri disampingnya dan menyodorkan segelas coklat hangat.
"Kau bisa masuk angin kalau diluar tanpa mantel seperti ini," ujar Fugaku.
"Ah, tidak usah khawatir, paman," ucap Naruto, lalu dia menerima gelas berisikan coklat panas dari tangan Fugaku. Setelah meniupnya beberapa kali, Naruto menyeruputnya perlahan.
"Aku tidak menyangka kalau Sasuke bisa bersikap begitu dingin padamu," ucap Fugaku datar.
"Aku sudah biasa menghadapi sikapnya yang seperti itu. Dan kurasa, paman pun pasti sudah biasa melihatnya begitu."
"Ya. Entah kenapa, dia bisa menjadi sosok yang berbeda jika berdekatan denganmu," Fugaku menatap langit yang cukup gelap malam itu, "dan aku menyukai perubahan yang kau torehkan padanya."
"Maksud paman?" Naruto menautkan alis.
"Sasuke bisa bersikap amat kekanakan bila di dekatmu. Namun disaat yang bersamaan, aku bisa melihat sifat dewasanya. Kau banyak merubahnya, Naruto."
"Mungkin. Aku tidak yakin."
Fugaku menatap lelaki disebelahnya dari sudut matanya. Sampai saat ini dia tak mengerti, kenapa dia membiarkan putra bungsunya berdekatan dan menjalin hubungan dengan Namikaze muda itu. Padahal biasanya, Fugaku akan menjadi sosok ayah yang over-protective bila Sasuke tengah 'didekati' seseorang. Ya, Sasuke tidak pernah 'mendekati' seseorang. Tidak pernah, sebelum bertemu dengan Naruto.
Fugaku membalikkan tubuhnya dan terdiam dengan posisi seperti itu selama beberapa menit. Naruto sendiri masih asyik menikmati suasana sembari ditemani coklat hangatnya.
"Sejujurnya aku merestui kalian, bagaimanapun keadaannya," ucap Fugaku, sukses membuat Naruto menoleh padanya dengan tatapan mata tak percaya. "Kau lebih dewasa dari yang kukira, Naruto."
Naruto masih terpaku mendengar kata-kata Uchiha senior disampingnya. Otaknya butuh waktu ekstra agar bisa meyakinkan hatinya kalau Fugaku baru saja memberikan restu pada hubungannya dan Sasuke.
"Aku mendengar percakapan kalian," ucap Fugaku, membuat jantung Naruto berdegup lebih cepat. "Kupikir kau akan meminta Sasuke untuk memilih antara dirimu dan keluarganya. Tapi ternyata kau malah memaksanya untuk meninggalkanmu dan memilih keluarganya. Itu sudah cukup bagiku untuk mempercayakan putraku padamu, Naruto."
# # #
Sasuke menghela nafas berat. Lusa, dia, Naruto dan Itachi akan kembali ke kota itu, dan esoknya mereka akan langsung menghadapi ujian semester. Dia dan Naruto masih 'perang dingin'. Mereka hanya saling bicara ketika Sasuke menunaikan tugasnya untuk mengajari Naruto. Itu pun tak bisa disebut 'saling bicara' sebenarnya, karena Naruto jarang sekali membalas perkataan Sasuke.
"Hei, otouto. Apa kau melihat Naruto?" tanya Itachi diambang pintu kamar adiknya.
"Tidak."
"Haaahh.. Dia itu kemana dulu sih? Sudah hampir dua jam, dan dia belum juga kembali."
"Memangnya dia pergi?"
"Ya. Aku minta tolong padanya untuk membelikanku beberapa alat tulis, tapi dia belum pulang juga. Jadi khawatir.."
Sasuke mendengus pelan dan segera menyambar jaket dan dompet yang tergeletak diatas tempat tidurnya, kemudian bergegas menuruni tangga.
"Kau mau kemana, Otouto?" tanya Itachi yang dilewatkan begitu saja oleh adiknya.
"Menyusul si Dobe," jawab Sasuke sekenanya.
Itachi sedikit tertawa geli melihat kekhawatiran yang berlebihan dari adiknya yang selalu acuh itu.
"Kau kenapa, un? Tertawa sendiri begitu," tanya Deidara yang berdiri di belakang kekasihnya.
"Tidak ada apa-apa. Hanya senang saja melihat wajah otouto yang ternyata bisa 'berekspresi'. "
"Kau juga dulu tak bisa berekspresi seperti dia, un. Kalau kau tidak bertemu aku, mungkin kau akan tetap begitu, un."
Itachi menaikkan sebelah alisnya dan menatap Deidara yang juga tengah menatapnya. Sepertinya Uchiha muda itu lupa kalau dia pun dulu memiliki masa kesulitan 'berekspresi'.
.
"Terimakasih, silakan berkunjung kembali.." ucap pelayan toko dengan ramah.
Naruto membalasnya dengan senyum dan segera keluar dari toko dengan kantong belanjaan di tangannya. Kaki jenjangnya melangkah dengan santai. Dia ingin menikmati suasana di sekelilingnya yang cukup ramai. Beberapa anak SMA tampak memadati beberapa toko yang ada di jalan itu. Sepanjang jalan ini memang berjejer toko-toko dengan tampilan menarik yang menjual berbagai benda. Mulai dari alat tulis, aksesoris, pakaian, hingga sepatu.
Sedang santai-santainya berjalan, tiba-tiba Naruto ditabrak oleh seorang siswi. Tubuh siswi itu sedikit oleng akibat efek tumbukan yang baru saja dialaminya. Secara refleks, Naruto segera melingkarkan tangannya yang tidak memegang kantong belanjaan ke pinggang siswi itu, menarik tubuh siswi itu merapat ke tubuhnya agar tak terjerembab ke tanah.
Siswi itu mengangkat kepalanya, membuat pandangan mata mereka bertemu. Sesaat siswi itu tampak terkesima dengan iris biru langit yang terpampang di hadapannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto, membuyarkan lamunan singkat siswi itu.
"A– ah ya. Aku baik-baik saja. Maaf," ucapnya sembari melepaskan diri dari 'pelukan' Naruto.
"Syukurlah. Hati-hati ya.."
Naruto tersenyum dan meninggalkan siswi yang masih terpaku karena senyuman lelaki pirang itu. Baru beberapa langkah menjauh, iris birunya menangkap sepasang mata onyx yang menatapnya tajam dari seberang jalan. Dengan langkah ringan Naruto menyebrang jalan dan mendekati si pemilik mata yang masih terpaku di tempatnya.
"Sedang apa kau disini, Teme?" tanya Naruto.
"Hanya kebetulan lewat," jawab Sasuke datar sembari mulai melangkahkan kaki.
"Kukira kau mau menjemputku," goda Naruto.
"Tidak."
Mereka berjalan beriringan. Keduanya tahu kalau jarak Uchiha Mansion cukup jauh dari tempat mereka berada sekarang, tapi tak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk memanggil taxi ataupun menaiki busway.
"Aku sudah bicara dengan Fugaku-san," Naruto memulai pembicaraan.
"Hn."
"Dia merestui hubungan kita," lanjutnya.
"Baguslah kalau begitu," tanggap Sasuke dengan nada yang tetap datar.
Naruto menoleh kearah lawan bicaranya. Dia baru saja memberitahukan kabar gembira, tapi kenapa respon Sasuke hanya seperti itu?
"Kau tidak senang mendengar kabar ini, Sasuke?"
"Bohong kalau aku tidak senang mendengarnya," jawab Sasuke.
"Tapi kau memang terlihat tidak senang."
Sasuke menghentikan langkahnya, diikuti oleh Naruto. Lelaki berambut gelap itu menatap mata lawan bicaranya.
"Jujur, aku senang mendengarnya. Tapi aku mulai meragukan perasaanmu padaku."
"A– apa?" Naruto tak percaya dengan hasil pendengarannya.
"Aku meragukan perasaanmu, Namikaze Naruto."
"Kenapa? Apa maksudmu?"
"Kau sendiri yang membuatku meragukan perasaanmu. Kau memaksaku untuk memilih keluargaku dan mengorbankan hubungan kita. Aku tak yakin kau mencintaiku sebesar aku mencintaimu, Naruto.."
Naruto menatap lurus mata onyx dihadapannya, mencoba mencari kesungguhan dan kebenaran disana, dan dia menemukan itu. Sasuke sungguh-sungguh dengan perkataannya tadi.
Naruto menunduk dan memejamkan matanya sejenak, kemudian menghela nafas berat.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan membuatmu kembali mempercayai perasaanku," ujarnya seraya mengarik tangan Sasuke dengan sedikit kasar.
"Apa yang mau kau lakukan, Dobe?" tanya Sasuke yang memprotes perlakuan kekasihnya.
"Aku akan membuatmu kembali mempercayai perasaanku, Teme."
Naruto menggenggam dan menarik tangan Sasuke tanpa mempedulikan tatapan dan bisik-bisik yang didengarnya dari orang-orang disekelilingnya. Mereka terus berjalan tanpa arah, dan mata Naruto terus mencari sesuatu yang dapat membantunya untuk meyakinkan kembali kekasihnya.
Setelah berjalan cukup jauh dari keramaian, Naruto berjalan medekati jembatan dengan sungai yang mengalir di bawahnya. Dia lalu melepaskan genggaman tangannnya dan menaruh belanjaan yang dibawanya di atas tanah dengan suara 'bruk' kecil.
"Kau mau apa, Dobe?" tanya Sasuke kini berdiri berhadapan dengan Naruto.
"Membuatmu mempercayai perasaanku. Kau hanya tinggal mendengar perkataanku dan menunggu. Mudah bukan?"
Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya apa yang direncanakan lelaki pirang itu? Naruto menutup mata dan menghela nafas panjang, sebelum kembali menampakkan iris langitnya.
"Ayo kita mulai,Sasuke.."
TBC
.
.
Balasan review~
NaruEls: Apa saya masih terlalu lama meng-update? Kalau iya, gomen~ Makasih Karena sudah mengikuti saran saya, semoga note itu bisa memperluas pandangan kita Thanks for review. Yup, all hail S.N, long life N.S !
CCloveRuki: Naru keren? Wah, saya sukses membangun karakter dia di fic ini berarti *ge-er*. Thanks for review ^^
NhiaChayang: Jangan sad ending? Wah, mau teror saya? Bahaya nih, hahaa.. Baca aja lanjutannya,, ^^ Thanks for review..
Uzukaze touru: Eh? Memang bersambungnya harusnya dimana? (O.o)a Jarang terjadi ya? Syukurlah, berarti orang tua jaman sekarang sudah bisa mempercayai pilihan anaknya A– ah, itu.. err.. Maafkan ketidakkonsistenan saya, gomen~ Saya memang merubah itu, gomen.
Masalah itu sudah mulai berangsur membaik kok, senpai. Saya hanya ingin meminta tolong pada para fujodanshi agar tidak menyulut dan tersulut esmoni –emosi maksud saya– ketika menanggapi hal ini. Thanks for review ^^
Micon: Pernah ada di posisi Sasu ya, jadi bisa mengerti bagaimana perasaan dia? Saya juga pernah, heuheu *curcol*.
Ya, saya hanya ingin meminta masing-masing dari kita untuk tidak mempermasalahkan dan membesar-besarkan masalah ini Thanks for review..
Rinyaow love FFN: Sama-sama, Rinyaow-san ^^ Dan terimakasih karena bersedia menunggu update-an fic saya ini.. Saya usahakan agar tidak terlalu lama seperti yang sebelumnya. Makasih juga untuk fave-nya, that's mean a lot for me
Safira Love SasuNaru: Kenapa, eh, kenapa? Hehee.. Happy ending ya? Lihat nanti deh! Thanks for review ^^
: sankyuu, senpai~ Err.. pendalaman karakter ya? Itu masalah yang sering membuat saya malas, soalnya pendalaman karakter saya bergantung pada mood saya ketika menulis fic-nya.. Thanks for review ^^
Vii no Kitsune: Ku– kurang panjang? Kalau kepanjangan, saya takut membuat reader jenuh, dan sebenernya saya memang ga berbakat membuat fic yang panjang.. Thanks for review ^^
Fujoshi Nyasar: Nah lho, sampe demo di depan rumah. Hahahaa.. XD Yosh! All hail S.N, long life N.S ! Thanks for review ^^
