LIGHT IS BACK!

Hadooh... menakutkan sekali di chapter kemarin banyak FLAME... :((

Ga apa-apa deh,, buat pelajaran tersendiri.

Err, Tapi, Maaf ya... Wahai READERS...

Sebenarnya, cerita kemarin kan memang aneh ya? menimbulkan banyak pertanyaan... dan FLAME.

Tapi, Light itu pengennya ngasih tau kenyataannya di chapter ini.

Juga... Chara dari anime lain itu, bukan untuk ngikut disini... Cuma ngikut nama sama wajahnya aja disini...

Biarlah, ini salah saya ga ngasih kunci buat chapter ini...

Oke... silahkan baca lagi ya... maaf telat dan lama... :)


RATE : T

NARUHINA

KENYATAAN DALAM KEHIDUPAN


"Nona Hinata... Nona mau saya siapkan apa?" tanya seorang pria berambut panjang.

"Kak Neji... sudah pernah aku bilang berapa kali kalau aku tak mau dipanggil seperti itu? Panggil aku Hinata saja ya?" sahut seorang wanita berambut panjang indigo bermata lavender. Sang pria terlihat berpikir. Alisnya bertautan. Matanya menatap lurus wanita di depannya itu. Lalu, tak lama kemudian, mata tak berpupil itu menutup disertai helaan nafas empunya.

"Haaah... baiklah Hinata... Kau bisa panggil aku apapun yang kau mau kau bisa minta padaku. Jangan sampai Naruto marah padaku gara-gara aku tak bisa menjagamu dengan baik, Hinata..." ujar Neji. Hinata terkikik mendengar ucapan kakak sepupunya itu. Hinata mengangguk mengiyakan. Neji pun sedikit tersenyum dan dia pamit pergi ke kantor hokage untuk melaksanakan pekerjaan berikutnya. Pekerjaannya menggantikan tugas Naruto sementara. Yaitu, sebagai hokage di Konohagakure.

Neji berjalan menuju kantor hokage sampai di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita berambut cepol dua. Neji sejenak menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang dia kenal sebagai sahabatnya yang bernama Tenten. Dia terlihat berbeda. Pakaiannya tidak seperti biasanya. Merasa diperhatikan, wanita bernama Tenten itu tersipu malu. Tentu saja, siapa yang tidak malu ditatap seperti itu oleh orang yang disukai. Orang yang dicintai.

"A..err... Neji... ada apa?" tanya Tenten salting. Tubuhnya benar-benar tak merespon apa yang tenten inginkan. Sebenarnya Tenten ingin pergi dari tempat itu sesegera mungkin. Namun, tatapan Neji seakan mengikat dan menahannya agar tak pergi dari tempatnya berpijak saat ini.

Neji tetap menatap Tenten lurus dan dingin. Matanya tak berkedip. Tubuhnya tak bergerak. Layaknya patung batu.

"Ne, Neji?" ucap Tenten sambil menggerakan tangannya tepat di depan wajah Neji. Tidak lama, Neji pun tersadar dari diamnya. Lalu, dia menatap Tenten lagi. Tapi, tidak sama dengan tatapan sebelumnya.

"Maaf... aku hanya heran... Kamu tak biasanya memakai pakaian yang mencirikan wanita seperti itu?" ujar Neji. Tenten yang menyadarinya segera menundukan kepala malu.

"Err, aku hanya ingin tampil beda..." jawab Tenten sekenanya.

"Ayo, kita telat..." ujar Neji mengajak Tenten. Dia segera pergi mendahului Tenten. Tenten yang sadar dirinya telah ditinggal Neji langsung menghampiri Neji dan jalan berdampingan dengan Neji dalam diam.

"Neji... kemana saja kamu? Harusnya kamu datang lebih cepat sebagai wakil dari hokage..." ucap seorang wanita berdada besar berambut kuning.

"Ah, maaf Nona Tsunade... Saya tadi mengantar Hinata ke rumahnya dulu... atas perintah Naruto..." jawab Neji seraya membungkukan kepalanya sedikit.

"Hmm... ya sudah... kamu kerjakan saja pekerjaannya. Aku jamin kau bisa mengerjakan hal itu. Kau sepertinya lebih pintar dari Naruto itu!" sahut Tsunade seraya menunjuk tumpukan berkas-berkas di meja dan di sudut ruangan hokage. Neji mengangguk pertanda setuju.

"Bagus... Baiklah Neji, aku ada urusan sebentar. Kamu disini dulu bersama Tenten ya..." sahut Tsunade. Neji mengangguk lagi. Tsunade pun tersenyum puas. Dia segera mengajak Shizune untuk mengikutinya keluar dari kantor hokage dan meninggalkan Neji serta Tenten di ruangan itu. Tak lama kemudian, pintu ruang hokage tertutup pertanda Tsunade telah keluar dari ruangan itu. Neji segera mengubah posisinya yang tadi sedikit menunduk, sekarang kembali tegap dan menghampiri tugas-tugas hokage yang menunggunya.

'Banyak juga tugasnya... Hebat si Naruto itu bisa menyelesaikan tugas-tugas ini dengan sempurna... Hm, sepertinya tidak mungkin... Pasti si bodoh itu meminta bantuan Sakura...'batin Neji sambil melihat-lihat berkas-berkas yang menumpuk dan perlu pertimbangan itu.

Merasa dirinya diacuhkan, akhirnya, Tenten pun menghampiri Neji dan angkat bicara.

"Ne, Neji..." ucap Tenten seraya menyentuh pundak Neji yang kokoh itu. Merasa dirinya dipanggil, Neji pun berbalik.

"Ada apa, Tenten?" tanya Neji dingin. Tenten melepaskan tangannya dari pundak Neji. Tangan itu beralih ke arah mulutnya. Dia segera menggigiti kukunya. Kegugupan melandanya. Entah kenapa selalu begitu setiap kali berhadapan berdua dengan Neji. Hanya berdua dengan Neji.

"Err, a, aku... Emm... Apa yang harus aku lakukan? Ma, maksudku apa yang harus aku kerjakan, Neji?" tanya Tenten gugup. Neji diam. Menatap Tenten lurus. Berusaha mencari tahu maksud Tenten sebenarnya.

"Tenten... Aku juga tak tahu. Dan satu lagi, aku tidak suka melihat kamu memakai baju centil macam itu. Seperti halnya Sakura dan Ino saja... Mereka memang pantas... Tapi, tidak untukmu. Membuat mataku panas saja... Lebih baik, kamu menjauh dariku dan jangan pernah memakai baju macam itu lagi dihadapanku! Kamu bersama Hinata saja..." jelas Neji. Tatapannya dingin dan tajam setajam ucapannya. Wanita mana yang suka dikatakan seperti itu oleh orang yang mereka cintai? Air mata menyeruak dari mata Tenten. Lututnya bergetar. Jantungnya serasa mau berhenti. Tak mau berlama-lama beradu pandang dengan Neji, dia segera pergi keluar meninggalkan Neji yang diam di ruangan Hokage.

'Maafkan aku, Tenten... Bila kamu tidak segera pergi dari hadapanku dengan memakai pakaian itu... Aku tak tahu apakah aku masih bisa hidup atau tidak... Masih bisa mengerjakan tugas ini atau tidak... Jujur saja, kau membuatku panas... entah kenapa kau terlihat... manis... Graaahhh! Membuat konsentrasiku buyar saja...'gumam Neji. Dia segera mendekati berkas-berkas untuk dikerjakan oleh Hokage. Lalu memandanginya satu per satu. 'Yang seperti ini mudah... Tapi, bila bersama Tenten yang man- ah, apa-apaan aku ini? Tenten manis? Yang benar saja! Tapi... Arrghh! Sudahlah... Aku segera kerjakan saja... Dan jangan banyak bicara lagi deh...'batin Neji sambil menatap berkas-berkas dan segera mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan.

Di sisi lain, Tenten berlari sangat cepat ke rumah Hinata. Dia berjalan di atas atap dari satu atap ke atap lainnya. Secepat mungkin ingin segera sampai di rumah Hinata.

Hinata yang sedang asyik merawat taman bunganya di halaman belakang rumahnya pun sedikit terusik dengan adanya ketukan pintu di rumahnya. Dengan segera, Hinata meninggalkan tanamannya dan menuju pintu rumah yang seseorang mengetuknya disana.

"Tenten?" sahut Hinata terkejut melihat Tenten yang wajahnya kusam dipenuhi jejak air mata. Tenten pun segera memeluk Hinata tanpa basa-basi dan terisak di pelukan Hinata. Hinata yang merasa aneh melihat Tenten dan kelakuannya segera membawa Tenten memasuki rumahnya dan mempersilahkan Tenten untuk duduk. Lalu, Hinata melenggang ke dapurnya untuk membawakan air minum untuk Tenten.

"Kamu kenapa?" tanya Hinata cemas. Tenten meminum air yang disuguhkan Hinata. Lalu, menundukan kepalanya setelah menyimpan segelas air ke atas meja di ruang keluarga tersebut.

"Hinata... Adakah yang aneh dengan penampilanku?" tanya Tenten. Hinata mengernyitkan alisnya dan menatap Tenten. Maksudnya, seluruh tubuh Tenten.

"Tidak kok... Malah kamu terlihat lebih manis..." ujar Hinata dengan senyuman lembut terpatri di wajahnya. Tenten tersenyum sendu pada Hinata.

"Hinata... kau tidak bohong? Tidak perlu berbohong padaku, Hinata..." ucap Tenten dengan senyum terpaksa kepada Hinata.

"Sungguh! Aku tidak berbohong..." sahut Hinata lembut. Dia menjawabnya dengan nada yang meyakinkan. Membuat Tenten tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya dari Hinata ke lantai di bawahnya. "Kenapa, Tenten?" tanya Hinata cemas.

Tenten tersenyum kecut. Pandangannya tetap pada lantai di dekat kakinya. "Neji..." ucap Tenten sendu. Hinata makin mempertajam indera pendengarnya. Karena Tenten berbicara sangat pelan.

"Neji bilang... Aku tak pantas memakai pakaian ini... Aku dibentak dan dikatai centil..." lanjut Tenten. Matanya memanas. Membuat air matanya keluar dan menetes semakin banyak. Hinata berinisiatif mengusap punggung Tenten. Berusaha membuatnya tenang. Tenten yang mendapat perlakuan seperti itu segera memeluk Hinata erat dan menangis di pundaknya.

"Aku... Aku sebenarnya tidak bermaksud untuk centil... Aku hanya ingin merubah penampilanku di depan orang yang aku sukai, Hinata! Kau pasti tahu itu... Tapi, aku malah membuat Neji marah dan membenciku..." ujar Tenten pada Hinata. Hinata mengangguk. Ya, dia tahu tentang hal itu, karena, Tenten memang sering cerita padanya. Terutama perihal dia menyukai kakak sepupunya Hinata.

"Tenten... ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang Kak Neji..." ucap Hinata. Tenten melepaskan pelukannya dan memandang Hinata.

"kak Neji sebenarnya menyukai kamu..." lanjut Hinata dengan senyuman hangat menghiasi wajahnya. Wajah Tenten sedikit memerah. Dan matanya menatap Hinata tajam seakan ingin Hinata melanjutkan kata-katanya.

"Dari mana kau tahu?" tanya Tenten. Dia menyeka air matanya.

"Kamu mirip denganku, Tenten... dan Neji sedikit mirip dengan Naruto. Aku lihat dari sikapnya padamu... dan semua yang dia lakukan untukmu. Dia menyukaimu..." jawab Hinata sambil tersenyum. Tenten tersipu malu.

"Ta, tapi..." ucap Tenten terhenti saat jari telunjuk Hinata menyentuh mulutnya.

"Aku yakin itu, Tenten... cobalah kau beri sinyal pada kak Neji... atau kau langsung saja katakan padanya..." ujar Hinata. Tenten membelalakan matanya pada Hinata.

"Ba, BAGAIMANA MUNGKIN AKU BISA?" teriak Tenten. Wajahnya memanas. Ya, bagaimana mungkin dia menyatakan cinta pada orang yang bahkan telah menghinanya. "La, lagipula... Kenapa kamu bisa berkata begitu Hinata? Seperti bukan Hinata saja..." lanjut Tenten heran. Hinata tertawa kecil membuat Tenten semakin heran.

"hihihi... Kamu ingat tidak saat penyerangan Pain?" tanya Hinata. Tenten mengangguk cepat. Lalu, wajah Hinata tiba-tiba memerah.

"kau kenapa?" tanya Tenten. Merasa ada yang aneh dengan sahabatnya ini.

"Sebenarnya, aku y-yang pertama menyatakan cinta pada Naruto..." jawab Hinata pelan. Tenten membulatkan matanya sempurna.

"Yang benar?" tanya Tenten yang di dalam otaknya kini dipenuhi tanda tanya. Hinata menganggukan kepalanya malu. "Lalu?" lanjut Tenten. Sekarang dia sedikit antusias membuat Hinata terkikik geli.

"Hehe... Ya... waktu itu aku menolong Naruto saat Pain akan menyerang Naruto... saat itu dia bertanya mengapa aku menolongnya sampai mengorbankan diri.. aku jawab saja saat itu... 'karena aku... mencintaimu...' hihihi" jawab Hinata malu-malu.

"Tapi kan... Neji itu dingin... gak kaya Naruto yang hangat dan periang itu..." ujar Tenten lesu. Hinata memandang Tenten yang terlihat lesu itu. Lalu, dia menjawab seraya menerawang ke atap rumahnya.

"Tenten... Sebenarnya Naruto bahkan bisa terlihat lebih dingin dan lebih dewasa dari Kak Neji... hanya saja, dia merasa, bila dia melakukan itu, dia tak akan dapat teman... Kau tahu kan masa lalu Naruto?" sahut Hinata. Tenten mendengarkan Hinata dalam diam.

"Dia... dia periang agar semua orang mengenalnya... agar semua mengakuinya. Walau dengan kejahilan apapun itu. Dia cerita padaku, dulu dia suka mengotori patung hokage dengan cat, mengintip orang yang sedang mandi... dan berbuat konyol lainnya... itu agar dia diakui. Agar dia tak hilang dari lingkungan. Dia mengatakan bahwa orang pertama yang mengakuinya adalah Iruka, padahal dulu akulah yang selalu memperhatikannya. Dia selalu berusaha sesulit apapun itu..." Ujar Hinata panjang lebar. "Jika dia mengalami suatu hal buruk menimpa orang yang disayanginya... dia pasti akan sangat dingin... Kau ingat kan pertarungannya dengan Sasuke? Bahkan, dia bisa membuat Sasuke menangis..." lanjut Hinata. Tenten mengangguk. Lalu, dia memeluk Hinata erat dan hangat.

"Terimakasih, Hinata..." ucap Tenten dalam pelukan itu. Hinata mengangguk dan mempererat pelukannya.

"Err, hinata... Aku bukan Naruto yang bisa kau peluk erat seerat ini dan selama ini..." ujar Tenten. Hinata segera melepaskan pelukannya dan menundukan kepalanya.

"Maaf..." ujar Hinata. Tenten terkikik.

"Aku bercanda... kamu rindu Naruto ya?" tanya Tenten. Hinata mengangguk. "Pantas saja..." lanjutnya. Tenten terkikik melihat ekspresi Hinata. Lalu, mereka berdua pun tertawa, bercanda dan bergosip. Lalu, sebagaimana wanita dewasa lainnya, mereka menyiapkan makanan untuk mereka makan. Lalu, mereka makan dan setelah itu, Tenten membantu Hinata untuk merawat taman bunganya Hinata.

"Hah... hinata... apa semuanya sudah selesai?" tanya Tenten. Hinata mengangguk lalu mengajak Tenten duduk di kursi di tamannya. Lama setelah mereka menikmati teh hangat malam itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan dengan kain putih dan rambut panjang berdiri tepat di depan Tenten.

"KYAAAA!" jerit Tenten segera menendang sosok itu. Namun, sosok itu dengan cepat menangkis dan memegang kaki Tenten.

"Tenanglah Tenten!" seru Neji. Tenten yang sadar pun langsung diam. Neji melepaskan kaki Tenten.

"Ada apa kesini?" tanya Tenten wajahnya menunduk. Lalu, keduanya terdiam. Merasa hal ini adalah pribadi, Hinata segera pamit pada keduanya untuk memasuki rumahnya. Neji mengangguk mengiyakan.

"Maaf yang tadi..." ujar Neji dingin. Tenten masih diam.

"Hanya itu?" tanya Tenten ketus. Neji meraih tangan Tenten dan menariknya agar segera berdiri.

"Kau jangan kekanakan begitu! Ayo, Nona Tsunade menyuruh kita agar menghadiri rapat petinggi desa... sebagai wakil Naruto!" seru Neji.

"Tunggu dulu! Aku ingin pamit pada Hinata!" seru Tenten tak kalah ketus. Neji pun melepaskan pegangan tangannya pada tangan Tenten.

"Kau... seperti tak akan pernah bertemu dengan Hinata lagi saja..." ucap Neji. Mereka berdua pun memasuki kediaman Namikaze Uzumaki dan menemukan Hinata sedang duduk sambil merajut disana.

"Hinata.. kami ada tugas pertemuan dengan petinggi desa sebagai wakil Naruto... Kami pergi dulu ya..." ujar Tenten. Hinata menganggukan kepalanya.

"Iya... Sampaikan salamku untuk petinggi yang lain ya..." jawab Hinata dengan senyumannya. Tenten mengangguk dan segera berlalu dengan Neji. Hinata mengantar kepergian mereka berdua dengan senyumnya.

"Hmm.. Sudah malam... Sayang, Ibu sudah lelah... ingin tidur... Kita tidur, ya?" gumam Hinata sambil memandangi kandungannya. Dia pun tersenyum dan berjalan ke arah kamarnya dan Naruto. Sesampainya di kamar mereka, dia melirik sebentar ke arah rak buku di ruang kerja Naruto yang memang terhubung dengan kamar mereka. Hinata menghampiri rak tersebut dan mengambil beberapa buku dari sana. Juga beberapa album foto yang tersimpan di rak tersebut.

Hinata membuka album foto yang ternyata album pernikahannya dengan Naruto. Dia tertawa sendiri melihat foto-foto tersebut. Sambil tetap melihat-lihat foto tersebut, Hinata memegangi perutnya yang buncit karena hamil itu dengan satu tangan.

"Namikaze Uzumaki junior... Kamu harus kuat dan pantang menyerah seperti ayahmu ya... Periang seperti ayahmu dan bisa diandalkan seperti ayahmu..." Hinata tersenyum. Lalu, dia membaca buku yang dia bawa. Ternyata, itu adalah buku seputar perninjaan. Hinata membacakannya untuk janinnya. Dengan senyuman terpatri di wajahnya, dia terus membacakan dan menjelaskan semua hal yang ada dalam buku itu. Tak lama kemudian, dia menutup buku itu, dan kembali membuka album foto yang lain. Albumnya bersama Naruto. Dia menyanyikan sesuatu saat dia telah melihatnya. Matanya menerawang. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Lalu, setelah tidak lama... dia pun memutuskan untuk tidur. Dan kini, dia terlelap di dalam hangatnya selimut ranjangnya.

Keesokan harinya, seperti biasa Hinata bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuknya sendiri. Lalu, merawat tamannya dan merajut baju kecil untuk bayinya kelak. Tiba-tiba, rumahnya diketuk oleh seseorang. Pertanda ada tamu. Hinata pun pergi untuk membukakan pintunya. Dan terlihatlah, Ayah dan adiknya sedang berada di luar. Mereka membawa beberapa macam makanan untuk Hinata.

"Ayah! Hanabi! Ayo, masuk... silahkan..." sahut Hinata senang. Tamunya pun akhirnya masuk ke dalam rumahnya. Hinata mempersiapkan teh hangat untuk mereka berdua.

"terimakasih Hinata... Bagaimana hidupmu?" tanya Hiashi pada Hinata.

"Baik ayah... Ayah sendiri? Dan Hanabi?" tanya Hinata setelah meminum tehnya.

"Aku dan ayah baik, Kak!" jawab Hanabi. Hinata tersenyum.

"Hinata..." ucap Hiashi.

"Iya, Ayah?" sahut Hinata.

"Ayah tadi melihat foto seorang anak di tengah ruangan... siapa dia?" tanya Hiashi seperti menginterogasi. Hinata tercekat. Dia takut ayahnya marah bila tahu itu anak Naruto dengan wanita lain. Tapi, Hinata pun menghela nafas dan memutuskan untuk menceritakannya pada Ayahnya.

Hinata pun bercerita siapa Nami sebenarnya. Anak dari siapa dan seluruh kehidupannya. Awalnya, Hiashi tak terima karena anaknya menikah dengan orang yang pernah menikah. Tapi, akhirnya dia setuju juga setelah tahu Hinata bahkan sangat menyayangi Nami. Dan Naruto tak menyia-nyiakan Hinata.

Tak lama setelah itu, Hyuuga Hiashi dan Hanabi pun pulang karena Hanabi ada misi, dan Hiashi ada keperluan. Hinata mengantar mereka hingga ke halama rumahnya dan setelah mengantar mereka, Hinata kembali pada aktifitas merajutnya.

Tak lama kemudian, lagi-lagi ada yang mengetuk pintunya. Dengan sabar, Hinata pun membuka pintu tersebut. Betapa terkejutnya dia saat melihat ada 7 orang asing yang bertamu ke rumahnya. Dengan takut-takut, dia pun menanyakan apa keperluan mereka.

"A, ada apa? Mau mencari siapa?" tanya hinata sopan. Salah satu dari mereka menyeringai.

"Naruto... apa dia tinggal disini?" tanya pria yang menyeringai itu. Hinata mengangguk.

"Kamu siapanya Naruto?" tanya pria yang lain yang tak kalah menyeramkan.

"A, aku istrinya..." jawab hinata. Selanjutnya, semua pria yang ada disana menyeringai. Hinata bergidik ngeri. Ingin sekali dia menggunakan kekuatan ninjanya. Namun, sedikit bergerak saja, banyak sekali resiko yang akan membahayakan janin pertamanya dengan Naruto. Karena pria-pria mengerikan itu telah menghunuskan senjata tajam ke arah perut Hinata yang terlihat sedikit buncit.

"Hamil ya..." ucap pria yang menghunuskan pisau besar itu. Pelipis Hinata kini dibanjiri oleh keringat dingin. Lalu, dia memusatkan cakranya di perutnya. Membuat tameng pelindung yang sangat kekuatan yang dulu pernah diajarkan neneknya padanya. Ya, tameng pelindung janin khas clan Hyuuga.

Pria-pria itu memasuki rumah Hinata dan Naruto. Dua diantara mereka memegang dan menghunuskan pisau tajam ke Hinata. Hinata hanya bisa diam dan tidak perlu banyak bergerak. Tiba-tiba, kaki dan tangan Hinata diikat oleh salah satu dari yang lainnya. Sialnya, itu adalah tali penghisap cakra milik Naruto. Membuat cakra Hinata benar-benar habis dibuatnya. Untung saja, cakra pelindungnya tak bisa diganggu. Cakra itu tetap utuh melindungi janinnya. Hinata makin lemas. Akhirnya, dia tak berdaya lagi. Setelah itu para penculik tersebut menculik Hinata tanpa membuat ninja Konoha curiga. Mereka mengatakan mereka sedang membawa sayuran yang mereka beli di Konoha, dan penjaga gerbang percaya saja... karena, mereka tak merasakan ada cakra seseorang di dalam karung yang mereka bawa.

Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah gudang tua, mereka tetap mengikat Hinata, dan menutupi mata Hinata. Mereka mengeluarkan hinata dari karung.

"Hmm, jadi yang kalian temukan dari rumah orang berambut kuning duren itu hanya ini?" tanya seseorang dengan suara berat. Yang lainnya mengangguk mengiyakan.

"benar, tuan Roger... Dia istrinya Naruto yang sedang hamil muda..." jawab orang yang ditanya Roger. Roger diam dan memandangi Hinata. Lalu, dia tersenyum.

"Kalian... Bawa Naruto kesini... Kita adakan perjanjian. Kita harus merebut Konoha...hehehe..." seringai Roger. Semua mengangguk dan pergi dari hadapan Roger.

Beberapa jam kemudian, orang yang disuruh Roger kembali dalam keadaan babak belur.

"kalian kenapa?" tanya Roger pada mereka yang babak belur.

"Ada teman Naruto yang sangat kuat! Rambutnya seperti pantat ayam..." ujar salah satu diantara mereka. Namun, Roger tak habis pikir. Dia segera menyuruh yang lebih hebat lagi. Dan mereka juga pulang dengan babak belur dan alas an yang sama. Dihajar oleh pemuda pantat ayam yang tak lain adalah Sasuke.

"Sial! Ini sudah hari ke lima! Aku tak suka pekerjaan yang memakan waktu lama... sekarang... Bawa pasukan dengan amat sangat banyak! Ikuti Naruto dan serang secara terang-terangan!" seru Roger. Semua mengangguk dan berjalan pergi.

'Ya Tuhan... Tolong lindungi Naruto dan janin kami...'batin Hinata dalam hati. Kini, mata Hinata ditutup, tangan dan kaki diikat dengan tali penghisap cakra milik naruto. Dia belum makan selama beberapa hari ini. Membuat fisiknya terlihat menyedihkan.

Beberapa jam kemudian, salah seorang dari beberapa orang yang diperintah Roger datang dengan tergopoh-gopoh. Dia menghampiri Roger dengan nafas yang tersenggal-senggal.

"Ada apa?" tanya roger padanya. Dia terlihat bingung.

"Tuan Roger! Naruto dan kawan-kawannya yang lebih banyak menyerang pelabuhan!" serunya. Mata Roger terbelalak.

"Apa?" serunya.

"Ya, gerbang 1 telah mereka hancurkan!" jawab orang itu. Roger pun berdiri dari duduknya dan menghampiri orang itu.

"Perintahkan beberapa orang menjaga Hinata disini... Nanti kalau sudah dapat komando dariku, kalian bawa Hinata ke dekatku!" seru Roger. Orang itu mengangguk dan Roger pun berlalu.

Hinata mendengar segala yang diucapkan Roger. Dia kembali dan terus berdo'a agar Naruto dan janinnya selamat.

"Hmp... seharusnya kau tak perlu ikut dalam suasana buruk begini..."ujar pria yang mendekati Hinata.

"Tapi, itu salahmu karena menjadi istri Naruto... Menyedihkan!" seru pria itu lagi. Hinata yang tak suka dengan perkataan orang itu pun segera angkat bicara.

"N-Naruto le,lebih heb...batth dari k-kau!" sahut Hinata tersenggal karena cakranya habis. Terdengar pria itu mendengus.

"Hmp, dia akan mati di tangan Roger!" seru orang itu. Hinata tersentak. Dia diam dan menangis. Lalu, berdo'a lagi. 'Ya Tuhan... Biarkan aku saja yang mati...'rintih Hinata dalam hati. Lalu, mereka pun diam. Beberapa orang yang akan menjaga Hinata datang menghampiri. Lalu, tanpa diduga, mereka memasukan Hinata ke dalam karung dan menggotongnya seperti mayat. Hinata tak bisa meronta.

Tak lama kemudian, dia diturunkan dan diberdirikan. Kain karung dibuka dan kini, dia bebas. Tapi, tali di tangan, kaki dan penutup di matanya juga penyumpal yang tiba-tiba disumpalkan seseorang ke dalam mulutnya membuat dia tak mengerti dimana dia sekarang.

"Aku tahu... Kau memiliki istri yang sedang hamil muda... istri yang manis..." ujar Roger. Tiba-tiba, Roger membuka penutup matanya. Hinata mencoba menerima sinar matahari yang menyeruak ke dalam matanya. Lalu, dia melihat bayangan seseorang dari jauh. Orang yang sangat dicintainya.

"Ouh, maaf... silahkan berbicara pada suamimu tercinta itu... manis..." ucap Roger tepat di dekat telinga Hinata. Dia membuang kain kotor yang menyumpal mulut Hinata.

"Na,Naruto..." sahut Hinata disertai isak tangisnya. Matanya menatap Naruto pilu. Naruto menatap mata Hinata dan tubuh Hinata. Hatinya kini tersayat. Naruto menangis dalam diam. Lebih tepatnya, air mata Naruto keluar dengan sendirinya. Membuat Hinata semakin miris saja.

"Wah wah ~~ ada drama gratis nih... hahaha... sang HOKAGE pun sekarang menjadi lemah ya..." ujar Roger. Naruto tetap diam tak bergerak. Dia masih syok dengan apa yang baru saja dia lihat. Lalu, tak lama kemudian, tubuhnya mulai merespon.

"Jangan pernah sakiti Hinata!" seru Naruto dengan suara rendah dan nada mengancam. Mendengarnya, Roger makin tertawa puas. 'Biarlah aku tak bisa negosiasi dengannya… Nanti aku berusaha sendiri saja untuk mendapatkan Konoha'batin Roger.

"Oh ya? Wah... aku tak bisa janji... kekekeke... Hinata ya... bagus. Ayo kita bersenang-senang..." sahut Roger seraya menyentuh wajah Hinata. Hinata mengerang kesakitan. Ternyata Roger mengirimkan rasa sakit yang ada di tubuhnya ke Hinata. Sudah lupa ya? Roger itu salah satu kekuatannya yaitu, bisa menyembuhkan dan mengirimkan rasa sakit. Sedikit mirip jurusnya Hidan, tapi, tidak menggunakan ritual. Roger semakin menyeringai lebar dibuatnya. Apalagi saat Naruto berteriak dan segera melakukan penyerangan pada Roger. Roger segera menghindar dan menikmati pertarungan. Walaupun tubuhnya terluka, tapi, inilah yang Roger inginkan. Mengiginkan pertarungan sebenarnya dengan Naruto.

Hinata ingin sekali terlepas dan berlari ke arah Naruto. Namun, tali penyerap cakra yang mengikatnya membuat dia tak bisa melakukan apapun disaat Naruto sedang susah payah melawan Roger. Hinata terus berdo'a dan hanya itu yang dia bisa saat ini.

Tiba-tiba Roger berada di belakang Hinata dan hendak menusuk perut Hinata dengan pedang.

"HINATA!" seru Naruto. Hinata hanya membelalakan matanya menatap pedang di hadapannya. Keringat dingin menghiasi tubuhnya.

CRASSH! CRAAATTT!

Naruto memegang bilah pedang itu. Hinata membelalakan matanya dan segera berusaha membuka tali cakra yang kini melemah karena tali tersebut sedikit tergores pedang tadi. Setelah tali di tubuhnya terlepas, dia menghampiri Naruto yang batuk darah. Mungkin karena akibat dari racun di pedang itu. Roger yang tadi mencengkramnya, kini melepaskannya karena terkena rasengan Naruto.

"Naruto!" seru Hinata. Dia segera melepaskan cengkeraman Roger dan memeluk Naruto.

"Ouugh..." ucap Naruto terbatuk. Darah mengalir deras dari tangan kanannya.

"Na, Naruto... kau tak apa?" tanya Hinata. Naruto menatap Hinata. Senyum mengembang di wajahnya.

"Hahaha... aku tak apa, Hinata..." ujar Naruto. Tangan kirinya yang bebas dari darah membelai lembut wajah Hinata. Mereka pun berpelukan dalam keadaan berdiri.

"Naruto... jangan melakukan hal seperti tadi lagi..." ujar Hinata terisak. Naruto memejamkan matanya dan mencium ubun-ubun Hinata. Menyesap lembut aromanya. Hinata menikmati sensasi tersebut.

"Ya... maaf sayang... aku tak ingin kehilanganmu dan calon anak kita..." jawab Naruto. Hinata mengeratkan pelukannya. Hinata makin menjerit di pelukan Naruto. "Sst... sudahlah..." ucap Naruto menenangkan. Lalu, tanpa Hinata sadari, Roger telah bangkit kembali. Dia kembali ingin menyerang Naruto. Naruto yang melihatnya segera menghentakan kakinya ke tanah. Seketika, tanah di bawah Roger membelah dan dia masuk ke dalamnya. Lalu, Naruto segera menutup tanah itu. Roger mati. Teriakan memilukan hanya didengar Naruto. Diredam oleh tanah.

Tiba-tiba tanpa disangka, kesakitan yang sangat mendera tubuhnya. Lalu, dia ingat kekuatan Roger tentang mengirimkan rasa sakit. Ah, dia teringat dia pernah disentuh Roger di pipinya dan dia tiba-tiba merasa sakit. Tapi, Hinata kini mati dalam senang. Dia meninggal di pelukan Naruto, orang yang dicintainya. Dan janinnya telah dilindungi oleh tameng cakranya. Dia meninggal dalam senyuman.


Beberapa orang kini mendatangi Naruto di kamar rawatnya. Sahabat Naruto di konoha No Senshi, Konohamaru dan tetua desa juga banyak lagi yang lain. Mereka senang Naruto kembali sadar.

Saat ini, Naruto sedang melihat detik-detik kematian Hinata, disana juga ada keluarga Hyuuga dan semua ikut melihatnya.

Saat di layar menunjukan Hinata sedang membuka albumnya saat berlibur merayakan kehamilan dengan Naruto di pantai. Lalu, hinata menyanyikan sebuah lagu. Naruto ikut bernyanyi bersama Hinata di atas ranjang rumah sakit itu. Seakan menemani Hinata bernyanyi.

Suatu hari
Dikala kita duduk ditepi pantai
Dan memandang ombak dilautan yang kian menepi

Naruto bernyanyi seraya memandang Hinata yang bernyanyi kata-kata sama dengan Naruto seraya membuka album foto mereka yang berlarian di tepi pantai dengan senyum. Hinata menyanyikan bait itu dengan amat pelan. Seakan itu adalah bait yang memang bukan bagiannya bernyanyi.

Burung camar terbang
Bermain diderunya air
Suara alam ini
Hangatkan jiwa kita

Ucap Naruto lagi. Ah… Hinata bernyanyi dengan pelan lagi. Dalam foto itu terlihat Hinata dan Naruto yang tersenyum.

Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta
Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu

Kini Hinata bernyanyi lebih keras. Seakan bait itu adalah bagiannya. Naruto berhenti tak menyanyikan. Seperti menyuruh Hinata untuk bernyanyi sendiri. Dalam album itu terlihat Naruto yang memainkan alat music aneh yang mereka berdua setuju memberinya nama GITAR dengan gelagat seperti sedang merayu Hinata.

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Inginku kenang selalu

Hatiku damai
Jiwaku tentram di samping mu
Hatiku damai
Jiwa ku tentram
Bersamamu

Kini mereka menyanyikan bait lagu ini bersamaan. Hinata tersenyum melihat banyak foto yang dia lihat. Naruto menangis melihatnya. Yang ada dalam ruangan itu tersayat mendengarnya. Mereka tahu, Hokage mereka selalu menciptakan lagu untuk istrinya. Bahkan mereka ciptakan berdua. Itu karena, Naruto pernah belajar membuatnya bersama Killer Bee. Dan Hinata bisa menyaingi Naruto dalam membuat lagu.

"Naruto... maafkan aku yang tak bisa melindungi Hinata..." ujar Neji. Naruto tersenyum. Lalu menggeleng.

"Tak apa... bukan salahmu..." jawab Naruto hangat.

Ya... Mulutnyaberkata lain dengan tubuhnya yang kini bergetar hebat disertai isak tangis. Mulut Naruto meracau tak jelas. Namun, nadanya indah... dan menyayat hati. Mungkin ini adalah lagu lagi...

Hatiku hancur
Mengenang dikau
Berkeping-keping
Jadinya...
Kini air mata
Jatuh bercucuran
Tiada lagi harapan

Tiada seindah
Waktu itu...
Dunia berseri-seri
Malam bagai siang
Seterang hatiku
Penuh harapan
Padamu

Kini hancur berderai
Kepedihan berantai

Kuncup di hatiku
Yang lama kusimpan
Hancur kini
Sebelum berkembang...

Mengapa ini
Harus terjadi
Di tengah
Kebahagiaan
Ingin kurasakan
Lebih lama lagi
Hidup bersama
Denganmu...

Hidup bersama
Denganmu


GIMANA? KECEWA YA... IYA DEH SORRY... EMANG SAYA ITU KAN BUKAN SEORANG AHLI...

NEXT CHAPTER :

Apa yang akan Naruto lakukan selanjutnya?

Apa yang terjadi dengan Konoha selanjutnya?

bagaimana dengan anak Naruto dan Hinata di tabung? Nami? Luffy?

Sebenarnya apa sih yang terjadi dalam mimpi Naruto yang bersambung itu?

TEMUKAN JAWABANNYA DI CHAPTER DEPAN! ;-)