Disclaimer :
The world and characters of Bleach belong to Kubo Tite.
G! Proudly Present : Fear of Love Monster
Starring : Rukia Kuchiki
Guest Star : Ichimaru Gin
Chapter 2.
REASON
Dendam, hanya itu yang ada dalam benak perempuan yang satu ini. Nyatanya halaman yang memuat kata cinta dalam kamusnya telah terbakar bersamaan dengan nyala api dalam gudang waktu itu dan ornamen bernama cinta yang lainnya pun telah hancur tak berbekas. Lebih lagi, rasa sakit telah menjadi penghias permanen dinding hatinya. Ditambah dengan ukiran kebencian yang hampir melubangi jantungnya.
Rukia Kuchiki, ya, dialah yang sedang kita bicarakan. Perempuan itu sedang berdiri di atas hamparan salju putih, meratap ke langit seraya merasakan sentuhan satu butir salju yang baru saja meleleh di pipi kanannya. Dingin salju itu menusuk kulit tipisnya, apalagi saat lelehan itu menyentuh luka baretan yang masih berbekas di antara bibir dan pipinya. Perih, jelas luka itu perih tapi tidak seperih hatinya yang telah tersayat hebat.
Ichimaru Gin, pria itulah pelakunya. Apa yang telah diperbuatnya jelas tidak dapat diterima dengan akal sehat. Bukankah saat itu mereka sedang bercumbu. Rukia masih memikirkannya. Terus berpikir dan tak menemukan satu pun jawaban. Bahkan ia tak tahu alasan apa yang dimiliki pria itu. Meski demikian, apa pun alasannya bukankah terlalu kejam untuk menghilangkan nyawa orang yang menyayanginya?
Rukia sekarang mulai melangkah. Ia tak berlari―meski salju yang turun memaksanya sekali pun.
Bukan apa-apa, kakinya memang belum kuat untuk berlari―meski berlari kecil sekali pun.
Ia berteduh di sebuah toko di dekat sana.
Toko itu gelap. Dengan ornamen tulang belulang yang identik dengan hal mistik dan horor menghiasi lapisan dinding dan pintu gerbang toko itu. Wangi-wangian yang cukup menyengat menyambut Rukia dari dalam.
Rukia pun masuk ke dalamnya. Langkah menjadi sedikit bergetar. Bukan keraguan, tapi memang aura yang menyelimuti ruang utama toko itu sungguh berbeda dengan atmosfer di luar sana.
"Ilham? Kami menjual ilham," Tiba-tiba suara berat seorang pria memecahkan keheningan di ruang itu. Rukia mundur selangkah. Gelap ruangan itu menutupi wajah sang pria dengan perawakan tingginya.
"Nona?" Pria itu mendekat. Ia berhasil memperlihatkan wajahnya. Pria itu berkulit hitam. Dengan ototnya yang kekar dan tampang yang sangar. Rukia dibuatnya takut.
"Hentikan, Sado, kau menakutinya!" Suara itu tampak familiar di telinga Rukia. Kini ekspresi wajahnya berubah lebih tenang.
"Mayuri-sama!"
"Sado, kembalilah ke belakang. Nemu butuh obatnya," Mendengar perintah itu, pria yang dipanggil Sado itu pun segera berbalik badan. Ia mengobrak-abrikkan laci sebentar dan mengambil plastikan berisi beberapa butiran kaplet. Lalu ia pun menghilang dalam kegelapan.
"Dia anak buahku yang baru," Pria tadi mendekati Rukia. Wajahnya yang janggal tak lagi aneh di mata Rukia. Enam bulan sudah wajah hitam-putih―lebih lagi ornamen kepalanya yang mencolok―ia lihat setiap hari.
Ya, perlu diketahui, Mayuri Kurotsuchi, ialah dokter 'gelap' di balik kesembuhan Rukia. Terapi dengan berbagai obat dan racikan―dengan percobaan-percobaannya terlebih dahulu―sukses membuat kaki Rukia yang telah lumpuh total bergerak kembali.
"Dimana orang itu?" tanya Rukia.
"Dia telah kembali. Bukankah dia harus membuka jalan untukmu?" jawabnya. "Kau tak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja. Kami ini menjual ilham, kau tahu itu, kan?" lanjutnya.
"Bagaimana dengan luka-lukaku ini? Aku tak akan mungkin kembali dengan wajah yang sama," Rukia memegangi pipinya, tepat di bagian luka goresan itu.
"Ah, itu. Aku sedang berusaha untuk yang satu ini. Berikan aku waktu untuk menyempurnakan rencana kita," jawab Mayuri diselingi dengan tawanya yang megah. "Sebaiknya kau persiapakan dirimu Rukia. Bukankah kau harus mengambil 'itu' kembali?"
"Aku sudah persiapkan semua. Aku hanya butuh ornamen hitammu untuk menyempurnakan penyamaranku nantinya," jawab Rukia.
"Ambil sesukamu, Rukia! Jujur saja, aku senang membantumu," Kini kekehen Mayuri terdengar menjengkelkan di telinga Rukia.
"Lihat yang akan kuperbuat padanya. Dendam, rasa sakit itu, api itu akan kubalas!" sumpah Rukia di tengah-tengah ruang remang itu.
Sumpah itu terdengar serius. Bukan hanya serius, sumpah itu seakan mengandung kutuk. Dendam kesumat dan kebencian menjadi hal yang otentik Rukia.
Ia melangkah pasti. Mengambil sebuah jubah hitam yang tergantung di dinding sisi kiri. Ia memasangkannya di punggungnya. Warna hitam dengan pernak-pernik bunga berkelopak kecil dengan warna senada menjadi penghias tak indah dalam jubah itu. Rukia bercermin.
Kini Ia tidak seperti Rukia yang dulu. Dirinya seakan menciptakan imej baru. Hitam, gelap dan sebagainya. Rukia yang dulu lebih pada seseorang yang dengan warna putih sebagai imej diri.
Ya, dulu ia bagai putri salju yang manis. Apa lagi ia memiliki 'itu'–kebanggaannya sebagai pemilik salju.
Rukia bercermin. Kali ini lampu telah dinyalakan oleh Mayuri. Sekarang sosok Rukia tampak menawan, di tambah hak tinggi yang baru saja dibawakan Nemu atas perintah Mayuri.
"Kau telah siap, Rukia?"
Rukia menutup matanya, menghayati setiap suara dalam hatinya. Tangannya terkepal kuat. Satu suara berteriak keras dari lubuk hatinya yang terdalam. Ya, dan Rukia pun meneriakan suara itu dengan pelan,
"Aku siap!"
#
Di saat yang bersamaan di kediaman besar Ichimaru.
Ya, miris memang keadaan di sini. Ruangan yang luas dengan dua orang di dalamnya. Sama seperti keadaan yang lalu, sejoli itu saling bercumbu. Ichimaru Gin menikmati manisnya bibir dari pelayannya yang satu ini, Lisa Yadoumaru.
Mereka bergelut layaknya pasangan yang benar-benar haus akan nafsu. Di tengah-tengah ruangan tersebut, TV menyala, Acara berita yang sedang tayang menampilkan 'kabar api' lagi.
Ya, api, kebakaran rumah megah yang memakan korban seisi rumah. Api di tengah-tengah musim dingin.
Gin di sana tetap dengan kegiatannya. Api itu tak mengingatkannya pada seseorang yang harusnya ia tangisi kepergiannya-mereka kekasih, meski dulu.
Ya, benar. Setelah gudang itu hangus Gin tak pernah mengeceknya lagi. Sebenarnya dia tak ceroboh, hanya saja ia tak peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan sampah dan semacamnya. Gin memang brengsek. Wanita yang selama ini mencintainya -Rukia- tetap berakhir dengan status sampah di matanya.
Krek!
Pintu bercat putih dengan tingginya yang melebihi dua meter itu terbuka. Seseorang dibaliknya perlahan masuk dan menunduk sopan.
"Gin-sama," ucap pria itu. Seorang pria dengan kulit pucat dan mata beriris hijau sayu. Ia menggunakan pakaian serba putih. Pakaian itu sangat identik dengan profesi pelayan di kediaman Ichimaru. Toh nyatanya dia memang seorang pelayan.
"Ada apa, hah?" Gin berucap sebentar, lalu kembali pada aktivitasnya.
"Rangiku-sama mencari anda. Ia sekarang sedang..." Ucapan itu tiba-tiba terhenti. Seseorang menepuk pundak pelayan laki-laki itu dari belakang, ya, wanita dengan tangannya yang lembut seakan sedang menekan tombol pause. Semua terhenti, juga dengan aktivitas Gin-Lisa.
"Sepertinya kau kehabisan mainan, Gin. Yang kemarin itu sudah rusak, ya? Kasihan bayiku yang satu ini, butuh mainan baru," Wanita itu sekarang melangkah, menekan tombol off televisi-membuat suasana tenang, hanya langkah haknya saja yang berkumandang-lalu ia mendekat pada 'bayi' yang ia sayang itu.
Plak!
Suara itu terdengar keras, cukup keras untuk membuat seekor burung di luar jendela kaget. Tamparannya memang tidak bisa dibilang lembut sama sekali, nyatanya itu berbekas merah pada pipi kanan pelayan wanita yang sedari tadi 'bermain' di bawah pelukan Gin.
"Kau bisa pergi sekarang," ucap Rangiku pada Lisa. Dan Lisa pun pergi. Ia berlari sambil menangis, itulah imbas yang memang harus diterima siapa pun yang pernah ditiduri Gin sebelumnya- rasa sakit.
Kini, setelah pelayan pria kulit pucat itu pergi, ruangan megah Gin kembali berisi dua orang. Sepasang itu duduk pada kursinya masing-masing, saling berhadapan dan saling mengumbar senyum satu sama lain.
"Kau cantik, Rangiku," puji Gin lagi. Sebelumnya pujian serupa pernah dialamatkan pada perempuan lain, termasuk Lisa dan Rukia.
"Cih! Bisakah kau berhenti mengumbar nafsu seperti itu? Aku geli mendengarnya," Setelah berucap demikian, Rangiku kembali menghisap batang rokoknya. Ia melipat kakinya ke atas kaki yang satunya lagi. Kemudian ia memasang senyum sinis pada Gin. "Bagaimana? Sudah dapat barang itu?"
Gin yang ditanya tak menjawab. Ia hanya bangkit dari kursi empuknya, lalu menghampiri rak berisikan buku dengan sampul warna beragam. Ia mengambil tiga buku dengan urut-deret yang sama, lalu menggeser buku yang lain ke samping. Dan di balik tumpukan buku itu terdapat kotak kayu dengan penutup bening plastik. Ia mengambil benda itu lalu kembali duduk.
"Sode no Shirayuki," ucap Gin. Kali ini, ia buka kotak itu dan memperlihatkan sebilah pedang samurai berukuran sedang. Warnanya putih. Ya, putih secara keseluruhan: mata pedang dan gagangnya―ditambah lagi pita dengan warna senada yang tergerai pada ujung gagangnya.
"Lalu, bagaimana dengan perempuan itu?" tanya Rangiku. Ia mengambil kotak yang telah terbuka itu dan memperhatikan seluk-beluk keindahan sang pedang.
"Rukia? Tak usah kau pikirkan. Dia sudah tak ada lagi. Mati," jawab Gin dengan kekehan kecil setelahnya. Rangiku tiba-tiba terdiam. Tangannya masih memegang kotak itu erat, tapi matanya telah memandang titik lain―Ichimaru Gin―dengan pandangan tajam penuh tanya.
"Ah ya. Sebelumnya aku sudah mencuri tanda tangannya lalu kugunakan untuk mengambil ini di bank," Gin tampak menjelaskan.
"Oke. Baiklah, aku percaya padamu. Aku bawa benda ini, ya?" Kali ini Rangiku tampak bergegas. Ia berdiri dan mengambil penutup plastik kotak itu. Ia menutupnya dan segera berjalan ke arah pintu keluar.
Ichimaru tampak diam berpikir. Belum ada respon pasti darinya. Ia hanya berpikir satu hal. Mengenai sesuatu yang berhubungan dengan untung dan rugi.
"Tunggu!" Akhirnya suara itu pecah juga. Gin menghampiri Rangiku yang sudah berada di muka pintu. Ia menarik wanita itu kembali pada kursinya. Lalu ia ambil kembali kotak 'harta' itu, meletakannya di atas meja kembali.
"Eh, begini. Bolehkah aku menyimpan ini lebih lama lagi?" tanpa segan Gin mengungkapkan hal itu. Ia mulai berkeringat dingin sekarang.
"Ada apa, hah? Kau tak usah gugup, Gin. Kau boleh menyimpannya. Ya, sampai waktu yang telah ditentukan oleh-'nya'. Aku akan pergi sekarang. Dan jika aku kembali, itu berarti waktunya telah habis," Rangiku kembali bangkit dan kembali melangkah keluar.
Ia menyentuh pintu cat putih itu. Lalu, saat setengah badannya tertutup pintu, ia kembali menampakkan kehadirannya ruangan itu. Hanya kepalanya yang melongo dan saat itu salam pertanda sesuatu terucap, "Jaga itu baik-baik! Jangan biarkan monster itu memakanmu, Gin!" Dan sekarang ia benar-benar hilang.
Setelah Gin menjadi satu-satunya yang tersisa di ruangan itu bersama Sode no Shirayuki yang telah terkurung dalam kotak kayunya, Gin belum berhenti mengeluarkan keringat dinginnya. Ia cemas…akan suatu hal yang ia sendiri tak tahu.
Aura dingin dalam Sode no Shirayuki seakan menggambarkan kemarahan Dewi Salju. Satu pertanda itu nampak dari embun yang muncul pada lapisan bawah penutup kotak. Dan amukan salju yang turun membasahi jendela besar ruangan Gin itu seakan ingin melihat fenomena pedang di dalamnya.
Ya, Gin semakin merinding.
Senyumnya musnah.
#
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Mayuri bilang obatnya akan selesai tidak lama lagi. Aku juga sedang memperkuat kakiku dengan eksperimen baru miliknya," jawab Rukia dari ujung telepon.
"Ya, aku sudah mempersiapkan semuanya. Dan, penyamaranmu?"
"Aku datang sebagai sosok yang gelap," jawab Rukia lagi. Suaranya sengaja dibuat pelan, berusaha memberitahu rahasia yang benar-benar rahasia.
"Bagaimana dengan Sode no Shirayuki?" Kali ini Rukia yang bertanya.
"Masih di tangannya. Sebaiknya kau cepat, Rukia,"
"Baiklah …."
Tut-tut-tut
Sesosok manusia di balik gorden hijau dengan bayangan yang terpantul di antara jendela besar lainnya segera memutuskan sambungan telepon-nya. Lalu ia keluar sebagai penyusup yang memang mencintai dunia kejahatan. Ia bergegas melangkah berusaha mempersiapkan jalan bagi Rukia untuk masuk dalam kediaman ini.
Ya, dialah sang penjual ilham.
-TO BE CONTINUED-
A/N: Yo, yo, saya tak ahli bermain tebak-tebakan, jadi jangan di tebak ya~ #lah?
Oke, bagaimana? Masih membingungkan ya? Di chapter ini lebih ke Gin ya? Hahai, sesuai dengan revi yang di chapter 1~ alasan Gin melakukan itu semua,
Jadi? Masih tetap aneh, kah? Ide ini pasaran, kah? Tunggu saja kelanjutannya di chapter 3~ okeoke..
Tunggu, ketinggalan deh, bagian terpenting: Chapter 2 FLM – Reason di Beta oleh AkinaYuki-PettoChan
Baiklah, minna-san, Revi-nya please ^^
Note: Jika benar-benar mengecewakan, maaf~ tapi saya jamin kelanjutannya akan lebih menantang~ Sungguh!~
