Di Sisimu Sampai Akhir

"Tunggu, Haibara!" Shinichi menggenggam tangannya mencegahnya pergi.

Mereka berdua sudah kembali ke tubuh normal setelah Haibara berhasil membuat antidote APTX 4869. Saat ini mereka sedang berada di rumah Profesor Agasa.

"Jangan halangi aku!" Haibara berkata seraya menarik tangannya dari Shinichi.

"Kau bisa terbunuh,"

"Aku tidak peduli, lagipula memang sudah seharusnya aku mati sejak dulu. Jadi, jangan hentikan aku," Haibara berbalik ingin meraih pintu.

"Jangan paksa aku untuk melakukannya. Berhenti disana Haibara!"

Haibara menoleh dan menemukan Shinichi sedang mengancamnya dengan arloji biusnya.

"Kudou-Kun!" Haibara tertegun.

"Maaf Haibara," jari Shinichi bergerak untuk menekan tombol di arlojinya.

"Tidakkah kau mengerti?" gumam Haibara sedih dengan kepala tertunduk.

Shinichi terdiam.

"Aku yang memulai semua ini, maka satu-satunya yang harus menghentikannya adalah aku," suara Haibara agak bergetar ketika mengatakannya.

"Ha-Haibara?"

"Dunia ini tidak butuh aku, tapi lebih memerlukanmu, Shinichi Kudou. Jadi, ada atau tidak adanya aku di dunia ini, tidak akan ada yang berbeda,"

"Siapa bilang? Dunia ini juga membutuhkan ilmuwan hebat seperti dirimu!"

"Hingga kini kenapa kau masih belum mengerti juga?" Haibara menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Apa?" Shinichi tidak mengerti dengan maksud Haibara.

Perlahan Haibara melangkah mendekati Shinichi.

Shinichi bingung.

"Apa yang telah kita lalui sampai saat ini..." Haibara terus mendekatinya, "Perasaanku berkembang tanpa aku mampu menghentikannya. Aku tidak keberatan meskipun kau tidak mengerti. Aku tidak keberatan kau mencintai dia... Tapi Kudou-Kun," Sekarang wajah mereka hanya terpaut beberapa sentimeter.

"H-Haibara..." Shinichi terlihat canggung.

Haibara mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh wajah Shinichi.

"Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya. Selama ini kau telah melindungiku, bahkan kau hampir terbunuh karena diriku... Aku tidak bisa melihatmu menderita... Tidak lagi..."

Tidak tahu kenapa, jantung Shinichi berdebar begitu cepat.

"Karena aku mencintaimu, Kudou-Kun," dan Haibara memberanikan dirinya untuk meraih bibir Shinichi dengan bibirnya.

Shinichi membeku, sesaat tidak tahu apa yang harus dilakukan. Haibara mengecupnya semakin dalam dan kini ia membalasnya, menikmati dan meraih pinggang Haibara untuk lebih dekat ke tubuhnya. Haibara melakukan hal yang sama. Ia mengalungkan lengannya ke leher Shinichi untuk membuat kecupan mereka lebih dalam. Shinichi tidak pernah tahu gairah Haibara bisa membuatnya mabuk. Tangan Haibara bergerak ke lengan Shinichi dan dengan cepat ia menjauhkan dirinya dari Shinichi.

"Apa?" Shinichi kaget dengan pergerakannya, tubuhnya agak terhuyung.

Haibara mengangkat arloji Shinichi di tangannya.

Shinichi bergeming, ia tidak pernah menyangka Haibara mampu melakukan trik itu untuk mendapatkan arloji biusnya.

Syut! Haibara menembakknya biusnya ke leher Shinichi.

Shinichi kehilangan kesadarannya dan tubuhnya terjatuh di sofa.

"Maaf Kudou-Kun," bisik Haibara sebelum berlalu pergi.

Haibara pergi menuju markas Black Organization (BO) seorang diri. Shinichi tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan kesadarannya dan menyusulnya ke markas BO. Di belakangnya terdapat FBI dan kepolisian Jepang datang untuk mengepung markas BO. Subaru yang sebenarnya adalah Aka Shuichi yang menyamar, bertarung dan adu tembak dengan Gin. Shinichi dan Haibara bermain kucing-kucingan dengan Vodka dan Vermouth.

Setelah semua itu, tahu mereka tidak bisa melarikan diri karena sudah terkepung oleh FBI dan kepolisian Jepang. Gin menekan tombol dari remotenya dan terdapat bom meledak di sekeliling markas agar mereka bisa mati bersama. Vermouth menarik Haibara menuju api untuk mati bersama, namun Shinichi meraih tubuhnya disaat yang tepat sementara Vermouth tenggelam dalam lautan api dengan suara tawa anehnya. Vodka menembaki mereka dan Shinichi mendapatkan luka tembak di bahu kirinya demi melindungi Haibara. Tiba-tiba Akai Shuichi berdiri di hadapan mereka untuk menembak balik Vodka. Mereka bertiga lari dan bersembunyi dibalik tumpukan kardus.

Terdengar suara ledakan lagi dari Gin yang menekan tombol.

"Kalian semua tidak akan bisa kabur. Kita akan mati bersama!" Gin berteriak.

"Pergilah! Aku akan menghentikan mereka," Akai berkata pada Shinichi dan Haibara.

"Tapi bagaimana denganmu?" tanya Shinichi.

Akai hanya nyengir, "Aku telah menunggu lama untuk mati seperti ini. Dalam pertarungan dengan Gin sebelum menyusul Akemi," kemudian ia menggenggam tangan Haibara.

Haibara tertegun.

"Kau harus hidup," Akai menatap tajam padanya.

"Eh?"

"Apapun yang terjadi, kau harus hidup. Itu adalah pesan kakakmu. Karena itulah aku menyamar sebagai Subari Okiya selama ini untuk mewujudkan keinginannya,"

Perlahan Haibara mengangguk, "Aku akan hidup,"

"Kudou-Kun," Akai beralih kembali pada Shinichi.

Shinichi menatapnya.

"Setelah ini, aku mengandalkanmu untuk melindunginya,"

Shinichi mengangguk, "Aku mengerti,"

Akai melepas genggamannya akan Haibara sambil kemudian berteriak, "Pergi sekarang!"

Terdapat ledakan lagi dan Gin menembak mereka. Akai berdiri dan menembaknya dengan senjatanya. Shinichi dan Haibara terpaksa mundur. Atap diatas mereka runtuh dan membuat jarak antara diri mereka dengan Akai.

"Ayo!" Shinchi menggenggam Haibara dan mengajaknya lari sampai ke gerbang. Terdapat ledakan lagi yang membuat tubuh mereka melayang. Shinichi memeluk Haibara ketika menjatuhkan tubuhnya ke tanah untuk melindunginya dari efek ledakan. Anggota FBI mendekati mereka dan menyelamatkan mereka sebelum terdapat ledakan lebih besar lagi. Akai Shuichi, Vermouth, Gin dan Vodka terbakar bersama dalam api.

FBI dan Polisi Jepang mundur sampai ke zona aman sambil menatapi markas yang terbakar hingga menjadi abu.

"Shinichi!" terdengar suara seorang gadis.

Shinichi menoleh, "Ran!"

Ran menghampirinya dan memeluknya erat, "Kau selamat," bisiknya dengan airmata berlinangan.

Shinichi membalas pelukannya sama erat.

Haibara menatap pasangan itu, terjebak antara bahagia dan iri.

Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan besar dan hangat menyentuh bahunya. Haibara menoleh untuk melihat siapa pemiliknya. Ternyata Profesor Agasa.

"Hakase..." panggil Haibara.

"Sudah berakhir Ai-Kun. Kau tidak perlu khawatir lagi sekarang," Profesor Agasa berkata seraya memberikan senyuman simpatinya.

"Ehm," Haibara mengangguk seraya membalas senyumnya.


Satu tahun kemudian...

"Waktu cepat berlalu, tidak terasa kelulusan kita dua bulan lagi!" Ran berseru girang. "Tunggu, apa yang harus kita lakukan untuk kelulusan ya? Mungkin sedikit pesta kecil atau pergi ke suatu tempat. Ah bagaimana kalau ke Tropical Land? Dua tahun lalu kau membuatku kecewa karena menghilang dari tempat itu kan? Aku tidak peduli meski kau masih menemaniku sebagai Conan-Kun. Kau harus membayarnya. Ya kan Shinichi?"

Shinichi tidak merespon.

Ran menatapnya, "Shinichi?"

Shinichi terlihat tidak mendengar.

"Shinichi!" Ran membesarkan suaranya.

"Eh? Ada apa Haibara?" Shinichi refleks berkata.

Ran mengerjap, "Haibara?"

"Eh," Shinichi terlihat canggung.

"Apa kau sedang memikirkan Haibara-San?"

"Tidak,"

"Lalu kenapa kau menyebut namanya? Apa kau tidak mendengar perkataanku?"

"Sorry Ran. Aku hanya terbiasa mengucapkan namanya, karena sewaktu kita berdua mengecil, dia banyak membantuku untuk menyelesaikan kasus," jelas Shinichi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Oh begitu,"

"Kau tidak perlu salah paham,"

"Tentu tidak tapi Shinichi. Apakah ada sesuatu yang telah terjadi padamu yang kau sendiri tidak menyadarinya?"

Shinichi mengerjap, "Apa? Apa yang kau maksud dengan terjadi sesuatu pada diriku yang aku sendiri tidak sadar?"

Ran hanya tertegun untuk sementara, "Sudahlah, lupakan saja," ia tidak mau menjelaskan lebih jauh.

Satu tahun setelah BO runtuh, Shinichi kembali ke kehidupan normalnya. Pergi dan pulang sekolah bersama Ran. Mereka akhirnya bisa menjalani masa pacaran mereka dengan normal. Makan dan nonton bareng. Awalnya mereka memang merasa sangat bahagia. Tapi entah kenapa semakin kesini, tidak ada kemajuan berarti dalam hubungan mereka. Segalanya mendadak menjadi monoton. Bahkan terkadang jika Shinichi menghadapi sebuah kasus, ia sering menyuruh Ran namun dipanggil dengan Haibara. Tidak tahu kenapa, hal itu membuat Ran tidak nyaman. Ia telah menunggu Shinichi begitu lama. Ia merasa tidak rela untuk melepasnya lagi.

Diam-diam dari kejauhan, ada seseorang yang juga tidak nyaman melihat kebahagiaan dan kelucuan mereka.

Rumah Profesor Agasa...

"Aku pulang," Haibara berkata ketika sampai dirumah.

"Oh, Ai-Kun, waktu yang tepat," sambut Profesor Agasa.

Haibara tertegun ketika melihat Profesor Agasa yang sibuk dengan peralatannya. Terdapat banyak pipa yang dialiri cairan-cairan kimia.

"Apa yang kau lakukan, Hakase?" tanya Haibara.

"Ah, hanya sedikit eksperimen untuk membantu pemerintah menemukan sumberdaya baru selain nuklir. Kau bisa membantuku?"

"Oke," Haibara mengenakan jas putih dan sarung tangan sebelum bergabung membantu Profesor Agasa.

Sebagai ilmuwan, Haibara familiar dengan segala peralatan di laboratorium. Setelah BO musnah, sekarang ia melanjutkan hidupnya sebagai ilmuwan untuk menciptakan penemuan yang berguna untuk manusia di dunia. Dia melakukannya untuk membayar segala kesalahan buruk yang ia lakukan di masa lalu. Dia sering mengikuti seminar dan bergabung dengan sejumlah ilmuwan dari seluruh dunia untuk mendiskusikan perkembangan perngetahuan. Di dunia ilmuwan, namanya telah diakui sebagai ilmuwan muda yang hebat.

Setahun setelah tragedi di markas BO, dia tidak pernah bertemu Shinichi lagi meskipun ia tinggal bertetanggaan dengan rumahnya. Mungkin Shinichi sibuk dengan sekolahnya, kasusnya atau pacarnya sementara ia sibuk dengan seminar-seminar. Atau mungkin Haibara yang sengaja menjaga jarak dengannya. Setiap kali ia tahu Shinichi akan datang ke rumah Profesor Agasa, ia akan membuat alasan untuk pergi ke suatu tempat atau menyibukkan diri di perpustakaan atau laboratorium.

Lalu hari ini, ia melihat pasangan itu dari kejauhan. Tersenyum, becanda dan tertawa satu sama lain. Mereka terlihat sangat bahagia. Ia tidak tahu kenapa dadanya begitu sakit seperti ada lubang besar di sana. Ia merindukan pria itu, ia merindukan saat-saat ketika tubuh mereka mengecil dan menyelesaikan kasus bersama. Khususnya ciuman itu. Shinichi mungkin berpikir ciuman itu hanyala triknya untuk merebut arloji bius, tapi untuk Haibara, ciuman itu adalah untuk perpisahan seandainya ia tidak mampu kembali dalam keadaan hidup dari markas BO. Dia melakukan kecupan itu penuh ketulusan. Haibara memejamkan matanya erat-erat. Berusaha menghapus semua kenangan diantara dirinya dan Shinichi. Tidak seharusnya ia memikirkan pria itu. Pria itu sudah mempunyai kekasih. Ran Mouri, yang telah menunggunya dengan setia. Ai Haibara tidak punya hak untuk muncul diantara mereka.

"Ouch!" terdengar Haibara meringis.

"Ada apa Ai-Kun?" tanya Profesor Agasa.

"Aku hanya..." karena tidak fokus, Haibara tidak sengaja menumpahkan sebuah cairan kimia dan tangannya terkena sedikit tumpahan tersebut.

"Tanganmu memerah, biar aku bantu mengobatinya,"

"Ehm," Haibara mengangguk.

Setelah membuka jas putih, mereka berjalan ke ruang tamu. Profesor Agasa membantu memasang perban pada tangan Haibara dengan hati-hati.

"Untungnya kau masih memakai sarung tangan. Kalau tidak tanganmu bisa meleleh. Merasa lebih baik?" tanya Profesor Agasa.

"Uhm. Terima kasih, Hakase," sahut Haibara.

"Ada apa Ai-Kun? Kau terlihat agak ceroboh hari ini, tidak seperti dirimu yang biasanya. Apakah ada terjadi sesuatu?

Haibara hanya terdiam sesaat sebelum berkata, "Tidak ada,"

"Ai-Kun," Profesor Agasa menyentuh bahunya, "Aku mengenal ayahmu. Tidak peduli rumor berkata apa, bagiku dia seorang pria yang baik dan sebagai putrinya, aku tahu kau juga baik. Sejak aku menemukanmu di depan rumah Shinichi, aku telah menganggapmu seperti putriku sendiri,"

"Hakase..." Haibara memandangnya dengan terharu, "Aku tahu, kau selalu melindungiku hingga hari ini. Aku juga sudah menanggapmu seperti ayahku sendiri,"

"Karena itu Ai-Kun, kau tidak perlu sungkan untuk bercerita padaku,"

"Aku... Aku..." Haibara berusaha untuk berbicara tapi tidak ada sepatah kata pun yang bisa diucapkannya.

"Mengenai Shinichi?" tebak Profesor Agasa.

"Eh?" Haibara tertegun menatapnya.

"Tidak perlu terkejut, aku tahu perasaanmu terhadap Shinichi sejak tubuh kalian mengecil,"

Haibara menundukkan kepalanya dengan murung.

"Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin detektif sehebat dia, tidak bisa mengerti perasaanmu,"

"Kalaupun dia mengerti juga tidak ada gunanya," ujar Haibara seraya berdiri dan memandang jendela, "Dia mencintai gadis itu, temannya sejak kecil,"

"Yah, aku mengakui, tidak ada keraguan mereka akan bersama dan berakhir bahagia. Tapi Ai-Kun, kau masih muda. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok. Meski setiap waktu kita bekerja dengan matematika, ilmu pasti, kita tetap tidak akan bisa tahu, apa yang akan terjadi besok,"

"Hakase..."

"Tapi Ai-Kun," Profesor Agasa mendekatinya, "Katakan saja, mereka akan bersama. Aku yakin diluar sana, kau juga akan menemukannya. Seorang yang lebih baik dari Shinichi yang beruntung untuk bersamamu,"

Haibara menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Dan sekarang meskipun Shinichi tidak berada di sisimu, aku ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian. Aku akan selalu mendukungmu sebagai ayahmu,"

"Hakase..." Haibara memeluknya dan menangis.

"Menangislah Ai-Kun. Walaupun kau wanita yang kuat, kau harus menangis sesekali," kata Profesor Agasa seraya menepuk lunak kepala Haibara.

Setelah menangis semalaman, Haibara merasa lebih baik. Hari ini ia disibukkan dengan kegiatan seminar bersama ilmuwan lain, kemudian di sore hari ia pergi ke toko buku untuk mencari beberapa buku yang relevan dengan risetnya. Lalu ketika ia melihat buku itu, buku misteri kesukaan Shinichi ia teringat kenangan beberapa tahun lalu saat mereka ke toko buku ini dengan tubuh yang masih kecil. Ia merindukan masa-masa itu. Lambat-lambat ia mengulurkan tangannya untuk meraih buku itu. Namun ketika ia memegang buku itu, ada tangan lain yang juga mengambil bukunya. Mereka saling menatap satu sama lain.

"Haibara?" Shinichi tertegun.

"Kudou-Kun?" Haibara juga tertegun. Dalam hatinya menciut, kenapa ia harus bertemu Shinichi sekarang?

Beberapa menit kemudian mereka jalan bersama di taman kota dan duduk di sebuah kursi dibawah pohon yang rindang sembari bercakap-cakap.

"Lama tidak bertemu. Apa kabarmu Haibara?" tanya Shinichi

"Baik, seperti yang kau lihat," sahut Haibara, cool seperti biasa.

"Kenapa dengan tanganmu?" Shinichi menunjuk tangan kanan Haibara yang masih diperban.

"Oh, hanya kecelakaan kecil di lab,"

"Takuu... Kenapa kau bisa ceroboh seperti itu? Kau harus lebih berhati-hati," gerutu Shinichi.

"Ah... Wakata..."

Shinichi memandangnya. Hari ini Haibara mengenakan tank top putih yang diselimuti dengan blazer hitam. Ia juga mengenakan kacamata yang sesuai dengan bentuk matanya. Dia terlihat cantik sejak terakhir kali mereka bertemu. Entah kenapa dengan gayanya yang seperti ini, Shinichi merasa lebih hormat kepadanya. Shinichi bertanya-tanya apakah wanita ini adalah gadis kecil yang berada di sisinya di hampir setiap kasus dua tahun lalu?

"Kau pergi ke seminar lagi hari ini?" tanya Shinichi lagi.

"Bagaimana kau tahu?"

"Hakase memberitahuku kau sering mengikuti seminar ilmuwan. Aku sering membaca namamu di koran. Sepertinya kau telah menjadi ilmuwan terkenal sekarang,"

"Tidak begitu terkenal dibandingkan dirimu, Tantei-San,"

Shinichi nyengir, "Lihat siapa yang bicara. Meski kita bertetangga, tapi kita tidak pernah bertemu. Aku tidak pernah melihatmu di rumah Hakase. Kau sibuk sekali. Aku bertanya-tanya apa yang sedang kau kerjakan sekarang? Kau tidak membuat APTX yang lain kan?" goda Shinichi.

"Tidak lucu," sungut Haibara.

Shinichi terkekeh.

"Sekarang, aku akan melakukan apa saja untuk menciptakan penemuan yang bisa membantu banyak orang. Aku harus membayar terhadap apa yang telah aku lakukan di masa lalu," Haibara berkata seraya tersenyum, mengungkapkan tujuannya akan masa depannya.

"Bagus sekali, Haibara," Shinichi juga tersenyum.

"Ngomong-ngomong, bisa kau berhenti menggunakan nama itu?"

"Apa?"

"Dunia ilmuan mengakuiku sebagai Shiho Miyano, bukan Ai Haibara,"

"Aku kira kau lebih suka dipanggil Haibara,"

Haibara tersenyum, "Aku telah belajar untuk nyaman dengan diriku sendiri. Tidak peduli rumor apapun tentang ayahku. Aku akan selalu menggunakan nama asliku di dunia ilmuwan. Aku bangga akan hal itu. Aku akan membersihkan nama ayahku sebagai ilmuwan gila,"

"Aku senang mendengarnya,"

"Aku harus berterima kasih padamu,"

"Aku?"

"Ah dan yang lainnya juga. Ayumi, Genta dan Mitushiko. Meski mereka hanya anak-anak, tapi aku belajar keberanian dari mereka. Yah terkadang orang dewasa juga harus belajar dari anak-anak," Haibara membayangkan wajah anak-anak itu. Ia sangat merindukan mereka dan bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka sekarang tanpa Conan Edogawa dan Ai Haibara.

"Ya, aku juga setuju," Shinichi merespon dengan senyum, ia juga merindukan anak-anak itu.

"Telah banyak yang kita lalui dan tidak mudah hingga kita sampai pada hari ini. Aku sangat bersyukur. Jadi, aku akan terus hidup untuk keluargaku, untuk semua yang telah mengorbankan diri mereka untukku dan untuk diriku sendiri," untukmu juga Kudou-Kun.

"Aku lega kau mengatakan itu, Haibara,"

"Hentikan itu! Mulai sekarang panggil aku Shiho," amuk Haibara.

Shinichi menghela napas, "Aku terbiasa memanggilmu Haibara,"

Haibara menaikkan sebelah alisnya.

"Eh ok oke. Aku akan coba mengubahnya, Shiho-Chan," Shinichi nyengir.

"Itu terdengar lebih baik," Haibara terkekeh.

Shinichi terpana pada senyumnya. Ia tidak tahu sejak kapan ia jadi canggung seperti ini di depan Haibara. Jantungnya mendadak berdetak dengan cepat, nyaris terlempar dari tempatnya. Kemudian ia teringat ciuman itu sekitar satu tahun yang lalu sebelum Haibara menuju markas BO. Dia bertanya-tanya, apakah Haibara melakukan hal itu sebagai trik untuk kabur darinya? Tapi ia bisa merasakan ketulusannya disana dan ternyata dirinya juga menikmati kecupan itu. Kemudian sekarang ketika ia melihat Haibara tersenyum padanya, ia merasa aneh. Ada sebuah dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Haibara.

"Disana kau rupanya," terdengar suara Sonoko. Ia datang bersama Ran.

Shinichi dan Haibara berdiri menghampiri mereka.

"Eh kau disini juga Ai-Chan," sapa Ran kemudian ia melihat tangan Haibara yang diperban, "Tanganmu kenapa?"

"Tidak apa-apa, hanya kecelakaan kecil di lab," jawab Haibara.

"Apa yang kalian lakukan disini?" Sonoko bertanya menyelidik, bergantian memandang Haibara dan Shinichi.

"Ah, tidak sengaja kami bertemu di toko buku," sahut Shinichi.

"Oh dan kemudian berlanjut kesini, kalian terlihat begitu dekat," gumam Sonoko penuh kecurigaan.

"Jangan konyol Sonoko. Kami hanya bercakap-cakap," kata Shinichi.

"Oh entahlah, bagiku sulit untuk memercayai seseorang dari organi..."

"Sonoko-Chan!" Ran memperingatkannya.

Sonoko menutup mulutnya.

Shinichi terlihat terganggu dengan sikap Sonoko.

Namun Haibara terlihat tidak peduli dengan sindiran Sonoko.

Ran terlihat tidak enak juga karena Sonoko. Ia memandang wajah Haibara dan sedikit tercengang karena ia tidak pernah menyangka Ai Haibara yang mungil itu terlihat sangat cantik dalam versi dewasa. Matanya tajam dan terlihat cerdas. Ia dewasa dan begitu elegan.

"Ok, aku harus pulang sekarang," Haibara berkata.

"Apa?" Shinichi memandangnya.

"Aku meninggalkan Hakase terlalu lama, aku tidak mau dia diam-diam mencuri cemilan lagi,"

"Aku mengerti,"

"Sampai nanti,"

Baru beberapa langkah, mendadak terdengar suara wanita berteriak. Mereka berempat terkejut dan kemudian berlari menuju asal suara. Ada seorang pria tergeletak di aspal. Matanya melotot dan ada buih dari bibirnya. Shinichi dan Haibara menunduk untuk memeriksanya.

"Dia masih hidup," gumam Shinichi ketika menyentuh pangkal leher pria itu untuk mengecek nadinya.

"Arsenik," gumam Haibara.

Shinichi mengernyit, "Kita harus membuatnya muntah," kemudian ia memasukkan jarinya ke mulut pria itu untuk membuatnya muntah. Haibara memandang berkeliling dan melihat seorang bocah kecil yang sedang memegang kotak susu cair. Haibara menghampirinya dan memintanya dengan lembut. Bocah itu bersedia memberikan susunya pada Haibara.

"Terima kasih," Haibara berkata pada bocah itu kemudian kembali pada Shinichi.

Shinichi meraih kotak susu dari Haibara dan membantu meminumkannya pada sip ria.

"Telpon ambulan, Haibara," Shinichi berseru

"Aku mengerti," sahut Haibara seraya mengeluarkan handphonenya.

Ran dan Sonoko hanya terdiam melihat semua itu. Ran menyadari sendiri bagaimana mereka bekerja. Haibara benar-benar dapat mengerti bagaimana Shinichi berkerja. Shinichi sering mengungkapkan pikirannya dan berdiskusi selama investigasi kasus itu. Selama waktu itu, kehadiran Ran sepertinya tidak berarti.

"Kau merasa resah sekarang?" suara Sonoko membuyarkan lamunan Ran.

"Apa?" Ran memandang sahabatnya.

"Lihat mereka. Mereka bekerja sama tanpa menyadari kehadiran kita disini,"

"Kau tahu Shinichi memang seperti itu sejak dulunya setiap kali menghadapi sebuah kasus. Dia tidak pernah menyadari sekelilingnya,"

"Kecuali wanita itu,"

"Sonoko..."

"Jangan lupa Ran. Karena dirinya dan obat sialnya, dia membuatmu berpisah dari Shinichi untuk waktu yang lama. Dia membuat tubuh Shinichi mengecil dan hampir mati ketika berhadapan dengan organisasi. Aku tidak yakin dia wanita yang baik,"

"Kau harus ingat juga Sonoko-Chan. Berkat dia, Shinichi kembali normal. Dia bisa berpura-pura tidak mampu membuat antidote itu jika dia bukan wanita yang baik. Aku percaya padanya seperti Shinichi yang percaya padanya juga,"

"Tidak kah kau lihat wajahnya? Sepertinya dia menyukai Shinichi,"

"Aku bisa merasakannya juga, tapi itu adalah haknya dan hak setiap orang untuk memiliki perasaan seperti itu,"

"Dan bagaimana jika Shinichi menyukainya juga?"

Ran tertegun, tidak mampu bicara, "Aku... Aku..." ia tidak dapat membayangkannya.

"Sebagai temanmu aku mengingatkan, sebaiknya kau berhati-hati dengannya,"


"Kenapa harus aku?" gerutu Haibara ketika Profesor Agasa meminta bantuannya untuk mengantarkan charger skateboard Shinichi ke rumahnya.

"Maaf, tapi aku benar-benar sedang sibuk sekarang," ujar Profesor Agasa tak enak hati.

"Dia bisa mengambilnya sendiri disini,"

"Dia akan telat sampai rumah karena ada investigasi kasus dan dia membutuhkan cadangan charger itu besok pagi. Kunci rumahnya ada di atas meja,"

Haibara mengambil kuncinya, "Tubuhnya sudah normal sekarang, kenapa dia masih membutuhkan benda itu?"

"Katanya skateboard lebih fleksibel daripada mobil," Profesor Agasa nyengir.

"Terserahlah," Haibara keluar dari rumah untuk berjalan ke rumah Shinichi.

Haibara memasuki rumah yang sedang kosong itu. Dia menaruh charger di meja di ruang tamu. Ketika ia mau pergi, ia melihat beberapa novel misteri berantakan di sofa. Ia pun berkacak pinggang saat mengeluh,

"Ya ampun Kudou-Kun," Haibara akhirnya mengumpulkan buku-buku itu dan merapikannya di satu tempat. Mendadak terdengar bunyi handphone di sofa dibawah tumpukan buku. Handphone Shinichi.

Dia sangat ceroboh Sungut Haibara seraya meraih handphone tersebut. Nomornya tidak dikenal, ia pun menjawabnya, "Ha..."

"Hai Detective Kudou," suarah Chianti.

Apa? Tidak mungkin! Haibara membeku.

"Aku ada sesuatu yang manis untukmu,"

Terdengar suara Ran.

"Jangan kesini Shinichi!" seru Ran.

Haibara menegang, Mouri-San...

"Dia sangat bagus untuk dijadikan target latihan tembakku," Chianti tertawa, "Kalau kau menginginkannya, kau bisa kesini, ada banyak tumpukan gerbong kereta bekas... Dan jangan lupa bawa si rambut merah itu kepada kami," Chianti terkekeh, "Jangan kira kami musnah, kau tidak bisa meremehkan kami. Kami masih diluar sana hahaha..." sambungan terputus.

Haibara terduduk di sofa, jantungnya berdebar kencang.

Mereka masih di luar sana... Mereka belum musnah... Aku tidak bisa membiarkannya... Mouri San...

Haibara berlari kembali ke rumah Agasa dan menyambungkan handphone Shinichi ke laptopnya dengan kabel data. Dia berpikir jika Chianti menghubungi Shinichi berarti ia ingin dirinya ditemukan. Haibara berusaha menelusuri keberadaan Chianti dari sambungan terakhir dan kemudian ia menemukannya. Dia baru saja ingin menghubungi Shinichi ketika ia kembali bergeming. Bayangan Shinichi terluka berputar di kepalanya. Bahkan tidak hanya sekali, namun beberapa kali Shinichi menempuh bahaya demi dirinya. Ia pun menggeleng kuat-kuat.

Tidak, aku tidak bisa memberitahunya. Aku tidak bisa membiarkannya terluka lagi hanya karena diriku... Haibara mengapus history panggilan di handphone Shinichi.

Maaf Kudou-Kun... Aku janji, aku akan membawanya kembali padamu dengan selamat...

Huuuh... Untungnya investigasi berakhir lebih cepat dari perkiraanku... Batin Shinichi ketika memasuki rumahnya. Ia melihat charger diatas meja dan mengira Profesor Agasa yang meletakkannya. Ketika ia ingin berjalan ke dapur, ia melihat keganjilan itu. Buku-buku misterinya yang awalnya berantakan kini telah rapi. Kemudian ia melihat handphonenya yang tertinggal di meja. Tidak ada pesan suara maupun tulisan di dalamnya. Ia mengernyit, kemudian berjalan ke rumah Profesor Agasa.

"Oh Shinchi, kau sudah kembali. Aku kira investigasinya sulit," kata Agasa ketika melihat Shinichi memasuki rumahnya.

"Ah, investigasinya berakhir lebih cepat," ujar Shinichi.

"Aku meminta Ai-Kun untuk mengantarkan chargernya ke rumahmu. Kau sudah terima?"

"Ya aku sudah terima. Terima kasih, Hakase. Dimana Haibara?"

"Aku tidak tahu. Setelah kembali dari rumahmu dia membuka laptop sebentar sebelum pergi lagi. Sepertinya buru-buru,"

"Nani? Ada apa ya?"

"Entahlah," Profesor Agasa mengangkat bahu.

Mendadak handphone Shinichi berbunyi.

"Ada apa Sonoko?" tanya Shinichi menjawab handphonenya.

"Shinichi, apakah Ran bersamamu?" tanya Sonoko.

"Tidak. Aku baru sampai rumah habis investigasi. Kenapa?"

"Aneh. Kami sudah janjian untuk reuni dengan Jodie Sensei, tapi sampai sekarang dia belum sampai dan aku tidak dapat menghubungi handphonenya," jelas Sonoko.

"Mungkin masih kena macet dan battery handphonenya low,"

Sonoko menghela napas, "Oke, aku akan menunggu sebentar lagi," sambungan putus.

Entah kenapa Shinichi merasa ada sesuatu yang salah. Ia mulai menganalisis. Haibara yang meletakkan charger di mejanya dan kemudian ia melihat bukunya yang berantakan, lalu membereskannya. Kemudian ia kembali ke rumah, buka laptop sebentar sebelum buru-buru pergi lagi. Shinchi memandang handphonenya dan bertanya-tanya. Ada apa dengannya? Apakah seseorang menghubungi handphonenya dan Haibara mengangkatnya? Seseorang yang seharusnya tidak diketahuinya? Shinichi melihat laptop Haibara dan mulai mengeceknya. Namun kemudian ia menggerutu karena Haibara menyetel password.

Dasar ilmuwan! Shinichi mengutuk dalam hati.

"Ada apa Shinichi? Apa yang kau lakukan dengan laptop Ai-Kun?" tanya Profesor Agasa.

"Aku hanya bingung, apa yang membuatnya buru-buru?"

"Ah mungkin dia teringat risetnya dan harus buru-buru ke perpustakaan tapi..."

"Tapi apa?"

"Ah aku ingat, ketika dia kembali dari rumahmu, aku melihatnya membawa handphonemu dan menyambungkannya ke laptop,"

"Apa?" Shinichi bergeming, sepertinya deduksinya benar.

"Ada apa Shinichi?"

"Jika ada seseorang yang bisa membuatnya bersikap aneh, maka hanya mereka,"

"Maksudmu, mereka bergerak lagi?"

Shinichi menegang, seketika tubuhnya jadi dingin, "Ran... Mungkin mereka menculik Ran sehingga... Sialan! Aku mengerti sekarang," umpat Shinichi.

"Shinichi?"

"Hakase. Apakah Haibara mengenakan kacamatanya?"

"Ya sekarang dia selalu memakainya,"

"Sekarang saatnya," ia mengeluarkan kacamatanya sendiri dan menggunakannya untuk mentracking Haibara.

Haibara tidak pernah tahu ada pemancar di kacamatanya. Shinichi meminta Profesor Agasa diam-diam memasangnya untuk melindunginya. Shinich tahu setelah Gin, Vodka dan Vermouth meninggal, BO tidak seimbang lagi karena telah kehilangan petarung terbaiknya. Satu per satu anggota terbuka penyamarannya dan ditangkap oleh FBI. Mereka menurunkan aktivitas mereka tapi Shinichi tahu masih ada sekelompok kecil anggota di luar sana. Anggota yang masih setia. Tapi ia tidak pernah membiarkan Haibara tahu, ia ingin Haibara hidup bebas dari rasa takut. Karena itulah ia mengenakan pemancar pada kacamatanya untuk terus mengawasinya.

Shinichi melihatnya, titik merah yang berkedap-kedip menuju suatu tempat. Ia mengambil skateboardnya yang telah di upgrade untuk mengikuti titik itu. Sembari berada di skateboardnya, ia menghubungi Jodie Sensei dan Inspektur Megure.

Dasar Haibara! Kenapa dia tidak memberitahuku dan bersikeras menyelamatkan Ran seorang diri? Shinichi menggerutu dalam hati. Ia menekan tombol di kacamatanya agar ia bisa mendengar apa yang terjadi disana, ia juga bisa berkomunikasi dengan Haibara. Namun ketika ia mendengar suara-suara itu, ia tertegun. Tubuhnya terasa dingin lagi.

"Masuk kedalam!" Chianti mendorong Ran dan Haibara ke satu gerbong kereta.

Ran menggunakan karate untuk menendangnya, namun Chianti bisa menghindarinya dan memukul balik punggungnya dengan pangkal senjatanya. Ran terjerembab di lantai.

"Mouri-San," Haibara membungkuk untuk melihat kondisinya.

"Cih! Jangan meremehkan kami hanya karena kau bisa karate. Kami adalah anggota BO dan kami telah melewati latihan keras untuk menangani gerakan konyol itu," kata Chianti tajam pada Ran, yang menatap balik dirinya dengan geram.

Haibara menatap tajam Chianti, "Yang kau inginkan adalah aku, tidak ada hubungannya dengan dia. Jadi lepaskan dia!"

"Oh Sherry, jangan mengacau kesenanganku. Aku bisa menggunakannya untuk mengancam detektif muda itu," Chianti terkekeh, "Lagipula kau seharusnya berterima kasih padaku. Jika gadis ini mati kau bisa bersama dengan detektif itu bukan?"

"Nani?" Haibara mengernyit.

"Tidak perlu menutupinya. Kami semua tahu kau menyukai detektif itu, Sherry. Kami sudah memata-mataimu selama ini. Kami punya cara agar kau tidak bisa menyadari kehadiran kami,"

"Kau menjijikan,"

Plak! Chianti menampar Haibara.

"Ai-Chan!" pekik Ran.

"Aku tidak sabar lagi. Kau benar-benar menyebalkan seperti ibu dan kakakmu!" Chianti mengangkat senjatanya ke arah Haibara.

"Lakukan saja!" tantang Haibara tanpa takut.

"Tahan Chianti!" Korn mendadak muncul dan menurunkan senjatanya. "Jika dia mati sekarang, tidak akan seru lagi,"

Chianti mendengus.

"Kita harus sabar sampai detektif itu datang. Kita akan melihat bagaimana cinta segitiga ini berakhir," kemudian Korn menunduk dan meraih dagu Haibara dengan jarinya, "Sayang sekali Cherry. Jika kau tidak mengkhianati organisasi, dengan kepintaranmu, kita akan menjadi partner yang hebat,"

Haibara menarik kepalanya untuk melepaskan diri dari jari-jari Korn, "Jangan sentuh aku!"

Korn hanya tersenyum kemudian berdiri, "Biarkan mereka Chianti,"

Korn dan Chianti keluar dari gerbong. Terdengar suara rantai, Korn dan Chianti mengunci mereka dengan ketat hingga tidak ada celah untuk kabur. Semua jendela juga sudah di tutup dengan terali besi.

"Ai-Chan..." Ran memanggilnya.

"Maafkan aku Mouri-San. Semua salahku sehingga kau ikut terlibat," kata Haibara.

Ran menggeleng, "Tidak. Ingat yang mereka katakan. Mereka mau menggunakanku untuk mengancam Shinichi. Jadi ini bukan salahmu,"

"Hanya ada satu cara untuk lari, aku harap ini akan berhasil," bisik Haibara

"Apa? Bagaimana?" Ran ikut berbisik.

Haibara memandang berkeliling, memastikan tidak ada kamera maupun alat penyadap di sekitar mereka. Kemudian ia meraih kantung jaketnya dan menyerahkannya pada Ran.

"Ambil ini Mouri-San,"

"Apa ini?" tanya Ran melihat dua kapsul di telapak tangan Haibara.

"Kapsul merah-putih adalah APTX4869 yang mengecilkan tubuhku dan Kudou-Kun. Aku melarikan diri dari organisasi dengan ini. Rencananya, aku akan mengalihkan perhatian mereka. Ketika aku melakukannya, kau harus menelan kapsul ini. Jika tubuhmu menyusut, kau bisa keluar dengan aman. Setelah kau menemukan tempat yang aman, telan kapsul merah-kuning. Itu adalah antidotenya dan tubuhmu akan kembali seperti semua," jelas Haibara masih sambil berbisik.

"Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana kau mengalihkan perhatian mereka?"

Haibara mengangkat roknya, terdapat pistol kecil terikat di pahanya.

Ran terkejut, "Kenapa kau tidak menggunakannya dari tadi?"

Haibara menggeleng, "Tidak bisa, Chianti adalah sniper tangguh di organisasi. Tanpa kesempatan yang bagus, aku akan kalah. Kita tidak punya banyak waktu. Aku hanya bisa mengalihkan mereka sebentar. Kau harus kabur dengan cepat, Mouri-San,"

"Lalu kau bagaimana?"

"Aku akan tetap disini,"

"Apa kau punya kapsul lebih sehingga kita bisa lari bersama?"

"Hanya itu yang tersisa?"

"Kenapa kau memberikannya padaku? Kenapa tidak sebaliknya kau yang pergi dan aku tetap disini untuk mengalihkan perhatian mereka? Aku akan menunggu hingga Shinichi datang. Aku percaya dia akan datang,"

"Sudah terlambat!" Haibara berkata dengan tegas hingga Ran terdiam, "Ini bukan tentang siapa yang kau percayai, ini mengenai waktu sampai kapan dan bagaimana kau mampu bertahan. Ini bukan permainan,"

"Ai-Chan..."

"Kau harus keluar dari sini hidup-hidup," Haibara berkata tajam.

"Kita akan pergi bersama, aku tidak mungkin meninggalkanmu disini," Ran bersikeras.

"Tidak mungkin, harus ada seseorang yang mengalihkan perhatian mereka,"

"Kenapa Ai-Chan? Kenapa kau mengorbankan dirimu untukku?"

"Kau lupa? Kau yang melakukannya lebih dulu. Aku hanya membayar hutangku. Lagipula aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Tidak ada yang kehilangan jika aku mati,"

"Jangan berkata seperti itu Ai-Chan..."

"Tapi kau," lanjut Haibara, "Kau masih memiliki keluarga dan teman terlebih lagi Kudou-Kun. Aku membuat tubuhnya menyusut hingga kalian terpisah. Sekarang dia sudah kembali padamu. Aku tidak mau membuat kalian terpisah lagi. Jadi kau harus hidup Mouri-San. Kau harus bahagia dengan Kudou-Kun,"

"Ai-Chan..."

"Berjanjilah,"

Lambat-lambat Ran mengangguk, "Aku berjanji, tapi kau juga harus berjanji Ai-Chan. Kau harus tetap hidup sampai aku kembali bersama Shinichi dan polisi,"

Haibara perlahan mengangguk dan bergumam, "Uhm,"

"Ai-Chan,"

"Nani?"

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,"

"Apa?"

"Apa kau menyukai Shinichi?"

Haibara diam tertegun.

"Tidak apa-apa Ai-Chan. Jujur saja padaku, jika Shinichi juga mencintaiumu, aku akan..."

"Jangan bodoh!" Haibara memotongnya, "Mereka mengatakan itu untuk membuat kita berdua salah paham. Kudou-Kun milikmu Mouri-San, sejak dulu hingga sekarang. Tidak berubah. Lagipula tidak tepat membahas hal itu sekarang,"

"A-Ai-Chan..." Ran tidak bisa berucap lagi. Ia tahu ada sesuatu di mata Haibara ketika ia mengatakan hal itu tegas namun matanya membendung airmata.

Ha-Haibara... Shinichi terhenyak. Setelah mendengar pembicaraan pribadi itu, ia mengurungkan niatnya untuk melakukan komunikasi dengan Haibara.

Dia ingin mengorbankan dirinya untuk Ran... Untuk mereka... Shinichi tidak akan membiarkan salah satu berkorban untuk yang lainnya. Keduanya harus selamat. Kenangan-kenangan dengan mereka berputar di benaknya dan membuatnya lebih kuat. Ia mempercepat skateboardnya.

Haibara... Ran... Tunggu aku...


"Semua ini terjadi karena kau dan organisasi sialanmu!" Ran berteriak pada Haibara.

"Ah ya... Jadi kau diam-diam dendam padaku karena telah membuat kalian berpisah Mouri-San?" Haibara terkekeh kejam, "Akui saja, kalian berdua memang tidak ditakdirkan untuk bersama,"

"Jadi kau ingin mengaku, kau menyukai Shinichi?"

"Bagaimana jika iya?" Haibara menantangnya.

"Apa?"

"Kenapa? Kau ragu apakah Kudou-Kun mencintaimu? Dua tahun yang lalu mungkin dia mencintaimu tapi setelah semua yang terjadi dan begitu banyak yang kami lalui, mungkin perasaannya berubah,"

"Kau!"

"Ah kita akan lihat nanti. Menurutmu siapa yang akan dia selamatkan lebih dulu? Aku atau dirimu?"

Mendadak terdengar suara langkah sepati diluar pintu.

"Jadi, setelah semua ini kau tetap saja kejam kan? Tidak peduli berapa kali kau terlihat baik, dalam hatimu tetap saja jahat!" tuduh Ran.

Haibara terkekeh lagi, "Aku lahir dan tumbuh di organisasi. Kau berharap aku akan jadi seperti apa?"

"Apa yang terjadi di dalam?" Chianti bertanya-tanya.

"Sepertinya mereka bertengkar," ujar Korn seraya menempelkan telinganya ke pintu.

"Ah cinta segitiga. Bahkan wanita yang imut bisa terlihat kejam jika mengenai pria yang dicintainya direbut wanita lain," Chianti nyengir.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu!" teriak Ran.

"Sebaiknya kita periksa sebelum mereka saling bunuh," Korn berkata sambil membuka rantai pintu.

Namun ketika pintu terbuka, ada sebuah tendangan kuat menghantam leher Korn. Kemudian Chianti pun juga mendapatkan sebuah pukulan. Chianti dan Korn mengeluh kesakitan, tubuh mereka terhuyung.

"Lari sekarang!" teriak Haibara. Dia dan Ran berlari dan memilih jalan yang berbeda untuk kabur.

Chianti dan Korn berdiri dan segera mengejar mereka. Korn memilih untuk mengejar Haibara sementara Chianti mengejar Ran. Korn menembak ke arah Haibara dan Haibara menembak balik dengan pistol kecilnya.

"Oh ternyata kau punya pistol," gumam Korn.

"Jangan lupa, bagaimanapun juga aku mantan anggota," ledek Haibara.

Korn menembak lagi, Haibara menghindar dan bersembunyi dibalik salah satu gerbong. Haibara berlari untuk mengejar Chianti. Ia berharap Ran sudah menelan kapsul itu sehingga bisa bersembunyi dengan aman. Haibara tahu, untuk bersembunyi tanpa diketahui adalah salah satu keunggulan Ran, terlebih lagi dalam tubuh kecil.

"Kau mau pergi kemana manis?!" teriak Chianti sembari berlari mengejar Ran yang sudah tidak terlihat wujudnya. Aku tidak percaya dia bisa hilang begitu cepat... Ketika ia mau berbelok ke kanan, arah terakhir kali ia melihat Ran, segalanya kosong. Haibara mendadak muncul menodongkan pistol di hadapannya. Chianti membeku.

"Owh Sherry... Apa kau kira bisa menghindari revolverku dengan pistol mungilmu?" ejek Chianti.

"Well, bagaimana jika kita mengujinya? Kau bagus di 650 yard tapi bagaimana jika dalam keadaan dekat seperti ini? Kecepatan akan menjadi percuma bukan?"

"Dasar ilmuwan brengsek!"

"Tidak se-brengsek dirimu!"

Mendadak Korn juga menodong Haibara dari belakang. Ia menempelkan ujung pistolnya langsung ke kepala Haibara. Namun Haibara tidak merasa takut, ia sudah menduga hal ini sebelumnya. Situasi yang diinginkannya untuk membantu Ran kabur.

"Kau menemukannya?" Korn menanyai Chianti tanpa menurunkan pistolnya

"Aku tidak bisa, aku tidak mengerti bagaimana ia bisa menghilang dengan cepat,"

"Mungkin dia melakukan trik yang sama dengan Sherry,"

Haibara terdiam tegang.

"Temukan dia Chianti. Cek lebih detail ke saluran pipa-pipa,"

"Satu gerakan, kau mati," Haibara mengancam Chianti.

Korn mengancam balik, "Kau juga Sherry,"

"Lakukan saja kalau begitu," Haibara mempersilakan

Korn mengumpat dalam hati. Haibara tahu pria itu tidak akan menembaknya. Tidak sekarang karena mereka telah kehilangan satu orang, mereka tidak akan mau kehilangan sisanya lagi.

"Pergi Chianti! Temukan dia!" perintah Korn.

Haibara mulai menekan pelatuk pistolnya.

Chianti masih membeku.

Buk! Korn akhirnya memukul Haibara dengan pangkal pistolnya. Haibara jatuh ke lantai. Meski tidak sampai pingsan, namun ia tidak berdaya. Korn mengambil senjatanya dan menyeretnya kembali ke gerbong sementara Chianti melanjutkan pencariannya akan Ran.

"Beraninya kau menggunakan trik murahan untuk membodohi kami!" Korn melempar Haibara ke lantai dengan kasar.

"Memang kalian bodoh!" sahut Haibara kasar.

Plak! Korn menamparnya hingga kacamatanya jatuh ke lantai. Sesuatu yang kecil, pemancar mungil terlepas dari gagang kacamatanya.

"Apa ini?" Korn mengambil benda itu, "Oh transmitter,"

Gawat! Ia menemukannya! Shinichi yang masih dalam perjalanan tampak tegang. Ia hampir saja tiba disana.

Transmitter? Bagaimana bisa? Batin Haibara. Kudou-Kun, pasti dia yang meminta Hakase meletakkannya disana... Untuk mengawasiku...

Korn terkekeh, ada ide baru muncul di benaknya ketika ia melihat transmitter itu. "Bagaimana jika kita memulai permainannya sekarang? Pasti sangat menarik..." Lalu ia berbicara di transmitter tersebut, "Kudou Shinici, aku tahu kau bisa mendengarku..."

Sial! Shinichi mengumpat.

Dor! Korn menembak bahu kanan Haibara.

Haibara meringis.

"Kau dengar itu Kudou Shinichi? Aku akan melakukannya setiap tiga menit. Aku akan membuatnya mati menderita. Aku tidak buru-buru. Aku akan melakukannya dengan perlahan. Sebaiknya kau segera datang sebelum aku menghujaninya dengan lebih banyak peluru,"

Sial kau Korn! Haibara... Kumohon bertahanlah... Shinichi meningkatkan kecepatannya. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis mungil dengan baju yang kebesaran. Ia familiar dengan sosok itu.

Apakah itu Ran? Jadi dia telah menelan APTX 4869...

Shinichi melihat Chianti mengejari Ran dari belakang sambil mengangkat senjatanya.

Syuuuut... Shinichi meluncur lebih cepat.

Shinichi? Ran telah melihatnya juga.

Hup! Shinichi menangkap lengan Ran tepat waktu.

Dor! Dor! Dor! Chianti menghujani mereka dengan peluru.

Shinichi menghindarinya dengan manuver zig zag sementara Ran kecil memeluk kakinya.

"Shinichi! Ai-Chan...!" seru Ran.

"Aku tahu! Tunjukkan saja jalannya!" Shinichi berseru balik.

"Uhm," Ran mengangguk.

Dor! Korn menembak bahu kiri Haibara

Dor! Korn menembak kaki Haibara

Dor! Korn menembak lengan Haibara

Dor! Sebuah peluru menggores leher Haibara

Shinichi bisa melihat begitu banyak gerbong kereta. Ran menunjuk sebuah gerbong dimana mereka disandera. Shinichi meningkatkan kecepatannya sehingga ia bisa melompat dari satu gerbong ke gerbong lainnya.

Dor! Korn menembak perut Haibara

Darah yang mengalir semakin banyak

Korn mendekatinya.

"Oke, jangan kira aku jahat. Aku akan mengakhiri deritamu sekarang!" Korn mengangkat ujung pistolnya ke kepala Haibara.

Lakukan saja sekarang! Haibara berteriak dalam hati, merasa sangat menderita.

Bummmm! Shinichi menghancurkan atap dan muncul dihadapan mereka.

"Nani?" Kekagetan Korn belum hilang ketika Shinichi menempaknya dengan pistol listrik yang diciptakan Profesor Agasa. Pistol listrik yang bisa ditembakkan dari jarak jauh seperti pistol biasa, bukan alat kejut listrik yang harus ditempelkan pada target.

Korn kesetrum ketika ia jatuh terjerembab di tanah.

"Haibara!" Shinichi mendekati Haibara yang bersimbah darah di lantai.

"Ai-Chan!" Ran kecil juga menghampirinya.

Shinichi melepas jaketnya untuk menyelimuti Haibara.

Duar! Terdapat sebuah ledakan, api mengelilingi mereka seketika.

"Nani?" Shinichi dan Ran terkejut.

Korn dengan tangan gemetaran, telah menekan tombol bom.

Shinichi menembaknya lagi dengan pistol listriknya.

Korn kehilangan kesadarannya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang Shinichi?" tanya Ran seraya memandang berkeliling. Tidak ada jalan keluar dari sini.

Shinichi menekan tombol di ikat pinggangnya. Sebuah bola muncul dan ia menendangnya kuat-kuat ke arah sebuah jendela di gerbong. Jendela itu berhasil dipecahkan. Ia kemudian menunduk untuk menggendong Haibara.

"Ayo Ran!" ajak Shinichi.

Ran mengikutinya, menaiki skateboard dan memeluk kakinya erat-erat.

Shinichi menekan tombol di skateboard. Terdapat angin kencang mengelilingi mereka menjadi tabir pelindung dari api. Kemudian mereka meluncur dengan kekuatan penuh. Mereka berhasil keluar ketika terdapat ledakan besar. Mereka bertiga terlempar hingga beberapa meter. FBI dan polisi telah tiba di luar sana. Chianti berhasil ditangkap FBI, sementara Korn tenggelam dalam bara api.

Kini Haibara dalam dekapan Shinichi.

"Haibara..." Shinichi memanggilnya pelan.

"Ai-Chan..." Ran juga memanggilnya dengan airmata berlinangan.

"Haibara!" Shinichi memanggil lebih tegas seraya menangkup pipinya.

Perlahan Haibara membuka matanya.

"K-Kudo... K-Kun..." bisik Haibara.

"Bertahanlah Haibara," pinta Shinichi.

"A-aku... t'lah mencoba... Untuk hidup..." terdapat darah mengalir dari sudut bibirnya, "Tapi...T-dk... B-sa..." Ia terbatuk.

"Tidak Haibara. Jangan berkata begitu..." suara Shinichi bergetar.

Sekarang... Aku telah melihatmu untuk terakhir kali... Haibara berkata dalam hati. Benar-benar cara yang indah untuk mati... dalam pelukanmu... ia menutup matanya.

"Ai-Chan!" Ran menangis.

"Haibara! Tidak!" Shinichi meraung seraya memeluk Haibara erat-erat.


Haibara segera dilarikan ke unit gawat darurat. Sekarang FBI, Shinichi dan Ran menunggu diluar ruang operasi. Ran telah menelan antidote APTX 4869 dan kembali ke tubuh normalnya. Sonoko juga telah tiba sambil membawakan baju dengan ukuran normalnya. Shinichi menunggu juga, dia duduk dalam diam seraya menyandarkan dahinya pada jari-jarinya yang terkait. Ia terlihat syok dan terpukul. Bekas darah Haibara memenuhi kemeja dan jaketnya. Kenangan-kenangan diantara dirinya dan Haibara berputar di benaknya. Bahasa tubuh Haibara, tantrumnya, kebingungannya dan senyumnya.

Aku akan melakukan apa saja untuk menciptakan penemuan yang bisa membantu banyak orang. Aku harus membayar terhadap apa yang telah aku lakukan di masa lalu...

Kau harus melakukannya Haibara... Batin Shinichi. Kau harus mengejar impianmu...

Mendadak ada sebuah tangan hangat menyentuh bahunya. Shinichi menoleh, ternyata Ran.

"Dia wanita yang kuat. Aku yakin dia akan baik-baik saja," kata Ran

Shinichi hanya mengangguk, tenggorokannya tercekat.

Sonoko di samping Ran terlihat sedih juga. Ia sebelumnya curiga terhadap Haibara karena wanita itu dari organisasi hitam yang telah memisahkan Shinichi dan Ran. Namun hari ini, wanita itu telah mengorbankan dirinya untuk membantu pelarian Ran, untuk menyelamatkannya dan membiarkannya bersama dengan Shinichi. Sonoko merasa malu dan kekanakan, ia menyalahkan dirinya sendiri.

Lampu diatas mereka telah berubah menjadi hijau. Mereka semua berdiri untuk menunggu dokter keluar. Seorang dokter pria paruh baya keluar untuk menghampiri mereka.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Shinichi tak sabar.

Dokter menggeleng, "Maaf, kita sudah berusaha semaksimal mungkin, namun lukanya terlalu parah dan sepertinya di alam bawah sadarnya dia tidak berjuang untuk hidup,"

"Apa?"

"Dia sudah tiada,"

Semua orang terkejut.

"Ai-Chan..." airmata berlinangan di wajah Ran.

"Tidak mungkin..." gumam Shinichi dengan suara rendah, "Itu tidak mungkin... Aku tidak percaya!"

Shinichi mendobrak ruang operasi untuk menghampiri tubuh Haibara.

Seluruh tubuh Haibara ditutupi oleh selimut. Shinichi menurunkan selimut itu dari kepalanya hingga terlihat wajahnya yang pucat.

"Aku tidak percaya ini..." gumam Shinichi, airmata menggenang di matanya meski tidak mengalir ke pipinya. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Haibara dan ia dapat merasakan kulit dibawah telapak tangannya masih hangat. Kemudian ia melakukan sesuatu di luar nalar. Ia menumpukan kedua telapak tangannya di dada Haibara dan mulai menekannya berulangkali.

"Shinichi!" Profesor Agasa terkejut dengan sikapnya

"Kau bertahan dari mereka sampai hari ini, jangan menyerah sekarang Haibara!" Shinichi berteriak kepada tubuh Haibara sambil terus memompa dadanya.

Semua orang tertegun.

"Kau bilang padaku kau ingin menciptakan penemuan hebat! Kau bilang kau ingin terus hidup! Kau harus menepatinya!" Shinichi menekan lebih kuat.

"Shinichi..." Ran juga tertegun dengan sikap Shinichi.

"Kau harus bangun sekarang Haibara! Bagaimana aku bisa memenuhi janjiku untuk melindungimu jika kau tak ada! Aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu tak peduli sekuat apapun mereka diluar sana! Jika perlu aku akan menelan obat itu lagi sehingga kita bisa mengecil bersama untuk bersembunyi dari dunia!

"Kau harus bangun Haibara! Aku akan melindungimu! Aku akan disisimu sampai akhir! BANGUN SEKARANG MIYANO SHIHO!

Tiba-tiba terdengar batuk kecil dan suara tarikan napas. Shinichi terdiam, ia bisa merasakannya. Ia bisa merasakan detak jantung Haibara di bawah telapak tangannya.

"Haibara..." bisik Shinichi.

Ternengar napas pendek Haibara.

Semuanya membeku, dia berhasil kembali.

Dokter dan para tim medis buru-buru memasangkan oksigen lagi padanya untuk membantunya menstabilkan napas. Shinichi yang masih syok dengan kejutan kecil itu terhuyung. Profesor Agasa merangkulnya dan membantunya untuk berjalan keluar dari ruanga operasi. Mereka menunggu lagi.

"Dia kembali Shinichi. Aku yakin dia akan baik-baik saja," kata Profesor Agasa.

Shinichi hanya mengangguk, masih gemetaran.

Beberapa menit kemudian dokter keluar lagi dari ruangan itu.

"Dokter..." Shinichi yang menghampirinya lebih dulu.

"Kita telah melakukan segalanya untuk mempertahankan hidupnya. Sekarang tergantung pada dirinya sendiri kapan dia ingin sadar..."

"Maksud anda..."

"Dia koma. Dia bisa bangun 2 jam lagi, 2 hari, 2 bulan atau 20 tahun..."

Semuanya membeku lagi.

"Kami akan memindahkannya ke ruang ICU. Sebaiknya kita berdoa untuk dirinya," jelas dokter sebelum berlalu pergi.

Dua bulan kemudian, Shinichi, Ran dan Sonoko akhirnya lulus dari sekolah. Pesta yang tadinya ingin mereka buat sebelum tragedi itu, telah dibatalkan. Haibara masih koma dan mereka tidak merasa ingin merayakannya secara heboh. Belum ada perkembangan mengenai kondisi Haibara, ia masih tidak saarkan diri. FBI dan polisi Jepang berjaga dan melindunginya dengan ketat. Shinichi, Ran dan Sonoko mengunjunginya setiap hari. Orang tua Shinichi juga datang ke Jepang untuk merawatnya.

"Ai-Chan..." gumam Yukiko sedih ketika ia melihat Haibara dari luar jendela ruang ICU. Yusaku berdiri di sisinya sementara Shinichi berdiri di sisi yang lain. Mereka masih sedih dengan kondisi Haibara yang kehidupannya masih ditopang dengan alat-alat medis.

Yusaku merangkulnya, "Dia wanita yang kuat, aku yakin dia akan segera sadar," hiburnya.

"Aku harap begitu," kata Yukiko kemudian mendekati Shinichi dan menyentuh bahunya, "Shin-Chan..."

"Okasan," Shinichi menatap ibunya.

"Kau harus berada di sisinya sampai akhir," pinta Yukiko. Hal yang sama yang pernah diucapkannya pada Shinichi ketika tubuhnya masih kecil.

"Aku tahu dan aku akan melakukannya," janji Shinichi.

Ada seseorang datang. Ran mengangguk sopan pada orang tua Shinichi. Ran ingin berbicara dengan Shinichi berdua saja.

"Yukiko," Yusaku memanggil istrinya ketika Shinichi telah pergi keluar bersama Ran.

"Uhm?" Yukiko menatap suaminya.

"Apa kau yakin meminta Shinichi untuk bersama Ai-Chan?"

Yukiko mengangguk, "Ehm. Kenapa?"

"Aku kira dia mencintai putri Mouri, teman masa kecilnya,"

"Aku yakin, karena itu aku memintanya untuk melakukannya,"

"Maksudmu..."

"Aku tahu, pasti sekarang dia sadar bahwa dia juga menyukai Ai-Chan. Dia masih muda Yusaku. Meski dia memiliki deduksi yang hebat sebagai detektif tapi dia masih belum pengalaman dengan perasaannya sendiri. Terdapat perbedaan antara suka karena kebiasaan dan juga cinta. Terkadang, seseorang baru menyadari betapa pentingnya seseorang ketika telah merasakan kehilangan, namun sudah terlambat ketika mereka menyadarinya," Yukiko menatap Haibara lagi, "Tapi aku harap, tidak terlalu terlambat..."

"Aku mengerti," Yusaku sependapat dengan istrinya.

Shinichi dan Ran sekarang berada di taman rumah sakit, dihadapan sebuah kolam ikan kecil. Beberapa menit setelah lama terdiam, akhirnya Shinici memecahkan keheningan.

"Apa yang ingin kau bicarakan Ran?"

"Ah... Aku hanya ingin membuat segalanya menjadi jelas. Aku pikir aku yang harus melakukannya karena aku tahu, tidak nyaman bagimu untuk melakukannya..."

Shinichi menunggunya.

"Hari ini, hari terakhirku mengunjungi Ai-Chan," kata Ran.

"Kenapa?"

"Aku akan dikarantina untuk mengikuti lomba karate internasional,"

"Benarkah? Itu bagus,"

"Uhm," Ran mengangguk, "Meski aku masih sedih mengenai Ai-Chan, tapi aku tahu dia tidak ingin aku sedih setiap hari. Hidup terus berlanjut..."

"Ya kau benar,"

"Dia mengorbankan dirinya... Dia memberiku obat itu untuk melarikan diri..."

"Aku tahu, aku telah mendengarnya,"

"Apa?"

"Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian,"

"Tapi bagaimana?"

"Karena ada transmitter di kacamata Haibara,"

"Aku mengerti. Jadi, kau selalu melindunginya,"

Shinichi mengangguk.

"Aku sangat malu," mendadak Ran mengungkap.

"Apa? Kenapa?"

"Ketika kau kembali ke tubuh normal. Aku hanya berpikir tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku begitu kekanakan. Aku tidak suka melihat kalian begitu dekat dibawah pohon, begitu juga ketika kalian menyelesaikan kasus bersama,"

"Ran..."

"Ai-Chan. Dia benar-benar kuat. Dia mencintaimu Shinichi. Meski dia telah sebatang kara di dunia ini, namun dia masih merelakanmu untuk bersamaku. Aku bisa melihat kesedihannya dimatanya ketika kami masih disandera. Aku tidak tahu jika aku menjadi dirinya, apakah aku bisa sekuat itu?"

Shinichi terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Sekarang aku sangat bersyukur dengan segala hal yang kumiliki. Selama ini aku hanya bisa mengeluh dan menangis, tidak pernah melakukan hal-hal yang besar. Tapi sekarang adalah saatnya bagiku untuk melakukan sesuatu yang besar..."

"Apa itu?"

"Aku akan melepasmu. Ai-Chan lebih membutuhkanmu Shinichi. Aku yakin dia akan sadar dan ketika dia bangun, kau harus melindunginya. Jangan biarkan dia menderita lagi. Kau harus membuatnya bahagia sampai akhir,"

"Ran... Tapi apakah kau baik-baik saja?"

"Ehm," Ran mengangguk seraya tersenyum tulus, "Kau telah memenuhi janjimu untuk kembali padaku setelah kau menyelesaikan urusanmu dengan organisasi itu. Kau telah menjelaskan semuanya. Tapi kau tidak pernah berjanji untuk bersama denganku sampai akhir, kau hanya mengatakannya pada Ai-Chan. Jadi, kau tidak perlu merasa tidak nyaman. Kau tidak pernah berbohong padaku, Shinichi,"

"Maafkan aku Ran,"

Ran menggeleng, "Sudah jalannya seperti ini. Aku merasa lega telah mengatakannya dan membuat semuanya menjadi jelas. Lagipula kenapa kau begitu aneh? Kau adalah detektif hebat tapi kenapa kau tidak bisa menyadari perasaanmu sendiri terhadapnya? Meski aku bodoh, aku bisa menyadari kau mencintai Ai-Chan,"

"Ya... terkadang... seseorang tidak bisa mengerti dirinya sendiri," Shinich mengakuinya.

"Ngomong-ngomong. Apa rencanamu sekarang setelah lulus?"

"Aku akan ke Amerika bersama orang tuaku. Aku ingin masuk Harvard dan mengambil jurusan hukum. Kami akan membawa Haibara juga, sehingga ibuku bisa merawatnya setiap hari,"

"Itu hal yang bagus,"

"FBI telah menawarkan diri untuk menyerahkan Haibara pada mereka. Tapi aku menolaknya. Aku tidak bisa melepasnya pergi. Tapi FBI akan terus memantau kondisinya sampai dia sadar,"

"Janji kita akan terus keep contact,"

Shinichi tersenyum, "Janji,"

Kemudian Ran memeluk Shinichi, untuk yang terakhir kalinya.

"Semoga beruntung Shinichi," bisik Ran.

"Kau juga Ran," Shinichi balas berbisik.


Tiga tahun kemudian di USA...

"Huuuh... Aku bosan..." Yukiko menghela napas panjang. "Yusaku mengurung diri di kamar untuk menulis. Shinichi masih sibuk untuk menyiapkan kelulusannya," curhatnya pada Shiho yang masih koma. Sekarang mereka terbiasa memanggil Haibara sebagai Shiho. Sesuatu yang diinginkan Haibara pada Shinichi sebelum koma. FBI masih menjaganya. Shinichi dan Yukiko rutin mengunjunginya setiap hari untuk mengajaknya bicara dan menceritakan aktivitas mereka hari itu.

"Seandainya saja kau sadar, kita pasti bisa berbelanja bersama mengelilingi mall. Shin-Chan bilang kau memiliki selera yang bagus tentang fashion. Aku yakin hal itu akan sangat menyenangkan," Yukiko tersenyum riang sebelum akhirnya murung lagi, "Sudah tiga tahun Shiho-Chan..."

Tiba-tiba Shinichi memasuki ruangan.

"Ah kau sudah kembali Shin-Chan," Yukiko berkata pada putranya.

"Uhm. Waktunya bergantian, kau pasti lelah Okasan," Shinichi menghampiri ibunya.

"Tidak apa-apa. Aku baru saja berkata padanya, pasti menyenangkan jika suatu hari kita pergi jalan-jalan bersama," ujar Yukiko sembari memandang Shiho. Dia sudah menganggap Shiho seperti putri kandungnya sendiri sejak Shiho masih mengecil. Ketika mereka bertemu pertama kali, ia merasa tersentuh dan tidak tega, bagaimana Shiho tetap tegar dari penderitaan setelah seluruh keluarganya dihabisi oleh organisasi itu? Yukiko tidak pernah membencinya karena ia yang membuat Shinichi mengecil. Shiho tidak memiliki pilihan ketika dipaksa membuat obat itu. Setiap hari Yukiko datang mengunjunginya dan merawatnya. Membersihkan tubuhnya dan memangkas rambutnya. Berkat tangannya Shiho tetap terlihat rapi dan cantik. Ia bagai putri tidur, bukan orang yang sedang koma.

"Aku akan menginap disini malam ini Okasan," kata Shinichi.

"Kau yakin Shinichi?"

"Uhm," Shinichi mengangguk, "Lagipula besok hari sabtu"

"Baiklah kalau begitu. Aku yakin kalian berdua juga membutuhkan waktu privasi," Yukiko menepuk lunak pundak putranya sebelum meninggalkan ruangan.

Shinchi duduk di pinggiran tempat tidur. Seperti biasanya, ia mulai bercerita tentang aktivitasnya hari itu. Kuliahnya dan persiapan wisudanya. Tapi tidak peduli sudah berapa lama ia berbicara, tetap tidak ada respond dari Shiho.

Shinichi menghela napas, "Ayolah Shiho. Sudah tiga tahun. Tidakkah kau bosen tidur seperti itu terus? Ini bukan gayamu? Tidak kah kau ingin bertengkar denganku? Aku merindukan tsunderemu," ia menggenggam tangan Shiho.

"Wisudaku akhir tahun ini. Aku ingin kau merayakannya bersama diriku. Setelah itu aku akan membuka agensiku sendiri. Aku membutuhkanmu Shiho. Seperti Holmes dan Watson. Aku bahkan membutuhkanmu lebih dari itu,"

Shinichi terus berbicara hingga malam. Ia akhirnya menggeser kursi ke sebelah ranjang dan mendudukinya. Sambil menggenggam tangan Shiho, ia jatuh tertidur.

Beberapa jam kemudian, subuh dini hari, Shinichi dapat merasakan gerakan kecil dalam genggaman tangannya. Shinichi membuka matanya dan tertegun. Jari Shiho bergerak.

"Nani? Shiho?" Shinchi menatapnya.

Kelopak mata Shiho bergerak, dahinya mengkerut dan terdapat gumaman kecil dari bibirnya.

Mata Shinichi membesar, "Kau sudah sadar Shiho?"

Perlahan Shiho membuka matanya.

Shinichi tersenyum, tampak lega. Ia menekan tombol untuk memanggil tim medis. Dokter dan timnya datang ke ruangan sembari mengecek kondisi Shiho. Ia menghubungi orang tuanya juga. Mereka menunggu diluar ruangan penuh dengan ketegangan dan pengharapan. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya pintu terbuka dan perawat membiarkan mereka masuk.

Shinichi dan orang tuanya memasuki ruangan dan menemukan Shiho yang telah sadar. Tempat tidurnya telah dimiringkan dengan kondisi setengah duduk. Dia masih lemah dan terlihat pucat. Matanya kosong. Ia masih mengenakan selang oksigen dibawah hidungnya.

Perlahan Shinichi mendekatinya dengan jantung berdebar-debar, "Shiho?" panggilnya.

Shiho tidak merespon.

"Shiho... Kau bisa mendengarku?" Shinichi menggenggam tangannya.

Lambat-lambat Shiho menarik tangannya dari genggaman Shinichi.

Shinichi tampak canggung.

"K-Kau... siapa?"

Shinichi menegang, "Shiho... Aku Shinichi. Kau tidak ingat?"

"Shiho? Apakah itu... namaku?" Shiho menghela napas lemah.

Yusaku dan Yukiko saling bertukar pandang, kemudian mendekati tempat tidur juga.

"Shiho-Chan. Apa kau mengingatku? Aku Yukiko, ibu Shinichi,"

Shiho memandangnya dan perlahan menggeleng, "Aku tidak tahu... Kau Siapa... dan aku siapa?"

"Cobalah untuk mengingat, Shiho," pinta Shinichi.

Shiho tampak berpikir, mencoba untuk mengingat namun kemudian ia menjadi tegang sambil memegang kepalanya ia mengeluh, "Aku tidak bisa... mengingat apapun... Sakit..." dia mendapat serangan sesak napas lagi.

"Shiho..."

Dokter meminta mereka semua keluar ruangan. Sakit kepala Shiho semakin tidak tertahankan. Dia menjadi tidak terkendali sehingga dokter terpaksa membiusnya lagi agar ia tidak melukai dirinya sendiri.

Di ruang meeting bersama FBI & Tim Doktor

Perkembangan kesadaran Shiho membuat FBI harus menyusun rencana untuk masa depannya. Karena status Shiho dalam pengawasan FBI selama ini, sekarang mereka semua mengadakan pertemuan bersama dengan Tim Medis dan Keluarga Kudou.

"Kami telah mengeceknya dengan tim dokter. Shiho Miyano mengalami amnesia permanen," salah satu perwakilan dokter berkata.

Shinichi tertegun, Amnesia permanen?

"Dia telah koma untuk waktu lama dan terdapat tragedi buruk ketika hal itu terjadi. Hal itu membuatnya trauma dibawah sadar,"

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Dokter?" tanya Jodie Sensei.

"Dia tidak boleh berpikir terlalu berat lagi. Hal itu bisa membuatnya sakit kepala. Dia tidak akan kehilangan kepandaiannya tapi sebaiknya dia tidak melakukan pekerjaan berat lagi seperti ilmuwan. Kita harus membuat perasaannya stabil,"

Aku berharap kehilangan ingatanku agar aku melupakan kematian kakakku... Shinichi mengingat perkataan Shiho bertahun-tahun lalu. Sekarang Shiho benar-benar kehilangan ingatannya selamanya. Tangan Shinichi mengepal, merasa sangat terpukul. Kenangan diantara mereka berdua juga akan hilang.

"Aku mengerti," sahut Jodie Sensei, "Sepertinya ini adalah saatnya agar dia mengikuti program FBI untuk mendapatkan identitas baru. Dia tidak bisa hidup lagi sebagai Shiho Miyano ataupun Ai Haibara. Sisa-sisa BO masih diluar sana. Kita akan mengatur kepindahannya ke suatu desa kecil yang aman,"

"Aku tidak setuju," Shinichi berkata dingin.

"Nani?" Jodie Sensei memandangnya.

"Dia pernah berkata padaku dia ingin menjadi Shiho. Lagipula kita semua sudah memanggilnya Shiho sejak pertama kali dia sadarkan diri. Dia bisa bingung jika kita memanggilnya dengan nama lain. Dan aku tidak akan membiarkan dirinya pindah ke tempat lain. Dia akan tinggal bersama kami. Kami akan melindunginya," jelas Shinichi.

"Aku setuju dengan Shin-Chan," Yukiko menanggapi, "Dia harus tinggal bersama kami,"

Jodie Sensei terlihat berdiskusi dengan tim nya sebelum memandang Shinichi lagi, "Oke Shinichi-Kun. Kita bisa membiarkannya tinggal bersamamu, tapi kau harus membuat identitas baru untuknya. Jika dia hidup sebagai Shiho Miyano, cepat atau lambat dia akan menemukan kenyataan tentang ayahnya sebagai ilmuwan gila dan kemudian organisasi itu. Itu dapat membuatnya menderita. Kau harus menciptakan latar belakang baru untuknya,"

"Shinichi," Yusaku berkata pada putranya, "Kali ini aku setuju dengan Jodie Sensei. Shiho-Chan bisa tinggal bersama kita, tapi dia tidak boleh mengetahui masa lalunya. Akan sulit baginya untuk menerima kenyataan dengan kondisinya sekarang ini,"

Shinichi terlihat berpikir sesaat sebelum berkata, "Aku tahu, aku punya caraku sendiri,"

Shinichi mengetuk pintu sebelum membukanya.

"Boleh aku masuk?" tanya Shinichi.

"Uhm," Shiho mengangguk. Ia sedang duduk di tempat tidurnya sembari memandang jendela sebelum Shinichi datang. Shiho terlihat lebih segar sekarang. Ia tidak lagi ditunjang dengan alat-alat elektrik medis kecuali infus.

Shinichi memasuki ruangan dan kemudian duduk di tepi tempat tidur dihadapan Shiho. Di tangannya membawa sebuah album.

"Bagaimana perasaanmu hari ini? Lebih baik?" tanya Shinichi seraya menyunggingkan senyuman hangat.

Shiho mengangguk sambil memandangnya tanpa ekspresi, "Kau..." ia lupa nama Shinichi.

"Aku Shinichi. Shinichi Kudou," Shinichi memperkenalkan diri sekali lagi.

"Shinichi Kudou?" ulang Shiho. Meskipun ia tidak bisa mengingatnya, namun terdengar familiar di telinganya.

"Ehm," Shinichi mengangguk.

"Jadi, bisa kau jelaskan siapa aku?" tanya Shiho.

"Tentu saja. Kau Shiho. Shiho Hiroshi,"

"Shiho Hiroshi?"

"Ya, kita berteman sejak kecil," kata Shinichi sambil memberikannya album foto.

"Apa ini?" Shiho membuka album tersebut.

"Foto-foto kita. Lihat," Shinichi menunjukkan salah satu foto mereka berdua bersama Profesor Agasa, "Dia ayahmu, Agasa Hiroshi. Dia adalah seorang professor, ini kau dan ini aku. Kita kelas satu SD di foto ini," ia menjelaskan.

Shinichi membutuhkan waktu dua hari untuk menyiapkan album ini. Memilih-milih foto ketika ia dan Shiho masih dalam tubuh kecil. Ia menyusunnya dengan hati-hati agar Shiho tidak curiga. Profesor Agasa bersedia memberikan nama keluarganya pada Shiho untuk identitas barunya.

"Agasa Hiroshi adalah ayahku?"

"Ya,"

"Dimana dia sekarang?"

"Dia sedang dalam penerbangan kemari dari Jepang. Aku telah menjelaskan kondisimu kepadanya,"

"Jepang?"

"Ya, dia ada pekerjaan disana, itu sebabnya dia memercayakanmu pada kami disini. Terkadang ia datang untuk menjengukmu disini. Orang tuamu dan orang tuaku adalah teman dekat, karena itu kita juga dekat. Bagi orang tuaku kau seperti putri mereka, begitu juga dengan ayahmu, dia sudah menganggapku seperti putranya sendiri,"

"Apakah ini orang tuamu?" Shiho menunjuk foto Profesor Agasa dan Keluarga Kudou.

"Ah iya itu orang tuaku. Yusaku dan Yukiko Kudou. Kau telah melihat mereka beberapa hari lalu," ujar Shinichi.

"Dimana ibuku?"

"Ibumu Elena Hiroshi dari Inggris. Dia meninggal sejak kau masih bayi. Ayahmu tidak menyimpan fotonya karena terlalu menyakitkan,"

"Benarkah begitu?"

"Ehm,"

Shiho menengok album itu lagi dan membaca kata-kata di jaket dari lima orang anak, "Detektif cilik?"

"Ah ya, mereka adalah teman sekolah kita di SD. Kita sering bermain detektif bersama. Ini Genta, Mitsuhiko dan Ayumi," Shinichi menunjuk satu per satu.

"Kacamata..." gumam Shiho.

"Eh?"

"Dimana kacamatamu sekarang?" tanyanya pada Shinichi.

"Oh aku tidak menggunakannya lagi, aku menyembuhkan minus dengan laser," ujar Shinichi seraya nyengir canggung.

"Kenapa tidak ada foto ketika kita SMP dan SMA disini?"

"Oh, aku meninggalkannya di rumah di Jepang. Aku cuma punya ini disini," jelas Shinichi. Tentu saja tidak ada foto SMP atau SMA. Album di tangan Shiho adalah satu-satunya. Shinchi mengeluh dalam hati. Sepertinya ucapan dokter benar. Meski kehilangan ingatan, namun Shiho tidak kehilangan kepandaiannya.

Shiho terdiam sebelum melihat album lagi, "Aku tidak mengerti. Tidak ada bayangan sama sekali tentang kenangan di foto ini," Ia terlihat berusaha keras untuk mengingat, namun ia tidak mendapatkan bayangan sedikitpun selain sakit kepala, "Tapi aku tidak bisa..." ia menyentuh kepalanya.

Shinichi buru-buru berkata, "Tidak apa-apa Shiho. Aku tidak akan memaksamu mengingat. Aku menunjukkan album ini agar kau percaya,"

"Tapi..."

Shinichi menyentuh lembut pundaknya, "Tidak apa-apa, tenang saja. Aku tidak mau menyakitimu,"

Shiho menarik napas panjang, perlahan sakit kepalanya menghilang.

"Berapa lama aku koma? Kenapa?"

"Kau mendapat kecelakaan mobil ketika kita sedang berlibur disini setelah lulus SMA. Sudah tiga tahun sejak saat itu, Shiho,"

Shiho menggeleng, "Aku benar-benar tidak ingat. Bagaimana jika selamanya aku tidak bisa mengingatnya?"

Shinichi menggenggam tangannya, membuat Shiho terlihat canggung, "Tidak apa-apa. Tidak masalah jika kau tidak bisa mengingatnya. Hidupmu jauh lebih penting. Benar-benar keajaiban akhirnya kau bisa sadar kembali,"

Perlahan Shiho menarik tangannya dari genggaman Shinichi.

"Kenapa?" tanya Shinichi bingung dengan gelagatnya.

"Aku tidak tahu bagaimana harus percaya padamu,"

"Tidak apa-apa. Aku mengerti kau masih bingung sekarang. Aku tidak buru-buru," Shinichi meraih kedua tangannya lagi dan menggenggamnya kembali sambil menatapnya lembut, "Aku akan buktikan kau bisa percaya padaku. Aku akan melindungimu Shiho,"

Wajah Shiho memerah, "T-Tunggu..." Ia menarik tangannya lagi, "Apakah kita sedekat itu?" tanyanya gugup.

Shinichi tersenyum, menertawakan wajah merahnya, "Kau tidak tahu? Orang tua kita sudah mengaturnya sejak kita masih bayi. Sebenarnya, kau adalah tunanganku, Shiho-Chan,"

"Ehh?" wajah Shiho sepenuhnya merah sekarang.

Malam itu Profesr Agasa tiba. Ia memeluk Shiho dengan airmata berlinangan. Ia tidak perlu berpura-pura atau akting. Dia sudah menyayangi Shiho bagai putrinya sendiri sejak bertahun-tahun lalu. Dia sungguh lega akhirnya Shiho mendapatkan kesadarannya. Ia sangat merindukannya.

"Neee Shiho-Chan. Aku sudah membuatkan sandwich kesukaanmu dengan selai blueberry dan kacang," kata Yukiko suatu pagi.

"Maaf merepotkanmu, Yukiko-San," Shiho tampak malu.

"Sama sekali tidak, aku senang melakukannya. Aku telah menunggu begitu lama, aku senang kau bisa sembuh. Kau hanya harus sedikit terapi lagi untuk memulihkan kondisimu sepenuhnya. Setelah itu kita bisa belanja bersama! Ahhh, Shin-Chan pasti senang juga karena mimpinya menjadi kenyataan, karena kau bisa hadir di wisudanya," ujar Yukiko riang seperti biasa.

"Terima kasih Yukiko-San. Aku juga mendengar kau yang merawatku selama tiga tahun ini. Kau baik sekali padaku," kata Shiho. Dia merasa sangat nyaman dan hangat bersama Yukiko. Ia berharap dapat memiliki ibu kandung seperti dirinya.

"Tidak perlu malu, Shiho-Chan. Aku hanya punya seorang putra yang gila misteri. Aku telah menyayangimu seperti putriku sendiri sejak bayi, lagipula..." Yukiko meraih kedua tangan Shiho dan menggenggamnya. Sikapnya mengingatkan Shiho akan Shinichi, "Kau adalah hidupnya Shin-Chan. Dia terlihat bahagia belakangan ini. Aku tidak pernah melihatnya sesenang itu selama tiga tahun ini. Semua berkat dirimu Shiho. Terima kasih karena kau mau berjuang untuk hidup dan kembali pada kami. Kau adalah cahaya untuk Shin-Chan, untuk kami,"

"Yukiko-San..." Shiho memandangnya dengan mata berkaca-kaca, merasa tersentuh dengan perkataannya.

Yukiko memberinya senyuman hangat.

"Tapi..."

"Uhm,"

"Aku benar-benar tidak ingat kalau aku dan Shinichi saling mencintai..." Shiho terlihat canggung.

"Ah tidak apa-apa Shiho-Chan. Tidak masalah kalau kau tidak bisa ingat. Kita bisa memulainya lagi dari awal. Kau bisa jatuh cinta lagi padanya dan aku yakin tidak akan membutuhkan waktu lama. Cinta sejati akan kembali ke tempatnya," Yukiko menepuk-nepuk lunak tangan Shiho.

Wajah Shiho memerah lagi.


Setelah wisuda, Shinichi dan Shiho kembali ke Jepang. Shiho sepertinya masih berusaha agar ia bisa mengingat sesuatu jika kembali kesana. Shinichi tidak bilang pada yang lain tentang kedatangannya ke Jepang. Dia tidak mau membuat Shiho semakin bingung jika mereka reunian lagi dengan Ran, Sonoko dan yang lainnya. Terlalu cepat bagi Shiho untuk menghadapinya. Terlebih lagi, ia ingin menikmati waktu bersama Shiho berdua saja. Menikmati ketenangan. Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Sekolah Dasar Teitan. Mereka mulai lagi dari awal. Selama berjalan di sekolah, Shinichi selalu memegang tangan Shiho seakan takut kehilangan dirinya lagi.

"Bagaimana? Ingat sesuatu?" tanya Shinichi ketika ia melihat Shiho tertegun agak lama di pinggir lapangan. Terdapat beberapa anak sedang bermain kasti.

Perlahan Shiho menggeleng, "Aku tidak ingat, tapi aku bisa merasa familiar disini,"

"Tentu saja, dulu kita menghabiskan banyak waktu disini,"

Shiho masih tertegun di pinggir lapangan. Sepertinya ada sesuatu tentang kasti, tapi ia tidak ingat apa.

"Kau mau berkeliling lagi?" tawar Shinichi.

Shiho menggeleng lagi, "Tidak. Sudah cukup,"

"Kita sudah berjalan seharian. Kau pasti lelah, kita pulang saja sekarang,"

"Ehm," Shiho mengangguk,"

Ting! Mendadak sebuah bola kasti melayang ke arah mereka.

"Awas!" Shinichi refleks memeluk Shiho untuk melindunginya. Bola kasti itu mengenai punggungnya. Shiho terhenyak bukan karena sikap protektif Shinichi, namun ia tiba-tiba saja mendapat sebuah bayangan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Shinichi.

"Aku baik-baik saja," sahut Shiho.

"Ayo kita pulang," Shinichi menggenggamnya untuk mengajaknya pulang namun Shiho bergeming. Shinichi memandangnya lagi, "Ada apa Shiho? Kau tidak enak badan?"

"Aku mengerti sekarang," gumam Shiho.

"Apa?"

"Ketika kau melindungiku tadi, aku mendapat gambaran. Apa kau pernah melakukan itu ketika kita masih kecil? Melindungiku dari bola kasti?"

Shinichi terpana, Shiho berbicara ketika tubuh mereka masih kecil. Tentu saja Shiho menyadarinya sebagai masa kecil, karena ia tidak ingat tentang APTX 4869.

Perlahan Shinichi mengangguk, "Ya, aku pernah melakukannya sewaktu kita masih kecil. Hanya saja saat itu aku begitu mungil dan belum cukup kuat untuk menahan bolanya. Kita terjatuh bersama ke tanah,"

"Walaupun tidak jelas, tapi setiap kali kau menggengamku seperti ini, terkadang aku mendapatkan gambaran, kita pernah berpegangan seperti ini. Di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda... Aku tidak ingat tapi..."

"Familiar?"

"Ya,"

Shinichi tersenyum ketika mendekat padanya, "Tentu saja. Aku selalu menggenggam tanganmu hampir setiap waktu dan aku akan selalu melakukannya Shiho,"

"Eh?"

"Aku akan bersamamu sampai akhir, Shiho,"

Shiho terpana menatapnya, jantungnya berdebar cepat.

Shinichi memeluknya erat, "Aku akan melindungimu," dan ia tidak pernah menyangka dapat merasakan kehangatan dan kenyamanan luar biasa ketika memeluk Shiho seperti ini.

"Shinichi..." Shiho membisikkan namanya seraya membalas pelukannya. Ia juga merasakan kenyaman dan kehangatan dalam dekapan Shinichi.

Cahaya matahari terbenam menyinari pasangan yang saling berpelukan itu. Menandakan ada kisah cinta yang baru dimulai lagi.

The End