このままで
sekaiichi hatsukoi © nakamura shungiku
saya tidak mengambil keuntungan dari fanfiksi ini
.
.
.
.
Takano terdiam, berbaring miring dalam rebahnya, memeluk sang kesayangan yang selalu menghadiahinya harapan dan menghempaskannya di saat yang sama.
Dalam hati, lelaki itu mengutuk dirinya lagi, yang selalu kehilangan kontrol diri tiap kali berhadapan dengan sosok yang sedang terbuai mimpi di pelukannya. Mata coklat keemasannya memicing di tengah kegelapan kamar tidurnya, mencoba menyusun daftar momen demi momen yang tak pernah gagal membuatnya lepas kendali.
Apakah hatinya selalu berdesir tatkala Onodera menunjukkan kesungguhannya terkait pekerjaannya? Apakah jantungnya selalu berdegup lebih cepat saat sepasang mata zamrudnya mencuri pandang ke arahnya, yang selalu menyimpan tanya dan rasa dalam kemilau hijaunya namun selalu bersikeras menguncinya dalam diam?
Apakah Onodera tak menyadari bahwa Takano juga melakukan hal yang sama? Menyimpan rasa sesak karena menanggung cinta yang dalam tetapi tak tahu harus memulai dari mana untuk mengungkapkannya?
Tubuh hangat yang dicintainya tiba-tiba gemetaran, memecahkan gelembung kontempelasi Takano. Lelaki itu menyadari bahwa selimut yang menutupi tubuh Onodera melorot hingga ke lengan bawah. Dengan refleks, lengan Takano menarik selimut itu hingga ke leher Onodera. Tak hanya itu, Takano juga tersadar dengan tiadanya bantal yang melandasi kepala Onodera. Tanpa pikir panjang, Takano langsung membagi bantal yang ia kenakan agar bisa dipakai Onodera juga.
Harum samponya sendiri, bercampur dengan esensi Onodera tercium oleh Takano, menyihir sang pemimpin redaksi hingga ia hampir tergoda untuk membangunkan lelaki di pelukannya agar bisa ia cintai dengan seluruh jiwa nan raganya. Takano tahu betul bahwa Onodera tak pernah menolak cumbu rayunya. Selain itu, mengekspresikan cinta dengan tubuh adalah bahasa cinta terbaik yang bisa Takano tawarkan bagi Onodera.
Sungguh memalukan, memang. Seorang pemimpin redaksi majalah shōjo, yang diharuskan paham urusan cinta para remaja, ternyatahanya pandai mengekspresikan cintanya lewat hubungan badan saja? Yah, memang kenyataannya begitu. Jika butuh bukti, coba tanyakan saja pada beruang liar di departemen penjualan komik di lantai tiga Penerbit Marukawa.
Kembalinya Onodera di hidupnya mengembalikan kecemasan, kebimbangan, dan keraguan yang sudah lama tak hinggap di hati Takano. Ia belum pernah berusaha sekeras ini dalam urusan cinta agar mantan adik kelas yang sangat dicintainya itu sungguhan menjadi miliknya lagi. Terkadang, ketika usaha payahnya dalam menggoda dan mencumbu hanya dibalas oleh dorongan di dada, sepasang hijau zamrud yang melotot gusar, dan penolakan gamblang, Takano tidak berhenti menanyakan ini dalam hati: apakah tidak cukup denganku mengucapkan aku mencintaimu? Berapa lama aku harus menunggu hingga kau menjadi milikku lagi, Ritsu?
Jika ucapan tak lagi cukup, maka tindakan pun akan Takano lakukan. Jika itu pun tak cukup, maka Takano takkan ragu untuk membuka hatinya bagi Onodera. Sudah lama hatinya mengunci Oda Ritsu di hatinya; ia tak ragu untuk mengganti sosok indah di masa lalunya dengan Onodera Ritsu dan menguncinya lagi di sana selamanya.
Tetapi, apakah usahanya dan keterbukaan ini akan berbuah indah nan manis? Takano tak pernah menyimpan harapan selama ini dan membiarkan dirinya terombang-ambing. Beruntung Emerald adalah tanggung jawabnya yang tak bisa ia tinggalkan sembarangan; kalau tidak, kisah zaman kegelapan saat kuliah dulu akan terulang lagi.
Takano sangat ingin membangunkan Onodera, menelusuri jemarinya di permukaan kulit halus sang editor junior, menyentuh Ritsu-nya hingga sang editor junior dan dirinya tenggelam dalam irama percintaan yang selalu membakar Takano dalam pemujaan yang tak bisa ia hentikan. Sudah sepuluh tahun Takano menyimpan cinta nan rindu pada sosok Ritsu; ia tak dapat menahan diri untuk menuntaskan keduanya seakan ia takkan lagi mendapat kesempatan berikutnya.
Namun, Takano menahan diri.
Dalam pelukannya, Onodera masih terbenam dalam lelap yang dalam.
Takano meragu, pada akhirnya.
Lelaki itu khawatir kalau ia terlalu memaksa dan menuntut Onodera dalam jam tidurnya. Sudah berat tuntutannya pada Onodera ketika mereka terjaga dan bekerja. Apalagi, Takano sangat tahu jika Onodera menuntut dirinya sendiri jauh lebih keras hingga abai dengan kesehatannya sendiri. Ia tak mau Onodera jatuh sakit untuk kesekian kalinya.
Maka dari itu, Takano menahan dirinya dan membiarkan Onodera menikmati tidurnya.
Dan juga, ia belajar untuk memupuk harapan karena masih ada esok hari baginya untuk mengejar Onodera lagi.
Memang keadaannya seperti ini, mau bagaimana lagi?
