cw / drabble; soft smut; fluff; in bahasa.
selamat membaca!
Aftercare
Hinata berguling lelah sesaat setelah menarik selimutnya untuk menutupi sebagian dari tubuh polosnya. Benar-benar polos, tak lagi mengenakan pakaian satupun sejak Naruto menanggalkannya beberapa jam yang lalu.
Bergerak membelakangi Naruto di sebelahnya, jejak keringat yang masih tertinggal membawa kedua lengannya makin mengeratkan selimut guna maraup hangat. Tunggu, bukan ia sengaja membalakangi, hanya reflek, kau tahu? Semacam itu. Sebab, ia sudah terlampau lelah dan mengantuk luar biasa. Maka dari itu, Naruto juga lantas melirik tak masalah. Malah mendengus kecil sebelum akhirnya ikut berbalik dan menjatuhkan satu lengannya memeluk dari belakang.
Hinata tak lagi terkejut. Deru napas yang berangsur stabil makin membuatnya tenggelam dalam kenyamanan. Sekalipun pada saat yang sama, Naruto diam-diam kembali mengendus tengkuk lehernya. Sesekali mengecupi surainya yang masih setengah basah. Ia hanya bergeming. Geli. Afeksinya masih tetap sama. Selalu berhasil mengirim banyak sekali kupu-kupu terbang yang menggelitik isi perutnya.
Jadi tersenyum kecil, masih dengan memenjamkan kedua matanya, Hinata lantas bertanya lirih, "Lagi?"
Bukannya langung menjawab, punggung yang menempel pada dada bidangnya jadi ikut bergetar pelan saat Naruto di sana malah tergelak, setengah terkekeh lebar.
"Enggak," paraunya kemudian.
Kendati begitu, Naruto masih belum berhenti. Betah membauinya, mengecup lembut bahunya yang tak tertutupi oleh selimut.
Jelas saja Hinata lantas berdecih jenaka, "Kalau enggak, tangannya juga jangan ke mana-mana, Naruto-kun."
Naruto kembali terkekeh. Mendengus kecil. Terakhir menambahkan satu kali kecupan di belakang telinga sebelum akhirnya berujar manis, "Gemas saja. Tumben nggak mandi dulu. Aku siapkan air hangat, ya?"
Kali ini Naruto tak banyak bergerak. Kedua lengannya kian melingkar dan mendekap hangat tubuhnya selagi menunggu balasan.
Tetapi, ah, dasar suaminya itu memang benar-benar rubah yang licik. Meskipun hanya sekali, namun ia bisa merasakan darahnya berdesir naik, menciptakan rona di wajah dan kedua telinganya yang perlahan menghangat.
"Nggak usah," sahut Hinata seraya menggelengkan kepala. "Lagi mau istirahat dulu. Capek. Ngantuk."
Sejenak kemudian, Naruto tiba-tiba berjengit. Mengangkat sedikit kepalanya guna memastikan Hinatanya baik-baik saja. Rupanya memang benar. Terlihat sangat kelelehan, namun tampak begitu teduh dengan sepasang netranya yang terpejam dalam temaram.
Setelah itu, Naruto pun lekas mendekap erat. Menyalurkan hangat tubuhnya seraya kemudian berbisik di dekat telinga, "Kalau begitu aku juga mau istirahat dulu. Biar nanti mandinya sama-sama."
Sontak saja Hinata menyikut perutnya pelan. Ia tersenyum. Naruto juga ikut mengulas kurva, mendengus jenaka. Hingga beberapa saat kemudian, Naruto beranjak mengecup lembut pelipisnya sebelum kembali berkata, "I love you, Hinata." ]
.
.
.
Fin.
