Rosa Rubus
Oleh: Lil' Pink Rabbit
Tidak ada keuntungan materi apa pun yang diambil dari fan fiksi ini.
▫️
▫️
Hamparan bunga-bunga berwarna ungu
Menari di bawah naungan awan kelabu
Petir membawa rinai bernuansa sendu
Sebagaimana hatiku yang teringat akan dirimu
▫️
Mendung menutup bintang juga rembulan
Akankah rindu dendam ini tersampaikan
Di rentang sejarah yang bergerak dalam aliran
Kisahmu dan kisahku telah bersinggungan
Dan terabadikan
▫️
▫️
Disclaimer: Love & Producer/Mr. Love: Queen's Choice © Papergames/Elex
Dipersembahkan khusus untuk hari Valentine #HappyHeartsDay
MC di dalam cerita ini bernama "Reira" (diambil dari IGN/in-game-name si penulis).
▫️
▫️
"Lagi nulis apaan?"
Jantung Reira serasa meloncat tinggi ke angkasa berawan mendengar sapaan tiba-tiba di dekat telinga. Gadis itu menoleh dan melihat Shaw menegakkan badan di sampingnya. Sejenak, perhatian si pemuda teralihkan oleh pendingin minuman tak jauh dari mereka. Dengan cepat, diambilnya sekaleng cola, sebelum akhirnya ia duduk menyebelahi Reira.
"Aku sempat baca tadi. Puisimu bagus."
Shaw terkekeh singkat saat melihat Reira cepat-cepat menyembunyikan selembar kertas memo di meja kantin itu ke pangkuannya.
"Kamu ngeledek?"
Gadis itu melayangkan tatapan datar ke arah Shaw yang cuma cengar-cengir. Si pemuda membuka kaleng cola dan meneguk isinya. Acuh tak acuh kepada Reira yang pelan-pelan meletakkan kertas itu lagi di hadapannya.
"Ke kantin bukannya makan malah nulis puisi," ujar Shaw.
"Suka-suka aku, lah." Reira memutar bola mata. "Lagian aku dah kelar makan tadi."
"Ooh ..."
"Kamu juga, ke kantin bukannya makan malah minum cola."
Shaw mendengkus terang-terangan. "Bodo' amat."
"Dih." Reira mencomot sembarang roti di keranjang anyaman kecil di dekatnya. Langsung diserahkannya roti itu kepada Shaw. "Nih, aku traktir. Kamu pasti lagi enggak punya duit, 'kan? Kasian, ntar pas kuliah malah pingsan gara-gara kelaperan."
"Sembarangan! Kata siapa aku enggak punya duit?" Shaw menyambar roti mungil berwarna hijau alami itu. Dengan cepat, kertas pembungkusnya telah terbuka, membiarkan Shaw melahap isinya. "But, thanks ... Oh, isinya kacang hijau."
Reira memutar bola mata sekali lagi. Mengabaikan Shaw, gadis bermata sebening madu itu kembali fokus kepada tulisannya. Alisnya berkerut-kerut, merasa masih ada yang kurang pada karyanya.
"Nulis puisi buat siapa, sih?"
Pertanyaan tiba-tiba Shaw membuat alis Reira makin berkerut.
"Emangnya kalau nulis puisi harus, gitu, buat seseorang?"
"Emangnya enggak?"
"Enggak."
"Ooh ... Kirain."
"Kirain ... apa?"
"Kirain kamu sama kayak cewek-cewek sekampus yang pada heboh hari ini."
Reira mengerutkan kening. Hanya sedetik.
"Aah ... Maksud kamu, Valentine?"
"Ya, itulah." Shaw menghabiskan roti kacang hijaunya yang tinggal sedikit. "Lagian enggak mungkin juga kamu mau kasih puisi ke seseorang."
Entah kenapa, ucapan Shaw membuat Reira merasa kesal. Akan tetapi, gadis itu tidak berkomentar.
"Soalnya kamu kan jomblo."
Reira nyaris mematahkan pena di tangannya mendengar kata-kata Shaw. "Kamu kali' yang jomblo."
Shaw tidak menyahut lagi. Diteguknya isi kaleng cola-nya hingga tetes terakhir. Saat Reira mengerling ke arahnya, Shaw hanya memamerkan senyum miring menyebalkan andalannya. Memutuskan untuk mengabaikan Shaw sepenuhnya, Reira kembali fokus kepada puisinya. Hingga telinga sang puan menangkap suara gemuruh dari langit.
Reira dan Shaw sama-sama memandang keluar kantin. Kilat tampak berkelebat di antara awan-awan kelabu. Secepat titik-titik hujan yang mulai jatuh satu demi satu ke bumi. Lalu menderas dalam hitungan detik.
Reira mengeluh spontan. Sementara Shaw tersenyum tipis, seolah menikmati irama hujan di luar sana. Berpadu dengan aroma petrikor yang menenangkan.
"Kenapa, sih, kalau ada kamu selalu turun hujan?" protes Reira.
"Kebalik, tahu. Hujan selalu turun kalau aku lagi sama kamu."
Meskipun bicara seperti itu, tiada raut kekesalan di wajah Shaw walau sedikit. Hujan deras menahannya agak lama di kantin. Begitu pula Reira, yang mau tak mau jadi lebih lama bersamanya. Hujan deras itu tak jua mereda. Akan tetapi, ia tiba-tiba berhenti sebelum Reira menemukan bagian mana dari puisinya yang ingin dia ubah.
Shaw bangkit tiba-tiba. Tanpa peringatan, diambilnya kertas puisi Reira.
"Hei!" Reira berseru memprotes. "Shaw, balikin enggak?"
Tangan Reira menggapai hendak merebut kertas itu kembali. Akan tetapi, Shaw berkelit mundur teriring tawa.
"Udah, enggak usah diganti-ganti lagi," katanya. "Ini udah bagus, kok."
Reira bangkit berdiri, sekali lagi mencoba merebut kembali kertas puisinya. Shaw mengangkat kertas itu tinggi-tinggi di atas kepala. Pada akhirnya, Reira hanya bisa mengentak lantai. Lalu duduk kembali dengan muka cemberut.
"Aku duluan, Reira. Sekalian bayarin cola aku, ya!"
Shaw beranjak begitu saja, meninggalkan Reira yang mencibir di balik punggungnya. Akan tetapi, baru juga dua langkah, pemuda itu kembali lagi.
"Ntar sore kamu nganggur, 'kan? Temenin makan hot pot, aku nemuin warung murah meriah yang masakannya enaaak banget! Nanti aku telepon habis beres kuliah."
"Hah?"
"Sebagai gantinya, dan buat ganti cola juga, puisimu bakal aku jadiin lagu yang dijamin keren."
Reira mengerjap. Tunggu dulu. Shaw ingin menjadikan puisi itu sebuah lagu untuk dimainkan band-nya?
"Kok malah bengong, sih?" kata Shaw lagi ketika Reira tak kunjung bicara.
"Aneh aja," sahut Reira sekenanya. "Maksudnya ... band kamu ... mau nyanyiin lagu yang liriknya kayak gini?"
Shaw berdecak samar. Sepertinya gadis itu lupa, Shaw juga menggemari lagu-lagu seperti 'Wake Me Up When September Ends' milik Green Day.
"Kamu pikir aku ini siapa?" Shaw mengangkat dagunya jumawa. "Tinggal utak-atik dikit liriknya, biar enggak terlalu menye-menye."
Detik ini juga, Reira sungguh tergoda untuk menimpuk muka ganteng Shaw dengan keranjang roti di meja kantin.
"Jangan lupa dateng ke acara kampus weekend nanti. Band-ku bakal manggung di situ. Ntar lagunya sekalian aku debutin, deh."
"Hah? Emangnya bisa secepat itu bikin lagu? Tinggal berapa hari lagi manggungnya?"
Shaw hanya mendengkus dengan senyum miringnya yang menyebalkan. Ia lalu bersiap untuk kembali beranjak.
"Jangan lupa, ntar sore kita nge-date."
Tanpa memberi Reira kesempatan untuk menerima atau menolak, Shaw berkelebat pergi. Gadis itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Masih sempat dilihatnya Shaw melemparkan kaleng cola kosong ke tempat sampah di dekat pintu kantin.
"Seenaknya banget, sih." Reira terdiam tiba-tiba. "Bentar ... tadi dia bilang ... nge-date?"
Reira mencomot roti di dekatnya. Pipi sang puan merona samar. Tanpa sengaja, matanya menangkap wujud pelangi di kejauhan. Membentang di angkasa biru yang telah ditinggalkan sang awan kelabu.
Bibir Reira pun tertarik ke samping, melukiskan sebentuk senyuman. Ia mulai melahap roti kacang hijaunya perlahan. Rasa manisnya menemani angan Reira yang kini berkelana ke waktu sore nanti.
Kencan bersama Shaw di hari kasih sayang ... rasanya tidak buruk juga, 'kan?
▫️
▫️
▫️
FIN
▫️
▫️
▫️
🐰 Cuap-cuap LiRa 🐰
▫️
Good day. 😊
LiRa datang nih, mau ikut memeriahkan hari kasih sayang di fandom MLQC. Untuk tagarnya, LiRa izin ikutan tagar yang udah ada aja.
Walaupun judul fic ini 'Rosa Rubus', tapi hampir enggak ada hubungannya sama karma Rosa Rubus. Tapi LiRa memang terinspirasi dari sana. Terutama buat puisi di awal fic. Memang sih, Rosa Rubus ini karma Shaw favorit LiRa. Eh, enggak deng, LiRa suka semua karma Shaw, hehehe ...
(LiRa bucin.)
Terus, ini enggak panjang sih fic-nya, tapi LiRa harap para pembaca menyukainya. 😊💗
Oya, kali ini LiRa coba masukin puisi ke fic LiRa. What do you think? 👀
▫️
LiRa (14/02/2023)
