BoBoiBoy © Monsta
Sweeter Than Honey © Roux Marlet
.
.
.
.
.
Sequel of "Sugary Little Thing Called Love"
(Alternate Universe, Grown-up Characters, early COVID-19 pandemic, Romance & Fluff Ice x Ying)
Ice-centric. Hurt/Comfort & Angst.
.
Terinspirasi dari lagu "Lebih Indah" oleh Adera.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Begitu bunyi peluit membelah udara, belasan orang muda di lapangan itu berlari sekuat tenaga menuju garis sejauh seratus meter di depan mereka. Sebuah ajang pertarungan kecepatan di mana kemenangan akan menjadi milik yang tergesit.
Sepasang mata berwarna biru laut menajam, mengamati satu orang pelari berseragam kuning yang tampak sedikit lebih laju dibanding yang lain. Dalam beberapa detik selanjutnya, para pelari itu sudah mencapai garis finish dan baru melambatkan diri.
BoBoiBoy Ice tersenyum di balik maskernya saat si pelari berbaju kuning bergegas menuju ke tempatnya duduk di tribun sambil berteriak-teriak penuh semangat,
"Ice! Aku berhasil! Tiga belas koma sembilan tiga detik!"
"Hebat, Ying!" Ice bangkit, mengitari pagar tribun, lalu melompat kecil ketika jaraknya sudah dekat dan berdiri di depan gadis itu. Disodorkannya botol air mineral. "Minum dulu."
"Makasih, Ice." Ying menerima botolnya lalu duduk berselonjor di tanah dan mulai minum.
"Hebat, nih. Udah siap seleksi olimpiade bulan depan," komentar Ice sambil ikut duduk.
"Haiyaa, aku masih harus terus latihan, ma," balas Ying setelah puas melepas dahaga. "Kunci untuk menang lomba lari sprint itu kecepatan awal di garis start. Aku harus melatih kepekaan di situ!"
Ice manggut-manggut. "Benar juga, ya. Karena jaraknya pendek, selisih sepersekian detik saja amat berharga."
"Makanya, nggak boleh sampai terlambat saat start, ma. Kalau di start saja terlambat, sudah pasti kalah."
"Ying memang identik dengan kecepatan, ya," kekeh Ice. "Sekali lagi selamat, sudah jadi sarjana duluan."
Wajah Ying tampak merona, entah karena habis berlari atau karena ucapan Ice. "Haiyaa, kamu pun sudah selesai sidang skripsi minggu lalu, ma. Tinggal revisi, 'kan?"
Ice mengangguk, lalu menatap sepasang netra yang juga biru di balik kacamata. "Semoga kita bisa wisuda bareng, ya," ujar si pemuda.
"Ayo, Ice, masih ada satu setengah bulan!" seru Ying, menatap balik kekasihnya dengan kobaran semangat. "Kamu kalau ngetik di laptop, 'kan, supercepat!"
"Ya, beda cerita kalau nggak tahu apa yang mau diketik, hehe," balas Ice, tertawa datar. "Tapi ... iya, aku beneran berharap kita wisuda di tanggal yang sama." Matanya semakin lekat menatap sang kekasih, sambil perlahan tangannya meraih tangan si gadis. "Aku mau kenalin kamu ke orang tuaku."
Saat Ice mengucapkannya, dia yakin wajah Ying memang semakin merah.
Gadis itu mengalihkan pandangannya sejenak, sebelum kembali menatap lawan bicaranya dengan gelisah. Ying balas menggenggam tangan Ice yang terasa hangat.
"Ice, kamu yakin?" seloroh Ying perlahan. Ice masih menatapnya lekat. Mata birunya seolah menghanyutkan Ying ke dalam lautan, tapi laut yang tenang dan menyenangkan. "Kamu ... dan aku ...? Kita ...?"
"Iya. Kamu dan aku. Kita akan membangun keluarga bersama." Ice menyuarakan yang ada di pikiran Ying dengan mantap.
Mata Ying melebar, tapi genggamannya di tangan Ice tidak mengendur. "Kamu serius?"
"Ying sendiri gimana? Kalau aku, aku sudah serius sejak awal kita pacaran. Aku hanya menunggu Ying siap saja."
Adrenalin memompa kembali jantung Ying seperti ajang lari tadi, membuatnya berdebar-debar, merasa ini semua tak nyata. Dia sedang dilamar oleh Ice? Ice, lelaki pertama yang membuat hatinya berdesir?
"Dulu aku pernah nanya, Ying itu tipe orang yang—"
"Stop, iya, aku ingat, Ice."
"Nah. Jadi kamu ingat, bahwa aku sudah mau melamarmu saat itu juga, tapi kamu bilang mau saling mengenal dulu. Aku menghargai itu dan menunggumu siap."
"Ice, bicaramu seperti pernikahan itu seolah gampang sekali," keluh Ying.
"Apa Ying nggak mau menikah denganku?" balas Ice, ada sedikit kerutan di dahinya.
"Bukan begitu," sahut Ying sambil mendesah. Dia meremas tangan Ice, tangan kanannya yang jari-jemarinya kaku itu, tapi yang selalu menyentuhnya dengan kelembutan dan kehangatan. Ice, yang sejak pandemi dimulai telah mengisi hari-hari Ying yang terjebak tak bisa pulang ke kampung halaman. Yang sering memujinya tanpa membuatnya besar kepala. Yang tak pernah menuntut lebih dari apa yang ada pada diri Ying.
"Apa karena aku nggak pernah peluk Ying? Apa karena aku nggak pernah cium Ying?"
Mendadak, Ying jadi salah tingkah ketika bayangan akan ucapan Ice barusan berkeliaran di benaknya.
"Ice … bukan karena itu." Ying mendesah. "Kamu menyayangiku dan aku tahu itu meski kita belum pernah pelukan atau ciuman."
"Aku senang mendengarnya," sahut Ice dengan tenang. "Aku menahan diriku, supaya di saat kita sudah menikah nanti, aku bisa memeluk dan menciummu sepuasku."
Ying mengerjap karena tersentuh, tapi lalu menggeleng pelan. "Aku ... hanya … hmm, kamu adalah pacar pertamaku. Jadi …." Ying menggantung kalimatnya dan menunduk.
Ice tidak mendesaknya lebih jauh dan hanya mengusap-usap tangan Ying dengan tangan satunya. Namun, diamnya Ice menunjukkan adanya rasa kecewa dan Ying jadi agak merasa bersalah.
"Aku … aku senang bersamamu, Ice. Kamu membuatku merasa berharga," tutur Ying jujur, mengingat-ingat kembali apa yang pertama membuatnya menyukai si pemuda dan kembali menatap warna biru laut itu. "Hanya saja, aku belum pernah punya bayangan untuk menikah. Pacaran saja baru sekali ini."
"Hmm … jadi, Ying belum yakin karena kamu baru satu kali pacaran?" balas Ice, yang memang tak sedetik pun melepas pandangannya dari Ying.
"Iya. Begitu." Ying tertegun sejenak ketika menyadari Ice agak menyipitkan matanya. "Tunggu dulu, Ice. Apa itu artinya aku bukan yang pertama untukmu?"
Sepertinya tepat sasaran. Ice memejamkan mata dan menghela napas.
"Benar, Ying. Aku pernah punya pacar waktu SMA …."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Ice! My sweety Ice-creamy!"
Belum sempat Ice menoleh, badannya sudah ditubruk seseorang yang dengan segera menggelayut manja di bahunya.
"Ayooo, kita pulang, Ice!" Suara manis yang diseret-seret mengudara dari sosok yang lebih pendek itu.
"Mel, my honey." Ice tersenyum dan mengusap-usap rambut cokelat bergelombang milik seorang gadis yang berseragam sama dengannya, lalu mengecupnya singkat. Bel sekolah pertanda pelajaran berakhir baru saja selesai berdering. "Iya. Yuk, pulang."
Gadis bernama Melissa itu merangkul lengan Ice, lalu keduanya berjalan bersama menuju parkiran sepeda motor. Setelah siap dengan helm masing-masing, Ice naik dan menyalakan mesin kendaraannya, sedangkan Melissa naik di boncengan dan segera melingkarkan lengannya ke pinggang si pemuda.
Ice bisa merasakan Melissa memeluknya erat sekali dari belakang, seolah takut terlepas. Tubuh milik perempuan itu terasa hangat. Ice terus-menerus tersenyum senang sampai tiba di rumah Melissa.
"Makasih, yaaa, sweety…," ucap si gadis begitu turun dari sepeda motor Ice.
"Anytime, honey …."
Wajah berkulit kecokelatan itu, dibingkai rambut bergelombang yang juga kecokelatan, dan binar mata yang juga cokelat, membuat tahun terakhir Ice di SMA begitu manis. Melissa mengingatkannya pada cokelat Valentine yang gadis itu berikan kepadanya tanggal empat belas Februari lalu. Melissa duluan yang menyatakan perasaannya pada Ice dan memberinya cokelat berbentuk hati.
Meskipun Ice tak bisa makan cokelat itu karena dia pengidap diabetes, dia teramat senang bahwa ada gadis yang menyukai dirinya. Ice menerima Melissa dan mereka mulai berpacaran. Setiap hari, mereka berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Rumah Melissa tidak begitu jauh dari rumahnya sendiri. Di akhir pekan, Ice akan mentraktirnya makan atau menonton bioskop. Ice tidak pernah membiarkan Melissa membayar, selalu dia yang jadi sumber dana saat mereka kencan. Sebagai timbal baliknya, Melissa menghujani Ice dengan panggilan yang manis dan limpahan kemesraan bahkan saat mereka ada di sekolah.
Melissa begitu manis. Seperti nama panggilannya, Mel, yang artinya adalah 'madu' dalam bahasa Latin. Mereka kadang-kadang bertukar ciuman di sekolah dan Ice bisa merasakan manis di mulutnya. Sepertinya Melissa memakai lipgloss rasa cherry atau semacam itu.
Sayangnya, di bibir semanis madu itu, ternyata tersimpan racun yang mematikan.
Ice kecelakaan sepeda motor sewaktu pulang dari rapat panitia turnamen olahraga sekolah. Dia terlambat makan malam dan kena serangan hipoglikemia, tak mengantongi sebutir permen pun di perjalanan. Lemas dan mengantuk, tapi memaksakan diri untuk pulang sendiri, dia menabrak pembatas jalan dan jatuh dari ketinggian. Sebuah keajaiban bahwa dia jatuh ke atas rimbunan semak; tapi kendaraannya ringsek parah, tangannya jadi cacat sebelah, dan apa lagi yang bisa lebih menyakitkan daripada itu bagi seorang atlet panahan yang menjanjikan?
Rupanya memang masih ada yang lebih menyakitkan.
Ketika Ice masuk sekolah lagi setelah absen satu minggu, dia mencari Melissa di kelasnya dan mendapati gadis itu malah memandanginya dengan sengit. Rupa manis itu menjelma iblis.
"Ice, kita putus."
Pemuda itu bahkan baru bilang, "Mel—" lalu tertegun seketika. Tangan kanannya yang masih terbungkus gips terasa dingin.
"Kamu nggak bisa lagi naik motor, 'kan? Nggak bisa lagi anter-jemput aku, 'kan? Ya, udah. Kita putus aja."
Dunia Ice yang penuh gula-gula ternyata hanya imitasi, seperti pemanis buatan yang harus diterimanya sejak diagnosis diabetes itu di awal kelas satu SMA. Kawan-kawan lelaki di sekolah mengejeknya karena putus dengan Melissa yang populer. Teman-teman perempuan pura-pura kasihan di depannya, tapi tertawa-tawa di belakangnya.
Ice tidak tahu dirinya salah apa. Beberapa kali dia berusaha bicara dengan Melissa, minta penjelasan, tapi gadis itu selalu dikelilingi teman satu gengnya yang cerewet, termasuk saudari kembarnya, Melody.
Justru kesempatan itu datang ketika Ice tidak mencarinya. Dia baru saja mengembalikan buku ke perpustakaan di bagian gedung sekolah yang tersepi. Saat hendak keluar untuk ke kantin, dia mendengar suara Melissa yang akrab di telinganya.
"Kalian pikir aku nggak menderita?!"
Suara manis itu bernada marah. Ice spontan berhenti berjalan dan menajamkan pendengaran, bersembunyi di sudut dinding.
"Kalau bukan karena taruhan bodohnya Ayu Yu, mana mau aku jadian sama si culun tapi sixpack itu?! Idih, amit-amit!"
Terdengar suara Melody yang menyahuti kembarannya, setengah terkikik, "Sampai tahu banget, ya, kalau perutnya sixpack. Ayu Yu sempat mengira kamu beneran jatuh cinta sama dia, lho."
"Sixpack tapi freak, nggak banget, lah. Untung aja dia kecelakaan, aku jadi punya alasan buat putusin dia. Sebulan bukan waktu yang singkat, tahu?!"
"Tapi akhirnya kamu menang, 'kan?" Melody bersuara lagi. "Kalian jadian tanggal 14 Februari. Ice kecelakaan tanggal 12 Maret, kalian putus tanggal 20 Maret. Secara teknis, kalian pacaran lebih dari tiga puluh hari. Dan, kita berhasil dapat voucher skincare yang jadi idaman sejuta umat!"
"Lha, kita juga udah bantuin kamu buat jadian sama si Ice!" Ada suara Suzy di sana. "Aku berhasil dapat data intel bahwa dia suka banget makanan manis. Informasi ini enggak gratis, tahu?!"
"Iya! Harusnya kami juga dapat bagian!" balas Amy. "Aku yang usul nama panggilan sok manis memuakkan itu! Ice-creamy? Aduh, please, deh!"
Ice tidak tahu apa yang dipikirkannya saat dia melangkah keluar dari persembunyiannya dan berjalan lurus ke arah keempat siswi itu. Melody dan Amy, yang melihatnya datang, membeku dengan ekspresi horor. Melissa berbalik tepat pada waktunya dan mendapati Ice tengah mengangkat tangan kanannya, tak lebih tinggi dari bahu.
"Sayang banget, tangan ini nggak bisa dipakai buat nampar mukamu."
Suara pemuda itu begitu rendah, dalam, penuh kebencian yang dingin dari raut yang tetap tampak datar. Melissa melangkah mundur dengan ketakutan sementara Ice bergeming di tempatnya lalu menurunkan tangannya.
"Enyah dari hidupku," desis Ice berbahaya. "Atau lebih baik aku saja yang enyah."
Ice berbalik dan memasukkan tangannya ke saku jaket sambil berjalan. Melissa memekik panik di belakangnya,
"Ice! Kamu … kamu nggak akan bunuh diri, 'kan?"
Ice tidak menjawabnya, tidak menoleh lagi, dan tidak pernah kembali ke sekolah itu meski ujian kelulusan tinggal hitungan bulan.
Tangan Ice bukan sekadar patah tulang atau sobek ligamen otot. Tulang bisa tumbuh dan disambung lagi, otot bisa pulih dan dilatih lagi. Namun, sel saraf yang mati tak pernah bisa hidup kembali. Bagaimana dengan hati yang ditikam kejam oleh cinta palsu? Ice, yang sehabis kecelakaan itu terpaksa mengubur impiannya menjadi atlet panahan nasional sekaligus diputus hubungannya secara sepihak oleh seorang penipu keparat, merasa tak ada lagi yang tersisa di hidupnya.
.
.
.
.
.
[Ku berjanji 'tuk menutup pintu hatiku entah untuk siapa pun itu]
.
.
.
.
.
Orang bilang, kitalah yang menentukan nasib kita sendiri. Hal itu tak selalu benar. Perkataan dan tindakan orang lain juga berpengaruh menentukan nasib kita.
"Eh, si genduuuuut!"
"Pergi sana, Bocah Ndut! Sesak, nih! Jauh-jauh!"
"Awas! Jangan sampai si gendut nangis, nanti dia ngadu-ngadu!"
"Dasar Anak Mami!"
Tawa-tawa mencemooh teman-temannya di masa SD dan SMP itu terngiang kembali di benak Ice ketika menjalani sesi terapi di rumah sakit. Dia bergerak gelisah dalam posisinya yang berbaring, matanya terpejam. Padahal, dia datang ke sini bukan untuk melihat kembali luka batinnya di masa kecil, melainkan untuk pemulihan trauma pasca kecelakaannya. Namun, luka masa kecil ini datang lagi tanpa bisa dicegah dan Ice berakhir menangis sesenggukan di beberapa kali sesi terawalnya di bulan Maret 2018.
Orang tua Ice sudah menikah selama delapan tahun ketika putra tunggal mereka hadir ke dunia. Anak yang sangat sulit didapat, maka Ice begitu dimanjakan dan dilindungi sejak kecil. Ice dibelikan banyak mainan dan makanan, selalu diawasi dalam bermain, bahkan sempat disekolahkan di rumah saking orang tuanya takut anak itu terluka kalau keluar rumah. Karena banyak makan dan sedikit bergerak, tentu saja badan Ice melebar secara tak sehat. Dokter bahkan bilang dia termasuk obesitas saat SMP dan Ice sendiri sering ngos-ngosan hanya dengan sedikit berjalan dari ruang kelas ke pagar sekolah tempat dia dijemput dengan mobil.
Puncaknya adalah di masa liburan menjelang masuk SMA, Ice pingsan di rumah dengan kadar gula darah yang kelewat tinggi sampai alat tes yang batas tertingginya 600 mg/dL* tidak bisa lagi menunjukkan angka. Ice dibawa ke rumah sakit, didiagnosis diabetes mellitus serta harus mendapat pengobatan, dan barulah dengan itu orang tuanya bertobat. Mereka melakukan diet makanan sehat besar-besaran, menemani Ice latihan fitness, dan meminta Ice memilih satu jenis olahraga yang disukainya untuk ditekuni. Ice mengambil panahan karena yang satu itu tak butuh banyak gerak melelahkan tapi melatih kekuatan otot tangan dan kaki serta ketajaman penglihatan. Dia sudah cukup kelelahan dengan latihan fisik di gimnasium. Perlahan tapi pasti, berat badan Ice berkurang dan tubuhnya bertumbuh menjadi lebih proporsional. Tinggi badannya terbilang cukup menjulang, termasuk rata-rata untuk remaja laki-laki seusianya. Badannya berisi, bukan lagi dominan oleh lemak yang melebar ke mana-mana, tapi digantikan otot yang bagus yang seringnya tertutup jaket karena Ice gampang merasa kedinginan.
Ice remaja tumbuh menjadi lelaki pendiam dan agak canggung karena pernah jadi korban bullying, cukup aktif dalam klub panahan di SMA, dan juga mengambil kursus berkendara sepeda motor karena dia ingin paling tidak dalam satu hal saja dia bisa melakukan sesuatu secara mandiri terlepas dari orang tuanya. Rasanya hidup mulai menjadi lebih indah ketika Ice punya otoritas atas aktivitasnya sendiri, badan yang sehat, hobi yang menyenangkan serta mengundang prestasi, dan, di atas semua itu, seorang pacar yang manis.
Namun, apa yang sejatinya pernah terjadi di antara Melissa dan dirinya di tahun terakhir SMA adalah racun pahit yang merupakan negasi dari semua hal indah dan manis dalam hidup Ice.
.
.
.
.
.
[Semakin kulihat masa lalu semakin hatiku tak menentu]
.
.
.
.
.
"Woi, kamu."
Ice sedang duduk di ruang tunggu di unit rehabilitasi medis, menanti jadwalnya untuk melatih tangan yang cacat. Biasanya Ice tidak suka lama-lama menunggu, tapi ayahnya ada keperluan di pusat kota, jadi dia diantar ke rumah sakit setengah jam lebih awal. Lamunan Ice di saat sedang sendirian meratapi nasib begini, pasti membawa benaknya kembali pada gadis manis bak ular berbisa itu.
"Woi."
Suara barusan kembali mengusiknya. Ice mendongak. Seorang pria muda berkacamata aneh, duduk dalam jarak beberapa meter di sisi kanannya, tengah menatapnya dengan kerutan di dahi.
"Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi tiap kali datang ke sini, wajahmu selalu seperti itu," ujar lelaki itu.
"Seperti apa?" balas Ice dengan suara serak. Dia semakin jarang berbicara akhir-akhir ini. Ke sekolah barunya pun dia hanya benar-benar fokus belajar untuk ujian akhir dan tak mau bergaul dengan siapa pun.
Lelaki itu diam sejenak, lalu membetulkan letak kacamata berlensa jingga cerah di batang hidungnya. "Seolah duniamu hancur, tapi kurasa bukan karena masa depanmu yang terenggut. Baru patah hati, kutebak?"
Ice tersentak dan mengalihkan pandangan. Siapa orang ini? Kenapa dia begitu sok tahu? Yah, meski tebakannya benar adanya ….
"Namaku Solar. Aku seorang arsitek** dan, sama sepertimu, kecelakaan lalu lintas membuat tanganku cacat."
Ice kembali menatap lelaki bernama Solar itu, kekesalan sesaatnya berganti rasa prihatin. Arsitek? Apa jadinya arsitek yang tangannya cacat? Pertanyaan Ice mengudara perlahan, "Apa kamu masih bisa menggambar?"
Ditanya balik begitu, Solar ganti mengalihkan pandangannya, tapi dia menjawab, "Aku harus bisa."
Apa arti jawaban Solar? Ice menduga bahwa saat ini Solar tidak bisa lagi menggunakan tangannya untuk menggambar desain bangunan dan itu tentu saja sangat menyakitkan kalau diucapkan.
"Mau bercerita?" undang Solar, kembali melirik sambil tersenyum sedih. "Kamu sudah dengar ringkasan kisah nasibku yang menyedihkan. Tapi kulihat di sini ada bocah SMA yang tampangnya seolah bilang bahwa dirinya orang termalang di dunia. Yang begini biasanya baru putus cinta."
Ice mendengus, tertawa hambar, tapi tidak membantah. Solar pindah dari duduknya ke dekat Ice. Entah atas dorongan apa, pemuda itu berbagi cerita pada Solar yang baru dikenalnya dan sepertinya lebih tua darinya.
Solar mendengarkan tanpa berkomentar sampai Ice mengakhiri ceritanya. Ice kaget sekali ketika kemudian Solar mengumpat dengan sebuah kata yang sangat kasar, lalu melanjutkan dengan,
"Kamu itu pacarnya apa supirnya, hah?"
Ice mengerjap pada retorika itu. Solar masih melanjutkan rentetan umpatannya tentang manusia tak tahu diri dan Ice yang mendengarnya, entah mengapa, ikut merasa puas dan lega. Seolah-olah Solar sedang mewakilinya memaki-maki Melissa, sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
"Dengar, Ice. Lebih baik nggak punya teman maupun pacar daripada hidup bersama orang toksik. Baguslah kamu sudah putus. Syukurlah kamu kecelakaan. Kalau nggak karena itu, siapa yang tahu bakal berapa lama lagi kamu terjerat sama makhluk jahanam macam dia?"
Ice merasa takjub, belum pernah dia memandang insiden kecelakaannya dari sudut pandang itu. Sebetulnya dia masih ingin mengobrol lebih banyak dengan Solar, tapi kemudian terapis mereka memanggil. Ice tidak bertemu Solar lagi saat selesai terapi dan mencoba bertanya tentang si arsitek kepada terapisnya. Setelah hari itu rupanya jadwal rehabilitasi Solar akan berubah karena menyesuaikan jadwal kuliahnya. Jadi, itulah pertemuan pertama dan terakhir mereka.
Ice merasa bersyukur berkesempatan bertemu Solar hari itu. Mungkin bila suatu saat mereka bisa bertemu lagi, Ice ingin berterima kasih.
Bulan-bulan terakhir SMA merupakan masa yang gelap bagi Ice. Meski demikian, untungnya dia masih punya kedua orang tuanya yang selalu mendukung dan ada pencerahan dari Solar yang membuatnya tak lagi merutuki nasib. Ice memilih jurusan kuliah yang dia sukai selain Sport Science yang semula diincarnya, yaitu Ilmu Komunikasi. Dia akan tinggal di pondokan mahasiswa supaya tidak perlu berkendara, lagipula jaraknya cukup jauh dan berlawanan arah dengan kantor orang tuanya.
Seperti kawan-kawannya pernah bilang, Ice sudah freak sejak sebelum kecelakaan, jadi buat apa dia mencoba bersikap lain dari dirinya apa adanya? Dia memang tak punya teman, pernah punya pacar pun dicampakkan. Ya, sudah, yang penting tetap hidup dan bisa makan enak meski harus pakai pemanis buatan. Life must go on.
Walau begitu, Ice merasa hatinya selalu dingin …
… sampai hari itu.
Hari itu adalah salah satu hari di tahun kedua kuliahnya. Ice berkeringat dingin, pusing, dan lemas; dia sedang diserang hipoglikemia sehabis kelas, efek samping dari obat diabetesnya, dan merasa bakal terlalu jauh kalau balik ke kamar untuk mengganyang es krim dengan gula asli di kulkasnya. Akhirnya, dia memilih untuk jajan es krim cone di penjual es pinggir kampus, tempat anak-anak sekolah menguras isi saku demi kesejukan sesaat yang manis itu. Ice sadar betul si penjual memandanginya dengan heran, dia juga dengar anak-anak itu menertawakannya karena jajan es krim. Peduli amat. Yang penting dapat es krim, lah.
Ice berbinar-binar dengan es krim cone di tangannya dan menikmatinya pelan-pelan. Beberapa jilatan dan rasa manisnya begitu menyenangkan, membuainya dalam kenikmatan sampai tidak melihat jalanan dengan teliti. Dia tersandung seseorang yang sedang duduk di teras dan es krimnya jatuh ke tanah.
Ice mendengar jeritan seorang perempuan, tapi dia terlalu kaget dan sudah terlambat untuk menghindar atau kabur sekalian.
"Oh, tidak. Es krimku …."
Ice sudah siap bakal disalahkan karena menyandung badan orang atau dihina kekanakan karena jajan es krim seperti seorang bocah, tapi ….
"Maaf, es krimmu jadi hancur karena aku! Ayo, aku belikan yang baru, ma."
Hati Ice, yang selama ini beku, seolah menemukan kehangatan yang baru.
.
.
.
.
.
[Tetapi satu sinar terangi jiwaku saat aku melihat senyummu]
.
.
.
.
.
"Yah, seenggaknya sekarang kamu punya teman menonton kembang api."
Ada warna yang berbeda di malam terakhir tahun 2019.
"Kamu hebat banget, Ice."
Ada pujian yang tulus dari seorang gadis dan bukan kata-katanya yang membuat hati Ice melambung ke langit.
"Kalau begitu, aku sangat tersanjung bisa menjadi pendengarmu."
Kapan terakhir kali dadanya terasa sebegini hangatnya?
"Aku senang bisa mengenalmu, Ice."
Terima kasih ….
.
.
.
.
.
[Dan kau hadir, mengubah segalanya menjadi lebih indah]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ying masih mencerna seluruh kisah Ice sembari berjalan pulang dari lapangan lari ke pondokan bersama-sama. Ice menambahkan,
"Aku nggak langsung kasih nomor ponselku waktu kamu minta dulu, karena aku trauma kalau ada cewek yang deketin aku duluan. Ternyata, kamu sama sekali berbeda."
Ying masih agak bingung. Kalau pacaran pertama Ice tidak berhasil dengan baik, kok bisa dia seyakin ini untuk maju ke tahap pernikahan di pacaran yang kedua?
"Waktu kamu nembak aku dulu, kita baru ketemu tiga kali nggak, sih?" seloroh Ying.
"Memang. Tapi aku selalu mengamati wajahmu saat kamu bicara, Ying. Lagipula, orang yang berpura-pura pun akan membuka semua topengnya kalau di depan makanan. Saat kamu makan di pondokanku, aku yakin kamu orang yang tepat untukku."
Mendengar itu, hati Ying terasa lebih mantap. Dia mencintai Ice yang juga mencintainya, bahkan Ice rela menunggunya dua tahun untuk siap berkomitmen sehidup semati. Tiba-tiba, sebuah ide melesat dalam pikiran Ying.
"Ice … gimana kalau kamu coba ikut paralympic?"
"Hah?" gumam si pemuda. Ying tahu bahwa Ice pasti paham apa yang dia maksud dan membaca keraguan sang kekasih yang kentara di wajahnya yang pucat.
"Setahuku, ada cabang panahan di paralympic. Nggak ada salahnya kamu mencoba mempelajari peraturannya, 'kan? Aku akan bantu cari tahu!"
Ice menggeleng cepat. "Nggak, Ying. Nggak usah. Aku udah menyerah jadi atlet nasional."
"Ice. Dengan mendaftar di paralympic, bukan berarti kamu dicap orang cacat." Ying mendongak, menatap Ice yang telah semakin bertambah tinggi itu lekat-lekat. "Aku lebih suka menyebut peserta paralympic itu punya keterbatasan, tapi justru dari keterbatasan itulah mereka bisa jadi juara atas pertandingan di dalam diri … yaitu penaklukan diri mereka sendiri."
Tak ada lagi kebekuan yang tersisa di hati Ice hari itu. Semuanya telah mencair, mengalir keluar dalam bentuk air mata yang disembunyikannya sambil merengkuh Ying penuh kasih sayang.
"Maaf, nggak sesuai janjiku … untuk kali ini … aku mau peluk Ying. Boleh, ya?"
"Aku nggak keberatan, Ice." Ying ikut terisak, terharu karena dia sebetulnya tahu Ice menangis dari getar suaranya dan tahu juga bahwa dia tak ingin terlihat menangis di depan si gadis. Lelaki lembut hati seperti Ice pun punya harga diri yang tinggi dan Ying membiarkan Ice memeluk dirinya selama yang kekasihnya itu mau.
.
.
.
.
.
[Membuatku merasa sempurna dan membuatku utuh]
.
.
.
.
.
Ying belum pernah berpacaran sebelumnya, tapi dari apa yang pernah dia baca, pacaran juga bertujuan untuk saling mengembangkan diri dan terus maju.
"Nggak berguna! Panahan yang gampang aja kamu udah nggak bisa lagi!"
Rupanya ada sepotong perkataan Melissa yang semula dihindarinya dalam cerita Ice kepada Ying. Si mantan pacar mengatai Ice perihal panahan dan itu membuatnya takut untuk mencoba lagi. Dia takut bahwa perkataan Melissa benar adanya, karena tangan kanan Ice sudah kehilangan sebagian besar fungsinya.
Padahal justru karena terngiang-ngiang perkataan jahat itulah, Ice jadi terbelenggu dalam rasa takut gagal dan selalu menghindar untuk mencoba.
"Haiyaaa, kenapa nggak kepikiran dari awal, ma! Hebat, Ice! Kamu pasti bisa!"
Hari itu, Ice berdiri di lapangan dengan kuda-kuda kaki yang teguh di seberang papan target, tangan kanannya yang kaku memegang busur di depan badannya sementara tangan kirinya menarik anak panah kuat-kuat di rentangan busur. Ice memusatkan perhatiannya pada target dan membidik dengan tangan kirinya. Anak panah yang dilepas sepenuh tenaga itu melesat kencang dan menancap tepat di bagian tengah lingkaran.
Ice sendiri tersentak kaget ketika mendapati hasilnya. Ying bertepuk tangan dan melompat-lompat kegirangan.
"Berhasil, Ice! Kamu berhasil!"
"A-aku berhasil, Ying!" Ice balas berteriak tak percaya, melompat lalu memeluk Ying dan menggendongnya sambil berputar-putar saking bahagianya. Tangan kanan Ice memang tak mampu lagi menembakkan anak panah, tapi masih bisa menjadi tumpuan busur. Dia bisa kembali memanah dengan tangan kirinya yang kini jadi lebih kuat kalau dia mau melatihnya!
"Ice, aku sudah memikirkannya," ucap Ying saat Ice sudah menurunkannya kembali ke tanah.
Jantung Ice berdebaran mendadak. "Ya?"
Ying tersenyum cerah. "Gimana kalau kita ke rumahmu seminggu sebelum wisuda? Orang tuaku akan hadir di hari wisuda, jadi nanti semuanya bisa bertemu."
Seumur hidupnya, belum pernah Ice merasa sebahagia ini.
.
.
.
.
.
[Kaulah yang terbaik untukku]
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
*Gula darah normal yang diambil pada sembarang waktu (acak) berkisar 80-120 mg/dL. Kalau batasan tertinggi alat tesnya adalah 600 mg/dL dan kadar gula darah sampai tidak terdeteksi lagi, ini bahaya banget :O
**Solar si arsitek di sini adalah tokoh alternate reality dari cerita Roux yang berjudul A LUTA CONTINUA. Aslinya, Roux lagi mentok ide buat cerita yang itu dan malah bikin cerita fuwa-fuwa bertabur garam dulu. Terima kasih Adera buat lagunya yang melintas di saat yang tepat. Semoga cerita ini juga bisa dinikmati manisnya dan dihayati hikmahnya.
.
Ngetik dan ngedit kilat, ngejar tanggal 14. Berharap bebas typo.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca. Kritik dan saran sangat diterima!
Terakhir dari yang paling akhir:
Happy Valentine's Day from Roux Marlet!
14.02.2023.
