One Tender Love
.
.
.
"Noa ... kamu tidak apa-apa?"
Gadis pemilik iris madu itu tersentak samar. Lantas merengut begitu mendengar tawa kecil di sebelahnya. Sementara, beberapa perawat maupun orang-orang sesama pengunjung rumah sakit yang melewati koridor itu, terkadang ikut menoleh sambil mengulum senyum.
"Lucien!" serunya dengan nada memprotes. "Kamu menertawakan aku?"
"Tidak."
Walaupun menjawab begitu, tetap saja senyum Lucien bertahan hingga ke matanya. Noa menggembungkan pipi sejenak, lantas kembali fokus kepada bayi mungil di gendongannya. Memakai baju nuansa ungu, dalam pelukan selimut krem yang hangat, ia tampak terlelap.
"Nana saja anteng begini," kata Lucien. "Kenapa malah Mama Noa yang panik sendiri?"
Pipi Noa merona tiba-tiba, menciptakan pemandangan indah di dalam penglihatan Lucien. Gadis itu pun makin salah tingkah, menyadari ucapan Lucien tadi pasti terdengar jelas oleh pasangan lansia yang baru saja lewat di depan bangku panjang tempat mereka duduk. Sepasang kakek-nenek itu menatap Lucien dan Noa dengan senyum menenangkan. Dibalas dengan senyum ramah oleh Lucien yang di mata Noa saat ini tampak sangat menyebalkan.
"Kamu kelihatannya senang sekali, ya," kata Noa. "Papa Lucien."
Gadis itu bermaksud mengucapkan dua kata tersebut dengan nada mengejek. Namun, setelah mengatakannya, tetap saja, ia sendiri yang akhirnya salah tingkah. Alhasil, tawa samar Lucien di sebelahnya seperti tak menemukan alasan untuk berhenti.
"Ananda Eliana."
Sayangnya, kesempatan Lucien untuk menggoda kekasihnya lebih jauh, harus terhenti oleh panggilan dari suster. Bersamaan dengan pintu ruangan dokter yang terbuka, diikuti sepasang suami-istri muda yang keluar dengan bayi mereka di gendongan ibunya.
"Nana sudah dipanggil." Lucien menepuk pelan puncak kepala Noa. "Tenanglah, tidak apa-apa. Lagi pula, imunisasi ini penting untuk kesehatan Nana."
"Iya, aku tahu ..."
Noa menarik napas dalam-dalam. Dipandangnya wajah manis bayi berusia tiga bulan di dalam gendongannya. Seketika itu juga, senyum terulas di bibir sang gadis.
"Ayo, Noa. Sekarang giliran baby Nana kita."
"Lucien~!"
Tawa kecil Lucien pun mengiringi langkah dua sejoli memasuki ruangan. Diiringi tatapan penuh senyum sang suster yang ikut bahagia melihat kemesraan mereka.
.
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
"Mr. Love: Queen's Choice/Love & Producer" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Papergames/Elex©
Fan fiksi "One Tender Love" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fan fiksi ini.
One-shot. MC menggunakan nama "Noa". Spesial hari kasih sayang #HappyHeartsDay
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
.
Ruangan serba putih, dokter yang mengenakan jas putih. Keduanya membuat Noa segera merasakan gelisah. Hanya karena selintas kenangan dari masa lampau. Padahal, Noa pikir selama ini ia sudah terbiasa melihat Lucien yang hampir selalu memakai jas lab berwarna putih. Ia masih saja merasa gelisah ketika dipersilakan untuk duduk oleh suster.
"Profesor Lucien? Saya tidak menyangka akan bertemu dengan Anda lagi di sini."
Noa terkejut ketika dokter wanita yang masih muda itu tiba-tiba berdiri sembari menyapa Lucien. Pria itu pun tersenyum ramah, kemudian menyambut uluran tangan spontan sang dokter untuk berjabatan sejenak.
"Apa kabar, Dokter Liz?" kata Lucien. "Saya juga baru membaca nama Anda di pintu masuk ruangan ini."
Noa mengerjap. "Kalian saling kenal?"
"Kebetulan, aku pernah bertemu dengan Dokter Lizbeth di sebuah acara seminar," jelas Lucien. "Sudah agak lama."
"Oh ya?" Noa memiringkan kepalanya sejenak. "Waah ... Seminar apa yang bisa mempertemukan ilmuwan neurosains dengan seorang dokter anak?"
"Seminar tentang Evol pada anak usia dini," sang dokter yang menyahut. "Kebetulan kami duduk bersebelahan."
"Sebagai pembicara?" tanya Noa lagi.
"Oh, bukan. Hanya peserta biasa."
"Hm. Waktu itu, aku memang sedang meneliti Evol dari berbagai aspek," Lucien menyambung. "Topik seminar itu cukup menarik."
"Oh, begitu."
Setelah sedikit basa-basi lagi, sang dokter yang kira-kira seusia Lucien itu mempersilakan mereka duduk. Sementara suster diminta untuk mempersiapkan semuanya.
"Elena sudah menjelaskan semuanya melalui telepon," dr. Liz memulai sembari membuka selembar berkas di mejanya. "Katanya dia tidak bisa datang karena semalam suaminya mengalami kecelakaan. Karena itulah, putrinya diantar untuk imunisasi, hari ini sesuai jadwal, oleh adik sepupunya."
"Iya, benar, Dok. Itu saya," sahut Noa. "Omong-omong, Kak El bilang, Dokter adalah sahabatnya sejak SMP?"
"Betul sekali." Sang dokter memusatkan perhatian kepada Noa. "El sudah lebih dulu menghubungiku melalui telepon. Jadi kita bisa langsung memeriksa berat badan Nana. Setelah itu, langsung saja kita lakukan imunisasi."
"Baiklah, dokter." Tepat pada saat itulah, Noa merasakan gerakan dari bayi di gendongannya. "Waah ... Nana sudah bangun, ya?"
Tanpa membuang waktu, dr. Liz menginstruksikan kepada suster untuk mulai menimbang berat badan Nana, lalu mencatatnya. Sementara, dr. Liz mulai menyiapkan vaksin dan alat suntik yang diperlukan. Nana tampak anteng selama penimbangan badan, sampai dikembalikan lagi ke gendongan Noa. Ia baru mulai gelisah ketika tiba waktunya untuk imunisasi. Bahkan kemudian mulai merengek pelan.
"Nana, sayang ... kenapa? Kok nangis?"
Usaha Noa untuk menenangkan bayi perempuan mungil itu tidak membuahkan hasil. Lucien ikut mendekat untuk melihat keadaan Nana.
"Noa, kamu masih gelisah, ya?" tanya pria itu tiba-tiba.
"Hah? Aku?" Noa balik bertanya sembari mengerjap sedetik. "Kok kamu nanya begitu?"
"Nana bisa merasakan kalau kamu cemas," kata Lucien. "Sini, biar aku saja yang menggendongnya."
"Eh? Kamu yakin? Nggak apa-apa?"
"Hm."
Walaupun masih sedikit ragu, Noa membiarkan Lucien mengambil si bayi mungil dari gendongannya. Pria itu beralih menggendong Nana di dalam pelukannya. Ia melakukannya dengan begitu lembut dan alami. Sama sekali tidak terlihat canggung. Yang membuat Noa takjub, tak lama kemudian, Nana sudah tenang kembali.
"Sepertinya Anda sudah terbiasa menggendong bayi," komentar dr. Liz.
"Tidak juga. Saya hanya memperhatikan saat ibunya dan juga Noa sedang menggendong Nana."
Meskipun bicara seperti itu, sebenarnya semalam Lucien juga telah menonton beberapa video cara menggendong bayi dengan baik dan benar dari internet. Memang, pikirnya, Noa yang akan lebih sering menggendong Nana. Namun, tidak ada salahnya jika ia juga bersiap-siap.
"Waah ... Lihat. Nana langsung anteng begitu kamu gendong," Noa ikut berkomentar. "Lucien, kamu yakin, nggak pernah menggendong bayi sebelumnya?"
Lucien hanya tersenyum. Sementara, dr. Liz mendekat dengan alat suntik telah siap di tangan. Tanpa sadar, Noa beringsut menjauh. Rasanya ia tidak tega jika harus menyaksikan kulit seorang bayi ditembus jarum. Refleks saja, gadis itu memalingkan wajah.
Dua detik kemudian, terdengar rengekan samar, membuat dada Noa berdesir tajam. Gadis itu menguatkan hati untuk menoleh kembali ke arah Nana. Dilihatnya, Lucien sedang berusaha menenangkan bayi kecil itu. Sementara dr. Liz memberikan peralatan imunisasi tadi kepada suster untuk dibereskan.
"Eh? Sudah selesai?" Noa mengerjap. "Cepat sekali."
Gadis itu bermaksud mendekat ke sisi Lucien. Namun, langkahnya terhenti saat melihat pria itu masih berusaha menenangkan Nana. Bayi mungil itu masih merengek-rengek kecil. Mungkin rengekannya akan segera menjadi isak tangis, seandainya tak ada Lucien yang berbicara kepadanya dengan begitu lembut.
"Anak pintar. Tidak apa-apa ... ya?"
Noa terdiam takjub. Di matanya saat ini, entah mengapa Lucien tampak sangat menawan. Tatapan mata pria itu, sebagaimana senyumnya, terpusat hanya kepada Nana dengan begitu lembutnya. Penuh dengan kasih sayang nan tulus.
Pipi Noa merona saat menyaksikan bagaimana tangan mungil Nana menggapai ke arah Lucien. Pria itu pun spontan mendekatkan jari telunjuknya, yang langsung digenggam oleh Nana. Lucien sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum hingga kedua matanya menutup.
Melihat itu, nyaris tanpa sadar, Noa mengambil ponsel pintarnya dari dalam tas. Lantas beberapa jepretan dari mata kamera ponsel itu dengan cekatan mengabadikan momen langka di depan mata. Lucien sedikit kaget ketika menyadari gambarnya diambil tiba-tiba. Namun, pada akhirnya ia hanya tertawa kecil.
"Noa, kamu sedang apa?" tanyanya.
Gadis itu tersenyum lebar. "Mengabadikan keindahan."
Lucien tertawa kecil, sedangkan Noa akhirnya mendekat. Tepat pada saat itulah, Nana membuat suara-suara lucu yang menyenangkan untuk didengar. Tangan mungilnya pun tampak masih belum rela untuk melepaskan jari Lucien.
"Oh?" Lucien kembali tertawa samar, dan Nana pun membalasnya sekali lagi dengan cara yang sama.
Noa ikut tertawa kecil. "Lucien, sepertinya Nana senang mendengarmu tertawa."
"Hm? Apa hanya Nana yang senang?"
"Aku juga selalu menyukai senyum dan tawamu."
Sementara itu, dr. Liz yang sudah selesai mencatat di atas meja kerjanya, menyaksikan interaksi manis di hadapannya sembari tersenyum. Sang dokter berdeham singkat, membuat atensi Noa dan Lucien kembali terpusat kepadanya. Noa sedikit tersipu setelah itu, sementara Lucien hanya tersenyum seperti biasa.
"Imunisasi DPT untuk Eliana hari ini sudah selesai dilakukan," dr. Liz mulai memberi penjelasan. "Jika pada malam harinya nanti Nana rewel atau mengalami demam, tidak perlu panik."
Noa mendengarkan penjelasan dr. Liz dengan seksama bersama Lucien. Walau hanya sekejap, gadis itu sempat berpikir, ternyata seperti ini rasanya menjadi orang tua. Mungkin suatu hari nanti, di masa depan yang tidak terlalu jauh, ia pun bisa memiliki anak sendiri. Dan, tentu saja, ia hanya ingin memilikinya dari Lucien.
Pemikiran yang datang tanpa diundang ini menyentak Noa. Seketika, pipinya menghangat. Pas sekali saat Lucien tiba-tiba menoleh ke arahnya, lantas tersenyum lembut. Noa hanya bisa berharap pria itu tidak melihatnya tersipu.
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Apartemen Noa mendadak jadi terasa ramai hari itu, dengan Lucien yang masih bermain bersama Nana di kamar tamu. Noa tersenyum ketika memasuki kamar dan melihat Lucien sedang menggoyangkan mainan kerincing berbentuk kupu-kupu di dekat boks bayi Nana. Bayi kecil itu pun terus membuat suara ketika Lucien mengajaknya bicara, seolah mereka sedang bercakap-cakap.
"Nana belum tidur, ya?" tanya Noa sambil mendekat ke sisi Lucien. "Kupikir dia akan mengantuk setelah imunisasi."
Pria itu menggeleng pelan. "Sebaliknya, Nana malah kelihatan sangat energik."
"Waah ... Padahal aku sudah menyiapkan makan siang untuk kita."
"Hmm ... Sepertinya makan siang kita akan sedikit tertunda."
Lucien bertukar pandang dengan Noa, lantas keduanya tersenyum. Nana kembali berceloteh riang, seolah meminta perhatian penuh untuk dirinya sendiri. Dengan senang hati, Noa dan Lucien pun mengabulkannya.
"Wah, wah ... Kalian kelihatan seperti pasangan muda yang baru saja punya bayi, lho."
Noa tersentak ketika mendengar sapaan familier dari arah pintu. Saat menoleh, gadis itu melihat seorang wanita muda berambut cokelat ikal—persis seperti rambut Nana—yang diikat longgar.
"Kak El!" seru Noa ketika wanita itu berjalan mendekat.
Lucien tersenyum sambil menundukkan kepalanya sejenak untuk memberi salam. Namun, kemudian, perhatiannya kembali direbut oleh Nana yang berceloteh seolah memanggilnya.
"Apa Nana rewel?" tanya ibunda sang bayi. "Dia tidak merepotkan kalian, 'kan?"
"Nggak, Kak, Nana anteng banget, kok." Noa tersenyum menenangkan. "Omong-omong, gimana dengan suami Kak El?"
Wanita bernama Elena itu tersenyum samar. Masih ada sekelumit khawatir di wajahnya, tetapi juga terpancar kelegaan.
"Operasinya berjalan lancar," katanya. "Kondisi suamiku sudah membaik. Sekarang ada orang tuanya yang menunggui di rumah sakit. Jadi aku disuruh pulang. Kasihan Nana juga kalau ditinggal kelamaan."
"Syukurlah kalau begitu," sahut Noa. "Semoga suami Kak El cepat sembuh, ya."
"Terima kasih, Noa. Aku jadi tidak enak, sampai dipinjami kamar di sini. Terus, aku jadi pegang kunci cadangan apartemenmu segala."
"Nggak apa-apa, Kak. Lagian kan lebih praktis kalau Kak El sama Nana di sini dulu untuk sementara. Lebih dekat dari rumah sakit daripada rumah kalian, 'kan. Aku juga jadi ada teman."
Noa dan kakak sepupunya tertawa bersama. Hingga tatapan Elena jatuh kepada bayinya yang masih tampak akrab bermain-main kerincingan bersama Lucien.
"Terima kasih sudah mau membantu menjaga putriku, Profesor Lucien," kata sang ibu muda.
"Sama-sama. Saya senang bisa membantu. Dan ... tolong panggil 'Lucien' saja."
"Oh, baiklah ... Lucien." Elena mendekat ke sisi boks bayi. Nana tampak tersenyum kecil saat melihat ibunya. "Sepertinya Nana sangat menyukaimu. Biasanya dia tidak mudah akrab dengan orang lain, lho. Apalagi yang baru dikenal."
Lucien hanya tersenyum.
"Noa, kamu beruntung punya pacar seperti Lucien," kata Elena tiba-tiba. "Aku yakin, Lucien pasti akan menjadi ayah yang baik."
"K-Kak El, apa sih!"
Pipi Noa merona seketika. Sementara Lucien hanya tertawa samar. Entah karena melihat warna merah yang menggemaskan di pipi Noa, atau karena mendengar ucapan Elena. Atau mungkin keduanya.
"Oh iya, kalian pasti belum makan siang, 'kan?" Elena berkata lagi. "Tadi aku membeli sedikit makanan, ada di meja makan."
"Ya ampun, Kak El, nggak usah repot-repot."
"Aah, nggak repot, kok. Aku mandi sebentar ya, setelah itu Nana aku yang jaga. Biar kalian bisa makan siang."
"Oke, Kak."
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Sore harinya, Lucien kembali berkunjung ke apartemen Noa. Dia ingin membantu supaya Noa dan Elena tidak kerepotan, katanya. Mudah saja, sebab mereka memang tetangga sebelah di apartemen yang sama. Noa jadi merasa, Lucien akan makin mudah mendapatkan alasan untuk berkunjung selama Elena dan Nana tinggal di sini.
Tentu saja, bagi Noa, ini adalah berkah yang berlipat-lipat.
"Kak El, setelah ini Kakak mau balik lagi ke rumah sakit?"
Noa bertanya ketika mereka bersama Lucien, berbincang-bincang di ruang depan. Nana pun ada di gendongan ibunya.
"Mungkin besok, lihat situasinya dulu," jawab Elena. "Hari ini aku sama Nana dulu. Dia juga kan habis imunisasi."
Noa memandang ke arah Lucien, yang kebetulan juga sedang menatapnya.
"Eh, kenapa? Kalian berdua sudah ada rencana, ya?" tanya Elena tiba-tiba. "Oh! Betul juga. Ini kan hari Valentine. Ya ampuuun ... Aku sampai lupa!"
Tanpa memberi kesempatan pada Noa maupun Lucien untuk bicara, Elena bergegas masuk ke kamar setelah meminta keduanya untuk menunggu sebentar. Tak sampai dua menit, ia sudah kembali dan langsung menyerahkan sesuatu kepada Noa.
"Apa ini, Kak?"
Noa mengamati selembar kertas seukuran tiket bioskop itu. Warnanya serba merah jambu, dengan nama sebuah restoran terkenal tercetak di atasnya.
"Minggu lalu, aku menang undian spesial Valentine di restoran itu. Tadinya aku mau ke sana bareng suamiku, tapi ... yah, kalian tahu apa yang terjadi. Jadi ... daripada mubazir, lebih baik tempatnya kuberikan pada kalian."
Noa memberikan tiket itu kepada Lucien yang tampak sedikit penasaran. Sementara, gadis itu pun teringat seperti pernah membaca tentang undian istimewa itu di City News.
"Itu ... jangan-jangan reservasi khusus hari Valentine, ya? Kalau nggak salah, harga paketnya lumayan mahal," kata Noa kemudian. "Waah ... Kak El beruntung banget bisa dapat undiannya, gratis."
"Ya, kan." Elena mengedipkan matanya. "Padahal aku dan suamiku juga jarang makan di restoran itu. Kebetulan pas minggu lalu sedang ingin quality time berdua. Eh, malah dapat tiket undian itu."
"Keren~" Mata Noa ikut berbinar membayangkan kencan romantis sang kakak sepupu bersama suami. "Eh, tapi, Kak ... Apa boleh aku dan Lucien yang pakai tiketnya? Kan Kak El yang dapat undian."
"Nggak apa-apa. Aku sudah tanya ke restorannya, dan katanya nggak masalah, asalkan kalian menunjukkan tiketnya."
Lucien masih memandang tiket itu sejenak, sebelum akhirnya mengulum senyum. Sangat samar. Saat Noa menatapnya, dikembalikannya selembar kertas itu ke tangan sang kekasih hati.
"Terima kasih banyak, Elena," kata Lucien kemudian. "Akan kami manfaatkan sebaik-baiknya."
.
oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo
.
Lucien sudah terpesona sejak menjemput Noa di apartemennya. Malam ini, Noa tampil cantik sekaligus manis. Ia mengenakan gaun terusan berwarna lavender, dengan panjang bagian rok sedikit di bawah lutut, yang belum pernah dilihat oleh Lucien sebelumnya. Gadis itu tampak makin menawan dengan make-up natural, serta bibir yang terpulas lip tint berwarna persik. Pipinya tampak kemerah-merahan saat menyadari tatapan Lucien yang terarah padanya penuh kekaguman.
Noa merasa jantungnya seperti habis dipakai berlari, sejak dari apartemen, hingga dirinya bersama Lucien sudah tiba di restoran. Lucien tidak tahu saja, sebenarnya Noa juga nyaris tak bisa mengalihkan pandang dari pria itu yang malam ini tampak sangat tampan. Ia mengenakan jas kelabu semiformal di atas kaus putih. Noa pun bisa mencium aroma parfum seperti rerumputan segar yang disukainya.
Baru sedetik Noa duduk di kursi yang tersedia untuknya, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam tas tangan persik miliknya. Noa memang sengaja mengatur telepon genggamnya dalam kondisi senyap, supaya malam romantisnya dengan Lucien tidak terganggu.
"Noa, sebentar, ya? Aku segera kembali."
Gadis itu mengerjap ketika Lucien mendadak meninggalkannya sendirian di meja mereka yang tepat di sisi jendela kaca. Ia hanya sempat melihat Lucien berbicara dengan seorang pramusaji, ketika kembali terdengar getaran dari dalam tas Noa.
"Siapa, sih?"
Noa memeriksa ponselnya sebentar, berpikir mungkin ada telepon penting. Ternyata hanya beberapa notifikasi pesan masuk dari aplikasi chatting yang biasa digunakannya.
"Oh, dari Kak El."
Tanpa membuang waktu, Noa membuka chat tersebut. Dijawabnya Elena yang menanyakan apakah dirinya dan Lucien sudah sampai di restoran. Setelah itu pun, Elena masih menanyakan beberapa hal, ingin memastikan acara makan malam adik sepupunya berjalan dengan lancar.
Noa, Kakak punya satu pesan untukmu.
Pria kualitas premium seperti Lucien itu, jangan sampai kamu lepaskan. Nanti nyesel, lho.
Gaskaaan!
Noa tertawa kecil membaca pesan Elena. Apalagi saat di akhir chat, wanita berpembawaan ceria itu menambahkan stiker kartun bergerak, bergambar boneka beruang sedang berkendara cepat dengan mobil.
"Apa yang selucu itu sampai membuatmu tertawa?" sapaan tiba-tiba Lucien mengejutkan Noa.
Gadis itu bisa merasakan pipinya menghangat. Ia segera menyimpan ponselnya kembali di dalam tas. Sementara Lucien sudah duduk semeja dengannya.
"Cuma ngobrol sedikit sama Kak El," sahut Noa kemudian. "Oh ya, Kak El titip salam untukmu. Dia juga bilang, semoga kenc—maksudku, semoga acara makan malam kita berjalan lancar."
Lucien tertawa kecil menyaksikan pipi Noa yang kembali memerah di depan matanya. Gadis itu memberengut sedetik, hingga tatapan matanya yang terarah kepada Lucien kembali antusias.
"Omong-omong, tadi kamu ke mana?" tanya Noa tiba-tiba.
"Hm? Menyiapkan kejutan kecil untukmu."
"Oh, ya? Kejutan apa?"
"Kalau kuberitahu, bukan kejutan lagi namanya."
"Lucien pelit~"
Pria itu tertawa, lantas mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah wadah berukuran sedang, berbentuk hati, berwarna merah, dengan pita merah muda menghiasinya. Diletakkannya benda itu tepat di hadapan Noa.
"Waah ... Apa ini?" Mata Noa berbinar menatap wadah misterius itu. "Kamu nggak bilang-bilang kalau punya hadiah untukku."
"Hmm ... Memangnya harus bilang dulu?"
"Iya, aku tahu. Kejutan, 'kan? Kamu masih menyimpan berapa banyak kejutan lagi setelah ini?"
Lucien hanya tersenyum. Noa membuka tutup kotak itu, dan matanya makin bersinar-sinar setelahnya. Bagaikan sumber cahaya bagi Lucien, yang keindahannya bahkan tak sebanding dengan bintang-bintang di luar sana.
"Waaah ... Cokelaaat~"
Sembari berseru riang, Noa memandangi cokelat-cokelat mungil berbagai bentuk yang langsung menerbitkan air liur. Tangannya sudah bergerak ingin mengambil satu cokelat berbentuk bunga, andai saja tak dihentikan oleh Lucien.
"Noa, kita baru mau makan malam, lho." Pria itu mengulum senyum. "Kamu yakin, sudah mau makan cokelatnya sekarang?"
"Hehehe ... Iya juga, ya ..."
Noa cepat-cepat menutup wadah berbentuk hati itu, lantas memasukkannya ke dalam tas, sebelum dirinya tergoda lagi. Lucien hanya geleng-geleng kepala dengan senyum yang sejak tadi nyaris tak pernah terhapus dari wajahnya.
"Makasih, Lucien! Tapi ... itu bukannya paket cokelat spesial Valentine dari New Light Mall? Aku sudah berusaha pesan, tapi kehabisan. Kok kamu bisa dapat, sih?"
Pertanyaan ini pun tidak dijawab oleh Lucien. Sementara Noa segera terdistraksi oleh makanan yang diantarkan oleh pramusaji setelah itu. Menu bergaya Barat yang bahkan Noa tidak yakin apa namanya. Ia hanya ingat pernah melihatnya di majalah atau internet. Yang jelas, semuanya adalah makanan berkelas, khas restoran mewah berarsitektur Eropa ini.
"Kelihatannya enak."
Gadis itu hanya berkomentar singkat sebelum mulai menyantap makanannya. Sempat melihat tamu-tamu lain—dan juga Lucien—yang makan dengan anggun, Noa memutuskan untuk sedikit menahan diri. Namun, cita rasa makanan itu tak gagal menciptakan ekspresi bahagia di wajah Noa yang membuat hati Lucien menghangat melihatnya.
"Kamu menyukai makanannya?" komentar Lucien ketika Noa menyantap suapan terakhirnya.
Gadis itu mengangguk cepat. "Kalau kamu? Suka, 'kan?"
Tatapan Lucien terpusat kepada Noa, selembut senyum yang kini menghias bibirnya. "Suka sekali."
Lucien baru menghabiskan makanannya ketika Noa sudah menghabiskan setengah isi gelasnya. Pria itu melayangkan pandang sejenak berkeliling sembari mulai meneguk minumannya. Ia tersenyum samar ketika melihat pria berjas hitam dan berdasi kupu-kupu mendekat dengan membawa biola. Noa yang sudah menghabiskan minumannya, sedikit terkejut ketika pria itu berhenti di sisi meja mereka, kemudian mulai memainkan biolanya dalam irama lembut menenangkan.
"Lucien, ini ... jangan-jangan ... 'kejutan' yang kamu bilang tadi?"
Lucien mengulum senyum, baru kemudian menghabiskan isi gelasnya. Pria itu menarik napas sejenak. Tanpa bicara apa-apa, ia pun mengeluarkan satu wadah lain dari dalam sakunya. Kali ini berukuran lebih kecil, berbentuk segi empat, dilapisi beludru berwarna ungu tua, nyaris hitam. Dilihat dari mana pun, tampak seperti kotak perhiasan. Namun, jelas terlalu besar untuk kotak cincin.
Noa masih kehilangan kata-kata saat Lucien berdiri mendekatinya, lantas menyerahkan kotak itu.
"Untukku?" tanya Noa, yang dijawab Lucien dengan anggukan. "Boleh kubuka?"
"Tentu."
Yang ditemukan Noa di dalam kotak itu adalah sebentuk gelang rantai. Berbahan platina, dengan hiasan berbentuk kupu-kupu ungu dari batu permata.
"Lucien ... Ini bagus bangeeet ..."
"Boleh kubantu memakaikannya?" pinta Lucien.
"Iya."
Kata terima kasih itu terucap dari bibir Noa, mengiringi matanya yang sedikit berkaca-kaca. Hanya sekejap, sebelum tergantikan senyuman.
"Oh ya, Lucien, aku juga punya hadiah untukmu."
Sedikit kaget karena tidak menyangkanya, Lucien hanya diam di tempat ketika Noa mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Gadis itu kemudian menyerahkan kotak kayu kecil berpelitur ke tangan Lucien.
"Bukalah," kata Noa antusias.
Lucien tersenyum ketika membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat penjepit dasi dengan hiasan berbentuk daun maple.
"Aku menemukannya sewaktu mengunjungi pameran bersama Willow dan Kiki beberapa hari lalu. Kupikir cocok untukmu," jelas Noa malu-malu. "Apa kamu suka?"
"Hm. Aku pasti suka apa pun yang kamu berikan." Lucien menyimpan hadiah itu baik-baik di dalam saku jasnya. "Terima kasih, Noa. Aku akan memakainya nanti."
"Sama-sama."
Alunan biola berakhir, tepat ketika jarum jam antik di restoran menunjukkan pukul setengah delapan malam. Noa pun bangkit dari kursinya.
"Setelah ini, kita langsung pulang?" tanya gadis itu.
Lucien menciptakan jeda sejenak. "Sebenarnya ... sebelum ini, aku juga berusaha melakukan reservasi di restoran ini untuk kita berdua, tapi kehabisan tempat. Jadi ... aku mengubah rencana."
"Oh, ya? Kamu ingin mengajakku ke mana?"
Melihat sorot penasaran di dalam mata cokelat madu milik Noa, Lucien mengulum senyum. "Sekarang sedang ada semacam pasar malam di taman kota dekat sini. Tapi tidak apa-apa kalau kamu sudah capek dan ingin pulang—"
"Aku mau! Ayo kita ke sana!"
Lucien tersentak ketika Noa tiba-tiba meraih tangannya. Kebahagiaan kecil itu menghangat kembali di dalam hatinya, seiring langkah yang dibimbing oleh tarikan ringan Noa. Sama hangatnya dengan kedua tangan mereka yang kini saling tertaut.
"Kira-kira ada penjual makanan apa saja ya, di pasar malam?"
"Kamu masih mau makan lagi, nona kecil yang rakus?"
"Tenang saja, perutku masih muat banyak."
"Baiklah, nanti kutemani makan."
"Yay~"
.
.
.
TAMAT
.
.
.
* Author's Note *
.
Happy happy hearts day, wahai para penghuni fandom MLQC~ ( ´ ▽ ` )ノ💕
Kali ini, Noir datang merusuh, cuma ingin merayakan keuwuan bersama dengan suami tercinta~ 😆💜
Makasih buat yang udah baca fic ini. Semoga terhibur.
Sampai jumpa di fic-fic berikutnya~
.
Regards,
kurohimeNoir
14.02.2023
