Disclaimer: Omniscient Reader's Viewpoint miliknya Sing Shong.

Genre: Romance, Humour.

Main Chara: Kim Dokja dan Yoo Joonghyuk

Warnings: DLDR. OOC-ness, alternative universe, pining, serta seperti kebanyakan peringatan dalam fanfiksi yang telah ada sebelumnya.

Summary: could I be your lover, stranger?


wish that i could

Hidup ini sudah banyak drama. Oleh sebab itu, jatuh cintalah dengan cara yang benar-benar simpel. Dalam kasus Kim Dokja, mendadak dirinya (sadar) menyukai orang asing yang ditemuinya di halte bus. Chick-flick sekali, terlalu klise, harusnya dewa Cupid berusaha lebih kreatif, jangan asal meniru film-film komedi romantis. Akan tetapi, begitulah, panah asmara bisa kapan saja menancap hati siapa pun.

Butuh waktu sekitar setengah tahun agar lelaki brunette ini bersedia mengakui fakta, bahwa ia jatuh hati pada sosok anonim yang biasa dilihatnya ketika menunggu bus untuk pergi ke tempat kerja. Satu hari sekali, setiap jam 08.30 pagi, dari Senin sampai Jum'at, dan membuat Dokja benci saat weekend tiba – berharap Sabtu-Minggu berakhir sekejap mata.

Dokja sendiri pernah memaksa agar otaknya dapat berpikir secara logis dalam urusan cinta. Menulis daftar tentang apa saja yang membuatnya menyukai laki-laki dengan pakaian serba hitam itu – serius, kemungkinan besar lemari pakaian yang bersangkutan tak menyimpan warna lain. Selain wajah tampan serta tubuh yang (terlalu) seksi, rasanya tidak ada alasan kongkret yang bikin lebih masuk akal.

Well, bukankah manusia memang cenderung menilai segala sesuatu dimulai dari segi visual?

Jelas dia ingin sekali mengetahui banyak hal mengenai sosok itu, atau sekadar berbasa-basi mengajaknya mengobrol sedikit. Sayang, bukan hanya bus mengantar mereka ke destinasi yang berbeda, tapi tempat menunggunya pun harus berselisih, jadi selama ini Dokja cuma mampu mengamatinya dari seberang jalan.

Sebab rasanya, pasti aneh sekali kalau tiba-tiba saja memaksakan keadaan, jadi Dokja buang jauh-jauh pikiran untuk (berani) mendekati si pujaan hati – nanti malah dihujat massa, sebab dianggap penguntit mesum. Semoga saja kelak, entah kapan, bakal muncul situasi dan kondisi yang membuat mereka saling berhadapan secara langsung. Sahabat baiknya, Han Sooyoung, sering memberikan ide gila seperti langsung 'tebak' saja. Gila!

Sebelum garis takdir memberinya kesempatan, biarkan Dokja menikmati momen-momen simpel itu.

Kim Dokja memang seorang observer dengan memori yang andal, hobi mengamati suatu objek sedetail-detailnya, bahkan menghafal seluruh adegan memukau dalam novel favoritnya secara kronologis. Tentu dia memantau diam-diam sosok yang tampak asyik mencoret-coret di layar tablet-nya itu, sedapat mungkin bersikap natural supaya tak dicurigai memiliki niat jahat.

Materi abu-abu dalam kepalanya kembali menulis catatan mental berupa, "wish that I could…"

Dokja berharap bisa mengetahui siapa namanya, di mana tempatnya bekerja, profesi apa yang dilakoninya, sudahkah memiliki kekasih, tertarikkah yang dimaksud pada lelaki, dan masih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan terus bergulir tanpa ada jawaban sama sekali, tapi itulah keunikan (seni) dari menyukai dalam kebisuan.

Ia pasti dan selalu menghela napas pendek apabila salah satu bus yang mereka tunggu datang. Biasanya Dokja yang mesti pergi terlebih dahulu, atau sesekali (terpaksa) terus melihatinya menaiki kendaraan besar itu sebelum menghilang dari jangkauan pandang. Hanya lima belas menit mengamati tanpa banyak aksi sosok anonim tersebut, sukses memberi tenaga yang cukup untuk menghadapi berbagai drama konyol hari ini.

Ada hari saat drama konyol menjadi sebuah kesalahan yang mematahkan hati.

Siapa yang mengira akhirnya tiba momen ketika mereka saling bertatapan satu sama lain? Syukurnya Dokja tetap tenang walau dadanya bergemuruh mirip genderang mau perang, lalu pelan-pelan mengalihkan direksi netra ke sembarang arah, berpura-pura kalau itu ketidaksengajaan belaka. Sialnya, waktu kembali ingin mengobservasi lelaki asing yang sama, dan indera visual mereka bertemu lagi – seolah yang bersangkutan terus-menerus mengawasinya.

Dia beranikan diri melempar sebuah senyum, na'asnya tak menemukan respons sebanding, sebab yang dimaksud hanya terus melihatinya dengan ekspresi datar nan sulit ditebak. Lantas, begitu saja beranjak setelah merapikan isi tas selempangnya untuk memasuki bus yang datang menjemput, meninggalkan Dokja bersama rasa penasaran terhadap segala tingkah-lakunya.

Sumpah, harusnya ia tidak setolol itu karena mengikuti perasaan, secara impulsif memberi signal kalau memiliki perhatian khusus. Dokja berdo'a semoga tak dianggap mengganggu atau, malah menjijikan. Ingin rasanya berteriak nyaring, uring-uringan, menelepon teman dekatnya buat bercerita heboh, tapi sadar diri sudah terlalu tua untuk bersikap labil khas remaja.

Oleh sebab itu, biarkan dirinya mengharapkan kebaikan Ilahi dengan membuat si laki-laki anonim lupa kejadian konyol Senin tadi. Miris, mana mungkin seluruh permohonan bakal dikabulkan Tuhan, apalagi mengingat Dokja bukanlah umat yang ta'at. Jangankan berusaha memerbaiki kejanggalan kemarin, pagi ini ia tak menemukan sosok yang teramat familier, dan sialnya terus berlanjut hingga Jum'at menyapa.

Sebelumnya weekend terasa sangat menyebalkan, kini menjadi sedemikian menyiksa. Dokja tidak tahu kalau tindakan kecil berupa senyum tipis bisa jadi bom nuklir – senjata mematikan. Namun, apa haknya kalau memang itu membuat yang bersangkutan risih? Mungkin inilah yang terbaik. Berniat menghabiskan libur kerja dengan meratapi kebodohan dirinya, lalu move-on.

Namun, mendadak dia menerima ajakan nona Han untuk refreshing dengan ikut mengunjungi bar and café yang sedang viral. Bukan semata-mata karena persuasi sang sahabat yang bercerita kalau pemilik tempat tersebut sangat tampan, tubuhnya menyehatkan mata sekali, jago memainkan piano, dan masih banyak kualitas lain yang membuatnya begitu digandrungi. Melainkan foto yang dikirimkan Sooyoung mengenai objek pembicaraan mereka yang menarik atensinya.

That's him! Yaa, orang yang selama beberapa hari terakhir ini makin buat Dokja galau setengah waras.

"Ini malam Minggu, kan. Dia pasti tampil." 98 persen bikin Dokja lupa rencana menikmati galau-nya.

Secepatnya mendatangi tempat yang dimaksud, lalu memesan table agak dekat panggung.

Be carefull what you wish for.

Dulu, seringkali Dokja mengimajinasikan berbagai situasi serta kondisi yang membuatnya punya alasan bagus untuk menegur sosok tersebut. Akan tetapi, begitu kesempatan ini tiba, ia bingung sendiri mau berkata apa, jadi sedari tadi tetap diam di tempatnya, dan masih sembunyi-sembunyi mengamati lelaki ganteng yang dimaksud. Kalau saja peristiwa Senin lalu itu tak terjadi, mungkin dirinya bisa sok berbasa-basi kasual.

"Selamat malam. Terima kasih sudah mengunjungi Our Secretive Dreams. Ah, nyaris semua yang ada di sini pasti tahu, saya Yoo Joonghyuk." Indera visual mereka sempat bertemu sekejap, lalu obsidian itu berpindah pada sosok dara yang barusan turut naik ke atas panggung. Mereka sempat berdiskusi pelan, entah apa, kemudian dengan cepat membuat keputusan yang disetujui bersama.

Jari-jemari Yoo Joonghyuk mulai bermain lincah di atas tuts piano.

Jujur, harus Dokja akui, lagu yang dinyanyikan itu benar easy-listening dan feel-nya bagus banget.

Entah apa judulnya, dia yakin belum pernah mendengar lagu ini di mana pun.

Sekarang, kurang-lebih pertanyaan-pertanyaan klasik yang mendiami otak Dokja telah terjawab. Ia tahu namanya, tempatnya bekerja, profesi yang dilakoninya, dan... pastinya sudah memiliki kekasih, serta tidak tertarik pada laki-laki. Keberadaan wanita cantik berambut putih yang menyanyikan lagu itu, Lee Seolhwa, bukanlah orang yang boleh dianggap sepele. Sooyoung sendiri yang mengatakan kalau mereka diisukan berpacaran, bahkan telah menikah.

Beralasan dengan lupa mengerjakan deadline tugas, dia pamit pulang ke teman dekatnya yang turut kecewa setelah mengetahui kebenaran, bahwa orang yang selama ini ditaksir Dokja adalah Yoo Joonghyuk. Sooyoung sempat merasa bersalah, tapi semua yang dilakukan perempuan ini hanyalah berusaha menghibur sahabatnya.

Ia sangat sadar tak bisa menyalahkan siapa pun, sebab patah hati-nya murni dari nasib yang sedang bad-luck dalam percintaan. Itu memang pengalaman yang bagus, sekurang-kurangnya Dokja tahu dirinya masih bisa jatuh hati, sebab di luar sana pasti banyak yang lupa, bahkan bertanya-tanya bagaimana rasanya falling-in-love.

Duh, dia sendiri tahu kekurangan alasan tepat agar boleh mengakui broken heart.

Namun, di satu sisi naluri Dokja mengatakan, Senin nanti pasti menjadi awal baru yang luar biasa.

Uh-oh, takdir selalu punya cara yang paling tepat dalam mengabulkan do'a seseorang.

Awalnya agak kikuk melemparkan direksi netra ke halte bus seberang, dan kelegaan yang aneh segera ia rasakan tatkala tak mendapati sosok yang biasa dicari. Namun, perasaan adem tersebut cuma bertahan semenit, karena tiba-tiba Yoo Joonghyuk duduk tepat di sampingnya, serta-merta mengarahkan telapak kanan untuk berjabatan. Dokja menyambutnya setelah beberapa detik membatu.

"Yoo Joonghyuk."

"Kim Dokja."

Joonghyuk menggigit bibir bawah sebentar, seakan minim kepercayaan diri atas kalimat yang ingin terucap dari mulutnya. Menghela napas pendek, melepas tautan jari-jari mereka, lalu meneruskan dengan, "apa kau suka – ehm, maksudku, aku senang, aah –" justru menggelengkan kepalanya, tersenyum kecil sendiri, hampir tertawa. "Aku memang buruk dalam berbasa-basi, jadi…" ia mengambil tablet dari dalam tas selempangnya, memperlihatkan sebuah catatan digital ke Dokja.

Kemudian berlisan lagi, "lagu ini kuciptakan terinspirasi darimu."

Dia berusaha memahami setiap kata yang tertulis di situ. "Bukahkah lagu ini yang kemarin malam di –"

Joonghyuk menyela santai, "yaa, Seolhwa sempat menolak karena sebenarnya ini belum selesai. Namun, aku mendesaknya, karena… well, kebetulan kau ada di sana kemarin." Dokja bingung, sebab lagu tersebut sudah terlalu bagus untuk kategori unfinished. "Apanya yang belum selesai?" terlalu penasaran, sampai mengabaikan lima kata terakhir yang diucapkan lawan bicaranya.

Mengambil kembali gawai berlayar 11 inci dari genggaman laki-laki brunette di sebelahnya, menatap setiap kalimat yang ditemani not-not nada itu, lalu melanjutkan dengan, "eehm, lagu ini belum punya judul. Dan karena terinspirasi darimu, jadi ada baiknya kutanyakan langsung padamu." Dokja dibikin salah tingkah, sebisa mungkin menahan senyum bodoh, dan berharap semuanya bukanlah mimpi semata.

"Inti lagunya tentang apa?"

"Jatuh cinta pada stranger, khawatir bertepuk sebelah tangan, dan berharap agar dia menjadi milikku."

Tatapan mata mereka bertemu lagi, intens, kali ini masing-masing ditemani sunggingan bibir nan manis.

Dan empat kata yang akan dikatakan Dokja ini, sudah sering menyambangi isi kepalanya.

"… wish that I could."

Finish


A/N:

Hello! Salam kenal, saya pendatang baru di sini. Semoga fandom ORV makin ramai, khususnya arsip-arsip (Joongdok) yang berbahasa Indonesia. Dan memang menjadi ciri khas saya kalau masuk ke 'rumah' baru pasti pakai genre comedy romance. Ah, saya senang bisa nyemplung di pair major satu ini, soalnya kebiasaan jatoh ke otepe sekoci. *lempar konvetti warna-warni

Iya, saya tahu fanfiksi ini tamat dengan ambigu, tapi gagal paham kenapa puas sendiri.

Saya sebenarnya sudah lama mau mampir, tapi selalu tertunda-tunda. Akhirnya baru sekarang terealisasi. Dan saya sudah cukup lama tidak aktif menulis fanfiksi, jadi membuat 1K+ word saja butuh usaha keras mikir plot-nya, apalagi ini dikerjakan secara impulsif dengan ide yang gak terlalu fix. Intinya, saya cuma mau Joonghyuk bikinin lagu soal Dokja, karena dia emang se-bucin itu. *Yank, gak gini

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Bersediakah buat memberi review? Saya tunggu.

Terakhir, selamat hari Valentine dan Happy (early) Birthday buat Dokja.

Salam,

M0N.