Your Valentine
by
acyanokouji
Special for Valentine's day!
.
Summary: Sasuke Uchiha adalah seorang pengkhianat kerajaan. Dengan kurang ajar, ia membeberkan rahasia kerajaan yang sangat ditutupi. Di tengah pelariannya, ia singgah di kediaman perempuan cantik bernama Hinata Hyuuga. Bersembunyi, sampai akhirnya ditemukan.
.
All characters belong to Masashi Kishimoto
Warn: OOC, ide pasaran, typo(s), lemon, and a bit gore!
.
.
.
Hinata menyirami bunga di taman samping rumahnya. Ia bersenandung ria. Menyanyikan lagu jazz pelan dalam dehaman. Begitu ia tersenyum pada bunga mawar merah yang merekah, terdengar sebuah suara dari depan rumahnya.
BRUK
Hinata menoleh. Ia sudah menghentikan nyanyiannya. "Matsuri?" panggil Hinata. Di rumah ini hanya ada ia dan Matsuri. Jika bukan perempuan yang sedang pergi ke pasar, lalu siapa?
Sambil membawa pot penyiram tanaman, Hinata berjalan perlahan. Kakinya mengendap-ngendap, berusaha menyembunyikan derap langkahnya. Ia menggigit bibir bawahnya, sedikit takut dengan apa yang akan dihadapinya. Bagaimana kalau itu adalah hewan buas?
SREK SREK
"Si-siapa?" Hinata menghentikan langkahnya ketika mendengar suara rerumputan yang bergoyang. Hinata meneguk ludah. Semak itu kembali bergoyang. Dengan cepat ia menyiram ke arah semak asal suara.
"Aaaa... Aaaa..."
Seseorang berteriak di balik semak. Hinata bisa mendengar suara laki-laki. Dengan segera ia pun menghentikan tindakannya. "Tolong, keluar! Atau aku akan menyirammu lagi!" Hinata mengancam dengan suara bergetar. Tak lama keluarlah seorang pria yang kini sudah basah.
Hinata memerhatikan pria yang berdiri di hadapannya. Pria itu berambut gelap. Ia memakai kemeja putih dengan rompi coklat tua. Celananya berwarna coklat gelap. Kini, sebagian tubuh si pria sudah basah akibat siraman Hinata. Rambut ravennya terjatuh ke bawah, wajahnya sedikit basah, dan tubuh bagian atasnya lebih basah lagi.
"Ah, maaf, Tuan. Aku tidak sengaja." Hinata mundur selangkah, ia menurunkan pot pernyiram tanaman. "Apa kau baik-baik saja, Tuan?"
"Tidak. Bajuku basah." pria itu menjawab dengan singkat.
"Ah, benar." Hinata menimbang-nimbang. "Aku yang bertanggung jawab. Maukah kau masuk ke dalam rumah dan mengeringkan diri terlebih dahulu?"
Si pria terlihat sedikit mengernyit mendengar tawaran Hinata. Tak lama wajahnya kembali datar. "Baiklah," katanya.
Ini adalah kali pertama Hinata mengajak masuk seorang tamu ke dalam rumahnya. Terlebih, seorang laki-laki. Dalam hati ia takut kalau-kalau Matsuri tahu dan akan mengadukannya. Namun, dengan yakin ia hanya akan membiarkan pria itu menumpang sebentar dan membiarkannya melanjutkan perjalanan setelahnya.
"Maaf, aku hanya punya itu." Hinata melirik pria yang ada di depannya. Kini baju si pria sudah berganti dengan sweater bulu yang terlihat membentuk badannya. Padahal sweater itu sangat besar di tubuhku.
"Namaku Hinata. Ini adalah kediamanku. Boleh aku tanya, kenapa kau ada di rumahku, Tuan?" Hinata bisa melihat pria di seberang kursi mengernyitkan dahi lagi.
"Hinata?"
"Ya, Hinata."
"Hanya Hinata?"
"Ya, hanya Hinata."
Pria raven tersebut mengedikkan bahunya. "Namaku Sasuke. Hanya Sasuke." kata pria itu penuh tekanan. "Maaf, aku tidak tahu kalau ini rumahmu. Aku hanya sedang melarikan diri."
"Melarikan diri? Dari siapa?" Hinata mulai khawatir. Bagaimana kalau pria yang ia sambut di rumah ini adalah seorang penjahat?
"Dari orang-orang jahat yang menjebakku."
"Kau dijebak? Kenapa?"
Sasuke mengangkat bahu lagi. "Mereka menuduhku melakukan pencurian. Makanya aku melarikan diri." Sasuke menegok-nengok ke sekitar. "Apa kau tinggal sendirian?"
"Tidak. Aku tinggal bersama seorang pelayan."
"Berarti kau yang berkuasa di rumah ini?"
"Tidak. Eh? Iya. Eh? Maksudku..."
"Bolehkah aku tinggal sementara di sini?"
Hinata sedikit terkejut. "Kenapa?"
"Aku tidak punya tempat tujuan lain. Di luar sana orang-orang masih mencariku. Aku berjanji tidak akan merepotkanmu. Sebagai gantinya, aku akan melakukan bersih-bersih di rumah atau kebun."
"Eh, tidak perlu. Aku dan Matsuri bisa melakukannya." Hinata mengangkat telapak tangan dan menggoyangkannya pelan. "Berapa lama kau akan tinggal?"
"Hanya sampai keadaan di luar sudah mulai tenang."
Sampai tenang itu... kapan?
"Baiklah, aku mengizinkanmu, Sasuke. Tapi, tolong hormati perempuan yang ada di rumah ini dan jangan menyembunyikan apapun dariku."
"Aku berjanji." Sasuke berkata lenggang meskipun jari telunjuk dan jari tengahnya menyilang di bawah meja.
.
.
Pagi harinya, Hinata terkejut mendengar suara teriakan di dapur. Ia melihat Matsuri yang sedang menatap horor ke arah meja makan. Sedikit memiringkan kepalanya, Hinata bisa melihat Sasuke yang sedang menyajikan makanan.
"Ada apa ini?" Hinata bertanya dengan suara serak, khas bangun tidur.
"Nona Hinata! Nona Hinata! Ada penyusup di rumah ini!" Matsuri berjalan cepat menuju Hinata yang masih setengah sadar. Ia menunjuk-nunjuk Sasuke yang masih berwajah datar. "Lihat! Ada pria asing di rumah ini!"
"Ah, Sasuke?" Matsuri menoleh pada Hinata. Apa majikannya barusan memanggil sebuah nama?
"Matsuri, maaf belum bicara denganmu. Itu adalah Sasuke. Kemarin aku menemukannya masuk di dekat gerbang. Saat ini ia sedang terlibat sedikit masalah. Jadi, aku membiarkannya tinggal sementara di sini."
Mulut Matsuri menganga mendengar ucapan Hinata. "Tapi, Nona Hinata..."
"Hanya sebentar. Tolong biarkan dia tinggal sebentar saja." Matsuri membuang napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika Hinata sudah memutuskannya.
"Baiklah. Tapi, kumohon tolong jaga sikapmu, Tuan!"
"Maafkan sikap Matsuri." Hinata berkata saat ia dan Sasuke sedang berdiri di beranda.
"Tidak perlu dipikirkan. Apa kau punya peternakan sendiri?" Sasuke memerhatikan Matsuri yang sedang memberi makan hewan ternak di belakang rumah. Ada satu ekor sapi besar, satu ekor sapi kecil, dan beberapa unggas. Seperti ayam dan bebek.
"Hanya peternakan kecil. Untuk meramaikan rumah dan menyiapkan stok makanan."
"Apa aku boleh menyembelihnya?"
Hinata tertawa kecil pada Sasuke. "Kami juga punya kebun sayur kecil di sisi timur. Kau bisa memetik beberapa kalau kau mau."
"Tentu. Aku akan menyiapkan hidangan dengan stok-mu itu."
"Oh, omong-omong, masakanmu tadi pagi enak. Terima kasih, Sasuke. Padahal kau tidak perlu repot-repot."
Sasuke tersenyum kecil. "Aku hanya melakukan hal yang aku bisa untukmu." Ia bertatapan dengan Hinata selama beberapa detik sebelum mereka berdua sama-sama memalingkan wajah. Lalu, terdengar suara teriakan Matsuri yang heboh karena anak sapi berontak tak ingin dimandikan. Fokus Hinata pun pecah, ia tertawa ke arah Matsuri. Mengabaikan Sasuke yang memerhatikan tawanya dari samping.
.
.
Beberapa hari setelahnya, Hinata melihat Sasuke yang membantu Matsuri. Membersihkan rumah, mengurus hewan, dan menyiapkan makan. Pekerjaan Hinata jadi jauh lebih ringan. Ia hanya meminta untuk dibiarkan tetap merawat kebun bunga dan kebun sayur. Sebab merawat tanaman adalah hal yang Hinata sukai.
"Boleh aku membantumu, Hinata?"
Hinata menengok. Ia menemukan Sasuke yang mendekat ke arahnya. Laki-laki itu membawa sebuah wadah kecil berjaring-jaring.
"Tentu. Tolong bantu aku memanen semua sayur ini." Hinata menunjuk sayuran yang mulai layu. "Sudah akhir musim gugur. Kita harus memetiknya sebelum ia mati karena musim dingin.
Sasuke mengangguk mengerti. Dengan cekatan ia mengikuti semua yang Hinata perintahkan. Tomat, selada, sawi, mentimun. Hinata menggali lubang sedikit dalam dan mengubur batang-batang tanaman yang sudah dipetiknya. Begitu semua sudah beres, tibalah waktu yang menentukan.
"Nona Hinata, sepertinya kita harus menyembelih beberapa hewan untuk musim dingin ini."
Hinata menatap Matsuri, perempuan coklat itu berdiri di dekat kompor. "Apa? Kenapa?"
"Sepertinya akan sulit pergi ke kota kalau terjadi badai salju."
Hinata menghela napas. Ia menyayangi hewan-hewan ternaknya, meskipun ia jarang mengurusi mereka. "Baiklah. Apa kita perlu memanggil Paman Jiraiya untuk minta tolong?"
"Tidak perlu." Sasuke ikut terlibat dalam pembicaraan. Selama makan malam, ia mendengar percakapan Hinata dan Matsuri di meja makan yang terbuka. "Aku bisa melakukannya untukmu, Hinata."
"Aaaa tidak! Jangan lakukan itu pada anak-anak manisku!"
"Charlieee!"
Matsuri dan Hinata berteriak histeris. Mereka melihat proses penyembelihan satu ekor sapi dan dua ekor unggas dari jauh. Tidak tega menyaksikan adegan 'pembunuhan' pada keluarganya. Sedangkan Sasuke menatap sweatdrop pada Matsuri dan Hinata yang berpelukan. Ini hanya hewan, 'kan? Toh pengorbanan hewan-hewan ini yang akan menyelamatkan mereka di akhir tahun yang mulai mendingin.
.
.
"Hai, apa aku mengganggu?" Sasuke melirik ke arah pintu kamarnya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka –Sasuke pun tidak tahu kenapa bisa terbuka tanpa suara- terlihat Hinata yang menyembul. Sasuke menggelengkan kepalanya. "Boleh aku masuk?"
"Silakan. Ini rumahmu." Sasuke mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Ia menepuk-nepuk samping tubuhnya.
Hinata melangkah kakinya masuk ke kamar kecil yang ditempati Sasuke. Setelah memerhatikan, baru Sasuke sadari jika Hinata memakai gaun tidurnya.
"Maaf menghampirimu malam-malam." Hinata mendudukkan dirinya di samping Sasuke. Badannya sedikit terpental begitu ia duduk. "Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau banyak membantu di rumah ini."
"Hn. Tidak masalah." Hinata menoleh. Ia mendapati Sasuke yang terus memandangnya, tepatnya ke arah payudaranya. Oh, Hinata lupa sudah berganti pakaian. "Ba-baiklah. Mungkin sebaiknya aku membiarkanmu tidur."
Sasuke menahan lengan Hinata. Perempuan itu tidak jadi berdiri. "Kalau kau mau, aku bisa menemanimu tidur, Nona Hinata."
Hinata membelalak. Ia meneguk ludah gugup. Pria di sampingnya masih menatap lekat-lekat tubuhnya. "Ti-tidak. Aku bisa tidur sendiri."
"Tidakkah kau kesepian, Hinata? Tinggal berdua dengan pelayanmu di rumah yang besar ini?" Sasuke menarik dagu Hinata, membuatnya saling menatap. "Aku hanya ingin menghiburmu."
Hinata terpana oleh iris hitam milik Sasuke. Tanpa sadar ia memejamkan kelopak matanya setelah beberapa detik. Lembut. Sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sasuke menciumi Hinata. Tangan kanannya menahan lengan Hinata sedang lengan kirinya menangkup sebelah wajah Hinata.
"Apa yang kau lakukan?" Hinata bertanya saat ciuman mereka terlepas. Namun, Hinata tidak melarikan diri. Ia masih duduk di ranjang kecil yang berbulan-bulan ini ditempati Sasuke.
"Mengisi kekosongan hatimu."
"Hmph"
Sasuke mencium Hinata lagi. Kali ini lebih lama, sedikit kasar, dan melibatkan lidahnya. Hinata tak kunjung membuka mulutnya. Hal itu membuat Sasuke berinisiatif untuk mencubit perut Hinata.
"Aawhnn"
Hinata mengaduh sebentar. Ia membuka mulutnya yang segera Sasuke manfaatkan untuk melesakkan lidahnya ke dalam mulut Hinata. Ia menginvasi dalam mulut Hinata, mengabsen satu per satu deretan giginya. Ketika Hinata kehabisan napas, ia mendorong Sasuke untuk sedikit menjauh. Perempuan itu sedikit terengah.
"Apa aku boleh melakukan hal ini padamu, Hinata? Status kita terlalu berbeda."
"Apa maksudmu?" Hinata melirik tangan Sasuke yang mengelus-elus pipinya.
"Jawab saja pertanyaanku."
"Aku tidak peduli pada status."
Sasuke tersenyum. Ia mendorong Hinata agar berbaring. Kemudian Sasuke kembali melumat mulut Hinata. Perempuan berponi itu ikut terlibat kali ini. Mereka saling menyesap. Tangan Sasuke juga pelan-pelan menaikkan gaun tidur Hinata. Meraba-raba tubuh di bawahnya. Lalu, Sasuke melepaskan ciumannya. Bergerak mencium bagian tubuh Hinata yang lain.
"Ahnnn"
.
.
Matsuri bukannya tidak sadar. Ia tahu betul jika Hinata semakin menempel dengan Sasuke. Ia juga bukan seorang gadis polos yang tidak tahu hubungan terlarang Hinata dan Sasuke. Ketika memastikan Sasuke tidak terlihat di dapur, Matsuri mendekati Hinata yang sedang menyulam.
"Nona Hinata, aku ingin bicara denganmu." Hinata mendogak sebentar pada Matsuri. Ia mempersilakan Matsuri untuk duduk di kursi kayu seberangnya. "Nona, kurasa kita harus segera meminta Sasuke pergi."
Hinata menghentikkan gerakan jarinya. Ia menatap Matsuri yang berwajah khawatir. "Ada apa? Menurutku Sasuke baik. Dia sangat membantu di rumah ini."
"Aku tahu, Nona. Tapi, firasatku mengatakan akan ada hal buruk yang terjadi."
Hinata menaruh sulaman yang baru setengah jadi ke atas meja makan. "Matsuri, sejak kapan kau menilai seseorang berdasarkan firasatmu? Aku tidak suka kau mencurigai Sasuke seperti itu."
"Tapi, Nona..."
"Biarkan dia tinggal sedikit lebih lama. Aku yang bertanggung jawab atas rumah ini." ucapan Hinata membuat Matsuri diam. Sebagai pelayan, ia hanya bisa menuruti apa yang majikannya bilang.
Namun, seharusnya Hinata mendengarkan Matsuri. Tepat di tengah malam, saat hari berganti dari tanggal 14 Februari menjadi 15 Februari, Hinata menemukan sebuah amplop surat di nakas samping ranjang tidurnya. Ia mengambil amplop tersebut dan membuka isinya. Sebuah kertas berwarna putih terlihat.
"Teruntuk Hinata,
Terima kasih sudah mengizinkanku tinggal bersamamu. Kau adalah perempuan tercantik yang pernah aku temui. Kau juga baik, tidak seperti yang orang-orang bilang. Enam bulan ini, aku bahagia bersamamu. Maaf, aku menyembelih Charlie di depan matamu.
Bersama dengan surat ini, aku ingin mengakui beberapa hal padamu.
Aku mencintaimu. Entah kapan dan bagaimana, kau sudah mengambil seluruh hatiku. Kalau kau ingin tahu alasannya, aku pun tidak tahu.
Kau cantik, kau baik, kau perempuan yang hebat, tubuhmu sangat indah, kau cantik, kau penyayang.
Apa akau baru menuliskan kata cantik dua kali?
Hinata, maafkan aku karena sudah jatuh cinta padamu. Aku mendengar pengakuanmu lebih dulu. Aku memang pecundang. Maaf, aku tidak mengakuinya lebih dulu.
Maaf, aku membohongimu.
Aku hanya ingin kau bahagia. Hiduplah senyamanmu. Hiduplah dengan bebas. Kau layak mendapatkan yang terbaik, Putri Hinata. Aku akan selalu mendoakanmu.
Your valentine,
Sasuke."
Hinata bingung membaca surat Sasuke. Ia merasakan adrenalin yang berubah-ubah. Kadang ia tersenyum karena lelucon pria itu. Kadang ia tersipu karena rayuan pria itu. Kadang ia juga mengernyit. Apa yang Sasuke sembunyikan?
"Tidak!"
Sebuah teriakan terdengar di lantai bawah. Hinata tersadar. Ia memakai gaun tidurnya yang jatuh di lantai. Dengan cepat, ia berlari menuruni tangga.
"A-apa yang... terjadi?!" Hinata melotot. Ia melihat Matsuri yang dipegangi seorang pria. Perempuan coklat itu menangis. Dahinya berdarah. Hinata mengikuti arah pandang Matsuri.
"Sasuke?!" Hinata berlari kecil. Sasuke berlutut. Kedua tangannya dipegangi para lelaki berseragam. Wajahnya babak belur. Darah terlihat di sudut bibir si pria raven. Baju Sasuke pun sudah kotor, akibat tendangan yang diterimanya.
"Apa yang kalian lakukan?!"
Para pria berseragam menoleh pada Hinata. "Putri Hinata? Saya Kakashi Hatake, jenderal kerajaan Konoha. Kami datang untuk membunuh si pengkhianat." satu prajurit lain maju selangkah. Dilihat dari pakaiannya yang sedikit berbeda, sepertinya prajurit bernama Kakashi Hatake itu memiliki jabatan yang lebih tinggi.
"Pe-pengkhianat? Apa maksudnya?" Hinata berdiri mematung.
"Pria ini adalah Sasuke Uchiha. Dia adalah seorang pemberontak kerajaan. Bersama kelompoknya, mereka menyebarkan rumor mengenai keluarga kerajaan. Seluruh rekannya sudah dihukum mati. Sasuke Uchiha adalah anggota yang tersisa. Dia menjadi buronan selama berbulan-bulan. Kami harus segera mengeksekusinya."
"Memangnya apa yang dia katakan?"
"Keluarga Hyuuga adalah pewaris sah kerajaan! Namikaze adalah pembunuh yang melakukan pembantaian!" Sasuke berteriak. Hinata membelalak. Mulutnya menganga tak percaya. Bagaimana Sasuke mengetahuinya?
"Ka-kau mengetahuinya, Sasuke? Ta-tapi kau masih menemaniku?" Hinata menatap tak percaya. Ia berjalan perlahan. Tapi, sebuah pedang menghalanginya.
"Putri Hinata, tolong jangan mendekat. Kami tidak akan membiarkan Putri berdekatan dengan pengkhianat sepertinya," kata Kakashi.
"Tidak! Lepaskan dia!" seorang lelaki berseragam lain menahan tubuh Hinata. "Dia bukan pengkhianat! Dia kekasihku!"
Kakashi mengernyit. Hinata terlihat meronta-ronta. "Maaf, Putri, ini sudah titah dari Pangeran Naruto."
"Tidak, jangan!"
"Nona Hinata!"
Baik Hinata, Matsuri, ataupun Sasuke, mereka bertiga meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Sasuke khawatir pada Hinata yang semakin mendekat padanya. Ujung pedang Kakashi hampir mengenai tubuh Hinata.
DOR
Suara tembakan terdengar. Hinata melotot tak percaya. Kakashi melepaskan tembakan dengan tangannya yang lain. Peluru berhasil menembus tubuh Sasuke yang bergerak mendekati Hinata. Darah berceceran dari dada kiri Sasuke yang terbuka. Sebagian darah menciprati wajah Hinata yang ada di depannya. Pusing. Hinata merasa mual di perutnya. Ia muntah sekali, sebelum akhirnya terjatuh pingsan.
"Nona Hinata!"
.
.
Hinata memandang lurus kebun sayur samping rumahnya melalui jendela. Sudah sembilan bulan sejak peristiwa mengenaskan itu. Sasuke meninggal, tentu saja. Rombongan Kakashi pergi kembali ke kerajaan. Mereka membereskan sisa kekacauan yang terjadi. Menghargai Hinata sebagai satu-satunya keturunan kerajaan yang tersisa, Pangeran Naruto penguasa Konoha memaafkan tindakan Hinata yang menyembunyikan Sasuke Uchiha.
Menurut rumor yang beredar, keluarga Uchiha adalah keluarga penentang Namikaze. Mereka setia pada Hyuuga yang kepemimpinannya direnggut seratus tahun lalu. Seratus tahun kemudian, Uchiha bertekad ingin mengembalikan kerajaan Konoha pada pewaris yang sah. Meskipun seperti yang diketahui, pemberontakan yang dipimpin Sasuke Uchiha gagal. Semua anggota dieksekusi karena menyebarkan rumor kebenaran.
Matsuri menatap iba pada Hinata. Ia mengintip melalui celah pintu yang terbuka. Majikannya semakin pendiam. Semangatnya hilang sampai minggu lalu. Menyadari waktu, Matsuri segera pergi ke dapur. Ia menyiapkan makan siang untuk Hinata. Meskipun ia tahu, masakannya tidak akan bisa selezat masakan Sasuke.
"Oek.. Oek.. Oek.."
Hinata melirik ke arah box bayi di sampingnya. Ia tersenyum pada bayi mungil berambut hitam legam yang menangis. Perlahan, Hinata mengangkat bayi tersebut ke dalam gendongannya. Menyampirkan bajunya sedikit, memberikan asi pada bayinya.
Hinata mengelus pelan wajah kecil anaknya. Minggu lalu, ia melahirkan. Buah hati yang tak ia sangka akan menjadi obatnya. Padahal, sebelumnya Hinata bertekad akan memberikan bayinya ke panti asuhan jika sudah lahir. Namun, ketika melihat rambut dan iris mata segelap malam, Hinata yakin anak itu tidak terlihat sepertinya.
"Hei," Hinata mengelus surai hitam bayinya yang masih kemerahan. "kau benar-benar mirip papamu, Nak."
Hinata melirik kalender duduk yang berada di atas nakas. 12 November. Hinata tersenyum lagi. Lalu, ia berbisik pelan, "selamat hari ayah, Sasuke."
.
.
.
Notes:
14 Februari: Hari Kasih Sayang Sedunia
12 November: Hari Ayah di Indonesia
Cerita full version tersedia di KaryaKarsa.
