Orihime dan Hikoboshi
By Mikazuki Hikari
Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi ©
All Character belong to Fujimaki Tadatoshi
This fiction belongs to Mikazuki Hikari
Rate: T
Genre: Romance
Pairing: Nijimura.S, Mayuzumi.C, Akashi.S
Warning: Shonen-Ai, Typo(s), Male x Male, Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)
This fic is for commemorating 10 years of Balada Senpai Kouhai Project
Trivia: Apa itu Balada Senpai Kouhai? Balada Senpai Kouhai adalah sebuah projek untuk Pairing Triangle Love Nijimura, Akashi dan Mayuzumi yang saya buat 10 tahun lalu. Iya. Sudah sepuluh tahun. Hehehe. Fic untuk batu pertamanya adalah fic saya yang berjudul Kimi no Shiranai Monogatari. Untuk tau latar ceritanya, bisa dicek yah!
Don't Like Don't Read
I have warned you
.
.
Hanya jika aku bisa Kembali ke sepuluh tahun lalu. Ke tempat dimana aku masih mengenakan seragam yang sama denganmu, menatap langit yang sama dan melihatmu tertawa dari tempatku yang sebetulnya hanya sejauh sepuluh senti.
Hei. Boleh kah aku bertanya kepadamu?
Jika halnya hari itu, aku meniadakan jarak sepuluh senti yang ada di antara kita? Akan kah semuanya menjadi berbeda sekarang?
Hanya jika aku bisa jujur pada perasaanku hari itu mungkin, menatapmu tidak lah akan terasa sesulit sekarang.
Dustaku di hari itu.
Dusta yang menambah jarak sepuluh senti dari ketidakjujuranku.
Apa kah waktu yang sama itu akan terulang kembali? Di waktu pertemuan yang hanya terjadi setahun sekali?
.
.
.
"Aku pergi dulu bu." Seijuuro Akashi, 26 tahun. Pemuda berambut merah yang baru saja menyelesaikan sarapan paginya bergegas membawa tas gembloknya dan membenarkan dasi begaris yang bersarang di kerah bajunya.
Akashi Seijuuro kini bekerja di sebuah perusahaan raksasa yang berada di pusat kota Tokyo. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak iya lulus dari SMA dan mengingkari janjinya pada orang yang iya sukai.
Ya. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Nijimura Shuuzo, kakak kelas yang sudah sejak lama ia suka.
"Usianya sudah kepala dua, namun apa tidak sedikit pun ia memikirkan soal hubungan percintaan ya." Ibu dari Akashi bergumam seraya membereskan mangkuk bekas sarapan milik anaknya yang baru saja berangkat kerja.
Pemuda itu lari ke palang perhentian bus yang jaraknya kira-kira dua ratus meter dari rumahnya. Saat ia berhenti di depan palang dengan napasnya yang masih tercekat, seorang pemuda berambut abu sudah tiba lebih dahulu daripada dirinya dan mengucapkan salam padanya.
"Sei-cha—maksudku, Akashi-kun selamat pagi." Pemuda dengan tatapan datar itu melayangkan pandangannya pada Akashi.
"Chi-cha—maksudku, Mayuzumi senpai selamat pagi." Napas pemuda itu masih kunjung belum stabil.
Mayuzumi Chihiro, 28 tahun. Ia adalah kakak kelas Akashi di SMA sekaligus teman masa kecil dari Akashi. Mayuzumi sudah menyukai Akashi dari sejak mereka masih kecil. Mayuzumi menyadari perasaan miliknya ketika ia melihat senyum tulus dari Akashi saat Akashi memasangkan sebuah plester luka pada wajahnya ketika ia terjatuh di sungai dulu.
Mayuzumi tahu jikalau Akashi tidak menyadari kalau dirinya menyukai anak itu. Ia pun menyadari, jikalau di hati orang yang ia sukai itu ada satu orang yang sampai detik ini tidak tergantikan. Namun bagi Mayuzumi, adalah lebih dari cukup jikalau ia bisa berada di samping orang yang ia saying dan memerhatikannya dari dekat, melindunginya, dan menjadi tempat anak itu pulang ketika ia ingin cerita mengenai orang yang ia sukai. Bagi Mayuzumi, menikmati jutaan perubahan ekspresi Akashi saat menceritakan tentang orang yang ia sukai adalah porsi terbaik di hidupnya dalam mencintai pemuda berambut merah yang memiliki citra bengis di sekolahnya dulu.
"Akashi-kun tali sepatumu terbuka." Adalah satu dari berbagai contoh perhatian dari Mayuzumi pada Akashi. Iya. Mayuzumi selalu memerhatikan Akashi dari ujung rambut hingga telapak kakinya. Tak satu pun detil dari Akashi yang terlewat darinya.
"Ah terimakasih senpai." Pemuda berambut merah itu lekas membenarkan simpul yang tanpa ia sadari sudah terlepas dari sepatu kulit coklat miliknya.
Mayuzumi menghela napas panjang. Pada batinnya ia berkata, entah sampai kapan anak ini nampak tidak tertolong seperti ini. Di depan orang banyak, Akashi adalah sosok perfeksionis dan sempurna. Tidak ada orang yang tahu jika ia memiliki sisi ceroboh seperti ini. Mungkin Sebagian besar, Mayuzumi lah yang menutupinya dengan cepat memberikan koreksi agar Akashi tetap pada kondisi primanya.
"Aku boleh duduk di sebelahmu?" tanya Mayuzumi.
"Kenapa tidak?" wajah anak itu diselimuti rasa penasaran. Tentu saja boleh? Kenapa Mayuzumi senpai harus bertanya? Ia kan sahabatnya. Begitu pikir Akashi.
Bus pun berjalan dan di setiap perhentiannya penumpang silih berganti memenuhi isi bus besar itu, hingga pada akhirnya ada seorang Wanita tua yang menghampiri mereka karena tidak kedapatan tempat duduk.
Akashi yang menyadari hal itu, lekas berdiri dan memberikan tempat duduk miliknya untuk Wanita tua itu. Mayuzumi tentu saja juga menyadari gerak-gerik Akashi dan menggantikan posisi Akashi yang berdiri dan memberikan tempat duduk miliknya untuk Wanita tua itu. Mayuzumi tersenyum pada kebaikan hati Akashi. Sisi baik Akashi lainnya yang ia tidak pernah tunjukkan di depan banyak orang, dan mungkin hanya dia saja yang bisa melihatnya. Ia harap.
"Kenapa kau tersenyum bodoh seperti itu? Bodoh." Wajah Akashi merona karena tatapan intens yang dihiasi senyuman Mayuzumi yang ia layangkan padanya.
"Tidak. Tidak ada yang special kok, hanya ingin saja." Pemuda berambut abu itu terkekeh. Jauh di dalam hatinya, hanya jika mereka tidak berada di dalam kendaraan umum. Ia pasti akan langsung menciumnya.
.
.
.
"Mayuzumi senpai."
"Di kantor ini jabatanmu lebih tinggi dariku dan aku hanya lah sekretarismu. Apa kau tidak malu kalau kelepasan saat meeting besar?" Mayuzumi menepuk kepala pemuda yang baru saja memanggilnya dengan sebuah map berwarna biru.
"Ah anu, Chi-cha—eh maksudku, Mayuzumi. Kita hari ini ada rapat dengan bos dari perusahaan Rainbow bukan?" tanya Akashi sambil mengerjakan pekerjaannya pada komputer miliknya.
"Iya dan kalau tidak salah, nanti malam direktur perusahaan itu juga mengajak kita berdua makan malam di hotel Kaidou." Tukasnya sambil memungut kertas yang tercecer dari map akibat ia memukul kepala Akashi tadi.
"Makan malam?" tanya Akashi penasaran. Mayuzumi tidak menjawab perkataan itu dan hanya memberikan sebuah anggukan.
"Oh iya hari ini juga, tanggal 7 Juli ya. Hari Tanabata." Akashi tersenyum simpul.
"Lalu?"
"Apa Orihimenya akan bertemu Hikoboshinya malam ini yah?" Akashi terkekeh dengan wajah sedikit merona.
"Seharusnya sih Hikoboshinya ada di depan matamu ya." Mayuzumi bergumam.
"Eh apa?" Akashi yang hanya sepintas mendengar ucapan Mayuzumi penasaran akan ucapan Sekretarisnya.
"Abaikan."
.
.
.
"Lantai 12 yah?" tanya Akashi seraya ia dan Mayuzumi berjalan menuju ke arah lift.
"Iya. Disitu kan ada tulisannya." Jawab Mayuzumi sambil menekan tombol dengan angka 12 pada dinding lift. Tidak butuh waktu lama untuk mereka berada dalam lift, pintu lift pun terbuka dan menghantarkan mereka tepat di lantai dua belas.
Saat Akashi mengarahkan kartu identitas miliknya pada sensor dan mendorong pintu yang indikatornya sudah berubah menjadi hijau itu, nampak sesosok pemuda yang tidak asing bagi mereka berdua. Pupil mata Akashi menyempit dan mulutnya ternganga hingga sekelebat suara keluar dari mulut kecilnya yang akhirnya memiliki keberanian untuk mengeluarkan kata-kata.
"Nijimura senpai—?" tukas Akashi dengan matanya yang masih terbelalak.
Mayuzumi yang sesungguhnya sudah tidak terkejut dengan hal itu, meremat tangan Akashi tanda ia menyatakan perang yang akan kembali terjadi setelah sepuluh tahun berlalu pada pemuda dengan rambut hitam di hadapan mereka.
"Oh? Kalian berdua rupanya. Sungguh kebetulan yang tidak aku sangka. Ayo masuk! Kita mulai meetingnya." Pemuda bernama Nijimura Shuuzo itu tersenyum lebar saat melihat dua orang yang ia kenali masuk ke dalam ruangan yang sudah mereka pesa selama dua jam untuk rapat.
Nijimura Shuuzo. Senior Akashi di SMA dan merupakan orang yang Akashi sukai. Awalnya, Akashi hanya menyukai Nijimura senpai dari paras dan badannya yang tinggi serta tegap. Lambat laun, ia mengerti bahwa yang ia rasakan bukan lah hanya sekedar rasa kagum belaka. Ia menyadarinya ketika Nijimura memboncengnya di sepeda pada perjalanan pulang sekolah. Kala itu, sekolah sudah sepi dan supir pribadi keluarga Akashi mendadak tidak bisa datang menjemputnya karena Ayah Akashi ada keperluan mendadak. Di sepeda milik Nijimura kala itu, ia terpesona dengan pribadi milik senpainya yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Langit jingga kala itu yang menjadi saksi bisu rasa cinta yang perlahan mulai tumbuh dalam dirinya saat kepala mungilnya itu tersandar tanpa ia sadari di punggung milik kakak kelasnya itu.
Nijimura melihat tangan kedua orang di hadapannya itu saling berpagut dan ia menaikkan sebelah alisnya. "Kalian akrab sekali ya, atau jangan-jangan kalian—"
"Ah tidak seperti yang kau bayangkan kok! Ahahahahaha." Ucapan Nijimura tersela oleh Akashi yang kemudian menyadari Mayuzumi telah menggenggam tangannya sedari tadi.
"Kalau begitu, ayo kita mulai rapatnya. Setelahnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Sei-chan." Ia berkata demikian, namun pandangan mata pemuda berambut hitam itu ia layangkan pada pemuda berambut abu yang lebih tinggi.
Apa yang ia ingin bicarakan denganku? Batin Akashi yang menjadi tidak karuan selama rapat berjalan.
.
.
.
Rapat sudah berselang selama satu jam dan mereka sudah tiba pada benang merah untuk hal yang mereka diskusikan hari itu. Nijimura bangkit dari kursinya dan menarik tangan Akashi ke luar ruangan. Mayuzumi yang berpegang teguh pada harga dirinya yang tinggi, berusaha keras untuk tidak mengikuti mereka.
"Anu senpai, apa yang ingin kau bicarakan sampai membawaku pergi seperti ini? Apa tidak bisa dibicarakan di ruangan tadi saja?" mereka masih berjalan mengikuti tempo langkah Nijimura yang semakin dipercepat. Nijimura tidak menjawab hingga mereka tiba di lantai teratas bangunan kantor.
"Apa yang kau maksud dengan membenciku pada malam acara kelulusanku?" tanpa basa-basi Nijimura langsung masuk kepada inti pembicaraan mereka.
Seolah kejadian sepuluh tahun lalu itu berlanjut di hadapan mereka berdua, dan bagaikan ditarik kembali pada momen malam kelulusan Nijimura di dalam kelas Nijimura yang mana hanya ada mereka berdua. Lidah Akashi terasa kelu. Trauma yang ia sudah pendam selama sepuluh tahun itu, pernyataan menggantung yang tidak bisa selesaikan dan ketakutan terbesarnya seolah hadir kembali.
"Aku…"
"Aku masih ingat di jam istirahat siang kalau kau ingin membicarakan hal yang sangat penting padaku. Apa mengungkapkan kalau kau membenciku adalah hal yang sangat penting?" nada bicara Nijimura perlahan mulai meninggi.
Kaki Akashi bergetar hebat dan kedua bola mata itu mungkin sebentar lagi tidak bisa membendung air matanya. Ketakutan yang hebat menyelimuti tubuhnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi bibirnya yang gemetar.
"Tidak seperti itu." Saat keberaniannya mulai pulih, ia melanjutkan ucapannya.
"Lantas apa?" pemuda itu merasa belum mendapatkan jawaban dari pertanyaanya dan kembali menghujamkan pertanyaan lainnya ke arah lawan bicaranya.
"SOSOKMU YANG BEGITU MENCINTAI HAIZAKI ITU LAH YANG AKU—" belum sempat Akashi menyelesaikan ucapannya, Mayuzumi menutupi wajahnya dengan jas miliknya.
Nijimura terdiam saat Akashi mulai berteriak. Keheningan hebat menyelimuti mereka bertiga. Mereka pun bergeming.
Mayuzumi yang sudah menyadari hati anak itu sudah hancur, membawanya pergi dari tempat mereka berdiri sampai langkah mereka terhenti oleh ucapan Nijimura.
"Aku tahu, tapi sekarang kan Haizaki sudah tidak ada."
Aku tahu? Apa yang ia ketahui? Kepala Akashi dipenuhi oleh sejuta pertanyaan. Apakah senpainya itu tau kalau ia menyukai dirinya? Wajahnya pun merona.
"Sudah lah, tidak usah melanjutkan hal yang tidak penting." Mayuzumi kembali melanjutkan langkahnya dan menggeret Akashi.
"Aku tunggu kalian malam ini pada janji makan malam." Tukas Nijimura dari kejauhan.
Aku tahu kau mencintai dirinya begitu dalam, namun aku juga tidak mau melihatmu menderita lebih dari ini karena orang itu, ucap Mayuzumi dalam hati.
.
.
.
"Bagaimana ini? Aku tidak bisa menatap wajahnya malam ini!" Akashi meracau di dalam mobil yang dikemudikan oleh Mayuzumi.
"Umurmu sudah 26 tahun. Hadapilah seperti orang dewasa." Balas Mayuzumi singkat sambil tetap fokus pada roda kemudinya.
Benar saja. Saat mereka tiba, tidak ada seorang pun yang hadir di ruangan hotel itu melainkan hanya sosok tuan muda Nijimura. Makan malam kala itu diliputi oleh keheningan yang terasa amat ganjil. Hingga saat mereka selesai makan Nijimura mengajak mereka berdua ke balkon hotel.
"Kalian tau hari ini hari apa kan?" tanya Nijimura untuk memecah keheningan. Di hadapan mereka terdapat sebuah teleskop. Teleskop tersebut adalah Teleskop yang sama saat mereka SMA dan diundang Nijimura untuk melihat bintang.
"Aku ingin mengajak kalian untuk melihat bintang yang spesial itu di hari tanabata ini." Tukas Nijimura.
Nijimura dari dulu suka sekali dengan astrologi. Akashi yang menyukai Nijimura pun jadi menyukai hal yang sama, walau tidak demikian dengan Mayuzumi.
"Sudah lengkap semuanya?"
"Aku ingin tahu apa Hikoboshi-sama dan Orihime-sama bisa bertemu malam ini."
"Hanya sekali setahun bukan?"
Seolah pemandangan sepuluh tahun lalu itu Kembali. Namun kali ini Tetsuya dan Haizaki tidak ada di antara mereka. Tetsuya pindah ke luar negeri setelah menikah dengan Aomine.
Dan Haizaki?
Haizaki meninggal di kecelakaan pesawat saat ia ingin menghampiri Nijimura yang ada di Amerika. Hal ini juga yang membuat Nijimura merasa terpukul saat orang yang ia cintai pergi di saat ia belum sempat menyatakan perasaannya.
"Kau masih dengan dongeng Hikoboshi dan Orihime mu eh?" tanya Akashi yang terbawa suasana. Seolah ia lupa dengan apa yang terjadi di antara mereka berdua tadi siang. Ia larut dengan ekspresi Nijimura yang semangat sekali kala itu.
Orang bodoh yang sama juga masih percaya dengan dongeng itu bukan? Itu lah sebabnya kau bertanya. Batin Mayuzumi.
"Uwaaah aku rindu sekali dengan teleskop ini!" ucap Akashi saat ia menghampiri teleskop milik Nijimura. Mayuzumi yang tidak mau kalah juga menghampiri Akashi, alih-alih hal buruk terjadi pada mereka berdua.
"Ah aku bisa lihat bintang Orihimenya!" Tukas Akashi.
"Hikoboshinya?" tanya Nijimura.
"Aneh ya, aku masih tidak bisa menemukan bintang Hikoboshinya." Tandas Akashi.
"Mana sini aku pinjam." Mayuzumi mengarahkan mata lensa besar teleskop itu pada Akashi.
"Aku sih bisa lihat Orihimenya." Lanjut Mayuzumi.
"Bodoh. Bukan seperti itu cara memakainya." Akashi tertawa melihat apa yang baru saja Mayuzumi lakukan dengan teleskop itu.
"Senpai bagaimana?" tanya Akashi pada Nijimura.
"Mungkin aku bisa melihatnya, hanya saja aku belum pasti apakah ia benar Orihime yang aku cari." Nijimura tersenyum sambil menatap kearah langit.
Setelah yang terjadi tadi siang, Wajah Akashi yang menangis sungguh lekat di benak pemuda berambut hitam itu. Tak pelak ia juga memikirkan ucapan Akashi saat ia berteriak tadi siang. Bagaikan sebuah kaleidoskop, seluruh kenangan yang ia lalui bersama anak itu seolah terputar seperti sebuah film.
Hanya jika ia sedikit lebih peka. Hanya jika ia tidak terlalu fokus pada Haizaki yang selalu ada di pikirannya. Kini Haizaki sudah tidak ada. Apa mungkin hal yang baru saja ia sadari itu menjadi sebuah batu loncatan agar hatinya bisa bergerak dari kenangan tentang Haizaki yang masih memenjarakan dirinya? Ia belum bisa memastikannya untuk saat ini. Karena baginya, luka yang ia tinggalkan untuk anak itu sudah terlalu dalam. Tidak mudah baginya untuk masuk. Terlebih di sebelahnya, ada orang lain yang begitu tulus mencintai orang yang kini merasuk ke dalam sukmanya. Menggantikan posisi kosong yang dulu pernah diisi oleh seorang Haizaki.
"Mungkin tidak sekarang." lanjut Nijimura.
Mayuzumi menatap Nijimura dengan tatapan sinis.
"Maksudmu apa?" tanya akashi yang dipenuhi rasa bingung.
"Yah semuanya sih kembali padamu. Kau mau melihat Hikoboshi dari sisi sebelah mana." Ucap Nijimura dan Mayuzumi bersamaan.
"Apa sih maksud kalian?" Wajah Akashi merengut.
"Kalau itu sih, hanya kamu yang bisa menentukan." Jawab Nijimura.
"Benar." Sambung Mayuzumi yang merasa Nijimura kali ini menyambut ajakan perang darinya.
~FIN~
Author's Note : SELAMAT SEPULUH TAHUN BALADA SENPAI KOHAI!
