A BoBoiBoy Fanfiction proudly present
"SIXTH SENSE"
A fanfiction by Aprilia Hidayatul
Rate : 13
Genre : Supernatural Misteri Friendship
••••
Pagi hari menyambut semua orang. Para burung beterbangan melintasi atap rumah warga yang baru memulai aktivitas. Begitu pun dengan satu keluarga di kawasan perumahan semi elite tersebut. Tampak seorang gadis berkerudung merah muda telah siap dengan seragam sekolahnya. Ia mengenakan kemeja putih berbalut vest merah muda, dasi bergaris hitam putih serta rok merah putih.
Sambil berkaca, ia mematut kembali penampilannya. Raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi berarti. Tenang dan cenderung datar.
"Okay, here we go with the new school," katanya pelan.
Benar. Ini adalah ke sekian kalinya di berpindah sekolah. Rasanya hampir di setiap jenjang dia merasakan ini. Salahkan pekerjaan kedua orang tuanya yang sering berpindah tugas. Lebih tepatnya sang ayah. Hanya saja, karena ibunya juga seorang sekretaris jadi beliau ikut suami. Mau tidak mau, ia juga harus ikut. Pun dengan adik kecilnya.
Setelah itu, kaki jenjang itu membawa ia turun ke lantai satu menuju ruang makan. Dalam hati, dia bersorak senang karena akan sarapan bersama kedua orang tuanya. Namun, apa yang dia dapat saat tiba di sana?
"Yaya, maafkan Mama ya? Ada panggilan mendadak. Mama harus segera ke kantor," ujar sang Mama bernama Wawa. "Lalu, tolong titipkan Otoi pada tetangga kita ya? Kebetulan beliau punya anak yang seusia Otoi," tambahnya.
Yaya menoleh pada anak kecil berusia sekitar lima tahunan yang hanya memandang polos. Lalu, kembali pada kedua orang tuanya. "Yaya paham," katanya.
"Ayah juga minta maaf. Oh iya, sopir akan mengantarkan kalian ya," timpal Tuan Yah sambil membenarkan jas hitamnya.
Yaya mengangguk. Kedua orang tuanya memang pekerja keras. Mereka terlalu workaholic, bahkan untuk bisa makan satu meja bersama keduanya saja Yaya dapat menghitungnya dengan jari. Padahal, ia sudah senang barusan. Namun, begitulah kenyataan tak pernah sesuai ekspektasi.
Wawa mengecup kedua pipinya serta sang adik dengan sayang, kemudian menyambar tas tangannya. "Kami pamit. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Kedua orang tuanya menghilang dari pandangan Yaya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke meja makan. Otoi kecil tersenyum lebar padanya.
"Kak Ya! Ayo makan!" ajaknya ceria.
Seulas senyum kecil timbul di bibirnya. Setidaknya kehadiran sang adik membuat Yaya merasa tak sendirian. Meskipun ada kalanya sedih ketika tahu jika Otoi tumbuh tanpa sering didampingi orang tua mereka.
Yaya berjalan cepat menuju meja makan dan duduk. Ia kemudian membantu sang adik mengambil sarapan, lalu untuknya sendiri. Keduanya makan dengan lahap. Sesekali Yaya juga akan membersihkan mulut Otoi yang beloptan.
Semua itu berjalan lancar hingga sebuah suara terdengar berbisik lirih di telinganya.
"Yaya ~"
Meskipun bukan pertama kali, tetap saja bulu kuduknya berdiri. Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri. Namun, Yaya tak menemukan siapa pun di sana. Hingga ketika ia melirik Otoi, adik kecilnya itu justru menunjuk sesuatu dari arah belakangnya.
Yaya tahu. Itulah kenapa dia tak membalikkan tubuh ke belakang. Karena jika melakukan itu, sama saja dengan memancing sosok itu untuk sering muncul. Lagi pula, ini adalah kediaman lamanya ketika kecil dulu. Seharusnya seluruh isi lingkungan sudah dikenalnya menyeluruh.
Namun, Yaya entah kenapa merasa tidak yakin. Itu sebuha firasat atau bukan, berharap saja bukan sesuatu hal buruk.
"Yaya, kau itu istimewa!"
Sekali lagi suara itu muncul. Enggan memikirkan lebih, Yaya segera menghabiskan sarapannya. Ia mengambil tas kecil Otoi dan mengajaknya agar berangkat sekolah bersama. Beruntung jarak TK dan sekolahnya tidak jauh. Namun, tetap saja Yaya harus menitipkan adiknya pada tetangga mereka dikarenakan jam pulang sekolah berbeda.
•••
Rintis Island Academy.
Itulah sekolah paling terkenal di Pulau Rintis. Banyak siswa dan siswi lulusan sekolah tersebut menjadi orang-orang sukses. Tidak heran mengingat hampir para murid yang masuk ke sekolah tersebut merupakan pelajar terpilih. Selain dari akademik, juga bagaimana prestasi pada non akademik.
Hanya saja, ada satu kekurangan dari akademi tersebut. Sebuah desas desus beredar jika Akademi Pulau Rintis merupakan sekolah aneh dan angker. Itu terjadi semenjak adanya kasus penemuan mayat tidak wajar di gudang belakang sekolah. Kasus tersebut tidak ditindak lanjuti dan sengaja ditutup demi menjaga nama baik sekolah. Sehingga sampai sekarang pun tidak diketahui siapa dan bagaimana siswa itu dibunuh.
Mobil hitam itu berhenti di depan gerbang sekolah. Yaya masih tampak melamun sambil menatap keluar hingga suara sopirnya terdengar.
"Nona, kita sudah tiba," ujarnya sopan.
Gadis berkerudung merah muda itu tersentak. Ia menengok pada sang sopit yang tersenyum ramah padanya.
"A, terima kasih." Yaya segera menyampirkan gas selempangnya. "Aku pamit dulu. Nanti tolong jemput Otoi pukul sebelas dan antarkan ke kediaman Nyonya Zila."
"Baik, Nona."
"Kalau begitu, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Yaya keluar dari mobil tersebut. Dipandanginya sejenak bangunan sekolah di depannya sebelum kedua kaki jenjangnya melangkah, membawanya masuk ke dalam kawasan Akademi Pulau Rintis.
Namun baru juga melewati gerbang, sebuah angin dingin melintas dari arah belakang. Bulu kuduknya merinding seketika. Sebelah tangannya mengusap area tengkuk belakang. Penglihatannya diedarkan segala penjuru dan saat itu pula Yaya menemukan penyebab mengapa suasana terasa berbeda.
Di sisi parkir kendaraan terdapat sebuah pohon rimbun. Akar-akar menjuntai di antara lebatnya daun yang menutupi seluruh dahan. Bahkan bentuk dahannya saja tidak beraturan. Menambahkan kesan seram. Namun, ada sebuah perbedaan. Di sana, di salah satu dahan pohon ada sesosok makhluk duduk dengan tenang. Kakinya menjuntai ke bawah dan berayun-ayun. Sebagian wajahnya tak terlihat, tetapi Yaya yakin jika ada dua pasang tanduk di atas kepalanya.
Iblis?
Yaya menggeleng pelan. "Anggap saja kamu tidak melihat apa pun, Yaya."
Yaya memalingkan wajahnya. Berusaha berpura-pura tidak melihat sosok tersebut dan berjalan cepat menuju gedung sekolah barunya. Mengabaikan bahwa sosok lain tengah memperhatikannya dari atas rooftop gedung.
•••
Suasana kelas 12 Avicenna 1 terlihat ribut. Beberapa muridnya ada yang berkerumun untuk sekadar bermain game bersama atau berbincang ria. Mentang-mentang guru mata pelajaran belum datang, mereka memilih bersantai. Seperti tiga dari tujuh Boboiboy bersaudara.
Seorang pemuda bertopi biru berlogo angin dan dipasang miring ke kanan itu terlihat tengah asyik menggoda salah satu siswi di kelasnya. Senyum ramah terhias di wajahnya membuat para perempuan merona. Terlebih kata-kata manis terlontar dari bibirnya. Selain itu, ia juga memberikan kedipan mata hingga yang tengah digodanya tersipu malu.
"Hei, hari ini kamu terlihat manis sekali, Amy."
"Benarkah?" Gadis berambut pirang yang dipanggil Amy itu tersipu.
"Tentu saja. Memangnya kapan aku berbohong?"
"Apa pun yang terlontar dari mulutmu itu semuanya hampir isinya kebohongan, Kak Taufan. Jadi, jangan umbar kata-kata manis kalau kamu hanya mempermainkan mereka," ujar salah satu saudara kembarnya malas. Ia mengenakan topi berwarna biru muda dengan lidah topinya di pasang ke depan nyaris menghalangi sebagian wajahnya.
Taufan seketika cemberut. Bibirnya maju beberapa senti dengan ekspresi sebal.
"Mulutmu tajam sekali, Ais," ujarnya dramatis.
"Apa peduliku?" Ais mengangkat bahunya tak acuh.
"Kau memang menyebalkan." Taufan merajuk. Ia menghampiri kembaran sulung yang sibuk membaca novel. "Kak Hali~" Ia merengek dengan tangan menggoyangkan lengan sang kakak.
Namun, tak ada respons dari sang kakak. Ia masih lanjut membaca halaman berikutnya. Akan tetapi, ternyata tetap saja. Pemuda biru itu masih saja mengganggunya. Karena kesal, pemuda bertopi hitam merah itu menepis tangan Taufan dan memberikan tatapan tajam padanya.
"Jangan mengganggu!" ketusnya.
"Ish! Kak Hali, kau memang tidak seru. Bukannya memberikan pembelaan ketika adik tersayangmu ini diejek adikmu yang lain." Taufan bertanya sambil mencebikkan bibirnya.
Ais yang berada di belakangnya pura-pura muntah ketika mendengar nada menjijikkan dari kakak keduanya itu. Sedangkan Halilintar merinding, matanya mendelik kesal.
"Jangan bertingkah sok imut."
"Kenapa memangnya? Aku sudah terlahir imut begini."
"Itu menjijikkan," ujar Halilintar dengan tatapan menghina.
"Entah kenapa hatiku mendadak seperti ditusuk ribuan pedang, Kak Halo," kata Taufan seraya memegang dada kanannya dengan ekspresi seolah kesakitan.
"Lebai."
Begitulah ketika Taufan terjebak di kelas yang sama dengan kedua kutub dingin keluarga Boboiboy. Jika bertingkah berlebihan, maka kalimat-kalimat tak terduga akan keluar dari bibir Halilintar dan Ais.
Taufan berjalan menuju mejanya yang berada di barisan kedua, bangku kedua. Bibirnya tak henti mengoceh. Ia merutuki sifat kedua saudaranya serta nasibnya.
"Dasar mulut cabai, bicaranya pedas sekali. Astaga, kenapa begini sekali nasibku. Memiliki dua saudara sedingin kutub Utara dan sialnya kenapa mereka satu kelas denganku," keluhnya.
Bertepatan dengan itu, seorang guru mata pelajaran yang sejak tadi mereka tunggu akhirnya tiba. Sebagai ketua kelas Taufan segera memberi komando.
"Stand up!"
Semua murid berdiri.
"Good morning, Miss Timmy!" sapanya yang diucap ulang oleh semua murid.
Guru cantik berhijab dan gamis hijau tosca itu berdiri menghadap mereka. "Good morning, Students!" sahutnya. "Nah, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, saya meminta maaf karena terlambat. Tadi kebetulan ada urusan terlebih dahulu di kantor yang tidak bisa ditinggalkan."
"Padahal Miss tidak usah repot-repot datang ke kelas kalau itu memang sangat penting. Kami tidak masalah," celetuk Taufan.
"Huuuuuuu!" Semua teman sekelas kedua dua saudaranya menyoraki.
"Kalau itu memang keinginan kamu, Taufan," ujar Miss Timmy. Taufan mengusap tengkuknya sambil terkekeh malu.
"Sudah, sudah." Miss Timmy melerai. "Ah ya, saya lupa bilang kalau kelas kita kedatangan murid baru. Silakan masuk," pinta beliau.
Kemudian terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan kelas. Semua mata yang ada di sana memandang takjub. Bahkan, para siswa membuka sedikit mulut mereka saking terpesonanya. Kecuali Halilintar dan Ais.
Yang satu memang tidak peduli dan memilih menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan, sedang satunya lagi berusaha menahan kantuk. Sehingga tidak terlalu memerhatikan siapa pun di depan sana.
Gadis berkerudung merah muda itu berdiri sambil tersenyum kecil.
"Gadis ini adalah anggota baru di kelas ini." Miss Timmy menoleh pada sang gadis. "Silakan perkenalkan dirimu."
"Halo, nama saya Yaya Yah. Pindahan dari Kuala Lumpur. Mohon kerja samanya," ujar Yaya tenang ketika memperkenalkan diri.
Semuanya berjalan lancar hingga matanya menatap ujung kelas di mana bangku yang ditempati oleh seorang pemuda bertopi hitam. Ia memicingkan mata ketika ada sosok lain berdiri di belakang pemuda itu.
Entah ini salah penglihatannya atau dia memang melihat jika sosok itu punya kebencian padanya? Apa-apaan pandangan tajam itu? Selain itu, sosok itu merupakan seorang gadis dengan seragam khas Akademi Pulau Rintis membalut tubuhnya. Itu menimbulkan keheranan pada Yaya.
Tiba-tiba saja angin dingin kembali berembus pelan di belakang tengkuknya. Hal tersebut membuat bulu kuduknya berdiri. Ia mulai tidak fokus lagi pada perkenalannya, bahkan tidak sadar jika Miss Timmy semenjak tadi memanggil-manggil namanya.
"Yaya?"
"Yaya?"
"Yaya Yah!"
"Ah!"
Yaya terkejut. Gadis itu menoleh cepat ke arah di mana Miss Timmy berada dan menemukan jika guru muda itu terlihat cemas serta heran dengan perilakunya.
"Yaya, kamu tidak apa-apa?" tanya Miss Timmy cemas.
Yaya mengangguk. "Saya tidak apa-apa, Miss. Maaf, hanya sedang banyak pikiran saja," kata Yaya merasa bersalah.
Miss Timmy tersenyum hangat. "Ya sudah, sekarang kamu boleh duduk." Manik dibalik kacamata itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru untuk menemukan kursi kosong. "Kamu duduk dengan Halilintar, ya? Hanya kursi di sebelahnya saja yang masih tersisa."
"Di sana?" Yaya menunjuk tempat yang dimaksud.
Miss Timmy mengangguk.
Yaya meneguk ludahnya kasar. "Apakah tidak ada yang lain, Miss?"
Miss Timmy mengerutkan keningnya heran dengan tingkah Yaya yang tiba-tiba saja gugup. "Memangnya kenapa, Yaya? Tidak ada tempat lain selain di sebelah Halilintar," ujarnya lembut.
Yaya tidak punya pilihan lain. Ia menoleh kembali ke sana dan mendapati jika sosok tadi semakin menatap benci padanya. Sorot mata itu seolah melarang Yaya untuk duduk di sana. Namun, jika Yaya tidak duduk di sana mau di mana lagi? Tidak mungkin juga dia lesehan di lantai.
Maka dari itu, dengan berusaha untuk tak peduli eksistensi sosok itu ia berjalan menuju meja di mana pemuda bertopi hitam terlelap. Satu alisnya terangkat ketika melihat sang pemuda.
'Ia sedang tidur,' pikirannya. Setelah itu, Yaya tidak memedulikan pemuda itu dan mulai memerhatikan pelajaran.
•••
Jam menunjukkan waktu istirahat. Semua murid segera berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk mengisi perut atau ke perpustakaan. Tempat selain untuk membaca, juga titik paling menarik menjadi tempat tidur. Bahkan dua pemuda kembar serba biru yang kebetulan mengajaknya ke kantin bersama, tetapi Yaya menolaknya halus. Ia lebih senang duduk di kelas sambil membaca novel misteri di tangannya.
Entah mengapa Yaya kehilangan mood untuk sekadar pergi ke mana pun. Perasaannya sedang tidak baik, terlebih dia masih kesal pada kedua orang tuanya.
Di sebelahnya, semenjak pagi pemuda itu masih dalam kondisi sama. Tidur. Hanya saja, sekarang posisinya berubah. Kepalanya menghadap ke arah Yaya membuat sang gadis leluasa memandangi pahatan sempurna itu.
Hidung mancung, bulu mata lentik, rahang tegas dengan pipi sedikit berisi serta bibir tipis berwarna merah muda. Yaya yakin jika pemuda itu tidak pernah merokok. Benar-benar tampan sampai Yaya tidak sadar jika orang yang tengah dia pandangi telah terbangun.
"Sudah puas memandangi?"
"ALAMAKCOPOT!"
Yaya tersentak kaget ketika pemuda itu membuka mata perlahan. Manik sewarna ruby di balik kelopak mata itu indah tetapi juga mengintimidasi. Tatapan datarnya membuat Yaya sedikit berdebar. Makanya ia dengan cepat memalingkan wajahnya.
Pemuda yang diketahui bernama Halilintar itu menegakkan punggungnya. Tangannya bergerak menarik letak topi hitam miliknya sebelum kembali pada gadis aneh di sampingnya.
"Siapa?" Ia bertanya datar.
Yaya menoleh dengan heran. "Hah? Maksudmu?"
"Kamu siapa?" Sekali lagi ia bertanya hal sama.
"Yaya Yah."
"Murid baru?"
"Hm."
"Oh."
Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Mereka larut dalam kegiatan masing-masing. Yaya dengan novelnya dan Halilintar bersama lamunannya. Namun, keadaan tersebut tak berlangsung lama ketika suara lirih berbisik di telinga Yaya memberi ancaman.
"Jangan pernah mendekati Halilintar atau kamu akan menerima akibatnya!"
Yaya menoleh tajam ke belakang. Dia melihat sosok itu menyeringai sebelum hilang seperti butiran debu tertiup angin.
"Iblis sialan!" umpatnya pelan.
"Jangan dengarkan dia."
To be continued
Dikarenakan ini memang versi repost, ada beberapa adegan ditambah bahkan perubahan alur dari versi pertama. So, menurut kalian bagaimana relasi dua orang di paragraf atas?
See you!
RnR please (っ̩̩)っ
