BoBoiBoy Fanfiction proudly present

"SIXTH SENSE"

A fanfiction by Aprilia Hidayatul

Rate : 13

Genre : Supernatural, Misteri, Fantasi, Horror

Warning : OOC! Elementals as Siblings, Gaje, garing kriyukk nyess pokoknya

•••

"Jangan dengarkan dia."

Kening Yaya berkerut ketika Halilintar berkata begitu. Seolah-olah pemuda itu dapat mendengar apa yang Yaya dengar. Hanya saja, wajah minim ekspresi itu terlalu sulit ditebak.

Yaya ingin bertanya sesuatu. Namun, entah kenapa pandangan mengintimidasi Halilintar berbeda. Tidak seperti sebelumnya yang masih mempertahankan binar lembut. Ketika dia bilang untuk jangan dengarkan perkataan sosok tadi, ada percikan kebencian di sana. Hal tersebut semakin menaikkan rasa penasaran Yaya. Untuk itu, ia mencoba memberanikan diri bertanya jika saja Halilintar tidak kembali menyerobot.

"Kalau ingin bertanya sesuatu padaku, maaf saja. Aku tidak punya hak menjawab pertanyaanmu itu," ucap Halilintar datar.

Mata Yaya dikerjapkan beberapa kali, lalu menatap Halilintar dengan pandangan bodoh. "Hoi, muka papan apa menurutmu aku seperti orang yang selalu ingin tahu?"

"Kamu ingin jawaban jujur?" Satu alis pemuda itu terangkat, memastikan sesuatu. Abaikan panggilan nyeleneh dari gadis itu. Dia tidak terlalu dengar.

Kepala Yaya mengangguk. "Tentu saja. Memang apa gunanya jawaban bohong?" Gadis itu malah bertanya balik. Nada suaranya terdengar cukup kesal.

Halilintar menarik satu sudut bibirnya membentuk seringai kecil. "Baiklah. Jawaban jujurnya adalah iya. Di mataku kamu seperti orang yang ingin tahu tentang hal yang seharusnya tidak perlu diketahui. Namun, karena kamu terlibat, berharap saja keberuntungan selalu bersamamu," jelasnya.

Setelah mengatakan itu, Yaya dibuat melongo ketika pemuda serba hitam merah bercorak petir itu membalikkan punggungnya dan berjalan menjauh untuk keluar kelas.

"Hah?" Yaya membeo bodoh.

Halilintar berhenti di ambang pintu, lalu sedikit meliriknya. "Jangan lambat seperti keong. Tidak mungkin mencerna kata-kataku sesulit itu. Oh iya, ingat jangan dengarkan perkataan makhluk tadi," katanya lalu kembali berjalan hingga benar-benar hilang dari pandangan Yaya.

Sedangkan Yaya, gadis itu dibuat kesal setengah mati. Ini baru hari pertama dia pindah sekolah. Namun, bagaimana bisa dia bertemu sosok pemuda begitu menyebalkan seperti Halilintar? Kini, dia menambahkan nama Halilintar pada daftar hitamnya. Apabila pemuda itu bermasalah dengannya, Yaya tidak akan segan-segan melayangkan satu kepalan penuh tenaga.

"Enteng sekali dia mengatai orang keong. Tidak sadar apa kalau sendirinya lebih mirip kucing," gerutunya kesal kemudian ia menggeleng cepat. "Tidak! Tidak! Dia tidak mirip kucing! Itu terlalu imut untuk orang seperti dia!"

Setelah puas, ia akan kembali melanjutkan acara membacanya. Namun, suara imut seseorang memasuki rungunya.

"Hai! Namaku Ying. Mulai hari ini kita berteman," ujar seorang gadis manis sambil tersenyum lebar. Mata dibalik kacamata bulatnya menyipit seperti tersenyum. Rambut biru kehitamannya di ikat dua dengan sebuah bando biru kuning.

Singkatnya, gadis di depannya saat ini manis.

Entah sudah berapa kali Yaya dibuat kaget oleh para penghuni sekolah ini. Manik mata hazelnut itu berkedip dua kali, lalu melirik tangan terulur di hadapannya. Dengan sedikit hati-hati, ia membalasnya.

"Hai, aku Yaya. Terima kasih karena kamu ingin berteman denganku. Hanya saja, aku berharap kau membatalkan niat tersebut sebelum menyesal. Permisi," balasnya serius.

Ketika ingin beranjak, suara Ying kembali terdengar.

"Kenapa?"

"Aku tidak dapat memberikan penjelasan secara spesifik. Namun, aku mohon jangan berdekatan denganku," kata Yaya memohon pengertian dari lawan bicaranya.

"Tolong jelaskan!"

Yaya kembali menggeleng tegas. Gadis berkerudung merah muda itu berdiri, lalu beranjak dari kursinya meninggalkan Ying yang hanya menatap sendu calon sahabatnya itu. Namun, karena dia keras kepala maka tidak ada kata menyerah dalam kamusnya untuk menjadikan Yaya sebagai sahabat. Entah kenapa seperti ada dorongan dalam hatinya agar bisa bersahabat dengan Yaya.

Bagi Ying, gadis berkerudung itu memiliki aura positif yang sangat istimewa. Untuknya bahkan untuk orang lain.

"Mungkinkah dia ..." Ying menggantungkan kalimatnya sambil termenung. "Selain itu, entah apa yang dia sembunyikan. Aku akan berusaha menjadikanmu sahabatku," katanya mantap.

•••

"Kak, kenapa denganmu? Dari tadi seperti memikirkan sesuatu," tegur pemuda serupa dengannya. Hanya berbeda dari matanya yang berwarna emas serta mengenakan topi hitam bercorak bebatuan kuning dan dipasang terbaik.

Pemuda itu adalah kembaran ketiga bernama Boboiboy Gempa. Sang ketua OSIS terbaik dan bijaksana. Ketegasan dan sifat lembutnya membuat Gempa banyak disukai orang-orang. Tidak heran dia sangat terkenal di kalangan para guru. Meskipun sang kakak sulung masih menempati posisi pertama.

Tidak hanya itu, Gempa juga orang yang peka terhadap emosi semua saudaranya. Terutama kedua kakak tertuanya. Maka tidak heran jika Gempa bertanya kenapa Halilintar seperti sedang ada sesuatu. Itu karena Gempa ikut merasakannya. Orang bilang itu ikatan batin antar saudara kembar, mungkin memang benar.

Gempa ingin kakak tertuanya ini terbuka. Tapi, sekali lagi dia harus memaklumi sifat Halilintar.

"Kak Halilintar?"

"Tidak ada." Halilintar menjawab dingin.

Sudah Gempa duga. Kakak tertuanya itu memang terlalu dingin. Namun, ia tidak masalah. Lagi pula itu sifat bawaan Halilintar sejak kecil. Ia tidak akan menghiraukan orang lain selama tidak penting baginya. Pengecualian untuk saudaranya, dia tidak akan tinggal diam. Apalagi pada Taufan, Blaze dan Duri yang selalu mengacaukan waktunya. Mereka bertiga selalu menjadi sasaran dari death glare dan bantingan Halilintar.

Namun, dibalik itu semua dia tetap menyayangi mereka semua. Hanya cara mengekspresikannya saja berbeda-beda. Lagi pula mereka memang saudara kembar yang terkadang memiliki koneksi satu sama lain tanpa perlu banyak kata. Begitu pun Halilintar. Tanyakan saja pada Solar, dia paling memahami kakak sulung mereka ini selain dia dan Taufan.

Gempa menggeleng pelan. Meski Halilintar bilang tidak ada sesuatu, tetap saja tak dapat membohongi saudaranya.

"Jangan berbohong. Kamu tahu aku bisa merasakan keanehan dari sikapmu itu, Kak." Gempa menatap malas pada Halilintar yang justru mendengkus pasrah. "Jadi, apakah itu gadis berkerudung merah muda itu? Apa aku benar?"

Gempa menaruh kedua tangannya pada pagar pembatas rooftop, menikmati embusan angin yang membuat poninya bergerak halus. Ia tiba-tiba saja teringat kakak keduanya jika berhubungan dengan angin. Begitu ringan dan bergerak bebas sebagaimana halnya sang angin.

Halilintar melirik sang adik lewat ekor matanya. "Dari mana kamu tahu?" Seingatnya ia belum mengatakan apa pun sejak tadi.

"Sudah kubilang karena kita saudara kembar, bodoh."

"Mulutmu mulai kurang ajar ya sampai mengatai kakakmu sendiri."

"Beda beberapa menit saja, bukan tahun."

Bola mata Halilintar berputar malas ketika adiknya itu membalas perkataannya. Tidak seperti biasa yang selalu kalem dan bersikap paling waras di antara adiknya yang lain. Kali ini Halilintar yakin jika Gempa mulai tertular perilaku Trio Trouble Maker atau memang karena dari gen keluarga mereka. Seharusnya ia tidak heran.

Halilintar berdecak. "Ada saja jawabanmu itu. Jangan terlalu sering mengikuti omong kosong Taufan dan dua lainnya. Cukup mereka saja membuatku naik darah, kamu jangan ikutan," tukasnya malas.

Gempa mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Tidak janji. Oh iya, kembali ke topik awal. Jadi kenapa kamu memikirkan gadis itu? Ada sesuatu yang menarik?" Satu alisnya terangkat, bertanya pada sang kakak guna mengorek hal menarik. Karena Halilintar tidak mungkin bertingkah aneh jika tidak ada alasan kuat.

Halilintar termenung sejenak. Kepalanya mendongak ke atas, menatap awan putih bergerak di langit sana.

"Dia ... orang itu, sepertinya." Gumaman pelan itu terucap seraya merogoh saku celananya. Kepalanya tertunduk melihat sesuatu di telapak tangannya.

Itu pin berbentuk bunga matahari. Sekali lihat saja, Halilintar dibawa nostalgia pada kenangan tak terlupakan. Masa di mana dia masih dapat merasakan debaran jantungnya yang hebat.

"Gem, aku tidak salah mengenali. Aku sangat yakin kalau itu adalah dia."

Ucapan penuh keyakinan dari Halilintar menimbulkan perasaan takut bagi Gempa. Ia amat takut jika kakaknya akan bertindak seperti saat itu ketika apa yang dia harapkan tidak sesuai dengan prediksi dan ekspektasi. Terlebih, sang kakak begitu menanti sosok 'dia'. Di mana kehadirannya dapat membantu mengusut tuntas semua permasalahan di sekolah dan kota ini.

Pulau Rintis tidak indah namanya. Ada hal penuh misteri dan mistis di dalamnya. Namun, hanya orang-orang istimewa yang dapat melihat serta menjadi saksi dari semua itu. Dan menurut Halilintar, Yaya adalah orang yang selama ini mereka cari.

Puk!

Gempa tersentak saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. Ketika menoleh, didapatinya tatapan tidak biasa dari Halilintar. Binar langka yang bahkan jarang sekali diperlihatkan oleh sulung dari tujuh bersaudara itu. Manik ruby-nya benar-benar melembut dan indah.

"Kamu tidak perlu khawatir kalau aku akan seperti dulu lagi, Gem. Kali ini kita harus mencari bukti kuat jika memang dia yang selama ini kita cari," ujarnya tenang. Memberikan kepercayaan diri pada Gempa untuk tidak berpikiran yang bukan-bukan.

Gempa mengangguk paham. "Aku mengerti."

•••

Jam istirahat masih tersisa lima belas menit lagi. Yaya memilih menggunakan waktu tersebut untuk duduk termenung di tribun lapangan. Kedua tangannya saling bertaut di atas paha dengan padangan memerhatikan para siswa yang sedang bermain basket. Pikirannya melayang pada kejadian hari ini. Mulai dari sosok perempuan penuh dendam padanya tanpa alasan, sikap aneh Halilintar teman sebangkunya serta seorang gadis manis yang mengklaim sepihak kalau mereka berteman.

Benar-benar di luar dugaan.

Omong-omong soal sosok perempuan, entah kenapa Yaya jadi teringat ketika melihat ada makhluk yang duduk di antara rimbunan pohon. Wajahnya tidak jelas, tetapi Yaya merasakan jika energinya sangat gelap. Bahkan tersebar di seluruh kawasan dekat pohon tersebut.

Apakah itu iblis? Leviathan?

"Sedari awal memang sudah tidak beres. Heran saja kenapa benar-benar tidak ada perubahan sejak kepergianku?" gumamnya.

"Kamu benar. Tidak ada perubahan terjadi di sekolah ini."

Yaya tersentak, lalu menoleh. "Loh? Ying?"

"Apa?" sahutnya santai dan mengambil posisi duduk di sebelah Yaya.

"Kenapa kamu ..." Yaya menggantung kalimatnya sejenak, "... padahal aku sudah menolak ajakan pertemanan darimu tadi. Lantas, kenapa kamu masih mendekatiku? Jika ingin mengajakku lagi, maaf tawaranmu aku tolak. Aku takut kamu akan terkena bahaya nanti karena berdekatan denganku," lanjutnya melirih.

"Bahaya? Ayolah, Yaya. Kamu tidak harus mencemaskan perihal itu. Dengar, aku bahkan tidak peduli apa yang akan terjadi padaku atau tentang latar belakangmu. Karena yang jelas, ada dorongan kuat dalam hatiku untuk menjadikanmu sahabatku. Jadi, mari berteman ya?" katanya tersenyum riang, berharap keraguan di hati gadis bermata hazelnut itu sirna.

Yaya terdiam beberapa waktu, menatap lurus manik biru kelabu di depannya. Ia mencari kebohongan di sana. Namun, apa yang dia dapatkan adalah kesungguhan dan perasaan tulus. Untuk itu, setelah menimbang-nimbang, kepalanya mengangguk pelan. Seulas senyum tipis menawan muncul di bibirnya.

"Baiklah. Kita adalah teman sekarang."

Itu pilihannya.

Yaya tidak yakin apakah ini pilihan bagus atau tidak. Namun yang pasti, kehidupan sekolahnya di sini sepertinya tidak akan tenang mulai sekarang. Keputusannya merupakan langkah awal dari perubahan yang selalu dia tanyakan.

Terlalu asyik dengan teman barunya, Yaya bahkan tidak sadar jika sesuatu miliknya telah hilang. Ia sudah meluapkan kesemrawutan di sekitarnya.

Bunga matahari lambang dari rasa syukur, kesucian, penghormatan, umur panjang dan ketenangan. Engkau, sang bunga matahari yang memiliki sifat itu. Kehadiranmu benar-benar sangat dinantikan.

•••

To be continued


Leviathan : salah satu dari 7 sins yang mewakili rasa iri.

Oke, bab kali ini sedikit ada penambahan dialog. Penasaran tidak maksud dari relasi antara Yaya dan dia yang dimaksud Gempa dan Halilintar? Selain itu, alasan dibalik kenapa Ying ingin berteman dengan Yaya tidak sesederhana itu.

Lalu, kenapa kedatangan Yaya kembali ke Pulau Rintis menjadi awal dari perubahan segalanya? Pokoknya ikuti saja cerita ini. See you!

RnR please (っ̩̩)っ