BoBoiBoy Fanfiction proudly present

"SIXTH SENSES"

A fanfiction by Aprilia Hidayatul

Genre : Supernatural, Fantasi, Misteri, Horror ( i dunno but that genres will be appeared )

Rate : 13 (can be added according to the content of the story)

•••

Seharusnya Yaya tidak pernah setuju dengan ajakan pertemanan dari gadis berkacamata yang mengenalnya dirinya sebagai Ying. Namun sudah terlanjur terjadi dan dia tidak menarik kembali ketika melihat raut bahagia dari Ying. Gadis itu tampak bersemangat sekali ingin membuat ikatan pertemanan dengannya. Padahal, selama ini tidak pernah ada yang seperti itu.

Ketika masih berada di sekolah lama tidak ada satu pun orang ingin berteman dengannya. Mereka bilang takut terkena sial jika berdekatan dengan Yaya. Meskipun gadis berkerudung merah muda itu tak menyangkalnya. Ia justru setuju dengan pendapat tersebut. Karena selama ini, orang-orang yang berdekatan dengannya pasti akan terkena musibah. Entah itu kecelakaan atau hal tidak menyenangkan lainnya.

Namun, sepertinya Ying tidak peduli akan hal itu. Dia tetap nekat berteman dengan Yaya. Bahkan tak segan menggandeng lengan ketika berjalan bersama di koridor. Sikapnya benar-benar acuh tak acuh dengan padangan orang-orang.

"Ying, kamu bisa melepaskan tanganku," ucap Yaya gugup.

Kening Ying berkerut. "Kenapa? Apa kamu merasa tidak enak dan terpaksa menerima pertemananku?" ia bertanya, nada suaranya terdengar sedih.

Seketika gadis berkerudung merah muda itu tidak tahu harus merespons apa. Pertanyaan barusan sebagian ada benarnya. Ia cukup terpaksa menerima pertemanan dengan Ying agar gadis itu berhenti merecoki. Namun, sebagian lagi dia memang tulus.

Mendengar suara sedih berasal dari Ying, entah kenapa membuatnya tidak tega. Satu tangannya bergerak menepuk pelan pucuk kepala Ying.

"Bukan, bukan begitu maksudku. Hanya saja, kamu tidak perlu sampai menggandeng tanganku begini. Aku nggak sedang pergi ke mana pun juga," ucap Yaya lembut.

"Syukurlah. Aku takut Yaya tidak mau berteman denganku," kata Ying bahagia.

'Justru aku merasa heran kenapa kamu mengotot ingin berteman denganku,' batin Yaya bertanya kebingungan.

"Yaya."

"Kenapa?" Gadis itu menoleh, menatap Ying dengan kepala ditelengkan ke kanan. Siapa pun yang melihat pasti akan gemas.

"Kalau aku boleh tahu, kenapa kamu tidak mau berteman denganku pada awalnya?"

Degh!

Yaya tahu, cepat atau lambat pertanyaan itu akan lolos dari bibir Ying. Namun dia tidak disangka akan secepat ini. Ia tidak punya cukup persiapan bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.

Tidak ada balasan dari teman barunya, Ying kembali bertanya guna menyadarkan gadis berkerudung tersebut. "Yaya?"

"Hah? Eh, maafkan aku. Kamu tanya apa tadi."

Dengan kening berkerut, kembali bertanya. "Aku tanya kenapa kamu tidak mau berteman denganku pada awalnya. Itu sedikit membuatku berpikiran negatif padamu," ujarnya.

Yaya sadar itu.

Siapa pun pasti akan berpikiran demikian ketika ajakan pertemanannya ditolak. Namun, bukan itu alasan sebenarnya dari Yaya. Ia senang jika seseorang mengajaknya berteman. Itu artinya dia tidak sendirian. Hanya saja, ada satu hal membuat Yaya bimbang.

Yaya tidak ingin jika Ying ikut terlibat semakin jauh padanya dan berakhir mencelakakannya. Namun, demi tidak menimbulkan kecemasan, Yaya melembutkan tatapan matanya.

"Jangan berpikiran negatif begitu. Aku memiliki alasan sendiri kenapa awalnya tidak mau berteman." Yaya memalingkan wajahnya sebentar, lalu menatap Ying kembali. "Kalau aku bercerita sedikit padamu, apakah kamu akan percaya?"

Meski sedikit tidak paham, Ying tetap mengangguk mantap. Ia merasa jika Yaya akan berbicara sesuatu yang sangat penting. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar penasaran.

Yaya tersenyum tipis. "Pernahkah kamu mendengar bahwa manusia memiliki indra tersembunyi. Di mana hanya beberapa orang saja yang mampu membukanya?"

"Pernah. Itu disebut indra ke enam. Orang bilang kemampuannya hanya sekadar dapat melihat sosok makhluk halus. Namun, dari analisisku itu tidak sesederhana kelihatannya," jelas Ying.

"Benar sekali."

"Lalu, tujuanmu apa mengatakan itu padaku?"

"Hm? Bukan apa-apa. Aku kira kamu tidak tahu, ternyata lebih dari dugaanku. Omong-omong kenapa kamu terlihat tertarik pada hal supernatural begitu?" tanya Yaya ketika sadar jika teman barunya itu memiliki ketertarikan unik dalam mempelajari perihal dunia supernatural.

Ying mengangkat bahunya santai. "Hanya ingin."

"Terdengar meragukan, tapi tidak masalah. Aku juga malas mencari tahu."

"Jujur saja, entah kenapa kamu tidak ada bedanya dengan Halilintar. Sama-sama bermulut pedas."

"Heeee?" Yaya menatap Ying kesal. "Jangan samakan aku dengan pria menyebalkan seperti dia," ketusnya.

Mengingat Halilintar sama saja dengan merusak mood. Selain karena pemuda itu bertampang expressionless, sosok iblis di belakangnya juga minta digampar. Yaya masih dendam karena dibenci tanpa alasan bahkan oleh setan yang tidak dia kenal.

Apa setan itu cemburu? Yang benar saja!

"Kamu baru satu hari bertemu dia. Tapi, kenapa terdengar amat sangat mengenalnya? Bahkan, aku tidak begitu memahami mereka meskipun sudah kenal lama." Mata sipit di balik kacamata itu memicing curiga. "Jangan bilang kalau kalian pernah saling mengenal dulu!"

Kepala Yaya menggeleng cepat. "Tidak! Ini baru pertama kali aku melihat Halilintar dan dua saudaranya!" sanggahnya.

Namun, tatapan curiga Ying masih belum sepenuhnya hilang. Gadis itu merasa jika ada relasi di antara Yaya dengan para Boboiboy bersaudara.

"Kembali ke pembahasan awal."

"Apa?"

"Kenapa kamu berbicara mengenai indra ke enam?"

Yaya membuang napas lelah. Dia tahu jika gadis berkacamata bulat itu akan keras kepala dengan pendiriannya. Sekali pandangan saja Yaya sudah dapat menyimpulkan. Karena bagaimana pun itu sangat mudah untuk ditebak. Kebiasaannya dalam mengamati memang berguna dalam keadaan begini.

Namun, tampaknya keberuntungan sedang tak berpihak pada Yaya. Karena Ying malah mengulas senyum lebar dan mengatakan hal yang tak terduga.

"Ya sudah, kalau memang tidak mau menjelaskan bukan masalah. Lagipula beberapa orang pasti punya privasi yang tidak mungkin dibagikan pada orang lain. Benar?" Ying mengerlingkan mata jahil. Ia berniat membuat Yaya terhibur.

Tekadnya kuat sekali, pikir Yaya.

"Terserah kau saja."

"YES!"

Yaya memandang heran. "Sebegitu senangnya kamu berteman denganku?"

"Tentu saja! Sejak kamu mengenalkan diri aku sudah bertekad akan menjadikanmu temanku."

Yaya tidak tahu harus senang atau apa. Namun, dia berharap jika Ying tidak akan mengalami hal aneh apa pun selama bersamanya.

•••

"Hei, Pinky!"

Yaya menengok ketika seseorang memanggilnya dengan sebutan itu. Meskipun sedikit ragu mengingat ada gadis lain yang juga memakai kerudung di sekolah ini. Namun, keraguan Yaya lenyap seketika itu juga saat dua orang berwajah serupa berjalan menghampirinya.

Yaya kenal satu orang. Pemuda bermata ruby terang nan mencekam. Auranya bahkan lebih pekat dari para iblis dan entitas halus di sekitarnya. Dalam hati Yaya bergumam apakah pemuda itu manusia sungguhan atau jelmaan iblis?

"Aku manusia."

Suara bernada datar itu menyentakkan Yaya kembali pada kenyataan. Ia menatap kaget pemuda yang kini sudah ada di hadapannya.

"Kamu bisa ... membaca pikiranku?" tebak Yaya kaget.

Pemuda merotasikan matanya malas. "Ekspresi wajahmu mengatakan segalanya dalam sekali lihat saja," ujarnya dingin.

"Eh?"

"Sudah, sudah. Kenapa malah berdebat sih?" Satu pemuda lainnya melerai sambil tersenyum canggung. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Yaya. "Ehem! Maafkan atas sikap kakak kembarku ya? Dia memang payah kalau berurusan dalam hal sosialisasi. Tidak heran punya banyak musuh meski penggemarnya sudah seperti lautan," jelasnya lancar tanpa hambatan.

Bahkan saking lancarnya tidak sadar jika pemuda bermanik ruby itu melotot kesal saat dia bicara begitu.

'Tipe orang dengan mental tahan banting,' ujar Yaya dalam hati menilai.

Yaya mengangguk mengerti. "Em ... omong-omong, ada apa memanggil? Sebelum itu, namaku Yaya. Sepertinya kita belum berkenalan dengan cara benar," ucapnya.

"Ah? Aku hampir lupa. Perkenalkan namaku Gempa dan ini," pemuda bermanik emas bernama Gempa itu menunjuk si manik ruby, "dia kakak kembarku, Halilintar. Euh, kalian kalau tidak salah satu kelaskan? Jadi, tidak usah kujelaskan lagi bagaimana sifat kakakku ini," kata Gempa ramah.

Yaya mengangguk setuju. "Iya. Dia pria songong dan menyebalkan."

Pemuda yang dimaksud kini beralih melotot pada Yaya. "Kamu—"

Gempa menarik napas berat, berusaha agar kakaknya tidak meledak. "Nah kalau alasan kami memanggilmu itu ... eum ..."

Kening Yaya berkerut ketika melihat tingkah Gempa yang aneh. Pemuda itu seolah ragu untuk mengatakan sesuatu padanya. Ia melirik pada Halilintar, meminta penjelasan. Namun, bukan jawaban yang didapat, Yaya malah diberi raut datar dan mono ekspresi.

Gadis itu mendengkus sebal, tanpa sadar. Ia segera melihat ke arah jam tangan, hampir menjelang sore hari.

"Jika kalian hanya ingin menahanku, maaf. Aku tidak punya banyak waktu meladeninya. Ada kesibukan yang harus segera dituntaskan." Yaya membuang wajahnya ke samping sebentar sambil berbisik pelan. "Setidaknya sampai setan di rumah baruku tidak mengganggu."

"Kau bilang sesuatu?"

Yaya tersentak dan menggeleng cepat. "Tidak. Tidak bilang apa-apa."

Gempa mengangguk paham. "Pokoknya ini hal yang perlu aku sampaikan segera. Entah kamu akan percaya atau nggak, itu bukan masalah sebenarnya. Tapi, aku harap kamu tahu mengenai hal ini."

Jantung Yaya berdebar kencang. Perasaan gugup seketika melingkupinya tanpa diduga. Dua orang di depannya ini punya sesuatu dan aura mereka cukup kuat sehingga menarik perhatian makhluk tak kasat mata.

Yaya tidak bohong.

Ada satu sosok yang sama ketika di kelas tadi tengah berada di belakang Halilintar. Sebagian wajahnya terhalang oleh rambut panjang, sedangkan sisi lainnya memburam. Sehingga, Yaya tidak dapat memastikan siapa sosok yang selalu mengikuti Halilintar. Belum lagi, keheranan masih bertambah karena sosok itu seolah membencinya.

Apakah dia seseorang di masa lalu dan menyukai Halilintar?

Atau justru, hanya makhluk tak tenang dan menyukai auranya?

Ini masih menjadi pertanyaan Yaya.

"Yaya," panggil Gempa.

"Apa?" Yaya mendadak canggung. Meskipun kenyataannya dia memang sering canggungan dengan orang baru. Apalagi semacam dua kembaran ini.

"Kalau aku bilang kamu gadis yang selama ini kami cari, bagaimana?"

"Hah?"

Maksudnya?

•••

To be continued


Chapter ini tidak begitu banyak perubahan. Masih bersama Yaya dan teman barunya. Serta pertemuan dia dengan kembaran Halilintar yang lain.

Omong-omong, menurut kalian sejauh ini bagaimana certia yang aku tulis ini? Tolong kasih review ya!

See you!

RnR please (っ̩̩)っ