Di puncak sebuah menara, terlihat seseorang tengah berdiri angkuh seraya mengenakan jubah hitam yang berkibaran mengikuti arah angin bertiup. Meskipun begitu, dia tidak terganggu sama sekali. Justru menikmati bagaimana embusan angin itu menerpa tubuhnya.

Kelopak mata yang terpejam itu perlahan terbuka. Memperlihatkan sepasang manik berwarna semerah darah. Lebih mengintimidasi dari pada manik ruby lembut Halilintar. Energi gelap bahkan menguar di sekitar tubuhnya.

Satu tangannya terulur ke depan, bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata seperti mantra yang tak dapat dipahami. Hingga tak berapa lama kemudian sosoknya menghilang diantara embusan angin. Namun, sebelum benar-benar hilang dia menyunggingkan seulas seringai tipis dan bergumam pelan.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Sunny. Meskipun harus melewati ratusan tahun hanya untuk menemukanmu."


BoBoiBoy Fanfiction proudly present

"SIXTH SENSE"

A fanfiction by Aprilia Hidayatul

All characters belong to Monsta Studio

GENRE : Supernatural, Misteri, Fantasi, Horror ( i dunno but maybe this will be there )

WARN! All characters OOC, OC, typo, absurd etc.

Boboiboy Elements are siblings!


Kening Yaya berkerut. Ia tidak begitu paham dengan maksud dari perkataan Gempa.

"Kamu salah orang," ujarnya.

Lagi pula ini pertama kalinya Yaya bertemu mereka berdua. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi sosok yang dicari? Itu terdengar seperti omong kosong. Meskipun Yaya percaya pada hal-hal supernatural, tetapi itu masih dalam batas wajar yang dilakukan oleh orang-orang dengan bakat yang sama.

Gempa menggeleng tegas. "Tidak mungkin." Ekspresi wajahnya sangat serius membuat Yaya tertegun. "Kamu memiliki energi yang sama dengan orang yang kami cari selama ini. Terutama kalungmu. Kau memakai kalung berbandul bunga Daisy, kan?" terkanya tepat sasaran.

Mata hazelnut Yaya membulat kaget. "Kamu— dari mana kau tahu itu hah?!"

Seulas senyuman miring muncul di bibir Gempa. Hal yang jarang sekali dilakukan oleh pemuda itu kecuali memang berada dalam kondisi akan memojokan lawannya hingga tidak berkutik. Ketika seperti ini, Gempa tak ada ubahnya dengan Halilintar.

Dengan kepala ditelengkan ke kanan, Gempa memandangi Yaya dalam tatapan lembut.

"Kami semua tahu dan dapat mengenal sosok yang dicari, dan itu ada padamu, Nona Yah," ujar Gempa.

Yaya mundur dua langkah sambil menggelengkan kepalanya, menolak pernyataan yang dilontarkan oleh Gempa. Ketika matanya melirik pada Halilintar, entah itu hanya ilusi sesaat atau bukan, tetapi Yaya menemukan adanya sorot kerinduan terpancar dari manik delima Halilintar. Terlihat begitu familier. Namun, Yaya sama sekali tidak mengingatnya.

"Aku yakin kamu salah orang, Gempa. Aku bukan orang itu, jadi tolong jangan menggangguku." Gadis itu masih berusaha menyangkal. "Permisi."

Setelah berkata begitu, Yaya berbalik pergi dengan cepat. Dia memejamkan matanya sambil berusaha mengenyahkan perasaan aneh namun akrab dalam hatinya.

"Baru bertemu sudah bilang hal tidak masuk akal. Benar-benar orang aneh."

Meskipun sebuah gumaman, tetapi masih dapat di dengar oleh dua orang pemuda di belakang sana. Keduanya memerhatikan punggung gadis itu sampai benar-benar hilang dari pandangan mereka.

Gempa menoleh pada sang kakak. "Kak, kelihatannya perjuanganmu akan lumayan sulit. Ternyata dia masih sama dengan dulu," cetusnya diikuti tawa kecil, mengejek Halilintar.

Halilintar mendelik tajam. "Diam."

Gempa segera membekap mulutnya sendiri. Namun, sorot geli di matanya tidak dapat membohongi bahwa dia sangat menikmati penderitaan sang kakak.

"Well, Kak Halilintar mungkin akan menemukan hal menyenangkan mulai saat ini. Karena selain dia memiliki energi unik hingga diinginkan oleh para entitas dari berbagai dimensi, dia juga menjadi target orang itu," ujar Gempa kembali serius.

Halilintar menaikkan sebelah alisnya. "Orang itu?"

Gempa merotasikan matanya malas. "Jangan bilang Kakak melupakannya?"

"Untuk apa aku mengingat hal tidak penting?" Halilintar malah balik bertanya dengan wajah datar khasnya.

Tentu saja. Halilintar tidak akan memikirkan sesuatu tak penting selama bukan berhubungan dengan Yaya. Gadis itu benar-benar menarik perhatiannya. Entah karena memiliki aura yang sama dengan sosok yang dicari atau murni memiliki ketertarikan antara lawan jenis. Jelasnya, Halilintar lebih mementingkan soal Yaya.

Sedangkan Gempa, sang kembaran ketiga itu menarik napasnya lelah. Sudah dia duga jika Halilintar tidak mengerti maksud perkataannya.

"Sai."

Manik ruby itu membulat ketika nama itu disebut. Gempa sudah dapat memastikan jika Halilintar sebentar lagi akan emosi mengingat orang itu punya pengaruh besar dalam kemarahannya selama ini. Akan tetapi, setelah beberapa saat masih belum ada reaksi dari Halilintar.

Kenapa? Ada apa sebenarnya?

Sampai pertanyaan tak terduga terlontar dari bibir Halilintar membuat Gempa menganga tak percaya.

"Sai itu siapa?"

Bagai sebuah ledakan dalam kepalanya, Gempa memandang Halilintar dengan sorot tidak percaya. Bagaimana mungkin Halilintar melupakan sosok musuhnya semudah itu?

"Kakak sungguh lupa dengannya?" Gempa kembali memastikan.

"Menurutmu?" Halilintar malah balik bertanya.

"Melihat dari sifatmu, aku merasa itu memang benar."

"Ya sudah."

Gempa benar-benar kehilangan kata. Ia tahu jika keluarganya memiliki sifat pelupa. Namun, tidak menyangka jika akan separah itu.

Sudahlah, Gempa enggan memikirkan lebih. Cukup bagus juga ternyata kakaknya masih dalam kondisi tahap normal. Tidak seperti dua adiknya yang dapat bertingkah di luar batas. Semoga saja tidak ada kejadian aneh-aneh lagi.

•••

Ketika malam hari, Yaya duduk termenung di meja belajarnya. Gadis itu memandangi bandul bunga Daisy yang menjadi aksesoris dari kalungnya. Bentuknya mungil dan indah. Hanya saja, ia sekarang kehilangan sesuatu.

Setelah pulang sekolah, gadis itu baru sadar jika pin bunga matahari di kerudungnya telah hilang. Padahal, itu salah satu benda berharga selain kalung.

Berbicara soal kalung, benda itu merupakan hadiah dari seseorang. Namun, Yaya sudah lupa siapa yang memberikan itu padanya. Selain itu, kejadiannya sudah sangat lama sehingga tidak heran kalau dia sudah lupa. Hanya saja, kejadian hari ini sedikit membuat Yaya heran dan bingung.

Dari mana dua pemuda kembar itu tahu akan kalungnya? Bahkan di pertemuan pertama?

"Ini sangat tidak masuk akal," gumam Yaya.

"Tidak juga."

Sebuah suara terdengar dari arah belakangnya. Sontak saja hal itu menimbulkan keterkejutan gadis bermanik hazelnut itu. Dia segera menoleh ke belakang. Matanya melotot. "Kamu—"

"Apa?" Sosok tersebut membalas tenang.

Masih dalam suasana terkejut, Yaya kembali bertanya. "Siapa kau?!"

"Siapa pun."

"Apa-apaan jawabanmu itu. Katakan sejujurnya kamu itu siapa hingga tiba-tiba ada di kamarku."

Baiklah, lupakan perasaan kaget barusan karena Yaya sudah terbiasa dengan mereka. Namun, kali ini dia dibuat emosi oleh sosok pemuda tak dikenal itu.

Seingatnya, kemarin malam Yaya tidak melihat sosok itu. Akan tetapi memang ada energi cukup kuat di sekitar, terutama kamarnya. Ternyata memang ada sosok yang kuat.

Pemuda itu merotasikan matanya malas. "Kamu ini galak sekali, aku tidak suka."

"Siapa juga yang mau disukai olehmu!" Yaya memejamkan matanya sejenak, lalu kembali menatap pemuda itu. "Kembali ke pertanyaan tadi. Siapa kamu?"

Merasa jika gadis itu susah diajak bercanda, pemuda berhenti menggodanya. Dia mengambil posisi duduk bersila di atas kasur Yaya sambil melipat tangan di depan dada. Benar-benar posisi santai. Alis Yaya berkedut kesal.

"Karena kamu sangat penasaran, aku akan memberitahumu." Seulas senyum lebar muncul di wajah tampannya. "Aku Lyan."

"Lyan?" Lyan mengangguk. "Lalu, tujuanmu menampakkan diri padaku apa? Seingatku kemarin malam tidak bertemu kamu."

Lyan terlihat seperti lelah akan sesuatu hal. Ekspresi berat di wajahnya seakan menunjukkan bahwa dia sangat tidak memahami Yaya.

"Apa kamu lupa saat pertama kali pindah ke sini, kamu diserang setan jahat?" tanya Lyan sabar.

Yaya mengangguk.

"Nah, setelah itu bandul kalungmu bersinar bukan?"

Sekali lagi, Yaya menganggukkan kepalanya. "Hubungannya?"

Untuk pertama kalinya Lyan merasakan kekesalan teramat dalam. Mungkin ini balasan langsung yang diterima olehnya karena menjaili Yaya di awal tadi. Sehingga gadis itu terus melontarkan pernyataan tidak berguna.

"Aku berasal dari kalungmu."

"Jangan gila!"

"Heh!" Lyan melotot tidak terima. Enak saja dia dikatai tidak berguna. "Sudahlah. Omong-omong, tadi kamu bertemu dua pemuda kembar ya?"

"Dari mana kamu tahu?"

Lyan menunjuk kembali bandul bunga Daisy pada kalung Yaya. Gadis itu menunduk sejenak, lalu kepala mengangguk paham. "Kamu berada di dalam kalungku?"

"Benar."

"Jadi, bagaimana pendapatmu?"

"Percaya saja. Karena apa yang mereka katakan itu benar."

"Tapi ..."

Lyan segera menenangkan keraguan di hati Yaya. "Tenang saja, mereka akan membantuku menjagamu. Meskipun sebenarnya itu tidak dibutuhkan juga sih," tukasnya dengan nada sinis di akhir.

Yaya yakin itu bukan ditujukan padanya. Namun, satu pertanyaan muncul di kepalanya karena penasaran.

"Kenapa aku harus dilindungi?"

Lyan tidak langsung menjawab dan hanya tersenyum. "Bukan saatnya aku tahu."

•••

To be continued


Lyan itu sifatnya bakalan agak ngeselin. Baru ketemu pertama kali saja sudah bikin ulah. Btw, aku menahan diri untuk tidak menggunakan banyak original character di cerita ini. Mungkin ada beberapa untuk keperluan cerita. Sisanya, tentu saja dari canon.

Anyway, gimana sama chapter ini?

See you!

RnR please (っ̩̩)っ