Mature, Explicit
Ada satu hutan yang belakangan ini menarik perhatian Alhaitham. Hutan ini tidak berada di Sumeru, melainkan di kepulauan Inazuma, tepatnya di pulau utama mereka, Narukami. Tidak seperti hutan di Sumeru yang terkenal dengan keberagaman makhluk hidup, hutan Inazuma itu lebih terkenal dengan kisah mistisnya.
Chinju adalah nama hutan itu. Alhaitham mengetahui hutan ini setelah seorang pedagang asal Inazuma datang ke rumahnya karena ada urusan dengan Kaveh. Pedagang itu membagikan kisah-kisah yang sering beredar di masyarakat tentang Hutan Chinju. Kaveh mungkin terlihat takut selama mendengarnya, tapi tidak dengan Alhaitham yang justru penasaran. Dirinya bukanlah orang yang mudah percaya dengan hal mistis, tapi bukan orang yang menolak mengetahui hal baru. Berbekal rasa penasaran dan alibi "untuk bahan penelitian," sebuah kapal diberangkatkan dari Pelabuhan Ormos menuju Ritou seminggu setelahnya.
"Chinju?"
Alhaitham mengangguk. "Dari peta yang saya miliki, lokasinya sebelum Kediaman Kamisato dan cukup jauh dari sini. Apa ada kendaraan yang bisa saya tumpangi?"
"Wah, sayang sekali, anak muda. Kami tidak ada kendaraan di sini selain untuk angkut barang." Nelayan yang ditanyai Alhaitham menaruh jaring ikan yang telah dirapikan di atas tumpukan kotak kayu. "Kau hanya bisa berjalan kaki untuk sampai sana. Sekiranya butuh istirahat, kau bisa mampir ke Desa Konda. Dekrit Sakoku sudah selesai, seharusnya kau bisa ke sana dengan mudah."
"Begitu …." Alhaitham pernah dengar perihal Dekrit Sakoku yang menutup Inazuma dari luar. Bahkan kondisi di dalam negerinya pun seringkali memanas. Kalau dekrit itu sungguhan sudah selesai, maka perjalanannya tidak akan mengalami banyak halangan.
Alhaitham memeriksa petanya sekali lagi. Sesuai yang dikatakan nelayan tersebut, ada satu desa yang berada di antara Ritou dan Hutan Chinju. "Seandainya saya berangkat sekarang, apakah sore atau malam nanti sudah sampai?" tanya Alhaitham kemudian, mencoba memperkirakan perjalanan yang akan ia lalui karena ia baru tiba di Ritou setelah jam makan siang.
Nelayan itu menggaruk dagunya seraya menjawab, "Harusnya sudah kalau kau tidak berhenti dan terus berjalan. Masih ada kemungkinan banyak musuh di sepanjang perjalanan, jadi kau harus berhati-hati."
Alhaitham menganggukkan kepalanya, kemudian membungkukkan badan, mengikuti adat Inazuma yang sudah sempat ia pelajari sebelumnya. "Terima kasih banyak atas informasinya. Maaf sudah merepotkan."
"Sama-sama. Kau masih muda dan sopan, jadi aku tidak masalah direpotkan." Nelayan itu tertawa kencang setelahnya. "Tapi jarang sekali aku menemui turis dari luar yang ingin ke Chinju. Rata-rata orang akan takut untuk ke sana."
Alhaitham memasukkan petanya ke dalam tas kecil yang dibawa. Ia sudah siap untuk melanjutkan perjalanan saat memberi senyum tipis ke nelayan itu. "Karena saya orang yang banyak ingin tahu."
…
Seperti yang nelayan tadi katakan, perjalanannya termasuk mudah. Memang ada beberapa musuh yang harus Alhaitham hadapi, tapi itu sama sekali tidak menghalanginya. Matahari hampir terbenam ketika ia sampai di pintu gerbang Desa Konda. Nama desa ini berdasar dari marga si kepala desa itu sendiri, Konda Densuke. Setidaknya itu info yang Alhaitham dapat dari nelayan tadi.
Pandangannya menelusur sekeliling sekali lagi, mencari orang yang bisa ditanyai, sampai matanya jatuh pada seorang perempuan muda berpakaian tak biasa. Alhaitham masih mengira-ngira model pakaian apa itu, tapi yang muncul di kepalanya adalah pakaian ninja. Ia pernah melihat yang serupa di sebuah buku yang dibacanya beberapa tahun lalu. Terlebih, perempuan itu memakai topeng.
"Haaah, di mana, sih, Oni itu? Sudah kubilang tunggu dulu di desa, malah hilang begitu saja."
"Permisi."
Perempuan yang sedari tadi menggerutu dan seperti mencari sesuatu itu berbalik. Matanya berkedip beberapa kali, meyakinkan diri bahwa yang berdiri di depannya adalah orang dari luar Inazuma. "Ah, iya? Ada yang bisa saya bantu?"
Alhaitham membungkukkan badannya. "Maaf mengganggu waktunya. Saya Alhaitham, pelajar dari Sumeru. Kalau boleh, saya ingin tanya sesuatu."
"Tentu saja." Perempuan itu ikut membungkukkan badan. "Nama saya Kuki Shinobu, anggota Geng Arataki." Perempuan bernama Shinobu itu memperkenalkan diri, membalas Alhaitham yang juga memperkenalkan dirinya. "Apa yang ingin ditanyakan, Alhaitham-san?"
Ternyata ada geng yang berkuasa di sini, batin Alhaitham, memasukkan info baru itu ke dalam ingatannya. "Apa kau tahu tentang Hutan Chinju?"
"Hutan Chinju?"
Alhaitham menganggukkan kepalanya. "Ada rumor mengatakan hutan itu angker, banyak hantu, makhluk ganas, atau semacamya. Saya ingin tahu pendapat orang lokal mengenai hutan itu."
Shinobu tampak berpikir sejenak, lalu bertanya, "Apakah ini untuk penelitian?" Alhaitham menganggukkan kepalanya. Melihat itu, Shinobu memutuskan untuk menceritakan apa yang ia ketahui. "Itu legenda yang sering kami dengar sejak kami masih kecil. Ada banyak kisah yang berkaitan dengan makhluk seperti yuurei dan youkai di Inazuma. Hutan Chinju adalah salah satu tempat yang diduga menjadi pusat berkumpulnya mereka. Meskipun namanya Chinju atau yang bisa berarti hutan tempat dewa penjaga bersemayam, suasana Hutan Chinju memang sangat mendukung untuk cerita-cerita seram semacam itu. Selain itu, acara-acara seperti kimodameshi atau uji nyali sering diadakan di sana, sehingga menambah kesan seram dari hutan tersebut. Kurang lebih itu yang saya tahu."
"Hmm, jadi begitu …."
"Apa Alhaitham-san berencana ke sana?"
"Begitulah."
"Dari sini sudah dekat." Shinobu tampak menunjuk kuil besar berwarna merah. "Alhaitham-san bisa ikuti jalur setapak ini sampai ke kuil itu. Dari sana, Alhaitham-san tinggal turun sedikit ke bawah sampai ke kumpulan pohon-pohon tinggi dan besar, di situlah Hutan Chinju."
Alhaitham memperhatikan arah yang ditunjuk Shinobu, lalu, sekali lagi, menganggukkan kepala. "Baiklah, terima kasih banyak, Kuki-san."
"Sama-sama." Shinobu melihat heran Alhaitham yang tampak bersiap untuk pergi lagi. "Uh … apa Alhaitham-san akan pergi sekarang?"
"Ya."
Kali ini Shinobu melihat langit yang kian menggelap. "Sudah hampir malam, apa Alhaitham-san yakin?"
Sama dengan yang diberikannya pada nelayan siang tadi, Alhaitham tersenyum tipis. "Justru karena sudah malam."
…
Chinju, dewa penjaga. Nama yang memang kurang pas untuk hutan yang sama sekali tidak memberi rasa tenang. Harus Alhaitham akui, aura di sekitar sini sedikit tidak bersahabat dan bisa membuat siapa pun yang lemah untuk lari menyelamatkan diri entah dari apa.
Masih dengan ekspresi datarnya, Alhaitham melangkahkan kaki masuk ke dalam hutan yang asing baginya itu. Daripada makhluk yang disebut Shinobu sebagai yuurei atau youkai, Alhaitham lebih berjaga akan kemungkinan munculnya perampok atau kemah Hilichurl. "Di hutan yang jauh dari pemukiman seperti ini, sudah pasti ada orang yang ingin bersembunyi," gumamnya, memantapkan pemikirannya barusan.
Kresek
Baru beberapa langkah, telinga Alhaitham yang masih tertutup headphone tanpa suara sudah menangkap adanya pergerakan. Rumput … atau mungkin daun. Itu berarti kemungkinan musuhnya ada di atas pohon atau tepat di belakangnya.
Mereka sedang memperhatikan Alhaitham.
Seulas senyum kembali menghiasi wajah Alhaitham. Namun kali ini bukan senyum tipis dan ramah seperti sebelumnya. Ia berujar rendah, "Jika benar ada makhluk seperti itu di sini, maka tunjukkanlah."
Syuuu
Angin dingin menyapu tubuhnya, lebih tepatnya tengkuk yang tidak terlindungi apa-apa. Itu terjadi terlalu cepat, tapi Alhaitham sempat melihat sosoknya. Sebelum ia sempat mengeluarkan pedangnya, sosok itu sudah menghilang. Detik itu juga, Alhaitham tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Tubuhnya masih bergerak. Hanya saja, bukan dirinya yang menggerakkan.
"Hihi, dapat tubuh yang bagus. Aku pinjam dulu, ya~"
…
"Keh! Semua Onikabuto yang kutemukan ternyata tidak cocok. Padahal sudah kubela-belain sampai ke Chinju untuk mencarinya." Sepasang mata oranye kemerahan itu berkilat ketika cahaya bulan jatuh tepat di atasnya. "Sudah malam. Shinobu pasti marah besar karena aku tiba-tiba menghilang." Tangan besar dengan kuku-kuku hitam runcing mengacak surai putih panjangnya. "Hmm, haruskah aku kembali ke Konda? Atau dia justru sudah kembali ke kota?" Menaruh kedua tangan di pinggang, pria tinggi bertanduk merah itu menghela nafas panjang. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus ke Konda dulu, baru pulang—"
Kresek
"…!" Sekumpulan bulu halus di belakang lehernya berdiri. Indera youkai yang dimiliki bangun seketika, mengantisipasi akan apa pun yang bisa muncul kapan saja. "… H-hantu? T-tidak mungkin, kan …? Apa mungkin … Hilichurl? Iya! Pasti Hilichurl!"
Kresek, kresek
Kali ini suaranya semakin jelas. Penglihatan malamnya diaktifkan, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak takut dan menjaga harga diri. Ia harus tahu terlebih dahulu apa yang dihadapinya, baru ia bisa memilih antara lari menyelamatkan diri atau—
"Huh …? Manusia?"
Rasa takut langsung lenyap saat ia melihat sesosok pria berpakaian asing berdiri tak jauh darinya. Pria itu menatapnya dengan pandangan yang cukup aneh. Sepertinya ia sedang tidak baik-baik saja.
"Hei, kau tidak apa?" sapa pria tinggi bertanduk merah. Ia menghampiri orang berbaju hijau yang masih menatapnya. "Sepertinya kau bukan orang Inazuma. Kesasar, kah? Apa ada temanmu di sekitar sini? Biar kuantar—"
"… aku …."
"Eh?"
BRUGH
Ia yakin kalau orang berbaju hijau itu sedikit lebih kecil darinya, terlebih dia hanya manusia, tapi ia tidak menyangka kekuatannya akan sebesar itu. Pria bertanduk merah menatap orang asing yang sekarang tengah duduk di atas perutnya setelah menjatuhkannya hanya dengan sekali dorong.
"… Aku Oni, loh? Seorang youkai? Tapi manusia sepertimu bisa menjatuhkanku? Wow …."
"…"
Melihat orang itu tidak membalas, si pria bertanduk yang ternyata dari ras Oni itu melanjutkan bicaranya, "Uhm … omong-omong, aku Arataki Itto. Kau mungkin belum pernah mendengarnya karena kau dari luar, tapi aku adalah seorang pemimpin dari geng terkuat dan paling terkenal di Inazuma! Namanya Geng Arataki! Saat kau sudah di kota nanti, mungkin kau akan langsung mendengar setiap prestasi yang sudah kami torehkan! Jadi, uhm … kalau kau tidak keberatan, mungkin kau bisa bangun—"
"Perkosa aku."
"… Eh?"
Seperti tidak mendengarkan omongan Oni bernama Itto itu barusan, si orang asing langsung melepaskan pakaiannya satu persatu. Itto memperhatikan setiap gerakannya yang terkesan mengundang—padahal ia hanya melepas baju—dan sempat terkesima selama beberapa saat, hingga akhirnya Itto kembali tersadar. Kedua tangannya berusaha menghentikan orang itu sebelum ia benar-benar melepas keseluruhan pakaiannya.
"H-hei! Apa kau gila?! Tadi kau bilang apa?! P-p-perkosa?! Mana mungkin bisa?! Aku tidak pernah m-melakukannya dengan siapa pun! L-lagipula, kau laki-laki! A-aku tahu memang ada sebagian laki-laki yang juga melakukannya dengan laki-laki, t-tapi—"
"Setubuhi aku, Oni."
"Dengarkan aku!"
Jari-jari panjang dan lentik menjalari dada Itto yang hanya ditutupi strap berwarna hitam. Tangannya yang putih lembut memaksa masuk ke sela-sela strap itu, meremas gumpalan keras di bawahnya dengan sensual. "Ayo, gagahi aku. Aku selalu ingin merasakan disetubuhi Oni sejak dulu." Suara kecipak dari lidah orang asing yang membasahi bibirnya sendiri kian meresahkan Itto. "Kau tadi bilang belum pernah melakukannya, kan? Kau bisa manfaatkan kesempatan ini. Tidak datang dua kali, loh."
Itto menggelengkan kepala kuat-kuat. Ia mencengkeram tangan yang sejak tadi sudah menggoda dadanya. "Tidak … aku tidak akan melakukannya …."
Orang itu menunduk, memaksa mata Itto untuk bertatapan dengannya. "Kenapa tidak?" Tangan lainnya yang tidak dicengkeram, beralih mengelus pipi Itto yang sudah sepanas ramen baru matang. "Aku mungkin laki-laki, tapi kau sendiri tahu ada laki-laki yang juga melakukannya dengan laki-laki lain, kan? Terlebih, tubuh ini bagus. Aku yakin kau akan puas."
Itto menggigit bibir. Matanya menatap tajam orang itu, lalu berseru, "Aku tidak akan melakukannya dengan orang yang sedang kerasukan!"
Orang itu tampak terkejut sesaat, tapi kemudian ia tertawa kencang. "Oooh, aku ketahuan. Oni muda ini ternyata cukup pintar. Kau tahu kalau tubuh inisedang tidak 'sadarkan diri,' eh?"
"… Aku juga baru tahu." Itto menahan tangan lainnya yang sedang berusaha menggoda pinggangnya saat berkata, "Baunya … bau orang ini ada yang aneh. Seperti tidak sepenuhnya manusia."
Orang itu, atau mungkin hantu itu, mengulum senyum. "Baru bisa mencium bauku setelah kita sedekat ini, eh. Tapi tidak apa, yang penting kau sudah tahu." Tangan yang tadi hendak bermain di pinggang Itto masih tidak ingin menyerah. Sekarang tangan itu justru beralih ke selangkangan sang Oni muda.
"Hei! Sudah kubilang hentikan!"
"Kenapa kau begitu melawan?" Satu sentilan gemas hantu itu tinggalkan di ujung kejantanan Itto yang sudah ereksi. "Tenang saja, orang ini tidak sepenuhnya 'tidak sadarkan diri.' Dia masih bisa melihat dan merasakan apa yang sedang terjadi dengan tubuhnya. Aku yakin dia akan memaafkanmu kalau sudah merasa keenakan."
Itto menahan nafas ketika bagian bawahnya semakin terangsang. "J-jangan bercan—ah!"
Gerakan tangan yang terus menggoda kejantanan Itto berhenti. Giliran segumpal daging empuk menahan ereksinya. "Bokong orang ini … pasti empuk sekali," ujar si hantu sambil terus menggesek-gesek batang keras di bawahnya. "Lihat, penismu sudah sangat bersemangat. Kuperkirakan ukurannya besar. Oni memang berbeda dari manusia, eh."
"Tsk …!" Itto mencengkeram bokong sintal itu dengan kedua tangannya. Hantu itu sempat sengaja mengeluarkan lenguhan erotis yang kian mengeraskan bagian bawah Itto. Meski begitu, sang Oni muda masih berusaha keras menjaga akal sehatnya. "Aku … tidak akan melakukan hal seperti ini … jika tidak dapat izin …."
"Hmm? Izin siapa?" tanya si hantu sambil terus menggesek bokongnya ke kejantanan Itto.
"Izin dari lawan mainku, lah! Memang siapa lagi!?" teriak Itto frustrasi. Cengkeramannya di bokong itu mengeras. "Aku … aku bahkan tidak tahu siapa orang ini. Dia pasti … sedang ada urusan di sini. Dia juga bukan orang Inazuma. Ugh … kalau nanti dia … sadar … dan harga dirinya terluka …, aku akan merasa sangat bersalah …."
Hantu itu terdiam. Gerakan menggeseknya berhenti. Cahaya kemerahan di sepasang mata itu meredup. "… Alhaitham."
"… Eh?"
"Nama orang ini." Jari jemari panjang itu berjalan, dari atas perut berotot Itto, ke dada, hingga akhirnya berhenti di pipinya. Ibu jarinya mengelus pipi merah si Oni. "Asalnya dari Sumeru. Dia bekerja di Sumeru Akademiya. Tujuannya ke sini … mungkin hanya ingin memastikan apakah hantu dan iblis itu nyata." Wajahnya mendekat, sampai Itto bisa merasakan nafasnya yang panas. "Bagaimana? Kau sudah tahu siapa pemilik tubuh ini. Aku sampai mengorek isi kepalanya supaya bisa memberitahumu. Apa itu sudah cukup?"
"…" Itto kembali menggigit bibirnya. Kilatan di matanya seperti api yang membara. "Kau pikir aku sebodoh itu? Aku tetap tidak akan melakukannya!"
"Tsk, dasar keras kepala." Alhaitham kembali menegakkan tubuhnya, lalu melepaskan setiap pakaian yang masih tersisa. Sekarang ia sudah sepenuhnya telanjang, termasuk sepatu yang dilempar sembarang. "Kalau bukan karena ukuranmu, mungkin aku akan menyerah. Karena aku sudah sangat ingin melakukannya, dan kau masih ingin berpegang teguh pada pendirianmu, maka diamlah. Anggap saja kau sedang mimpi basah."
"Ap—ungh!"
Alhaitham turun dari tubuh Itto, berlutut, membiarkan bokong putihnya terekspos di udara, kemudian mengarahkan wajahnya tepat ke depan penis Itto yang sudah berdiri tegak. Ibu jarinya menyentuh bagian kepalanya yang gelap, lalu menekan-nekannya sedikit. "Bentuknya tidak jauh berbeda dari manusia. Hanya ukurannya saja yang tidak bisa dipercaya. Menarik."
"Sialan …!" Itto berniat mendorong kepala itu menjauh ketika tiba-tiba ujung penisnya merasakan sesuatu yang hangat. Langit-langit mulut Alhaitham menyentuh ujung penisnya yang sudah mengeluarkan sedikit precum. Tidak ketinggalan bibir dan lidahnya yang bertugas mengurus batang kerasnya. "Agh …!"
"Aku yakin ini pertama kalinya kau dapat blowjob."
Ada suara berbeda di dalam kepalanya. Itto langsung tahu kalau itu suara asli dari hantu yang ada di dalam tubuh Alhaitham. "… Keh! Karena mulutmu penuh, sekarang kau bicara langsung di kepalaku, ah?"
"Anggap saja begitu. Mulut orang ini kelihatannya kecil, tapi cukup untuk menampung penis raksasamu." Setelahnya, suara itu tidak terdengar lagi seiring mulut Alhaitham bekerja memanjakan kejantanan Itto. Ingin sekali Itto memaksa Alhaitham untuk berhenti, tapi tangannya selalu tidak tega untuk mendorong kepala itu menjauh. Kekuatannya yang sedang tidak stabil bisa saja membuat Alhaitham—yang sungguhan—terluka. Ia mungkin laki-laki, tapi ia tetap manusia. Itto tidak bisa melukai satu manusia pun.
"Sial—ah! Hampir …!"
"Keluarkan saja."
"Kau gila?! Tubuh ini bukan milikmu! Jangan bercan—urgh! Agh! Tolong … hentikan—mmh!"
Splurt
Cairan kental dalam jumlah banyak. Semuanya keluar di mulut Alhaitham. Ia mengeluarkan benda panjang itu dari mulutnya, kemudian menelan semua cum Itto dengan kebahagiaan yang tak tertahankan. "Aah … sudah lama aku tidak merasa sesegar ini. Cairan Oni … ini juga yang pertama kalinya kurasakan. Tak kusangka akan senikmat ini~!"
"S-sudah, kan?" Itto berusaha untuk duduk. Penisnya masih berdiri tegak, meskipun ia sudah keluar banyak. Mukanya makin panas melihat keadaannya yang memalukan. "… Sekarang kau bisa keluar dari tubuh Aru—siapa tadi namanya? Pokoknya, kau bisa keluar dari sana—"
"Kata siapa?"
BRUGH
Alhaitham kembali menjatuhkan tubuh Itto ke tanah. Kedua kakinya berada di antara pinggang lebar Itto, sementara penisnya sendiri yang sudah terbebas menempel ke penis Itto yang masih tegang. "Masih baaanyak yang ingin kulakukan. Jarang-jarang aku bisa dapat tubuh sebagus ini, jadi aku tidak ingin melewatkannya."
"Apa?!"
"Lihat, punyamu masih gagah begitu." Itto tidak ingin melihatnya, tapi rasa penasaran sedikit mengkhianati dirinya, sehingga ia mengintip dari ekor matanya. "Punya si bocah Alhaitham ini juga tidak kecil, tapi masih kalah dari punyamu. Berapa kalipun dilihat, senjata ras Oni memanglah gila."
Itto menutup wajahnya dengan lengannya. "… Kau pikir aku akan senang dipuji begitu?"
"Kau pikir aku memujimu?"
"…"
Alhaitham kembali memasang senyum lebar. Ia menggenggam kedua penis besar itu dengan kedua tangannya yang bergerak sensual. "Mari kita cum bersama, Itto-kun." Itto benar-benar mengutuk hantu itu yang menggunakan suara Alhaitham dengan nada centil, membuat penisnya jadi semakin keras.
Naik, turun, naik, turun. Beberapa kali ujung kepalanya ditutup, kemudian dibuka kembali, hanya untuk mencegah precum berikutnya keluar. Entah karena kelihaian si hantu, atau justru karena tangan Alhaitham yang tampak sangat seksi, Itto selalu hampir terbuai dengan kenikmatan yang ada. Terlebih … apa-apaan dengan dada itu? Besarnya mungkin sama dengan miliknya, tapi milik Alhaitham terlihat lebih … lembut.
"Mau pegang?"
"Hah? Woi, apa—"
Squeeze
"Aku rasa kau benar-benar perjaka, sampai pegang payudara saja belum pernah."
Rasa panas sudah menembus ubun-ubun Itto. "M-mana mungkin aku pernah?! Itu namanya kejahatan! A-aku mana mungkin m-menyentuh p-p-payudara wanita sembarangan!"
"Tapi sekarang sudah, kan?" Alhaitham menekan tangan Itto supaya tetap di payudaranya, memaksa Oni itu untuk terus meremasnya. "Payudara yang ini mungkin berbeda, tapi sama-sama empuk, kan? Setidaknya tidak sekeras milikmu." Merasa sudah selesai dengan tugasnya, tangan itu beralih ke dada Itto yang masih ditutupi strap. "Punyamu terbentuk sempurna. Keras dan kuat." Alhaitham menjilat bibirnya. Satu tangannya terus menggoda dada keras Itto, sementara tangan lainnya masih fokus dengan dua penis besar di bawah sana.
Itto membiarkan tangan kanannya tetap di payudara Alhaitham. Ia tahu yang dilakukannya salah, tapi yang dikatakan Alhaitham tadi benar juga. Gumpalan yang ada di genggamannya ini empuk, hampir seperti bokong yang tadi sudah sempat ia pegang. Seandainya Itto menyandarkan kepalanya di antara dua bantal ini, pasti terasa seperti di surga. Belum lagi putingnya yang merah muda. Bagaimana mungkin seorang laki-laki punya puting semenggiurkan itu? Liur sudah memenuhi mulut selama pemikiran itu menjamah kepalanya.
"Ah … aku sedikit lagi." Remasan Itto di dada Alhaitham menguat. Ia akhirnya duduk, dan dengan tangannya yang lain, ikut mengocok dua kejantanan yang hampir mencapai klimaks. Alhaitham tersenyum bangga saat ia merasa Itto sudah menyerah. "Ya … ya, seperti itu—ah! Mmh, terus—ungh!" Lagi-lagi desahan centil dengan suara Alhaitham. Kalau begini terus, Itto bisa gila.
Beberapa kocokan kemudian, keduanya keluar. Cairan putih bertebaran ke mana-mana, mengotori paha putih bersih Alhaitham serta celana Itto yang belum dilepas sepenuhnya. Rerumputan di sekitar mereka pun ikut terkena dampaknya.
Alhaitham tertawa kecil melihat kekacauan yang mereka buat. "Haah … dengan cairan sebanyak ini, aku rasa cukup untuk melumasi lubang bocah ini."
"… Masih belum selesai?" geram Itto. Suaranya rendah, terdengar menekan. "Kau masih ingin mempermalukan laki-laki malang ini?"
"Kau kasihan pada Alhaitham?" Hantu itu dengan sengaja memasang ekspresi sedih seperti anak anjing yang hilang. Semuanya diperburuk karena ekspresi itu terpasang di paras Alhaitham yang terbilang cantik. "Oni perkasa kita yang satu ini baik sekali. Aku jadi kagum. Dan, kau benar, aku memang belum selesai."
Itto mendecakkan lidahnya. "Aku sampai tidak tahu lagi siapa yang iblis di sini …."
"Mungkin lebih tepat menyebutku sebagai setan." Alhaitham melumuri kelima jari tangan kanannya dengan cum mereka berdua. Memainkannya sesaat, bermaksud menggoda penglihatan Itto yang sudah setajam hewan buas, sebelum akhirnya ia mundur dan bersandar ke pohon di belakangnya. Kedua kakinya terbuka lebar, memamerkan lubang kecil yang berada di antara pantat kenyal itu. "Perhatikan ini, Itto-kun. Sebelum kau seks yang sesungguhnya, kau harus pastikan pasanganmu siap."
Itto harus mati-matian menjaga libidonya ketika jari-jari lentik Alhaitham bermain dengan lubang sempit itu. Pertama hanya telunjuk dan jari tengah, kemudian jari manis, hingga kelingking ikut masuk. Sungguh waktu yang terbilang singkat untuk memasukkan keempat jari itu.
"Ini terlalu mudah," ucap Alhaitham di sela-sela desahannya. "Aku rasa … bocah ini sudah sering bermain … dengan lubangnya—hng! Hm, sepertinya di sana—angh!"
Kejantanan Itto sudah berdiri lagi melihat aksi di depannya. Tak bisa dipungkiri kalau tubuh yang dirasuki hantu sialan ini betulan menggiurkan. Alhaitham laki-laki. Sangat jelas dia laki-laki. Mereka punya bentuk kemaluan yang sama. Selama ini Itto hanya mengagumi perempuan. Ia sangat menyukai Hina-san. Namun, melihat ada laki-laki seperti Alhaitham melakukan adegan tak senonoh di hadapannya, Itto mampu dibuat terangsang. Ia terangsang, hingga ke titik akan segera meledak apabila tidak buru-buru dilepaskan.
"Sini …."
Sepasang mata oranye kemerahan itu kembali berkilat. Tidak hanya karena terterpa sinar bulan, tapi juga hawa nafsu yang sedikit lagi menguasai.
Alhaitham, sekali lagi, tersenyum bangga. "Ke mari, Itto-kun. Masukkan benda panjangmu itu ke dalam sini," ujarnya seraya membuka lebar lubang kecil itu.
Itto menggeram rendah. Ia melepas jubahnya, menggelarnya di atas tanah sebagai alas, kemudian mengangkat tubuh Alhaitham yang tidak seberapa. Ia merebahkan pria itu dengan hati-hati, menatap mata kemerahannya yang tidak terlihat asli. "… Kalau kau sungguh masih bisa mendengar, ketahuilah bahwa aku … terpaksa melakukan ini. Maafkan aku."
Alhaitham memasang senyum kemenangan. "Hihi, manis sekali." Kedua tangannya melingkari leher Itto, membawanya mendekat, lalu berbisik kecil di telinga runcingnya, "Nikmati malam pertama kita, sayang."
Alhaitham ikut mendesah ketika benda keras, panjang, serta panas menyeruak masuk ke lubangnya. Ia masih terpesona dengan kata-kata Oni bernama Arataki Itto itu. Perutnya terasa penuh, baik dari kejantanannya atau kupu-kupu. Ini mungkin yang pertama bagi si Oni, tapi harus Alhaitham akui, ia sangat memikirkan pasangannya. Gerakannya pun tidak terburu-buru, mencoba selembut mungkin sehingga tidak melukai Alhaitham. Sekalipun dirinya tengah kerasukan dan semua ini terjadi bukan karena mau sama mau, Alhaitham merasa bahagia.
"Bagaimana? Apa rasanya enak?"
Mengesampingkan kenikmatan yang ada, Alhaitham menjawab suara yang menggema di kepalanya, "Harus kuakui … enak."
"Lebih enak dari setiap mainan yang kau punya?"
"… Tidak sopan melihat ingatan orang yang sedang kau rasuki."
"Hihi, maaf, tidak sengaja." Sudah pasti sengaja. "Aku bisa merasakan ada kebahagiaan di dalam hatimu. Apa kau tertarik dengan Oni muda ini? Dia memang tidak sepenuhnya buruk."
Melalui matanya yang masih dikuasai si hantu, Alhaitham memperhatikan setiap perlakuan Itto pada tubuhnya yang tak berdaya. Wajahnya terlihat seram, sangat cocok dengan statusnya sebagai bagian dari ras Oni. Tubuh tinggi besar, tanduk merah mencolok, bahkan kuku-kuku tajamnya yang beberapa kali mengenai kulit Alhaitham. Meski begitu, sikapnya sangat berlawanan dengan setiap nilai negatif yang fisiknya miliki. Alhaitham juga merasa kepribadiannya menarik, sehingga ia ingin mengetahui sisinya yang lain.
Alhaitham ingin mengetahui semua yang Arataki Itto miliki dan yang belum ditunjukkannya.
Si hantu memasang senyum miring ketika merasakan dada Alhaitham menghangat. Tak disangka keisengannya yang ingin merasakan tidur dengan Oni, malah berakhir menjodohkan dua insan ini.
"Keluar kau …."
Hanya saja, hantu itu tak diberi kesempatan untuk merasakan kemenangan lebih lama lagi. Aura mendominasi menguar dari tubuh Itto. Kedua matanya menyala, gigi-giginya kian meruncing. Selain itu, di balik punggungnya, terlihat sosok Oni berkulit merah dan berbadan besar yang matanya sama-sama menyala. Tidak hanya si hantu yang merasa takut, tapi juga Alhaitham. Ini adalah yang pertama dalam hidupnya melihat youkai, ditambahdengan aura sekuat itu.
"Tsk, sudah saatnya aku pergi, kah." Suara itu menggema untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya Alhaitham mampu menguasai tubuhnya kembali. Perasaan nikmat yang tadi hanya seperti mimpi, kini terasa begitu nyata sampai ia tak kuasa untuk mengeluarkan desahan kencang.
"… K-kau baik-baik saja?" Itto menghentikan gerakannya, mengelus pipi halus Alhaitham. Ketika pria di bawahnya membuka mata, seketika Itto merasa lega. "Jadi warna matamu itu hijau …. Syukurlah."
Wajah Itto sudah kembali seperti semula. Sosok Oni merah di belakangnya juga sudah tidak ada. Alhaitham merasa sedikit kecewa tidak bisa melihat sisi menyeramkan Itto lagi, tapi ia senang karena akhirnya bisa kembali.
"Ah, itu benar," balas Alhaitham sambil menikmati elusan tangan Itto di pipinya. "Aku sudah kembali … terima kasih, Arataki-san."
Itto merasakan pipinya memanas. "P-panggil saja Itto."
Alhaitham tersenyum lembut. "Terima kasih, Itto."
Kejantanannya refleks membesar, mengakibatkan Alhaitham mendesah lagi. "Uh … k-karena kau sudah sadar, aku rasa kita harus m-menghentikan ini." Kedua tangannya berada di pinggang Alhaitham, bersiap untuk mengeluarkannya.
Sayangnya, Alhaitham tidak menginginkan itu. Kedua kakinya melingkari pinggang Itto, menahannya agar tidak ke mana-mana. "Selesaikan yang sudah dimulai, Itto," ujarnya rendah.
"T-tapi kita melakukan ini karena kau kerasukan!" Itto semakin tidak bisa ke mana-mana saat kedua tangan Alhaitham di lehernya ikut mengerat. "A-aku tidak bisa meneruskannya!"
"Karena tidak dapat izin dariku?"
"Ap—"
Alhaitham membungkam Itto dengan ciuman. Ia mengajak Oni muda itu untuk bermain lidah dengannya selama beberapa saat, sebelum ia memutusnya dan bicara lagi, "Kau sudah dapat izin dariku. Aku ingin melakukannya. Bagaimana denganmu?"
Itto menelan ludah. Cengkeramannya di pinggang Alhaitham mengerat. "Aku … aku juga mau," balas Itto dengan suara kecil, hampir berbisik.
"Kalau begitu teruskan." Alhaitham mendorong pinggulnya supaya penis Itto bisa semakin masuk. Rupanya dari tadi Itto baru memasukkan setengahnya. "Hng! Memang agak … penuh, tapi aku bisa menerimanya. Kau dengar dari hantu tadi, kan? Aku sudah sering bermain dengan lubangku."
Itto mendesis mendengar itu. Ia sudah tidak sanggup menahannya lagi. Tubuhnya menegak, kedua kaki Alhaitham ditaruh di masing-masing pundaknya, lalu ia mendorong keseluruhan penisnya masuk ke lubang Alhaitham, kembali memancing keluar suara erotis pria di bawahnya.
"Ahn! Ah—mmh! Ngh! Itto—ah!" Tangan Alhaitham meremat jubah yang menjadi alas tidurnya. Ukuran penis Itto memang bukan candaan. Ini bahkan lebih besar dari mainan yang sering ia pakai di rumah. Belum lagi dorongan Itto yang terasa semakin cepat, membuat kepalanya kosong, tidak bisa berpikir, hanya bisa mendesah.
"Ah … Zen …." Itto menyatukan kedua kaki Alhaitham, kemudian menaruhnya di samping. Dua kaki panjang itu ia tahan dengan tangan kanannya, sementara yang lain menahan pundak Alhaitham supaya pria itu tetap melihat ke arahnya. Itto tidak menghentikan gerakannya ketika ia membungkuk, bermain dengan puting merah muda yang sudah menggodanya dari tadi.
Alhaitham membebaskan pundaknya dari cengkeraman Itto, lalu memeluk kepala bertanduk itu. Ia suka putingnya dihisap. "Itto … uhn! Itto … Itto—ahn! Ya—ya, di situ!"
Itto mendorong penisnya ke satu titik yang diinginkan Alhaitham. Lidahnya yang sudah puas bermain dengan puting keras itu, menjalar pelan ke atas, sampai ke leher putih Alhaitham. Dengan sengaja Itto membuang nafasnya di sana, semakin membuat tubuh di bawahnya bergetar hebat.
"Aku … ingin menggigitmu …." Alhaitham bisa merasakan deretan gigi tajam menyapu kulit lehernya yang masih bersih. Getaran di tubuhnya semakin parah ketika akhirnya Itto menggigit kulit itu, cukup dalam, supaya bisa meninggalkan bekas. Ia ingin menjadikan Alhaitham miliknya. Tepat setelah Itto selesai dengan ritualnya, Alhaitham keluar.
"Zen …." Alhaitham kembali mendengar nama itu. Awalnya ia tidak tahu, tapi setelah kepalanya bisa diajak berpikir sedikit, ia menyadari kalau itu bagian dari namanya.
Alhaitham … Aruhaizen … Zen … jadi dia memanggil namaku dengan penyebutan bahasa Inazuma, pikirnya, mendadak melakukan penelitian terhadap namanya sendiri.
Alhaitham baru akan memejamkan mata ketika Itto mengubah posisinya. Oni itu membuat Alhaitham tengkurap, kemudian mengangkatnya dan mendudukkannya di pangkuan. Penis besar itu masih tetap di dalam lubang Alhaitham yang kembali berkedut.
"Aku belum keluar," bisik Itto tepat di telinga Alhaitham yang memerah. Kedua tangannya berada di dada Alhaitham ketika melanjutkan, "Kau … tidak keberatakan, kan?"
Melihat penisnya sendiri yang kembali berdiri, Alhaitham merespons dengan memberi Itto ciuman singkat. "Uhm … lanjutkan. Aku masih bisa," bisiknya.
"Baiklah …." Sambil masih memegangi dada Alhaitham, Itto mengangkat tubuh pria itu, lalu menurunkannya lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Pinggulnya ikut bergerak untuk memberi sodokan yang lebih dalam.
"Ngah! Hiya—ah! Da-dalam … terlalu—haah! Nnah!"
"Kuso …!" Itto meremas dada Alhaitham yang terasa lembut di tangannya. Gigi-giginya sudah siap memberi tanda lain di bagian tengkuk, punggung, bahkan mungkin di pantatnya setelah mereka selesai nanti. "Zen … haaah … Zen, sedikit lagi."
Alhaitham menggelengkan kepala, merasa gila dengan nama panggilan dari Itto yang terasa spesial. Kedua tangannya memegangi lengan bawah Itto, menjaga keseimbangan diri serta memberi kode supaya Itto tidak berhenti meremas dadanya. Sungguh, Alhaitham suka itu.
"Zen …!" Bisa Alhaitham rasakan penis Itto yang membesar. Ia sempat mempertanyakan kenapa penisnya masih bisa membesar lebih dari ini, tapi pertanyaan itu langsung terlupakan ketika Itto mengangkat tubuhnya dengan tangan yang masih meremas dadanya. Penis besar Itto keluar dari lubang Alhaitham, membuatnya merasa sangat kosong.
Cairan putih keluar bersamaan dari penis Itto dan Alhaitham. Milik Itto yang lebih banyak, dan semuanya mengotori setengah dari bagian depan tubuh Alhaitham. Jubah di bawah mereka, bahkan celana Itto yang masih dipakai pun ikut terkena sisanya.
"Hnnh … Itto …." Alhaitham, masih setengah diangkat Itto, hampir kehilangan kesadaran jika Itto tidak segera menaruhnya kembali ke pangkuan. Itto mencoba membersihkan cairan yang ada di tubuh Alhaitham dengan bagian lain jubahnya yang masih bersih. "Ke … sungai …."
"Sungai?"
Alhaitham mengangguk lemah. "Saat ke … sini tadi, aku … lihat ada sungai …."
Itto menggigit bibir, ia tampak enggan. "… Itu dekat dengan area luar hutan. Kalau nanti ada yang datang bagaimana?"
Alhaitham menyapukan bibirnya ke pipi Itto, kemudian tersenyum. "Kan, ada Itto. Kau bisa mengusir mereka."
Refleks Itto membuang mukanya yang kembali memanas. "… Baiklah." Dengan begitu Itto mendudukkan Alhaitham di atas jubahnya sebentar, memasukkan penisnya ke dalam celana, lalu membawa pria itu dalam gendongan. Ia cukup menggendongnya dengan satu tangan, sedang tangan yang lain sibuk merapikan pakaian Alhaitham dan jubahnya untuk dibawa serta ke sungai.
"Hehe …."
"Kenapa kau tertawa?" tanya Itto, menyisipkan tangannya yang membawa pakaian ke bawah lengan yang menggendong Alhaitham.
"Tidak ada." Alhaitham menyandarkan kepalanya ke pundak Itto saat bicara lagi, "Aku hanya merasa senang. Akhirnya aku bisa memuaskan rasa penasaranku, dan bertemu dengan iblis penunggu hutan."
Itto langsung memasang muka masam. "… Tapi aku tidak senang, terutama dengan apa yang dilakukan hantu itu padamu."
Padahal bukan hantu itu yang kumaksud.
Alhaitham tidak lagi merespons. Diam-diam ia merahasiakan degup jantungnya yang tak terkontrol, sambil menyamankan diri di gendongan Itto. Sepertinya mainan-mainan di rumah tidak lagi bisa memuaskannya setelah ini.
End
.
.
.
Bonus
Memperhatikan Alhaitham yang membolak-balik pakaian mereka yang masih setengah kering seperti mencari sesuatu, membuat Itto tak kuasa untuk akhirnya bertanya, "Apa ada yang hilang?"
"Sepertinya." Alhaitham masih tidak melihat ke arah Itto dan tetap fokus mencari ke setiap tumpukan pakaian. "Headphone-ku … benda bulat warna hijau yang kupakai di telinga. Apa kau melihatnya?"
Satu alis Itto menukik. "Dari kita bertemu di awal, sepertinya kau tidak pakai apa-apa di telingamu."
Berarti terjatuh saat aku kerasukan. Alhaitham kembali duduk di samping Itto, mencoba mengingat apa yang terjadi selama kerasukan—selain dirinya yang berhubungan badan dengan Itto tentunya. "Aku masih bisa melihat dan merasakan apa yang hantu itu lakukan pada tubuhku. Namun anehnya, aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi dengan headphone-ku."
"Apa itu benda berhargamu?"
"Ya." Alhaitham mengeluarkan sebuah kotak kecil mengilap dari kantung bajunya. Benda itu sepertinya terbuat dari campuran besi dan logam, terdapat layar di atasnya, yang langsung menyala ketika Alhaitham menyentuhnya. "Benda bulat itu berguna untuk mendengarkan musik. Kabel—tali dari benda itu, disambungkan ke benda kotak ini, kemudian kau bisa mendengarkan musik yang hanya kau sendiri yang bisa dengar."
"Orang lain tidak bisa?!" Alhaitham mengangguk. "Wooow! Kedengarannya benda itu keren sekali!" Tiba-tiba Itto berdiri, berbalik melihat arah tempat mereka sebelumnya. "Kau tunggu di sini, aku yang cari."
Belum sempat Alhaitham membalas, Itto sudah lari kembali ke kedalaman hutan dengan hanya menggunakan celana dalamnya. Sebuah pemandangan yang pantas untuk ditertawakan, tapi Alhaitham tidak sampai hati karena Itto sudah rela membantunya mencari headphone yang hilang.
Alhaitham menghela nafas. Ia hanya bisa menunggu sambil memandangi alat pemutar musiknya, sampai …
"Kau mencari ini?"
… suara tak asing mampir ke telinganya. Refleks Alhaitham menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa. Hal berikutnya yang ia lihat adalah headphone miliknya yang sudah tergeletak di atas tanah.
"…" Alhaitham meraih benda bulat itu, kemudian memasangnya kembali ke telinga. Dari apa yang ia rasa, sepertinya tidak ada yang retak. Saat dipakai pun rasanya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Alhaitham coba menyambungkannya kembali ke alat pemutar musik, menyetel musik secara acak, lalu suara menenangkan itu muncul. Headphone-nya tidak rusak.
"Tak kusangka, pertemuan pertamaku dengan yuurei, justru langsung bertemu yang jahil," canda Alhaitham, berharap ada respons dari hantu yang merasukinya. Namun, hingga Itto kembali dari pencariannya yang sia-sia pun, respons yang ditunggu Alhaitham tak kunjung diterima.
