A Fox With No Name
Naruto X FT
Rate: M
Genre: Adventure & Romance(probably)
Warning: OOC, Typo, AU, ETC
Chapter 1
Apakah musim panas tidak akan berakhir? Pada kesepian padang harapan, kepada rasa kantuk yang perlahan menelannya. Kepada rasa letih, dan berat harapan yang dia pikul. Miliknya, milik teman-temannya—dirinya ada karena pengorbanan, darah dan darah—yang menumpuk perlahan mengisi trauma.
Naruto berhenti. Kudanya tidak kuat lagi memikulnya, tidak kuat lagi memikul beratnya sendiri. Matanya telah berada pada ambang kesadaran, dan gagak-gagak yang pintar—yang mengikuti mereka semenjak dari perbatasan, mulai bernyanyi. Mengitari mereka, selayaknya penari tradisional.
Terkutuk.
Seberapa jauh lagi harus dia susuri padang ini? Tidak pernah terpikirkan bahwa salah satu keindahan Konoha akan membuatnya mati. Bahkan saat bau laut telah tercium, tapi tidak ada apa-apa selain ilalang kuning yang setinggi dada. Tidak ada pejalan, tidak ada pengendara, tidak ada manusia. Bahkan saat dia sudah berada pada jalan utama menuju Konoha. Menuju ibukota kerajaan.
Lucu bila dia mati sekarang. Bila dia mati.
Mati.
Rasanya begitu mudah.
Tapi apa yang akan Konoha lakukan bila dia datang dan Naruto tidak memberitahukan mereka? Konoha akan runtuh. Dan setelahnya? Setelah kerajaan terbesar pada barat runtuh, Fiore selanjutnya. Lalu kerajaan lain, dan yang lain, dan yang lain lagi. Hingga tidak tersisa apapun kecuali miliknya.
Naruto tidak bisa membiarkan itu. Dia tidak bisa.
Tapi kenapa?
Menyerah itu mudah.
Dan kematian adalah kedamaian.
Dia menarik napas. Kudanya jelas tidak sanggup lagi. Tidak bila dia dan kudanya tidak mendapat istirahat ataupun makan dan minum. "maafkan aku. Maafkan aku—" dia membelai kudanya itu, untuk terakhir kalinya menempelkan kepalanya kepada sang kuda. Berbisik, berulang kali kata yang sama sebelum kemudian menyanyikan himne yang telah dia hapal sedari kecil.
Dibiarkannya kuda itu beristirahat. Dibiarkannya matahari tenggelam, berganti bulan—berganti gelap yang memeluk. Api yang membakar pelan pada rerumputan kering memberinya sedikit rasa hangat yang dia butuhkan. Suara api yang melahap, patahan-patahan kayu kering, dan angin yang berhembus. Kesunyian malam yang membius—mengingatkannya kepada beberapa hari yang lalu.
"kalian? Kalian yang akan menahanku? Seseorang dari keluarga Belserion, dari Uzumaki yang termashyur, dan mereka yang bahkan tidak memiliki nama keluarga" tawanya membius, merendahkan. Penuh dengan rasa jijik, penuh dengan ejekan. Tapi tawa itu tidak terselesaikan. Hembusan api memeluknya, bersama dengan tebasan yang berimbuh sihir berwarna biru.
Dua orang kesatria sihir melingkarinya, merapal mantra yang mengeluarkan rantai dari bawah tanah. Memeluknya, menahannya dengan sihir terkuat. Dan dia tertawa kembali, dengan setiap tawa yang membuat gravitasi menarik mereka. Menarik organ mereka untuk turun dari tempatnya.
Bahkan saat Gildarts menggunakan sihirnya, bahkan saat Belserion menyerangnya. Dia tidak memiliki rasa takut pada wajahnya—tidak! Rasa takut itu memilih untuk menjangkiti kedua belas penyihir. Dengan setiap detik yang berlalu, rasa takut itu memuncak. Dengan setiap waktu yang terlewat, mana berwarna hitam pekat itu menelan mereka.
Dan saat matanya bertemu dengan penyihir paling muda diantara mereka, dia menyeringai. Penyihir itu! Penyihir dengan mata biru safir itu, adalah siapa yang dia butuhkan. Dan dengan satu Gerakan tangan, realita mereka pecah.
Naruto tersadar saat seekor rubah merah mendekatinya. Tidak memperdulikannya dan beristirahat dekat dengan api yang Naruto nyalakan. Rubah yang acuh tak acuh dengan Naruto itu membawa sedikit rasa damai kepada jantung Naruto yang berdetak kencang. Kedamaian yang lama tidak dirasakan pria itu. Membawa senyum pada wajah yang lelah.
Dan dia terbatuk. Darah segar yang keluar dari luka dalam dirinya, bersamanya mana berwarna hitam pekat. Sial.
Sial.
Ino menguap, bahkan saat dia berusaha menahannya. Tapi mau bagaimana lagi, selama tugasnya melindungi kereta kuda yang berisi bangsawan entah siapa mereka itu, tidak ada apapun selain kebosanan. Bahkan untuk Shikamaru yang kerap tidur, mengeluh bosan adalah sesuatu yang—menakjubkan.
Kesatria sihir berambut nanas itu menyelaraskan kudanya kesamping Ino. Matanya yang selalu terlihat mengantuk itu mengkhianati gerak-gerik pupilnya yang kerap kesana kemari, was-was dengan setiap pergerakan rumput yang setinggi paha kuda mereka.
"Sebentar lagi kita akan melihat Konoha, dan kau masih tidak bisa tenang. Tidak bisakah kau tidur seperti biasa dan membiarkan yang lainnya untuk berada dalam damai?"
"tidak" dia menggeleng. Melihat kepada gadis berambut pirang pucat itu, "ada yang salah sedari kemarin dan aku tidak tahu apa. Para bayangan tidak bisa tenang, mereka lebih ribut daripada biasanya. Dan kau tahu apa kataku tentang mereka—"
"ya. Ya. Tapi usahakan untuk tidak mempengaruhi yang lain. Lihat dibelakang sana, kau membuat Lee selalu terjaga. Cepat atau lambat matanya akan kering dan kemudian menjadi buta. Dan semua akan menjadi salahmu. Karena kau tidak bisa damai dengan sihirmu".
"Hm"
Tidak membiarkan kesunyian kembali, Ino bertanya "kau tahu kemana regiment empat pergi?"
"ya. Mereka sedang melakukan ekspedisi untuk melindungi penduduk desa, tapi kau tahu itu tidak benar. karena tugas Kiba dan yang lain bukan untuk melindungi, tapi untuk memburu. Siapa yang diburu, aku tidak tahu".
"seluruh regiment? Untuk memburu seseorang? Atau sebuah sekte?"
Shikamaru membenarkan tali pelananya, "satu orang. Tapi itu hanya kabar burung".
"Tuhan tolong orang itu. Seluruh regiment hanya untuk satu orang. Kau tahu kapan itu terakhir terjadi?" Shikamaru menggeleng, "benar! Tidak pernah. Bahkan saat mereka ditugaskan untuk memburu sekte sesat yang ditugaskan hanya seperempat dari mereka. Tapi 3000 orang untuk mengejar satu?"
Shikamaru mengangkat bahu tidak terlalu peduli. Siapa yang regiment empat cari, atau kejar, atau buru—dia tidak peduli. Tidak. Dia tidak mau tahu, karena dari baunya, itu adalah sesuatu yang menyebalkan. Sesuatu yang pasti akan menganggu waktu tidurnya.
Kereta kuda yang mereka jaga itu bergoyang membuat keduanya serentak melihat, kemudian kembali pada depan saat menyadari tidak ada apa-apa. Setidaknya, tidak ada masalah yang mengharuskan keduanya menghampiri.
"kau tahu tentang—"
"tentang?"
Ino mendekati kepala Shikamaru, berbisik seolah-olah apa yang akan dia bicarakan sesuatu yang sang amat rahasia. Sesuatu yang tidak boleh didengarkan oleh siapa-siapa, "Namikaze?"
"tuan Namikaze? Demi Tuhan Ino, dia adalah komandan kita. Apa kau ingin dipasung karena menyebut namanya tanpa gelar?"
"heh. Siapa yang mendengar. Jadi, apa kau mengetahui beritanya?"
Tentu saja Shikamaru tahu, bah! Semua orang yang memiliki sangkut paut dengan militer kerajaan tahu. Bukan rahasia lagi bila sang komandan yang di cintai semua orang itu akan pensiun dini. Dan semuanya tahu alasan itu. Karena lagi, bukan rahasia lagi bahwa sang pahlawan itu telah kehilangan kedua orang tersayangnya. Pertama istrinya, dan kedua adalah anak semata wayangnya. Bahkan untuk dia tidak pensiun lebih cepat adalah pertanyaan tersendiri, tapi lebih dari apapun, orang melihatnya sebagai loyalitas kepada kerajaan.
"ini tentang dia akan pensiun?"
"sedikit. Maksudku, apa yang akan dia lakukan? Menyendiri pada rumah besarnya? Berkebun? Dia? Seorang pahlawan perang, berkebun?"
"ada apa? Aku tidak melihat alasannya. Aku sendiri menyukai apa yang baru kau bilang. Berkebun, jauh dari keramaian, dari semuanya".
Ino memainkan tali pelananya, mengatur kata-kata, bahkan ragu untuk melanjutkan apa yang baru dia pikirkan. "maksudku, apakah dia tidak akan mencari tahu tentang—tentang,"
"Ino! Demi Tuhan, hentikan apa yang akan ucapkan. Kau tahu kita berjanji untuk tidak membahas tentang senior lagi. Dan—tunggu dulu, dari mana kau tahu Komandan akan berkebun?" Mata Shikamaru mengerucut melihat Ino. Perempuan yang seringkali pamer tentang segala hal itu terdiam, bahkan raut wajahnya berubah. Sesuatu yang Shikamaru masih tidak pahami hingga kini—perempuan.
Tentu saja Ino tahu apa yang akan dilakukan paman Minato, tentu saja dia tahu tanaman apa yang akan ditanam, dimana, berapa baris, tentu saja dia tahu. Bagaimana bisa dia tidak tahu bila anak dari komandannya sendiri yang bercerita. Bagaimana bisa dia tidak tahu bila seniornya itu memiliki mulut tanpa henti, bahkan terkadang, mengalahkannya.
Ah. Betapa dia benci dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak membahas hal ini, seharusnya dia tetap dalam bosan. Shikamaru benar, bahwa dia bodoh dan terlalu banyak bicara. Seharusnya dia berpikir sebelum—
Kebiasaan yang sama seperti seniornya.
Betapa Ino membenci dirinya.
Betapa dia—
"berhenti! Ino mundur dan beritahukan Lee untuk bersamamu. Kau dan kau, ikuti aku" Tunjuk Shikamaru kepada pengendara terdekat. Dia tidak menyukai ini, kuda tidak mati tanpa penyebab. Terlebih lagi tidak ditengah jalan, tidak saat keluarga bangsawan penting sedang berkendara. Dia berharap ini hanya kebetulan, tapi dengan perasaannya yang terganggu dari kemarin—dia tidak begitu yakin.
Apakah para bayangannya benar? bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak seharusnya berada pada dunia ini, sesuatu yang mengganggu dunia—mengganggu bayangannya, cukup untuk membuat mereka mengganggu dirinya dari tidur.
"periksa sekitar, dan" Shikamaru merapal kata-kata dalam sunyi, diikuti dengan melesatnya bayang-bayang kepada sekitar. Kearah rumput-rumput, kearah depan, ke segala arah. "berhati-hatilah".
Di dengarnya keributan yang terjadi di belakang. Bahkan tanpa harus melihat kenapa, dia sudah tahu. Ino sedang menjelaskan kepada salah seorang bangsawan alasan kenapa mereka berhenti. Alasan kenapa mayat kuda bisa membuat mereka berhenti total. Bahkan membuat pengendara kuda lainnya memencar, melindungi kereta itu.
Dia berharap mereka tidak cukup bodoh untuk keluar dari kereta yang terlindungi sihir hanya untuk melihat. Sebuah kesenangan tersendiri untuk para bangsawan saat ada sesuatu yang terjadi. Memikirkannya membuat Shikamaru menghela napas. Bangsawan adalah kumpulan orang-orang menyusahkan.
"apa kau akan terus lari?" Irene, perempuan dengan rambut merah itu membelakangi bulan. Membiarkan Cahaya menyentuh halus pipinya. Bahkan saat Naruto tidak menggubrisnya, dia kembali membuka mulutnya, "kau tahu, kau meninggalkan kami untuk mati. Membusuk, termakan oleh sihirnya".
Naruto tidak berani mengangkat wajahnya, dia tidak berani bersuara. Bahkan saat dia tahu kebenarannya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Jauh dalam pikirannya, dia bersalah. Seharusnya dia mati disana, bersama mereka. Bersama para seniornya, mengorbankan nyawanya—menjadi martir.
"martir? Kau bukan seorang martir, tidak akan pernah menjadi martir. Kami! Kami, yang mati. Bukan kau!" Irene berteriak, mendekati Naruto dengan cepat dan berhenti saat bayangannya dapat Naruto lihat pada tanah. "seorang martir—" perempuan itu meludah.
Ini tidak nyata
Tidak
"tidak ada yang nyata. Bukankah itu alasan yang mudah untuk dirimu? Untuk selalu lari dari kenyataan. Dari apa yang seharusnya kau lakukan. Takdirmu". Kali ini, Gildarts memutarinya. Menarik napas serak yang Naruto tahu. "demi dirimu. Kau membiarkan kami mati—"
"tidak! Aku—aku"
"Kau membiarkan kami mati Naruto!"
"tidak. Kalian—" Nadanya menjadi berat. Naruto yakin, dia yakin akan kenyataannya. Mereka membiarkannya untuk lari. Untuk membiarkannya selamat dan memberitahukan berita kegagalan mereka kepada yang lain. Untuk mengantisipasi dia yang akan datang. Dia tidak membiarkan mereka mati. Mereka, menyuruhnya untuk lari.
Dia tahu itu. Dia bahkan memilih untuk tetap bersama mereka seandainya saja Jiraiya tidak memaksanya untuk pergi, mengorbankan dirinya dalam prosesnya.
"tapi apakah itu kebenarannya? apakah itu kenyataannya? Ataukah, itu kenyataan yang kau mau?"
Bisa jadi Naruto akan pecah bila bukan karena rubah berwarna merah itu mengusap bulunya pada Naruto. Menghentaknya kepada kenyataan, dan bersamanya menghilangkan mana berwarna hitam.
Dia diam, tidak mengeluarkan suara apapun kecuali terima kasih kecil yang hampir tidak terdengar. Tidak seperti rubah itu mengetahui maksudnya. Pikirannya benar-benar berantakan kini. Kebenarannya, kebenaran akan apa? Apakah yang dia ingat nyata, atau—trauma membuatnya lupa akan sesuatu. Atau lebih parah lagi, mengganti memorinya dengan sesuatu yang lain.
Tidak.
Dia tidak bisa terbalut pada pikirannya kini. Dia memiliki misi, untuk memberitahukan kegagalan mereka kepada raja. Dan berharap, saat dia tiba di Konoha, mereka masih ada waktu. Tapi kini, dengan dirinya yang telah meninggalkan kudanya jauh disana, dia tidak yakin dia bisa sampai pada Konoha dengan cepat. Terlebih lagi melihat rubah yang sedari semalam terus menerus mengikutinya, bahkan setelah dia beberapa mencoba untuk mengusirnya. Yang pada akhirnya adalah dia menyerah.
"oi. Apa kau akan ikut atau tidak?" Dia pasti mulai gila. Memanggil rubah itu saat sang rubah tidak lagi mengikutinya, terlamun dalam pandangannya kepada punggung Naruto. Apa yang dia lihat disana, Naruto tidak tahu. Dia tidak ingat memiliki punggung yang enak dilihat oleh rubah. Entahlah.
Rubah itu berbunyi, kecil dan hampir membuat Naruto tertawa saat mendengarnya. Yip. Dan dia kembali mengikuti langkah Naruto.
Itachi berhenti tepat pada mimbar. Rumah ibadah yang tua, batu-batunya yang telah ditumbuhi lumut. Dan orang-orang pengembara yang berhenti untuk berziarah pada taman di belakang. Kepada patung seorang pahlawan yang telah lama mati.
Bukankah mereka orang yang bodoh?
Tidakkah mereka tahu patung-patung itu tidak dapat menyelamatkan mereka?
Tapi itu bukan urusannya. Tidak, sekali-kali pun tidak. Bahkan saat dia adalah seorang pengurus dari tempat terkutuk ini.
Iris memerah dan pupil matanya menjadi koma. Seseorang yang dia tunggu telah datang, tidak seperti dia menyukai orang yang membuka pintu kayu itu dengan kasar. Tidak. Dia lebih memilih untuk tidak berinteraksi dengan orang itu seandainya saja itu bukan tugasnya. Sayangnya. Tugasnya menyuruh.
"para gagak-gagak kecil mengatakan Konoha seperti orang yang baru pulang perang—"
"kau bisa berbicara dengan gagak?"
"diamlah"
"aku hanya bertanya"
"diamlah,"
"pemimpin menyuruhmu menyelesaikan apa yang Sasori dan Deidara gagal lakukan"
Pria itu tersenyum. Lebar. Sudahkah waktunya untuk mereka menebar kekacauan tiba? Setelah mereka harus menanggung rasa malu saat sekte mereka di serang habis-habisan oleh regiment empat. Rasa malu yang dia tahan, yang dia luapkan kepada penduduk desa. Bahkan setelahnya, hal itu tidak menghilangkan rasa malu yang dia rasakan.
"Pada saat bulan tidak lagi ada—"
"bisakah kau tidak menggunakan bahasa aneh?"
"diamlah," Itachi memijit dahinya. Tuhan tolong dirinya. "kau dan Kakuzu, akan menyerang pelabuhan. Hancurkan semua, buat laut menjadi merah, dan—"
"buat Jashin bangga"
Mata Itachi berkedut, "jangan buat malu Akatsuki".
"Kiba, Kakashi memanggil mu." Pria yang selalu diikuti oleh serigala itu mengangguk. Dia tidak habis pikir bahwa mereka hanya memburu satu orang, padahal sebelumnya dia berharap mereka akan diberikan libur setelah keberhasilan yang mereka lakukan.
Tapi tidak, seseorang tampaknya begitu penting hingga-hingga raja memerintahkah seluruh regimentnya untuk bergerak. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Seseorang yang bahkan dia tahu sedikit tentangnya kecuali orang itu adalah seorang pria. Seseorang yang mereka akan tahu sebagai target mereka saat mereka lihat.
Dia hanya berharap setelah semua ini selesai, dia bisa memiliki waktu luang dengan Amaru. Serigalanya sudah melewati banyak hal tanpa dia beri hadiah yang pantas, sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi pada keluarga Inuzuka.
"Kiba, disana kau rupanya"
"Senior memanggilku?"
Pria dengan masker itu mengangguk. Ditunjuknya peta yang ada pada meja. "kau lihat kota ini? Salah satu kota terbesar yang ada pada daerah ini. Setidaknya untuk mereka yang gemar berjudi."
Kiba mengangguk, tidak mengerti kenapa dia diberitahukan hal ini oleh seniornya. Tidak seperti dia adalah penjudi.
"kita mendapat perintah baru. Seseorang yang kita cari akan membutuhkan bantuan, dan beruntungnya kita. Seorang penyihir yang hebat berada di kota itu. Seseorang yang kita semua kenal dengan baik" Mengingatnya membuat Kakashi bergedik. Dia berharap seniornya itu sudah lebih dingin kepala dibanding dulu. Tapi dia rasa itu urusan Kiba untuk mencari tahu. Dia menyuruh dan Kiba melakukan.
"maafkan aku"
"untuk apa?"
"bukan apa-apa. Aku rasa kau mengenalnya dengan beberapa julukannya, Tsunade Senju. Salah satu dari penyihir terbaik yang ada di dunia ini" Mendengarnya membuat Kiba menelan ludah. Seorang Sannin, legenda hidup dari perang sebelumnya. Kakashi mengangguk mengiyakan apapun yang belum sempat Kiba tanyakan, bagaimanapun juga—waktu bukanlah apa yang mereka punya. "Jemput dia. Dengan paksa ataupun sukarela, apapun caranya—dia harus ikut. Bawa dua regu dan bawa Laxus. Aku dengar dia ingin ikut"
"untuk apa?"
"urusan Fairy Tail. Apapun itu, tetap awasi mereka.
Angin membawa aroma laut kepadanya. Dari bukit yang ditumbuhi pohon Sycamore itu terlihat dengan jelas Konoha. Tembok yang menjulang tinggi puluhan meter itu tidak dapat menyembunyikan kemegahan Konoha. Salah satu kota terbesar mungkin adalah penghinaan untuk Konoha. Konoha, adalah kota terbesar.
Kastil raja yang terlindungi, menara sihir, tempat bersemayamnya guild-guild dan mereka yang memilih untuk tidak terikat oleh lembaga sihir, akademi militer, akademi sihir, rumah para pesohor, dan pedagang. Kota besar yang sudah seperti mesin raksasa, dengan orang, komunitas, kelompok, pedagang, sebagai girnya—sebagai pemutarnya, bersama mereka sebagai mesin raksasa yang menghancurkan siapa saja.
Kota besar yang tidak pernah tidur.
Lebih dari itu, rumah yang telah Naruto tinggalkan delapan tahun lalu. Semua yang dia kenal, yang dia sayang, kehidupannya, ayahnya. Dia adalah anak yang buruk.
Naruto terkekeh mendengarnya. Terasa pahit, tapi apa yang bisa dia lakukan. Dia tidak memiliki sebuah pilihan, dia tidak pernah punya pilihan. Terkekang pada sesuatu yang kasat, seperti burung yang di lepas dari sangkar dan tidak tahu cara terbang. Dia tidak ingin seperti itu.
Dia lari dari takdirnya.
Lagi dan lagi.
Dia menarik napas. Tidak ada waktu untuk tenggelam pada pikiran buruk. Konoha, sang raja harus tahu apa yang terjadi. Itu adalah tugas yang diberikan kepadanya oleh yang lain.
Naruto menggendong rubah itu. Seharusnya dia sudah bisa menggunakan sihirnya. Bagaimanapun juga dia sudah mengumpulkan mana dari sekeliling selama mereka berjalan, sesuatu yang tidak bisa dia lakukan beberapa hari lalu. Mengingat kepalanya yang kacau, mengumpulkan mana tidak termasuk prioritasnya.
Dia menarik napas, menghembuskannya, kembali menarik napas, dan Naruto merasakan mana mengalir pada seluruh tubuhnya. Dia menyeringai, dan menghilang. Tertelan dimensi, dan menyisakan kilauan yang bahkan tidak dapat orang lihat kecuali dengan sungguh-sungguh.
Kenapa dia membiarkan pria itu lepas? Kenapa dia berhenti disaat terakhir? Apakah karena serangan dari yang lain? Karena pengorbanan yang lain untuk pria bermata safir itu bisa kabur? Tidak, serangan mereka tidak berdampak apapun kepada dirinya. Jadi apa yang membuatnya melepaskan pria itu?
Naruto. Ya, itu nama yang dia dengar. Teriakan dari rekan-rekannya saat dia kabur. Pria itu, memiliki sesuatu yang sama sepertinya. Sesuatu yang seharusnya tidak berada pada dunia ini. Sesuatu yang menghancurkan aturan dunia.
Dia tertawa.
Kaburlah. Lari. Dan terus lari.
Dunia berada pada genggamannya. Kumpulkanlah semua, mereka yang terhebat, yang terbaik, yang mengais untuk hidup, yang berusaha untuk tetap hidup. Kumpulkanlah mereka. Bersatu. Dan dia akan menghancurkan mereka semua. Apa yang bisa semut lakukan kepada dirinya? Tidak ada!
Ini, tidak lebih dari sebuah sandiwara. Penguluran waktu untuk mengisi waktunya. Ya, dia sengaja membiarkan pria itu lepas. Tidak lebih untuk hiburannya semata.
"Acnologia. Bangunlah" Mata Naga itu terbuka mengikuti perintah tuannya. Kekuatan gelap memeluknya, "terbanglah dengan bebas. Hancurkan apapun. Sisakan, tidak ada".
Naga itu mengaum dan terbang. Meninggalkan kehancuran pada gunung tempat dia tertidur. Menyisakan reruntuhan dan api yang tetap menyala. Membakar tanah dengan api berwarna hitam yang tidak ingin disentuh oleh angin, yang alam sendiri tahu adalah sesuatu yang tidak normal.
Dia tidak tahu apakah masih ada naga yang tersisa di dunia ini atau tidak. Adapun tidak akan mengubah hasil dari apa yang akan datang. Dia kembali tertawa, perlahan menarik tubuh mereka yang berani melawannya dengan rantai Uzumaki.
Oh.
Betapa dia akan menikmati dunia ini.
Dan selesai. Apakah aku akan melanjutkannya, mungkin. Dan bila tidak, anggap saja sebagai oneshoot. dan bahkan bila aku melanjutkannya, aku tidak tahu kapan aku akan update. Keteraturan bukan prima ku, terlebih lagi dalam hal menulis.
Tapi, menulis ini adalah sesuatu yang aku nikmati. Terlebih di bagian pertama, dan lagi pada bagian tentang takdir. Aku tidak ingin terlalu banyak berbicara disini, karena aku rasa bagian dari membaca adalah bertanya-tanya. Setidaknya itu salah satu alasan kenapa aku menulis, walaupun sejatinya aku menulis ini karena di website tidak ada yang benar-benar seperti ini-seperti apa yang aku inginkan.
Aku sisakan berbagai hal yang bisa menjadi pertanyaan, berbagai plot berakar yang akan bertemu pada satu titik.
Terima kasih telah membaca,
Sekian.
