Disclaimer: Sunrise

Draft pertama chapter 9 dari To Be With You Again. Diganti karena kayanya lebih nyambung kalau pakai draft yang akhirnya dipublish di cerita aslinya.


1.

Falling (old draft)

Entah kenapa sejak aku mengantar Cagalli pergi ke acara basket itu, sekarang sikap Cagalli berubah.

Tidak seperti dulu, Cagalli sekarang jadi lebih santai di depanku dan tidak lagi pendiam. Jika aku kebetulan datang ke rumahnya bersama Kira, Cagalli akan menyambutku sambil tersenyum ramah, tidak kaku seperti dulu.

Aku masih ingat pertama kalinya Cagalli menunjukkan senyumnya padaku.

.

"Cagalli, Kakak pulang," Kira masuk ke dalam setelah melepas sepatunya sembarangan. Aku menghela nafas dan melepas sepatuku dan merapikannya sebelum mengikuti Kira masuk ke dalam rumah. Kebetulan karena besok libur akhir pekan panjang sejak hari Jumat, jadi hari ini Kira meminta tolong padaku untuk membantunya menyelesaikan satu quest dari game yang sedang dimainkannya. Kebetulan aku punya konsol dan game yang sama. Awalnya, aku hanya sekedar cerita pada orang tuaku karena mereka bertanya tentang hariku—setelah Dearkka mengajakku bermain dengan konsol miliknya. Ibu langsung bertanya apakah aku menginginkan barang yang sama. Aku hanya menjawab sepertinya asyik juga kalau bisa bermain bersama—hanya karena aku merasa itu respon yang normal untuk anak seusiaku. Beberapa hari kemudian, ayah membelikanku konsol yang aku ceritakan itu. Aku yang waktu itu masih belum terbiasa akan ayah yang memperhatikanku dan memperlakukanku layaknya anak-anak lainnya, terlalu terkejut saat itu sehingga aku lupa memikirkan reaksi yang normal. Aku ingat saat itu karena sejak saat itulah orang tuaku jadi semakin yakin ada yang tidak beres denganku.

Tapi kurang lebih aku bersyukur dengan pemberian mereka, karena dengan konsol itu aku bisa berbaur dengan yang lainnya. Karena akupun dulu sering bermain dengan Kira di kehidupan sebelumnya, di masa sekarang pun aku tidak memiliki kesulitan untuk memainkan game seperti ini, jadi aku juga melatih diriku sendiri supaya tidak terlalu mahir, juga melatih reaksiku yang terkadang terlalu datar—tidak seperti anak-anak yang biasanya cenderung kompetitif.

"Selamat datang, Kak," aku mendengar suara Cagalli dari ruang tengah tempat Kira berada. Aah, hari ini juga aku masih bisa bertemu dengannya. Aku melangkah masuk, dari balik pintu kulihat sepertinya Cagalli sedang mengerjakan tugas di ruang tengah sambil menonton televisi dengan suara kecil.

"Selamat sore, Cagalli," aku memberi salam, memberitahukan bahwa aku juga ikut datang bersama Kira. Akhir-akhir ini aku jarang main ke rumah Kira karena tidak ada tugas kelompok lagi. Kebetulan hari ini ibu Kira lembur lagi, jadi Kira mengundangku untuk sekalian menginap.

Menginap bersama Kira, rasanya seperti mengingat beberapa hal yang tidak berubah dari kehidupan pertamaku. Dulu pun kami sering menginap karena ibuku sering menghabiskan waktunya di lab, kurang lebih sama seperti sekarang.

"Selamat sore, Kak Athrun," Cagalli menyapa sambil tersenyum begitu melihatku.

Aku mengerjap.

Seingatku, sejak pertama kali bertemu, sejak kami berkenalan lagi, ini pertama kalinya aku mendengar Cagalli memanggil namaku. Biasanya dia hanya memanggilku kakak saja.

"Sedang apa? Mengerjakan tugas ya?"

"Sedang belajar. Minggu depan ada try out untuk ujian masuk SMP."

"Kapan tes ujian masuk SMP nya?"

"Tanggal 1 Februari tahun depan." Berarti cuma tinggal sekitar 2 bulan lagi.

Aku mengangguk, ikut duduk di kursi yang ada di samping depannya sambil menunggu Kira yang sedang menyiapkan minuman untuk kami nanti. Biasanya aku langsung masuk ke kamar Kira dan menunggu di atas, tapi karena Cagalli ada di sini dan dia sepertinya tidak masalah dengan keberadaanku, jadi aku memilih untuk menunggu di sini saja. Aku memperhatikan di pangkuannya ada boneka kepiting yang kuberikan waktu itu. Melihat boneka itu ada bersamanya aku jadi merasa senang, untung saja waktu itu aku memaksa mendapatkannya untuk Cagalli. Setidaknya sesuatu yang kuberikan bisa membuatnya nyaman, dan kelihatannya dia menyukainya sampai ikut membawanya untuk menemaninya belajar.

Di sudut mataku, aku memperhatikan sesuatu diletakkan di dekat buku Cagalli yang terbuka. Aku mengenali benda itu, sebuah ponsel khusus untuk anak-anak. Tidak ada fitur khusus di dalamnya, dan memori nomor telepon yang bisa disimpan juga terbatas—hanya dipakai supaya orang tua bisa menghubungi anaknya atau sebaliknya, atau ketika anak-anak dalam keadaan darurat dan perlu memanggil bantuan.

"Cagalli, memori buku telepon di ponselmu itu sudah penuh, belum?"

"Belum. Kenapa, Kak?"

"Simpan nomor Kakak ya. Kalau-kalau kau perlu bantuan." Memang biasanya tipe ponsel seperti ini hanya dipakai untuk menyimpan nomor keluarga saja. "Kalau memang ada nomor keluarga lain yang harus kau simpan, kau boleh hapus nomor Kakak nanti. Untuk sementara, simpan dulu saja ya." Aku meminta, berdalih supaya dia bisa menghubungiku kapan saja kalau memerlukan sesuatu, meskipun Cagalli pasti akan lari pada kakaknya Kira lebih dulu dibanding aku yang cuma orang luar. Permintaan ini cuma salah satu bentuk ketamakanku yang lain, yang menginginkan semacam koneksi dengan Cagalli, lebih daripada sekedar boneka yang kuberikan ini. Aku ingin membuatnya nyaman denganku, bahwa dia bisa menghubungiku kapan saja kalau dia mau, dan aku ingin memberikan pilihan itu padanya.

"Tapi kalau ada apa-apa kan aku bisa menghubungi Kak Kira."

"Kakak tahu. Makanya, ini hanya untuk jaga-jaga saja," aku menjelaskan sambil tersenyum, membujuknya sedikit lagi.

Cagalli memandangi ponsel kecil berwarna kuning itu selama beberapa saat, lalu mengambil dan memberikannya padaku.

"Gadis pintar," aku bergumam dalam hati, dan mengambil ponsel itu tanpa berkata apa-apa dan langsung menyimpan nomorku. "Seandainya kakak atau orang tuamu tidak bisa dihubungi, jangan ragu untuk menghubungi Kakak, ya," aku berkata sambil mengembalikan ponsel itu padanya. Cagalli mengangguk patuh, dan disaat yang sama Kira keluar dari dapur.

"Ayo, Athrun. Kita ke atas," Kira menganggukkan kepalanya ke arah lantai dua, dengan sebuah nampan dengan dua gelas minuman di atasnya.

"Kakak ke atas dulu ya," aku melambai pelan pada Cagalli yang hanya mengangguk mengiyakan, lalu kembali ke buku pelajarannya.

.

Begitu tersadar aku sudah ada di depan rumah. Sayangnya hari ini aku tidak ada keperluan apapun untuk menemui Kira, jadi aku tidak bisa bertemu Cagalli lagi untuk memastikan kalau dia memang benar-benar sudah tidak takut padauk lagi atau bukan.

"Athrun, kau sudah pulang?" Ibu keluar dari dapur untuk menyambutku begitu aku masuk dan mulai melepas sepatuku.

"Iya, Bu. Ibu juga hari ini pulang cepat ya," aku berkata sambil melepaskan mantel luarku.

"Besok ibu harus mengisi acara seminar di Universitas A di luar kota, mungkin akan makan waktu beberapa hari. Jadi ibu membereskan pekerjaan secepat mungkin dan pulang lebih dulu untuk siap-siap. Hari ini kau tidak ada tugas dengan Kira?"

"Iya. Tugas kelompok kami sudah selesai minggu lalu, dan hari ini Kira mau pergi jalan-jalan dengan pacarnya," seperti biasa, setelah aku mengambil waktu Kira untuk mengerjakan tugas, Flay akan balas dendam dengan menyita waktu Kira yang tidak bisa ia dapatkan selama ia mengerjakan tugas bersamaku.

"Wah, sepertinya menyenangkan ya. Ibu juga sudah lama tidak pacaran dengan ayahmu," ibu membalas dengan luwes, tanpa memikirkan perasaanku yang mendengarkannya. Di satu sisi aku ikut senang karena hubungan ayah dan ibu tetap langgeng dan harmonis setelah sekian tahun, sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan di kehidupan sebelum nya.

Tapi di sisi lain aku merasa agak malu mendengarkan hubungan pribadi ibu dan ayahku sendiri

"Bagaimana kalau sekali-sekali ibu jalan-jalan keluar berdua saja bersama ayah," aku menyarankan begitu ibu kembali ke dapur. Kalau memang mereka mau pacaran, akan lebih bagus kalau mereka melakukannya jauh dari jarak pandangku. Aku senang kedua orang tuaku masih harmonis, tapi aku tidak perlu melihat mereka dari jarak sedekat itu dan menjadi pengganggu untuk mereka.

Apalagi karena aku masih harus menunggu bertahun-tahun sampai aku bisa seperti mereka.

Tapi setidaknya aku bisa sedikit berharap, sebab terakhir kali aku bertemu dengan Cagalli, dia masih bersikap ramah padaku. Setidaknya aku tidak dibenci seperti dulu. Berarti selanjutnya, aku tinggal mendekatkan diri padanya. Apalagi kalau dia sudah masuk SMP, mungkin pandangan orang pada kami akan sedikit lebih luwes dibandingkan kalau aku mendekatinya ketika dia masih SD.

Tapi aku masih sedikit bimbang, bagaimana kalau nanti begitu masuk SMP, Cagalli mulai menyadari tentang rasa suka terhadap lawan jenisnya. Cagalli yang dulu bisa dibilang dibesarkan di lingkungan tertutup, terbatas hanya pada keluarga saja dan kenalan dari anggota bangsawan. AKu bisa memasuki kehidupan Cagalli pun mungkin benar-benar karena suatu pertemuan takdir yang luar biasa. Tapi sekarang, Cagalli akan mengenal banyak orang. Di antara teman sekelasnya pasti ada satu atau dua orang yang akan jatuh hati padanya, sebab bukan hanya manis, tapi Cagalli juga baik hati. Belum lagi kalau ikut kegiatan klub basket seperti yang ia bilang ingin ikuti. Memang klubnya klub basket putri, tapi kalau Cagalli menjadi reguler dan sering bertanding, pasti dia akan semakin populer. Banyak yang akan mengenalnya dan tertarik padanya.

"Athrun, kau sedang memikirkan apa sampai dahimu berkerut begitu?" Suara ibu tiba-tiba membangunkanku dari lamunanku.

"Ah, bukan apa-apa kok, Bu," Aku tersenyum, meyakinkan ibu kalau aku baik-baik saja.

"Apa masih tentang gadis itu?" ibu tersenyum sedih ke arahku. Ibu pasti masih berharap aku melupakannya dan mencari orang lain yang bisa bersamaku tanpa mengecewakan pihak ketiga.

"Kurang lebih…" Aku memberikan jawaban yang tidak terlalu pasti.

"Bagaimana hubunganmu dengan dia?"

"Mmmm, kami masih baik-baik saja kok," Cagalli jadi semakin ramah terhadapku jadi hal ini justru membuatku senang. Yang membuatku kepikiran hanya imajinasiku yang terlalu jauh ke depan, padahal masih belum tentu Cagalli akan bersikap sama padauk seperti dulu.

"Apa kau tidak berniat mencari orang yang tidak terikat pada orang lain?"

Aku mulai berpikir kalau cerita bohongku adalah ide yang benar-benar buruk untuk menyembunyikan fakta tentang perbedaan usiaku dengan Cagalli. Kalau Cagalli sudah masuk SMP, aku harus membetulkan salah paham ini dengan ibu.

"Untuk saat ini aku masih nyaman seperti ini dulu, Bu. Aku masih ingin melihat situasinya," aku berkilah. Ibu terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi di saat yang sama, ponselku tiba-tiba berdering. Sambil berkata akum au menjawab teleponnya dulu, aku meninggalkan pintu dapur dan pergi ke ruang depan, meletakkan tasku di atas sofa.

Hanya saja display nomornya sedikit tidak biasa. Bukan dari kontakku, tapi bukan juga nomor dari ponsel maupun nomor telepon rumahan yang umum.

Sambil sedikit ragu, aku menekan tombol hijau untuk menjawab teleponnya.

"Halo, selamat malam. Apa benar saya bicara dengan Athrun Zala?" Aku mendengar suara seorang laki-laki yang menyapaku dengan formal.

"Benar. Maaf, dengan siapa ya?"

"Maaf mengganggu sebelumnya. Nama saya Reed Weller, saya polisi yang bertugas di pos polisi di depan Taman Barat. Apa Anda mengenal nona Cagalli Hibiki?"

Mendengar kata polisi dan nama Cagalli, perasaan tidak enak langsung hinggap di pikiranku. Ada urusan apa sampai polisi meneleponku karena Cagalli? "Cagalli Hibiki adalah kenalan saya. Apa terjadi sesuatu?"

Jantungku berdegup semakin kencang memikirkan kemungkinan yang terjadi. Sekelebat ingatan melintas di pikiranku.

.

"Komandan Zala, ada pesan dari staf Pimpinan Clyne," seorang personil militer pria berseragam hijau datang menemuiku di ruanganku.

"Ada apa?"

"Baru saja ada kabar dari Orb, tentang Representatif Athha." Wajah personil yang datang untuk memberi kabar terlihat pucat.

"Kabar apa?" Apa Cagalli ada jadwal kunjungan ke Plant? Tapi kalau begitu biasanya jadwalnya pasti sudah datang dari jauh hari, untuk persiapan keamanan dan sebagainya. Aku mencoba mengingat jadwal Lacus maupun Kira, mencari kemungkinan yang ada.

"Katanya, siang hari menurut waktu lokal Orb, terjadi insiden penembakan di pulau utama Olofath."

"Penembakan?" Badanku menegang tiba-tiba mendengar kabar itu. Tentang Representatif Athha, katanya? Berarti Cagalli ikut terlibat dalam insiden itu?

Dengan suara khawatir, personil itu melanjutkan, "Kabarnya, Representatif Athha mengalami luka serius dan sedang kritis. Karena Pimpinan Clyne berencana untuk berangkat ke Orb, Komandan Zala diminta bersiap untuk mengawal Pimpinan Clyne bersama Komandan Yamato."

.

Setelah menerima berita itu, aku tidak sempat bertemu Cagalli lagi dalam keadaan hidup.

Dan saat ini, kejadiannya terasa sama persis seperti waktu itu, dan apa yang kurasakan sekarang pun sama persis seperti saat itu. Jantungku berdegup kencang, perutku seperti dibebat oleh sesuatu yang begitu kuat sampai terasa sakit. Tanpa sadar sebelah tanganku mencengkram kain baju yang menutupi perutku, berusaha menghilangkan rasa tidak enak yang bersarang di sana, meskipun aku tahu tidak ada yang bisa kulakukan.

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Apa di kehidupan kali ini pun aku harus kehilangan Cagalli lagi? Apa semuanya harus terulang lagi seperti dulu?

"Cagalli… apa terjadi sesuatu padanya? Dia baik-baik saja kan?" Aku bertanya tanpa bisa menyembunyikan panik dari suaraku.

"Dia sedikit terluka, tapi baik-baik saja. Sekarang dia ada di pos polisi bersama saya," opsir Weller berkata dan aku langsung menghembuskan nafas lega; kalau ada di pos polisi berarti Cagalli seharusnya nyawanya tidak terancam. Tali bebat yang mengikat perutku serasa langsung melonggar dan dadaku terasa sakit karena jantungku yang tadi berdetak begitu keras tiba-tiba melemas karena rasa panik yang tiba-tiba berhenti. Sebagai gantinya, lututku sekarang terasa lemas saking leganya. Sambil mencari pegangan, aku mendengarkan opsir polisi meneruskan, "Kami tidak bisa menghubungi keluarganya, dan semua kerabat dekatnya ada di luar kota. Katanya hanya Anda kenalan terdekat yang bisa dihubungi sekarang. Saya tidak bisa membiarkannya pulang sendiri. Tadinya kalau tidak ada yang menjemputnya, dia harus bersama saya sampai kami yakin ada yang menemaninya di rumah, sebab dia masih di bawah umur."

Kalau jam segini, tentu saja kedua orang tuanya sedang bekerja, jadi mungkin mereka tidak sedang dalam kondisi memegang ponsel. Apalagi ayah Cagalli masih ditempatkan di luar kota sampai awal Maret depan. Kira sekarang sedang bersama Flay, jadi aku ragu dia akan memperhatikan ponselnya. Keluarga Yamato juga tinggal di kota yang berbeda, jadi tidak mungkin mereka bisa segera menjemput Cagalli.

Aku benar-benar bersyukur aku meminta Cagalli memasukkan nomorku ke ponsel khusus untuk anak-anak miliknya yang memiliki memori buku telepon terbatas. "Saya akan ke sana untuk menjemputnya sekarang," aku bergegas berkata sambal mengenakan mantelku lagi. "Maaf, tapi kenapa Cagalli bisa ada di pos polisi?"

"Oh, tadi nona ini bertengkar dengan anak berandal yang sedang memalak orang dan terluka, jadi untuk sementara kami amankan di pos polisi ini."

Seketika aku berhenti bergerak sesaat. Apa katanya?

"Bertengkar dengan berandal!?"


Segera setelah mengarang alasan sekenanya pada ibu yang menghampiriku karena mendengarku yang nampak panik, aku meraih tasku lagi, mengenakan sepatuku lagi dan segera berlari ke lokasi taman yang tadi disebutkan opsir polisi yang meneleponku.

Salah satu hal yang sedikit mengganggu di kehidupan ini, terkadang aku masih belum terbiasa dengan fisikku yang bisa dibilang cukup melemah dibanding dulu. Aku melakukan banyak hal supaya setidaknya aku bisa mendekati ketahananku yang dulu, meskipun masih tetap jauh berbeda. Tapi sekarang begitu terasa ketika selang beberapa menit tubuhku yang kupaksa untuk lari mulai protes dan nafasku memburu. Tapi aku tetap tidak peduli dan terus berlari; aku harus memastikan dia baik-baik saja.

Begitu sampai di pos polisi yang diberitahukan polisi tadi lewat telepon, aku langsung masuk tanpa basa-basi lebih dulu. Aku bisa melihat ada beberapa orang di dalam, tapi mataku hanya tertuju pada gadis berambut pirang yang sedang duduk di kursi dekat dinding, bersandar sambil menahan sesuatu seperti gumpalan sapu tangan ke pipinya.

"Cagalli!"

"Kak Athrun! Maaf aku—" tanpa mendengarkan apa yang dikatakan Cagalli, aku langsung berlari mendekat, berlutut di depannya mensejajarkan diriku dengan tingginya, lalu memeluknya dengan erat.

Bayangan Cagalli yang tertidur kaku tidak hilang dari kepalaku sejak aku menerima telepon tadi. Aku tahu petugas polisi itu memberitahu bahwa Cagalli ada di sini, yang berarti dia tidak terluka parah—sebab kalau iya petugas itu pasti langsung memanggil teknisi medis darurat. Tapi tetap saja, ingatan itu tidak mau hilang dari kepalaku. Bayangan itu baru hilang begitu melihat Cagalli di sini, dan sekarang ketika aku memeluknya, aku masih bisa merasakan hangatnya kehidupan yang mengalir di seluruh tubuhnya.

"Kakak, sesaak!" Cagalli bergerak-gerak tidak nyaman dalam pelukanku, dan akhirnya aku ingat kami berada di mana—meskipun aku tidak terlalu peduli. Aku sudah pernah kehilangan dia dulu, jadi aku tidak peduli apapun di kehidupan ini asal Cagalli selamat.

"Ah, maaf…" Aku menjawab pelan, masih terlalu fokus pada Cagalli yang ada di pelukanku. Aku menyadari nafasku yang memburu akibat berlari tadi. Tubuhku terasa lemas sekali.

Perlahan aku sadar Cagalli mungkin merasa tidak nyaman dengan pelukanku sekarang, jadi aku melepaskan tanganku yang melingkari tubuhnya, tapi tetap memegangnya. "Cagalli, bagaimana bisa—" Kata-kataku terhenti begitu melihat sesuatu yang tadi ditutupi Cagalli.

Bekas berwarna merah garang di atas pipi kirinya yang seharusnya bersih.

"Kenapa ini?" suaraku sedikit meninggi. Orang macam apa yang sudah melukai Cagalli begini.

"Cuma memar, kok. Pak polisi tadi sudah memberiku es supaya tidak bengkak," Cagalli mengulurkan kain yang ia pegang tadi, agak basah dan dingin. Aku memegangnya, memperhatikan bentuknya; kantong es yang memiliki penutup plastik dan bisa dipakai lagi. Aku tempelkan lagi kantong es itu ke bagian yang merah, dan Cagalli sedikit tersentak karena benda dingin itu kembali ke kulitnya.

"Sakit ya? Bagaimana ini, wajahmu pasti akan memar sampai beberapa hari." Memarnya tidak akan hilang selama setidaknya dua minggu, belum lagi warna merah ini akan berubah menjadi keunguan, lalu menjadi hijau-kuning yang tidak enak dilihat.

"Tidak apa-apa kok. Dulu aku juga kadang-kadang bertengkar dengan teman, jadi sudah sering memar begini," Cagalli tersenyum seolah berusaha menenangkanku.

"Astaga, apa yang kau lakukan sampai sering bertengkar begitu?" Aku pernah dengar dari Myrna dulu kalau Cagalli memang anak barbar yang tidak seperti tuan putri sama sekali. Aku tidak menyangka Cagalli di kehidupan kali ini juga masih seperti itu. Kalau tidak salah, dulu Kira juga sempat bilang kalau Cagalli memang barbar ya.

"Kau ini, bagaimana kamu mendidik anak itu sih?" Tiba-tiba terdengar suara tinggi seorang wanita yang bernada marah dan kesal. Aku mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, dan melihat seorang wanita paruh baya memegangi bahu seorang anak laki-laki.

"Maaf, Anda—" aku bermaksud untuk bertanya dia siapa, tapi segera wanita ini memotong pertanyaanku.

"Aku ibu anak ini, yang sudah ditendang oleh nona itu! Kalau anakku nanti masa depannya jadi suram bagaimana? Ooh, anakku yang malang, kamu pasti kesakitan ya," suara ibu itu berubah menjadi halus begitu bicara pada anaknya, lalu tidak lama ia menatap tajam kembali ke arah kami. "Lihat saja! Aku akan menuntut anak itu dan tidak akan berhenti sampai dia masuk penjara!" Dia terus berseru dengan suara keras sambil menunjuk Cagalli dengan jari telunjuknya.

"Nyonya, mohon tenang sedikit—" Opsir Weller memperingatkan sambil memasang badan di antara kami.

"Cagalli, apa yang terjadi tadi?" Aku mengabaikan mereka untuk sementara dan bertanya pada Cagalli. Aku yakin kalaupun Cagalli yang salah dia akan jujur padaku.

"Aku pulang dari tempat bimbel dan melihat anak ini dengan temannya memalak seseorang, sepertinya anak SMP. Jadi aku mencoba melerai mereka, tapi begitu anak yang dipalak itu lari dengan dompetnya, dia marah karena aku sudah membuat mangsanya kabur, jadi dia memukulku. Aku menendangnya karena dia mau memukulku lagi. Karena badanku pendek jadi kakiku tepat kena bagian vitalnya. Gara-gara dia tumbang, teman-temannya kabur meninggalkan dia. Waktu itulah polisi ini datang," Cagalli bercerita panjang lebar.

Meskipun masih anak-anak dan dia tidak memiliki ingatan dari masa lalunya, Cagalli ternyata masih tetap sama seperti yang dulu, tipe orang yang tidak bisa tinggal diam kalau ada orang yang kesusahan atau kalau melihat ketidakadilan.

Tapi orang tua dari anak yang kata Cagalli melakukan pemalakan itu nampak tidak terima dengan cerita Cagalli. "Anak itu bisa saja mengarang cerita! Mana mungkin anakku yang baik ini mencuri dari orang!?"

"Sebenarnya, anak yang dipalak itulah yang melaporkan pertengkaran mereka tadi," opsir Weller ikut menambahkan. "Jadi kemungkinan terbesarnya kejadiannya tadi adalah seperti yang diceritakan nona ini," opsir yang berbadan tinggi besar itu menunjuk ke arah Cagalli dengan tangannya. "Sayangnya dia langsung lari setelah melaporkan pertengkaran mereka, jadi agak sulit meminta keterangan darinya."

"Anak saya tidak mungkin memukul orang! Anak pirang itu bahkan bilang dia sering bertengkar, bukankah itu berarti dia sering membuat onar dengan berandalan di sekitar sini? Justru dia yang patut dicurigai, bukan anak saya!" Ibu itu masih tidak mau kalah.

Sudah salah masih bersikeras sambil berteriak begitu? Aku mengepalkan tanganku, merasa darahku mulai mendidih. Rasa lega karena Cagalli masih baik-baik saja tergantikan dengan marah karena melihat luka di pipi Cagalli dan sikap keluarga pelakunya yang tidak ada rasa bersalah sama sekali.

"Undang-undang pidana Pasal 49," ujarku setenang mungkin. Aku bisa melihat semua orang kecuali anak pemalak itu. "Barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum, tidak akan dipidana. Apa yang dilakukan gadis ini adalah tindakan pembelaan diri, jadi Anda tidak akan bisa mengajukan tuntutan atas kejadian itu."

"Yang dilakukan anakku juga pembelaan diri! Anak itu yang menendang duluan, jadi—"

"Apa Anda tidak melihat putra Anda sekarang?" Aku memotongnya, tidak sabar.

"Maksudmu apa, hah?"

"Sampai sekarang pun dia masih kesakitan. Kalau Cagalli yang menendang duluan, mana mungkin anak itu bisa melawan dan memukul sampai meninggalkan bekas begini?" Aku menjelaskan hal yang sebenarnya harusnya bisa dipahami semua orang di sini. Polisi di sebelah kami bergumam dengan suara kecil, "Dia ada benarnya juga."

Tanpa mengindahkan mereka, dengan suara tegas seperti ketika aku masih berada di Zaft dulu, aku melanjutkan, "Kalau Anda tetap memaksa, kami bisa mengajukan tuntutan balik. Kalau gadis ini mau, kami bisa pergi ke rumah sakit sekarang dan minta visum untuk dilampirkan dengan berkas pengajuan tuntutan. Kalau kasusnya naik, putra anda bisa dituntut dengan pasal berlapis, penganiayaan dan pemalakan. Dan kalau ini bukan percobaan pertamanya—"

"Anak kecil sepertimu tahu apa?" Ibu itu berubah jadi semakin berang. Aku yakin dia tahu apa yang kukatakan benar dan panik sehingga hanya bisa menyerangku di luar konteks permasalahan sekarang. Opsir Weller juga maju satu langkah karena mungkin khawatir nyonya itu akan menyerang.

"Maaf, tapi semua yang saya katakan itu benar dan punya dasar hukum. Saya memang masih anak kecil, tapi keluarga saya bekerja di bidang hukum jadi setidaknya saya tahu kalau apa yang putra anda lakukan termasuk ke dalam tindak pidana yang bisa dikasuskan. Putra anda masih SMP kan? Paling tidak dia hanya akan dimasukan ke lembaga pembinaan remaja atau diminta untuk melakukan layanan masyarakat kalau dinyatakan bersalah. Saya sarankan anda membimbingnya supaya tidak semakin parah. Sebab kalau sampai usia 16 tahun dia terus seperti ini, dia tidak akan dimasukan ke lembaga pembinaan tapi sudah harus mempertanggungjawabkan tindakannya dengan denda dan hukuman penjara. Silakan anda diskusikan dengan pengacara anda kalau tidak percaya." Dengan pekerjaan ayah yang merupakan seorang jaksa penyidik, buku-buku yang menjelaskan dasar-dasar hukum sudah pasti selalu ada di rumah, dan menjadi salah satu buku yang aku baca kalau sedang senggang sewaktu kecil karena memiliki terlalu banyak waktu luang.

Opsir Weller yang sejak tadi mengawasi dari samping pun kemudian ikut angkat bicara. "Saya bukan dari bagian penyidik, tapi saya tahu apa yang dia katakan benar dan memiliki dasar yang setidaknya akan dipertimbangkan jika kasus ini benar-benar berjalan. Sekarang semuanya terserah nona itu, kalau keluarganya memutuskan untuk mengajukan tuntutan, kemungkinan besar pasal yang dikenakan seperti kata anak muda ini. Dan kalau memang ini bukan yang pertama, mungkin akan ada korban lain yang bermunculan dan hukumannya mungkin akan bertambah. Anda sebaiknya minta maaf pada nona ini,"

"Persetan dengan kalian! Ayo nak, kita pulang!" Wanita itu tiba-tiba menarik lengan anaknya yang masih meringis dan bergegas meninggalkan pos polisi.

"Hei, tunggu dulu!" Polisi itu mengikutinya keluar, namun sepertinya mereka sudah lekas masuk ke mobil yang diparkir di dekat sana, sebab aku mendengar suara derum mobil yang seakan terburu-buru meninggalkan tempat itu.

Sebentar, kalau tidak salah di situ kan…

"Haah, dia pergi…" Opsir Weller menepuk kepalanya.

"Oh, Opsir Weller, apa ada masalah dengan mobil merah tadi?" Aku melihat seorang petugas wanita menghampiri.

"Oh, Loretta. Apa kau tadi mengambil plat nomor mobil itu?"

"Tentu, gara-gara dia parkir di sana," petugas yang sepertinya bernama Loretta itu mengacungkan kameranya dengan bangga. Melihat seragamnya aku menghela nafas lega.

Bukan hanya anaknya, wanita tadi mungkin bakal dapat tambahan 'hadiah' lagi karena sudah melanggar larangan parkir. Kalau petugas tadi adalah polisi patroli tilang parkir dan dia mengambil nomor platnya, polisi tinggal mencari alamatnya lewat kepemilikan mobil saja. Dan keluarga Cagalli bisa menuntut setidaknya biaya pengobatan untuk luka Cagalli. Cuma itu yang aku perlukan, untuk kasus pemalakan itu bukan urusanku karena bukan Cagalli korbannya.

Sebelum aku membuka suara untuk menanyakan apa yang bisa kami lakukan selanjutnya, aku mendengar suara telepon yang ada di meja polisi opsir Weller berdering. Aku beralih lagi pada Cagalli, bermaksud untuk memastikan lagi apakah tidak ada luka lainnya. Namun begitu opsir Weller menyebutkan nama Via Hibiki, aku berpaling lagi, mengikuti pembicaraannya di telepon. Nampaknya tante Via menyadari telepon dari opsir Weller tadi dan menelepon balik.

Opsir Weller menjelaskan lagi apa yang terjadi pada Cagalli dan di mana ia sekarang, dan bahwa aku ada di sini bersamanya. Lalu di akhir telepon ia berkata, "Baik. Kami tunggu di sini. Terima kasih," lalu menutup teleponnya. Ia melihat ke arah Cagalli dan berkata, "Ibumu katanya sebentar lagi datang. Sementara tunggu dulu di sini ya." Ia meneruskan pembicaraannya dengan petugas wanita tadi.

Aku beralih lagi pada Cagalli dan berkata sambal tersenyum, "Syukurlah, ibumu sebentar lagi datang. Kakak akan menemanimu sampai ibumu tiba di sini ya," aku tidak bisa menahan tanganku untuk tidak membelai kepalanya. Sambil masih menahan kantong es di pipinya, Cagalli menatapku, matanya terlihat sedih. "Kenapa?"

"Aku selalu merepotkan Kakak," Cagalli menunduk setelah mengatakan itu, sepertinya dia bukan merasa sedih atau sakit, tapi merasa bersalah.

Kenapa dia harus merasa bersalah? "Tidak apa-apa. Aku justru bersyukur karena kau mau menghubungiku, aku bersyukur aku memaksa supaya kau menyimpan nomorku. Jadi aku bisa berguna di saat seperti ini." Jadi aku bisa tahu kalau kau baik-baik saja dan aku bisa melindungimu dengan pasti. "Kau juga tidak pernah merepotkanku kok. Kan baru kali ini ada kejadian seperti ini. Ah, yang waktu itu sama sekali bukan merepotkan karena aku yang menawarkan." Aku menambahkan lagi mengingat ketika aku menawarkan diri menemani Cagalli menonton pertandingan. Cagalli tersenyum mendengarku, tapi entah kenapa senyumnya sedikit terlihat sedih.

"Maaf menggangu, tapi saya juga harus mendengarkan keterangan secara resmi dari nona ini juga. Kalau boleh, tolong Anda juga sedikit membantu di sebelah sini," opsir Weller yang sudah selesai bicara dengan petugas yang tadi.

Aku menuntun Cagalli untuk duduk di kursi dekat opsir Weller dan sesekali membantunya menjawab pertanyaan sambil menunggu Tante Via datang kemari.


Gimana tanggapannya dengan trailer SEED Freedom gaes? Maaf banget buat yang seneng sama KiraLacus, tapi Shinku sebagai hardcore asucaga fan cuma kepikiran, 'yah kok mereka lagi?'. Ada yang bilang itu baru trailer pertama, tapi kok kaya udah no hope gini ya? Lihat dari deskripsi awal kalau settingnya tahun 75 CE (cuma setaun dari anzen joyaku sama plant) sama bajunya KiraLacus yang sama dengan episode final plus (?), kayanya kemungkinan besar asucaga-nya belom balikan lagi ya...

Gara-gara kepikiran yang gitu-gitu akhirnya pundung sendiri, jadi kabur ke sini. Biarlah shinku mainan sama asucaga sendiri di sini aja sampai ada info lebih lanjut lagi menuju movie 2024 hahaha. Makasih banyak kalau ada yang masih mau baca fic iseng ini

Cheers~