Waktu terus berjalan begitu lambat. Suasana hening dan sepi tak menghilangkan perasaan khawatir Yaya pada seseorang di balik pintu ruang operasi itu. Penampilannya saat ini sangat kacau. Tangannya masih kotor oleh darah sang kekasih yang hampir meregang nyawa. Yaya terisak dalam duduknya. Menumpahkan segala sesak di dadanya yang berusaha ia tahan sedari tadi.

"Yaya, tenanglah... Boboiboy pasti selamat," ujar Gopal menenangkan.

Yaya menggeleng. Kepalanya tertunduk dalam dan isakannya semakin bertambah. "Ini semua salah aku... Boboiboy hampir mati karena aku..."

Gopal yang melihatnya merasa kasihan. Diusapnya bahu yang bergetar itu dengan pelan, berharap bisa meredakan tangisnya sedikit. "Ini semua salah Adu Du. Lo nggak salah, Yaya."

"Tapi Boboiboy lakuin ini buat lindungin aku... andai saja aku nggak ada di hidup dia..."

"Yaya, hei. Boboiboy bakal marah kalo denger itu." ucap Gopal. Yaya kemudian menatapnya seakan tidak percaya. Gopal menghela napas. Sejujurnya ia tidak pernah menenangkan perempuan yang menangis. Namun ia harus melakukannya saat ini. "Lo tau? Boboiboy sayang banget sama lo. Dia bakal nyalahin dirinya sendiri kalo sampai lo yang berada di posisi dia."

Yaya terdiam dengan air mata terus mengalir. Ia ingat Boboiboy pernah mengatakan padanya bahwa dia tidak mau kehilangannya. Apakah sebesar itu rasa sayang Boboiboy padanya? Bukankah ia hanya mencelakai cowok itu?

"Jadi yang harus lo lakuin adalah terus ada di sisi dia. Itu lebih dari cukup buat dia."

Isak tangis Yaya perlahan mereda. Melihatnya Gopal tersenyum, tangannya dengan pelan melepaskan usapannya di bahu Yaya. Meski belum sepenuhnya tenang, tetapi Yaya sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia menatap lagi pada pintu ruang operasi, berharap operasi itu berjalan lancar. Dan Boboiboy baik-baik saja.

"Makasih, Gopal." ucapnya. Gopal mengangguk. Yaya memandang cowok itu dari samping. Ia jadi bertanya-tanya bagaimana bisa Gopal menemukan mereka. "Kenapa kamu bisa tau... kita ada di sana?"

Gopal terdiam sebentar atas pertanyaan itu. "Oh, gue pernah ada chat lo mau lacak hp Boboiboy, 'kan?" tanya Gopal yang diangguki oleh Yaya. "Kita nggak berhasil lacak hpnya, tuh anak matiin hpnya udah dari lama, jadi nggak kedeteksi. Terus gue coba lacak hp lo, untungnya masih nyala dan nunjukkin lokasi kalian di sana." jelas Gopal.

Yaya mengangguk mengerti walaupun tak sepenuhnya paham mengenai itu.

"Sorry kita udah lacak hp lo tanpa seizin lo." kata Gopal lagi.

Yaya agak terkejut mendengarnya. "Nggak masalah. 'Kan itu juga yang nyelametin aku. Aku yang harusnya berterimakasih sama kamu."

Gopal mengangguk-angguk. Ia menatap Yaya sekali lagi. "Kalo lo? Gimana caranya lo ketemu Boboiboy?"

Ditanya seperti itu Yaya tersenyum kecil. "Entahlah. Aku mencarinya ke jembatan, ternyata dia juga ada di sana. Boboiboy sempat marah karena aku nemuin dia, katanya aku bakal dalam bahaya kalo ada di deket dia." Yaya menjeda sebentar. "Terus Adu Du tiba-tiba muncul, dan ngejar aku sama Boboiboy. Kelanjutannya kamu udah tau sendiri."

Gopal terdiam. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Adu Du akan menyerang Boboiboy secepat itu. Terlebih lagi masih banyak teka-teki dalam permasalahan keluarga cowok itu yang belum ia ketahui. Salah satunya kematian ibu Boboiboy, dan alasan kenapa Amato ada di sana.

Tak ada percakapan lagi setelah itu. Mereka berdua sama-sama diam menunggu kabar kondisi Boboiboy. Jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Sudah dua jam Boboiboy dioperasi di dalam sana. Namun Yaya tak merasa mengantuk sedikitpun, karena rasa khawatirnya mengalahkan itu semua. Ia tak akan tenang sebelum mendengar kondisi Boboiboy.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki yang sangat ramai. Gopal dan Yaya menoleh, menemukan Kaizo dan lainnya menghampiri mereka. Gopal segera berdiri, sementara Yaya tetap duduk memperhatikan mereka.

"Gimana kondisinya?" tanya Kaizo langsung. Wajahnya yang datar terlihat sangat cemas. Untuk pertama kalinya Gopal menemukan ekspresi itu pada diri Kaizo.

"Masih dioperasi. Lukanya sangat parah." jawab Gopal pelan.

Kaizo tampak menahan amarah dengan mengepalkan tangannya kuat. Shielda tampak terpukul, dan terdengar sumpah serapah dari Sai, Koko Ci, dan Tarung.

"Siapa yang lakuin? Adu Du?" tanya Tarung kemudian.

Gopal terdiam. Ia menatap satu per satu teman-temannya yang tampak menunggu jawaban darinya.

"Gue nggak bisa mastiin. Saat gue tiba, Adu Du nggak ada di tempat Boboiboy berada." jelas Gopal.

"Maksud lo? Terus siapa yang nusuk Boboiboy?" tanya Sai bingung.

Gopal menghela napas. Ia dengan getir menjawab. "Bokapnya."

Reaksi teman-temannya begitu terkejut. Gopal menundukkan kepalanya dengan tangan mengepal. Ia sendiri juga tak menyangka itu dilakukan oleh Amato.

"Adu Du..." gumam Yaya tiba-tiba. Semua mata langsung tertuju padanya. Mereka tampak kaget mendapatinya ada di sini dengan penampilan kacau. "...juga melukai Boboiboy." lanjutnya.

Shielda mengernyit. Ia menghampiri Yaya dengan amarah meluap. "Lo. Kenapa lo bisa ada di sana?"

"Shielda." tegur Gopal. Ia tahu apa yang ingin dilakukan cewek itu. Dari awal, Shielda sudah membenci Yaya karena tiba-tiba muncul di antara mereka.

Namun Shielda tak menggubrisnya dan semakin menyudutkan Yaya. "Lo kan yang buat dia dijebak Adu Du sampai hampir kehilangan nyawanya?!"

Yaya yang terpojokkan merasa jantungnya berdegup kencang, kebingungan dan tak paham dengan apa yang Shielda katakan. Di depannya Shielda menatapnya begitu tajam, napas gadis itu memburu, menandakan betapa marahnya ia sekarang.

"Aku..."

"Gabisa jawab? Dari awal gue udah duga, kalo lo cuma nambah beban Boboiboy!"

"Shielda, cukup!" seru Gopal, ia hampir kehilangan kesabarannya. Yaya tampak sangat takut sekarang. Meski Shielda adalah sahabatnya, tetap saja Gopal tak membenarkan perbuatannya. "Yaya juga korban di sini. Lo nggak sepantasnya nyalahin dia!"

"Nggak usah ngebela dia! Kalian tau sendiri, 'kan, Boboiboy selalu milih cewek ini daripada kumpul sama kita di markas." ujar Shielda memberikan fakta yang ada. Ia menatap satu per satu teman-temannya yang saling diam. "Kalo aja... kalo aja Boboiboy sama kita terus, dia nggak akan secelaka ini. Gue bener, 'kan.." Nada suara Shielda memelan. Suasana menjadi tegang di antara mereka. Tak ada yang menyahutinya lagi setelah itu, hingga akhirnya Shielda tak sanggup lagi untuk menahan air matanya lebih lama.

"Gue mau lo menjauh dari Boboiboy mulai sekarang." ucap Shielda tajam. Semua mata kini memandangnya terkejut.

"Shielda, udah!" sentak Tarung. Ia mencekal tangan Shielda yang langsung ditepis cowok itu. Namun dengan cepat Tarung mencekalnya lagi, kali ini lebih kuat. "Cukup, Shiel! Boboiboy lagi berjuang di dalem dan lo malah nyari keributan kayak gini?!"

"Bukan gue yang nyari keributan. Tapi dia!" bentaknya pada Yaya.

Tarung berdecak. Ia segera menarik Shielda pergi dari sana, membuat cewek itu memberontak untuk dilepaskan. Yaya yang sedari tadi diam perlahan menundukkan kepala, mencerna semua perkataan Shielda padanya barusan.

"Jangan dengerin dia. Lo nggak salah, Yaya." ujar Sai menenangkan. Yang lainnya turut memandang Yaya sedih, tak sanggup lagi melihat penderitaan gadis itu.

"Yaya, lebih baik lo istirahat sekarang." ucap Koko Ci.

Yaya terus diam. Ucapan Shielda masih terngiang-ngiang di kepalanya. Sepertinya Shielda memang benar, keberadaannya hanya mencelakai Boboiboy dan mengacaukan hubungan pertemanan cowok itu. Jika saja ia tak menyelamatkan Boboiboy saat itu, mereka tidak akan kenal satu sama lain dan berakhir begini. Andai saja waktu bisa diputar kembali.

"Yaya." panggil Gopal cemas.

Pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka dan sesosok dokter keluar dari sana. Pandangan mereka teralihkan, tak terkecuali Yaya yang segera berdiri dengan jantung berdegup kencang.

"Kalian keluarganya?" tanya dokter itu ketika melihat mereka.

Gopal tampak ingin menjawab namun Kaizo sudah lebih dulu berbicara. "Ya. Kami keluarganya." jawabnya singkat, tak peduli dengan lirikan mata dari yang lain.

Dokter itu menghela napas. "Kondisinya sangat kritis sekarang. Meski operasinya berhasil, tapi tanda vitalnya belum stabil. Luka tusuknya cukup dalam dan ada beberapa pendarahan internal di tubuhnya. Beberapa jam ke depan akan menjadi saat yang menentukan, kami akan memantaunya terus."

Penjelasan dokter itu mampu membuat tubuh Yaya membeku dan kehilangan fokusnya. Ia tak lagi mendengar perbincangan mereka bersama sang dokter, hatinya semakin dilingkupi rasa cemas. Itu berarti, Boboiboy masih di antara batas hidup dan mati. Kini ia menyalahkan dirinya sepenuhnya.


Pukul 2 dini hari, semuanya sudah tertidur di kursi tunggu ruang ICU tempat Boboiboy dirawat. Hanya Yaya yang masih berdiri di sana, memandangi sang kekasih lewat kaca transparan yang menghalangi mereka. Kondisinya begitu menyedihkan. Alat bantu pernapasan menutupi sebagian wajahnya yang dipenuhi lebam. Beberapa kabel dihubungkan ke tubuhnya yang tersambung langsung pada monitor di samping ranjang. Hanya dari monitor itu, Yaya dapat mengetahui masih ada detak jantung yang terdeteksi. Memberi tahu bahwa Boboiboy masih ada bersamanya.

Yaya berusaha menahan isakannya yang ingin keluar. Untuk pertama kalinya ia melihat Boboiboy begitu lemah. Dan penyebabnya adalah dirinya sendiri.

"Maaf... maafin aku..." bisik Yaya sambil terisak. Tangannya terangkat menyentuh kaca di depannya, berharap bisa menyentuh Boboiboy secara langsung.

Mungkin memang benar dirinya hanya membuat Boboiboy celaka. Cowok itu sibuk melindunginya sampai lupa untuk melindungi diri sendiri. Disaat Boboiboy memberikan segala kebahagiaan padanya, Yaya hanya menambah beban cowok itu. Ia adalah pacar yang menyusahkan dan merepotkan. Bagaimana jika ia pergi dari hidup Boboiboy? Mungkinkah keadaan menjadi lebih baik? Sepertinya benar. Yaya harus pergi dari hidup Boboiboy.

Yaya akhirnya memundurkan langkah. Menjauhkan dirinya dari tempat itu dengan hati pedih. Namun sebelum ia benar-benar pergi, suara nyaring terdengar memekakkan telinga. Beberapa dokter berlari melewatinya dengan tergesa, membuat Yaya menoleh cepat ke arah ruangan Boboiboy berada. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat apa yang terjadi di sana.

"Boboiboy..."

Suara itu masih berbunyi nyaring. Samar-samar Yaya dapat mendengar para dokter berseru sambil menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Pandangan Yaya hanya terpusatkan pada Boboiboy yang masih setia memejamkan matanya.

"...defbrilator! 200 joule! Clear!"

Semuanya terjadi begitu cepat. Seluruh dunia Yaya terasa berhenti sesaat kala alat kejut jantung itu ditempelkan di dadanya, membuat tubuh Boboiboy terangkat ke atas. Yaya membekap mulutnya agar isakannya tak terdengar. Ia sampai berpegangan pada pilar di dekatnya agar tubuhnya tak merosot jatuh. Monitor masih menunjukkan garis lurus, membuat para dokter mengulangi tindakan yang sama.

"Kamu mau tahu?"

Suara Boboiboy tiba-tiba terngiang di kepalanya tanpa bisa ia cegah. Yaya meneteskan air matanya bersama sesak yang melingkupi dadanya.

"Aku yang duluan suka kamu,"

Itu adalah saat ia menyatakan perasaannya pada cowok itu. Yaya bahkan masih mengingat dengan jelas, Boboiboy tersenyum padanya dan mengusap pipinya pelan.

"Sejak pertama kali kita ketemu, dan kamu dengan beraninya nyelamatin aku yang hampir tewas. Aku jadi penasaran, siapa cewek ini sebenernya? Padahal mungil banget tapi sanggup gotong aku yang babak belur. Muka kamu yang polos, ucapan kamu yang nggak aku ngerti, dan mata kamu yang selalu liat aku penasaran,"

Yaya terisak hebat. Matanya terus memandangi Boboiboy yang belum berhasil diselamatkan.

"Terus kita ketemu untuk yang kedua kalinya, saat kamu keperangkap sama kumpulan preman. Aku narik kamu lari padahal kaki kamu pendek. Tapi kamu berhasil nyeimbangin lari aku dengan kaki kamu itu. Aku berharap bisa ketemu kamu lagi, cewek lucu yang bisa bikin aku salting. Dan sekarang aku dikasih kesempatan untuk deket sama kamu, itu bikin aku seneng banget,"

"Boboiboy... aku mohon kembalilah..." lirih Yaya.

"Be my girlfriend?"

Para dokter di dalam sana terlihat sudah menyerah dan berhenti melakukan upaya. Monitor masih menampilkan garis lurus tiada henti. Yaya menggeleng tak percaya.

"Tidak... tidak, Boboiboy... kembalilah..." lirih Yaya sekali lagi. Wajah Boboiboy di sana tampak pias, namun begitu damai. Tangan Yaya memegangi dadanya yang sesak, tak menyangka dengan apa yang ia lihat. "Boboiboy... aku sayang kamu... aku nggak mau kehilangan kamu..." Yaya terus berbisik lirih, berharap itu sampai pada Boboiboy. "Aku mau kamu tetap disini..." Tubuh Yaya akhirnya merosot jatuh ke lantai karena tak sanggup lagi berdiri. Gadis itu menangis tersedu-sedu, mencengkram kuat dadanya yang sangat sakit.

Boboiboy pergi meninggalkannya. Boboiboy... telah pergi...

Di saat Yaya sudah mulai putus asa, ternyata harapannya dikabulkan. Ketika dokter ingin melepaskan alat-alat medis di tubuh Boboiboy, monitor tidak lagi memperlihatkan garis lurus. Namun garis tak beraturan yang memberitahu detak jantungnya stabil.

"Dia kembali!"

Yaya menegakkan tubuhnya. Ia bisa melihat dokter kembali memeriksa Boboiboy. Meski tak sepenuhnya paham apa yang terjadi, namun perasaan lega menghampiri hatinya saat mengetahuinya.

Yaya tersenyum kecil. Isak tangisnya masih ada, namun tak separah tadi. Karena Boboiboy mendengar permohonannya. Boboiboy kembali. Boboiboy... tidak meninggalkannya.


"Yaya!"

Gopal dan Yaya menoleh ke arah pintu masuk rumah sakit. Terlihat Ying berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.

"Yaya, lo nggak papa?! Ada luka nggak?! Mereka ngapain lo aja?!" tanya Ying bertubi-tubi dengan panik. Ia sampai mengecek seluruh tubuh Yaya untuk melihat apakah ada luka di sana.

"Aku nggak papa, Ying..." jawab Yaya lesu. Wajahnya sudah terlihat lelah dan matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Tolong anterin dia pulang, ya? Dia perlu istirahat." ucap Gopal pada Ying. Dialah yang menghubungi Ying untuk menjemput Yaya pulang.

Ying mengangguk cepat. Ia berterima kasih pada Gopal dan segera membawa Yaya ke mobilnya. Dipasangkannya sabuk pengaman pada sang sahabat yang saat ini mulai memejamkan matanya. Ying menatapnya kasihan. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, namun ia tahu ini bukan saat yang tepat. Yaya masih shock dengan apa yang menimpanya semalam.

Tak lama kemudian Ying menjalankan mobil ke rumahnya, karena ia tahu Yaya takkan mau pulang ke rumahnya sendiri.


Kedua mata Yaya mengerjap beberapa kali karena sinar cahaya matahari. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencoba memahami dimana ia sekarang. Seluruh tubuhnya terasa pegal, namun Yaya memaksakan diri untuk duduk dan sadar ia berada di kamar Ying.

"Akhirnya lo udah bangun." Ying datang dengan nampan berisi bubur dan air putih. Yaya tersenyum, membiarkan Ying duduk di sebelahnya. "Gimana perasaan lo? Udah lebih baik?" tanya Ying masih sedikit cemas.

Yaya mengangguk. Ia tak tahu berapa lama ia tertidur, namun ia sudah merasa baik-baik saja sekarang. "Boboiboy gimana? Ada kabar tentangnya?"

Ying menghela napas karena sudah menduga Yaya akan bertanya soal itu. "Dia belum sadar. Tapi masa kritisnya udah lewat. Kak Gopal cuma ngabarin itu tadi." jawab Ying, membuat Yaya merasa lega. "Lo seharusnya pikirin diri lo sendiri. Gue panik banget tau tiba-tiba ditelpon kak Gopal dan denger lo sama Boboiboy abis diculik!" omel Ying.

Yaya tersenyum kecil. Ia tahu ia mulai menghadapi omelan Ying sekarang.

"Bisa-bisanya lo langsung cari dia sepulang sekolah. Ga ngomong ke gue pula!"

"Maaf, aku nggak kepikiran itu." ujar Yaya pelan. Ying menggembungkan pipinya kesal. "Tapi, Ying. Fang ternyata bener. Boboiboy di sana pas aku ke jembatan,"

Ekspresi Ying langsung berubah kaget. "Beneran? Kok bisa?"

"Entahlah. Tapi disitu juga awal mulanya. Tiba-tiba kami dikejar sama seseorang..." ucapan Yaya terhenti saat menyadari sesuatu. Ying belum mengetahui soal ini. Ditatapnya Ying ragu yang masih menanti cerita darinya.

"Lo nggak mau cerita lebih detailnya?" tanya Ying, terlihat jelas ia tampak kecewa.

Yaya menghela napas gelisah. "Sebenarnya ini permintaan Boboiboy. Cuma... aku cerita ke kamu aja, ya?" tanya Yaya dan langsung diangguki semangat oleh Ying.

"Kemarin itu, setelah aku berhasil nemuin Boboiboy, kita dikejar sama geng preman yang jadi musuh Boboiboy."

"Musuh?" beo Ying.

Yaya mengangguk. "Sejujurnya aku gabisa ceritain ini lebih mendalam. Intinya, Boboiboy pernah nyelametin seseorang, dia adalah ketua geng. Dia waktu itu hampir ditusuk oleh musuhnya, tapi Boboiboy berhasil mencegahnya. Dari sana, Boboiboy diakuin ketua geng itu sebagai anggota mereka, dan dia jadi diincar oleh musuh geng itu."

Ying memijat pelipisnya yang entah kenapa pusing.

"Kita disekap semalam sama musuh gengnya Boboiboy. Kamu mungkin bakal mengira mereka jahat, tapi mereka nggak kayak gitu. Mereka baik, kok..." Yaya berhenti bercerita ketika mengingat lagi ucapan Shielda semalam. "Yah, walaupun tidak semuanya..." gumamnya sendu. Untungnya Ying tak melihat perubahan ekspresinya.

"Jadi, lo yang nggak tahu apa-apa malah ketarik ke masalah mereka? Sebagai sandera?" tanya Ying. Yaya menganggukkan kepalanya pelan. "Lo serius nggak diapa-apain? Lo bisa ngomong ke gue Yaya, gapapa, gue bakal bantu lo." kata Ying cemas.

Ingatan Yaya kembali pada malam itu, ketika Iwan hampir ingin melecehkannya. Ia masih terbayang bagaimana tatapan Iwan yang seperti ingin melahapnya. Hal itu membuat Yaya takut setengah mati, sampai tak sadar tangannya tiba-tiba bergetar.

"Yaya, lo kenapa?" tanya Ying semakin khawatir. Jelas ada sesuatu yang terjadi pada Yaya.

Namun Yaya tak mendengar. Tangannya terus gemetar hingga seluruh tubuhnya. Tak lama air matanya kembali mengalir. Kepalanya semakin mengingat kejadian semalam yang hampir menghancurkannya.

"Ying... aku... aku takut..." ucap Yaya terbata-bata. Ying langsung memeluknya erat, berkata bahwa semua baik-baik saja. "Aku... hampir dilecehin... aku... aku..."

"Sshhh, Yaya sudahlah. Lo tenang dulu, oke? Gue disini." bisik Ying.

Yaya menggeleng. Ia melepas pelukannya pada Ying yang bingung dengan sikapnya. "Iwan... dia ada di sana..."

"A-apa?" tanya Ying tak percaya.

"Iwan... dia jahat, Ying..."

Ying mendecak tak percaya. Bagaimana bisa seorang ketua OSIS di sekolahnya bisa sebusuk ini? Tapi Ying tak bertanya lebih lanjut, ditenangkannya Yaya lebih dulu yang masih terisak kecil. Sekolahnya pasti sangat gempar besok, Ying tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa.

Setelah Yaya berhasil tenang, Ying menatapnya lamat-lamat. Ia menyodorkan air putih yang tadi ia bawa untuk Yaya.

"Lo makan dulu, ya? Habis itu gue anterin pulang." ujar Ying, Yaya langsung menatapnya. "Ibu lo khawatir banget sama lo, Yaya. Lo juga harus berbaikan sama ibu lo. Oke?"

Yaya akhirnya mengangguk pelan. Ia memang tak bisa menghindari sang ibu terus. Karena hanya dia yang ibunya miliki sekarang. Jadi Yaya memutuskan, ia akan menghadapinya nanti.


Kaizo menanti dengan sabar di tempat duduknya. Hari ini ia pergi ke penjara untuk bertemu dengan Adu Du. Ia tak sempat menghentikan perbuatan Adu Du semalam karena pergi ke kantor polisi terlebih dahulu untuk membuat laporan. Seharusnya ia tidak melakukan hal itu dan menyerahkannya pada Sai saja. Ia benar-benar menyesal tak lebih dulu ke sana.

Tak lama kemudian Adu Du datang bersama seorang polisi yang menemaninya. Wajah preman itu tampak tak terkejut sama sekali dengan kedatangannya, bibirnya malah tersenyum licik. Kaizo mengepalkan tangannya kuat. Andai tak ada kaca pembatas di antara mereka, Adu Du sudah pasti mati di tangannya sekarang.

"Kenapa lo ke sini? Mau hajar gue?" tanya Adu Du semakin memancing amarahnya.

"Lo... kenapa lo lakuin itu ke Boboiboy?" Kaizo mengabaikan pertanyaannya. Dilihatnya Adu Du yang tampak berdecak kesal. "Jawab gue, anjing!"

"Lo bodoh atau gimana, sih? Gue lakuin itu karena dia ngegagalin usaha gue buat bunuh lo!" jawabnya kesal.

"Lo bisa aja nangkep gue, bangsat! Nggak usah bawa-bawa anggota gue!"

Mendengarnya Adu Du tertawa keras. Ia menatap Kaizo remeh. "Anggota tersayang?" sindirnya. Dilihatnya Kaizo menggebrak meja keras, menatapnya dengan tatapan elang.

"Kalo lo sampai buat dia mati..."

"Gue nggak buat dia mati, Kai. Dia masih hidup bahkan setelah gue hajar dia. Anggota lo kuat juga." jawab Adu Du dengan seringaian. Dia mendekatkan wajahnya pada Kaizo yang terlihat ingin menerkamnya. "Satu hal yang lo harus tau, bokap dia sendiri yang lakuin itu ke dia."

Kaizo tak menunjukkan ekspresi terkejut. Karena ia sudah mendengarnya dari Gopal. Adu Du tampak kecewa dengan tanggapannya. Ia kemudian memundurkan lagi kepalanya dengan santai.

"Wajar sih, dia bukan anak kandungnya. Pantes aja bokapnya mau bunuh dia." celetuk Adu Du.

Kaizo melebarkan matanya. Ia menatap Adu Du tak percaya. "Apa lo bilang?"

"Ups. Gue keceplosan." kata Adu Du menyebalkan.

"Lo–"

"Waktu kunjungan sudah habis." kata petugas polisi yang menemani Adu Du dan menarik Adu Du berdiri.

Kaizo tak tinggal diam. Ia juga berdiri dan menatap Adu Du penuh tuntutan. "Lo bilang apa tadi! Jawab gue!"

Adu Du terkekeh. Ia membalikkan badannya untuk bertemu pandang lagi dengan Kaizo. "Lo tanya aja sendiri ke anaknya. Ohiya, lagi sekarat ya? Atau udah mati?" balasnya dan tertawa macam orang gila. Polisi itu kemudian menariknya pergi dari sana.

Kepalan tangan Kaizo semakin menguat dan ia menggebrak meja sekali lagi.

"AAARRGHH, BRENGSEK!"


Gopal berdiri di sebelah ranjang Boboiboy yang masih belum sadar. Hari ini ia dipindahkan ke ruang perawatan karena kondisinya mulai stabil. Alat-alat penunjang hidup masih menemaninya, membuat Gopal merasa bersalah karena gagal melindungi sahabat yang sudah ia anggap keluarganya sendiri.

Kepala Gopal menunduk dalam. Pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang baru ia ketahui beberapa jam lalu. Ia mengusap wajahnya yang lelah dengan frustrasi.

"Kenapa lo nggak bilang selama ini, Boboiboy?"

Siang tadi, seorang polisi meneleponnya dan memberi tahu tentang mobil Boboiboy yang diderek karena parkir sembarangan dekat jembatan. Gopal mengurusi itu semua sampai ia berhasil membawa lagi mobil itu. Ia sampai berdecak kagum kunci itu ditinggal di dalam oleh yang punya. Untung saja ia dibantu oleh pihak kepolisian untuk membukakan pintu mobilnya.

Namun Gopal menemukan sesuatu yang begitu mengejutkan. Terdapat secarik kertas yang tergeletak di lantai, seperti sengaja dijatuhkan. Perlu usaha besar untuk ia membaca jelas kertas yang sudah tak terbentuk itu akibat remasan seseorang. Dan Gopal hampir tak percaya ketika tulisan itu berhasil ia baca seluruhnya.

Selama ini Boboiboy hanya cerita hubungan ia dan ayahnya sangat buruk. Gopal berpikir masalah itu tak akan sangat serius, seperti masalah keluarga seperti biasanya. Tapi dari kertas tersebut, Gopal meyakini Boboiboy juga baru mengetahuinya setelah kematian ibunya. Ia sedikit kecewa Boboiboy tak langsung memberitahunya. Gopal mencoba mengerti alasan Boboiboy melakukan itu. Pasti sangat sulit untuk mengatakannya, bahkan untuk memercayainya saja.

Suara pintu terbuka membuat Gopal menoleh dan menemukan Kaizo baru saja masuk. Ekspresi cowok itu tampak gusar, Gopal mengernyit bingung.

"Keluar. Ada yang mau gue omongin." katanya sebelum keluar dari ruangan lagi.

Keheranan Gopal semakin bertambah. Ia menatap sekali lagi pada Boboiboy yang masih memejamkan matanya sebelum menyusul Kaizo duduk di bangku tunggu.

"Kenapa?" tanya Gopal langsung.

Kaizo mencoba mengatur napasnya. Emosinya di penjara tadi belum sepenuhnya hilang. "Boboiboy... lo tahu tentang keluarganya?"

Gopal sedikit terkejut Kaizo akan menanyakan hal itu. Ia ingin menjawab, namun Kaizo sudah lebih dulu berbicara lagi.

"Gue abis ke penjara buat nemuin Adu Du tadi." ucapnya. "Dan dia bicara yang menurut gue nggak masuk akal."

"Kai, sebenernya..." potong Gopal ragu. Ia menghela napas panjang. Meyakinkan diri untuk memberitahu hal ini pada ketuanya. Kaizo menatapnya penuh penasaran. Dirogohnya saku jaket untuk mengambil kertas yang ia temukan tadi. "Gue nemuin ini di mobil Boboiboy," ucap Gopal seraya menyerahkan kertas itu pada Kaizo.

Kaizo mengambil kertas itu dan membacanya cepat. Ia menggeleng tak percaya, merasa semua ini semakin tidak masuk akal.

"Gue rasa, kita nggak bisa ikut campur masalah keluarganya. Boboiboy nggak akan ngizinin itu."

"Lo gila? Dia hampir dibunuh sama ayahnya sendiri. Adu Du juga berkomplot sama ayahnya!" sentak Kaizo.

"Tapi, Kai. Gue ngerti alasan dia nyembunyiin ini dari kita."

"Omong kosong! Lo tau sendiri Boboiboy keras kepala." balas Kaizo sengit. "Gue akan cari tahu ini. Kenapa Adu Du bisa berkomplot sama ayahnya, cuma buat bunuh dia."

"Kai!" seru Gopal, tapi Kaizo sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Gopal mengacak rambutnya frustrasi. Masalah menjadi semakin rumit. Terlebih lagi Kaizo sudah mengetahui semuanya. Walaupun cowok itu tampak acuh dengan segalanya, namun Kaizo tetap memiliki sisi yang jarang diketahui oleh orang lain. Apalagi jika itu membuat ia merasa berutang budi, Kaizo akan melakukan segalanya. Wajar jika Kaizo bersikap seperti ini, karena Boboiboy pernah menyelamatkannya. Meski Boboiboy tak pernah meminta balas budi pada Kaizo.

Gopal menghela napas seraya menyandarkan kepalanya yang pusing pada dinding di belakangnya. Ia berharap Boboiboy segera sadar agar masalah ini cepat selesai.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

tbc

a/n :

baca reviewnya ada yg pengen sampai chap 20? wkwk apakah kalian ngga bosen? gue juga bingung mau ceritain apalagi cuy, tapi liat nanti deh

see u next chapter!