Andai saja Hangkasa dan Gaharum tahu. Mobil yang membawa Halilintar tak pernah melaju ke kantor polisi. Alih-alih dibawa ke sana, mereka justru membawa Halilintar langsung ke Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di kota ini, tempat dimana para remaja yang melakukan tindakan kriminal menunggu proses peradilan mereka.

Di sana dia digiring masuk menuju ruangan temaram. Dalam ruangan itu tak ada apapun selain sebuah meja dan dua kursi. CCTV terpasang di setiap sudut. Salah satu kursinya telah diisi seorang pria yang sedang mengoperasikan laptop. Tanpa sepatah kata pun, ruangan itu sudah terasa sedang mendorongnya ke sisi jurang. Kemudian mereka duduk saling berhadapan. Pria itu sempat menatapnya sekilas sebelum kembali sibuk dengan laptop di depannya.

Sama seperti ucapan petugas kepolisian di depan rumahnya, Halilintar kembali dituduh sebagai pembunuh Gempa. Tidak tinggal diam, Halilintar menjawab semua tuduhan itu dengan sangkalan, bahwa dia bukan pembunuhnya. Namun, pria di depannya juga punya berbagai hal untuk menangkis argumennya. Hingga akhirnya pria itu membalikkan laptop di atas meja menghadap Halilintar.

"Coba lihat ini baik-baik," ucapnya.

Petugas itu memutar sebuah video di laptopnya. Video itu memperlihatkan seseorang berjaket merah yang berkelahi dengan seseorang berseragam SMA. Wajah keduanya tidak begitu jelas terlihat lantaran video itu diambil dari kejauhan, tetapi saat si murid SMA didorong sampai melewati pagar pembatas hingga tubuhnya melayang jatuh, siapapun yang melihat pasti akan menyimpulkan murid SMA itu adalah Gempa. Namun, sampai akhir video itu tidak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda keberadaan orang lain di sana.

Halilintar kehilangan kata-katanya. Bagaimana video itu bisa ada? Siapa yang merekam? Belum selesai dengan keterkejutannya, pria itu menunjukkan setumpuk kertas berisi fakta lain yang tak bisa dibantah.

"Hasil visum Gempa sudah keluar. Dalam tubuhnya ada banyak luka memar, kami menduga ini bekas perkelahian, dan video itu membuktikan dugaan kami. Kesimpulannya, kamu berkelahi dengan dia, lalu mendorongnya sampai jatuh, lalu keluar dari gedung dua seolah tidak pernah terjadi apa-apa."

"Ini nggak benar! Gempa sudah jatuh waktu saya masih ada di lantai dua."

"Kamu pakai jaket merah, kan?"

Halilintar mengepalkan jari-jarinya. Kunci dari bukti yang dimiliki pria itu adalah jaket merah. Semua orang bisa memilikinya, tetapi kebetulan Halilintar memakainya di saat yang tidak tepat. Ini tidak menguntungkan. "Saya memang pakai jaket merah, tapi orang di video itu bukan saya."

"Banyak saksi yang melihat kamu keluar dari gedung dua setelah Gempa jatuh. Kami juga mendapat keterangan dari beberapa pihak bahwa kamu adalah anggota aktif ekstrakurikuler pencak silat, dan sebelumnya kamu juga pernah ingin direkrut ekstrakurikuler atletik, tapi kamu menolak. Melihat semua keterangan itu, mudah bagimu untuk menghajar seseorang dan berlari keluar gedung setelah melakukan hal itu, bukan?"

Tidak. Semua ini tidak benar. Dia memang mengikuti ekstrakurikuler pencak silat dan dia juga menolak tawaran ekstrakurikuler atletik, tetapi demi apapun, orang dalam video itu bukanlah dirinya, bahkan saat itu kakinya saja belum menapaki atap, bagaimana mungkin dia berada di dua tempat dalam satu waktu? Hanya ada satu kemungkinan bahwa ada orang selain Gempa dan Solar saat itu di gedung dua. Saat mengutarakan apa yang diyakininya itu, si petugas polisi langsung tertawa, seolah apa yang Halilintar ucapkan adalah lelucon yang sangat lucu.

"Menarik. Kalau pelakunya orang lain, pertama, pelakunya harus tau kegiatan kalian hari itu. Kedua, pelakunya harus tau kalau kalian akan berpencar. Ketiga, pelakunya harus tau kalau Solar dan Gempa akan naik sampai ke atap gedung dua. Terakhir, pelakunya harus tau kamu akan pakai jaket merah. Pelakunya harus tau semua itu. Menurutmu ini semua masuk akal?"

"Solar juga ada di atap. Bisa saja Solar—"

"Apa Solar memakai jaket merah?"

"Tapi—"

"Dengar, Nak." Si Petugas berhenti tertawa. Wajahnya berubah serius. "Pembunuhan berencana bisa terkena ancaman 20 tahun penjara. Meskipun dalam kasusmu, hukuman akan dikurangi, karena kamu dianggap masih di bawah umur. Seandainya kamu dijatuhi hukuman sepuluh tahun pun itu bukan waktu yang sebentar. Masa depanmu masih panjang. Jadi, pikirkan baik-baik. Akui saja semuanya, mungkin dengan begitu Hakim bisa mempertimbangkan kembali hukuman bagimu."

Halilintar tiba-tiba berdiri, kursi yang sebelumnya diduduki sampai terjungkal. Habis sudah kesabarannya. "Saya nggak bunuh Gempa, berapa kali saya harus bilang!"

Nyatanya, mau berapa kalipun Halilintar mengatakan hal yang sebenarnya, pria itu tak memberi tanggapan berarti. Posisinya sangat tidak menguntungkan. Semua bukti mengarah kepadanya, seolah tangan-tangan imajiner menunjuknya dari segala arah, tetapi disisi lain Halilintar tak bisa membuktikan apa-apa untuk membela dirinya.

Pria itu hanya memberikan tatapan datar, sama sekali tak terusik dengan emosi Halilintar yang meledak-ledak, lalu menelpon seseorang di luar. Tak lama kemudian, dua orang petugas datang. Mereka menarik Halilintar keluar dari tempat itu dan menempatkannya dalam sebuah sel isolasi.

Seorang diri.


.

E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta

Bab 16: Ancaman

.


Ketika Taufan datang ke kelas pagi ini, dia sudah mendapati Yaya dan Ying berada di ruang kelas E. Padahal jadwal pagi ini adalah kelas konsentrasi, biasanya kedua perempuan itu sudah berebut duduk di kursi paling depan, mendengarkan semua ucapan guru pengajar tanpa berkedip. Seolah jika berkedip sebentar saja, mereka akan kehilangan informasi penting.

Sepertinya semua orang tak akan merasa aneh bila Taufan yang bolos kelas hari ini, dia memang sesekali melakukannya. Namun, jika Ying dan Yaya yang melakukan itu, rasanya memang patut dipertanyakan.

"Kalian bolos? Mau nemenin aku, ya?" tanya Taufan sambil tersenyum jahil, kedua alisnya naik turun.

Untungnya Ying sedang tak punya semangat pagi ini, kalau tidak, anak itu sudah disundulnya sejak tadi.

"Aku nggak bisa belajar kalau di ruangan lain," timpal Yaya. Di sampingnya Ying mengangguk setuju.

Taufan mengangguk-angguk. Wajar saja, itu pasti karena Halilintar. Berawal dari satu murid yang diberitahu ibunya bahwa kemarin siang Halilintar dijemput paksa oleh polisi, tahu-tahu pagi ini gosip itu sudah menyebar hampir ke setiap sudut. Semua orang semangat membicarakan hal itu sepanjang pagi, bahkan petugas kebersihan sekolah pun ikut-ikutan.

Kalau diberi pilihan, Taufan rasa Ying dan Yaya juga tak mau melakukannya. Mereka sengaja berdiam diri di kelas E setelah bel masuk berbunyi untuk menghindari semua orang. Karena jika mereka berada di kelas hari ini, maka bisa dipastikan semua orang akan bertanya tentang kebenaran berita itu, bahkan Taufan dengar sudah ada murid kelas A yang berteori jika anak-anak kelas E masih satu komplotan dengan Halilintar untuk membunuh Gempa. Asumsi yang beredar sudah terlalu liar.

Penangkapan Halilintar justru membuat semuanya menjadi semakin rumit, padahal pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana, pasti sedang menertawakan mereka semua sambil menyusun rencana selanjutnya, dan yang dilakukan pihak sekolah hanya memasang poster ucapan belasungkawa untuk mengenang Gempa, mengadakan doa bersama di lapangan outdoor, lalu tetap melanjutkan pembelajaran seperti biasa. Seolah itu bukan masalah besar.

Semuanya diperkeruh oleh Solar yang tak pernah datang ke sekolah. Bangku tempatnya biasa duduk sambil memangku buku sudah kosong berhari-hari. Solar yang seharusnya bisa menjadi saksi kunci justru tak bisa ditemui siapapun, termasuk oleh anak-anak kelas E. Kemarin lusa, Taufan dan Yaya datang mengunjunginya di rumah sakit, tanpa Ying.

Pihak rumah sakit beralasan, Solar baru sadarkan diri dan mengalami trauma, jadi alangkah baiknya mereka tidak bertemu dan membahas kasus itu untuk sementara waktu. Walaupun tidak mengerti apa yang Solar alami malam itu, terpaksa keduanya pulang dengan tangan kosong.

"Cuekin aja. Nanti juga mereka berhenti sendiri," ujar Taufan. "Lagian kita tau, bukan dia yang …," ucapan Taufan terputus, kata-kata yang ingin dia ucapkan tersendat di ujung lidah. Bayangan Gempa yang jatuh dari atap kembali terlintas dalam benak. Sulit baginya membayangkan jika Halilintar yang menjadi penyebabnya. "Ya … kalian taulah."

"Fan, kita sama-sama tau, mana mungkin Halilintar pelakunya. Masalahnya kita nggak punya bukti buat belain dia."

"Kan ada CCTV, Ya. Emangnya video CCTV gedung dua nggak bisa jadi bukti? Atau yang lain banyak kok di sekolah."

"Nggak ada. Alasan kenapa ekskul diliburin waktu itu, karena katanya mau ada perbaikan semua CCTV. Makanya nggak ada rekaman apapun. Semuanya bersih."

"Yang benar aja, Ying. Harusnya—" Taufan langsung terdiam.

"Ada apa, Fan?"

Taufan tak menjawab, dia langsung berjalan cepat keluar kelas. Perkataan Kaizo malam itu kembali terngiang dalam pikirannya. Seketika tubuhnya meremang.

'Saya nggak heran lagi kalau besok semuanya sudah bersih.'

Taufan menggigit bibir. Ah, jangan-jangan maksud perkataan Kaizo malam itu adalah video CCTV gedung dua akan bersih keesokan harinya? Dalam artian semuanya sudah hilang, dan itu terbukti sekarang tak ada barang bukti yang bisa membela Halilintar, padahal anak itu bukan pelakunya. Yang lebih mengejutkannya lagi, wali kelasnya sudah memperkirakan hal ini, tetapi tak tampak melakukan apapun untuk mencegahnya.

Ini gila.

Taufan mengacak-acak rambutnya. Seharusnya dia mendengarkan ucapan Ying tempo hari, tetapi semuanya sudah terlambat. Situasi berbahaya sudah lebih dulu menyepak jakunnya. Satu-satunya hal yang dipikirkan olehnya sekarang hanyalah Kaizo dan orang yang dihubunginya malam itu. Keduanya bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dengan akurat, sudah pasti keduanya juga memiliki informasi penting lainnya. Namun, masalahnya adalah Taufan tak tahu siapa si penelepon dan kapan Kaizo akan menghubungi si penelepon lagi. Menebak hal itu sama mustahilnya seperti menebak apa yang akan terjadi di masa depan.

Taufan yang awalnya berniat ingin menghindari Kaizo, sekarang malah tampak seperti penguntit. Dia diam-diam mengekor Kaizo kemana pun gurunya pergi, meskipun kalau aksinya ketahuan, dia akan sangat mungkin mendapat hukuman dari sang guru, karena bolos hampir di semua mata pelajaran.

Pukul 12.35 siang. Di sela-sela waktu istirahat. Ketika rata-rata para siswa sibuk berkerumun di kantin ataupun di masjid untuk beribadah, Taufan mendapati Kaizo bertemu dengan seseorang di dekat gudang peralatan.

Karena Kaizo pula, Taufan mulai menyadari sesuatu. SMA Budi Asih dikepung oleh CCTV, sama seperti sekolah SMP-nya dulu. CCTV ada di setiap gedung, di lorong, hingga di lobi dan taman. Kecuali di dalam ruang kelas, kamar mandi, dan juga jalanan menuju tempat pembakaran sampah di depan gudang. Tempat-tempat itu luput dari pengawasan, atau bisa dibilang sebagai titik buta, tempat yang cocok untuk mengadakan pertemuan rahasia.

Pria yang ditemui Kaizo datang dari arah berlainan. Taufan memperhatikan mereka dari balik tembok. Kalau tak salah ingat, pria itu adalah salah satu petugas keamanan. Taufan pernah bertemu orang itu sekali di ruang pengawas, saat dia mencoba membunuh rasa bosan dengan berkeliaran menjelajahi seluruh tempat di SMA Budi Asih.

Mereka tampak seperti dua orang yang sedang melakukan transaksi ilegal, berbicara sangat pelan dan gerak-gerik keduanya yang selalu tampak sedang memantau area sekitar. Saat itulah Taufan melihat Kaizo menerima sebuah benda kecil di tangannya, lalu tak lama kemudian mereka pergi ke arah dari mana masing-masing dari mereka datang, seolah apa yang mereka lakukan sebelumnya tak pernah terjadi.

Sebelum Kaizo sempat mengantongi benda itu, Taufan lebih dulu melesat ke arah gurunya. Berbekal tempat sampah kering yang tadi dijumpainya, Taufan sengaja tak melihat jalan, dan menabrakkan dirinya sendiri pada Kaizo. Keduanya jatuh terduduk. Tempat sampah kering di tangan Taufan ikut jatuh, isinya berhamburan di sekitar mereka.

"Maaf, Pak. Saya nggak sengaja," ucap Taufan sembari mengembalikan sampah-sampah itu ke tempatnya. Dia sempat melirik Kaizo yang menunduk, tampak seperti mencari-cari sesuatu. Sembari menunduk, ujung bibirnya sedikit terangkat.

Taufan bangkit berdiri ketika semua sampah tak lagi berserakan. Dia berniat pergi ke arah tempat pembakaran sampah, sebelum Kaizo menghentikannya.

"Kamu lihat barang saya?"

"Barang apa, Pak?"

Kaizo tak menjawab. Sekali lagi, Taufan melihat Kaizo diam-diam mengamati pakaiannya. Setelah itu, dia menyuruh Taufan segera pergi, sementara itu Kaizo tetap berada di sana.

Taufan menyeringai. Disaat-saat seperti inilah kemampuannya cukup berguna. Dokter di Rumah Sakit Silika pernah mengatakan, kemampuannya mirip dengan kemampuan yang rata-rata dimiliki orang-orang tunanetra, tetapi yang membuatnya berbeda adalah semua panca indera Taufan dapat berfungsi dengan normal.

Dokter mengatakan, itu karena area korteks visual primer di otaknya. Kortikal pertama yang menerima informasi dari dunia visual menunjukkan adanya aktivitas, baik itu ketika Taufan melihat dengan indera penglihatannya seperti kebanyakan orang, maupun ketika indera penglihatannya sedang tidak aktif digunakan. Belum diketahui pasti apa yang menjadi pemicunya. Karena itu, setiap kali melakukan pemeriksaan kesehatan rutin dari sekolahnya, dokter selalu memberikan sebuah jurnal agar Taufan bisa menuliskan semua hal yang dia rasakan saat kemampuan itu digunakan, tetapi Taufan bukan tipikal orang yang suka menulis. Jurnal pemberian dokter itu pun sudah hilang entah kemana. Berkali-kali diberikan, berkali-kali hilang pula.

Maka dari itu, ketika benda itu terlepas dari tangan Kaizo dan jatuh ke tanah, otaknya otomatis membuat sebuah visualisasi akurat dari posisi benda itu jatuh hanya dengan mendengar suaranya. Apalagi tempat sampah yang dibawanya hanya berisi gulungan kertas, plastik dan benda lain, sehingga dengan mudah dia membedakan suara-suara yang dihasilkan. Kemudian tanpa sepengetahuan Kaizo, Taufan mengambil dan menyelipkan benda itu dalam salah satu sepatunya. Jadi, walaupun Kaizo mau memeriksa kantung baju dan kantung celana, guru walinya itu tak akan menemukan apa-apa. Kecuali Kaizo mau repot-repot melihat-lihat isi sepatunya.

Taufan baru mengeluarkan benda itu saat tiba rumah. Dia tak mau mengambil risiko dipergoki Kaizo. Setidaknya di rumah lebih aman. Tak lupa, Taufan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Dia mendudukkan dirinya di depan meja belajar.

Benda itu adalah sebuah flashdisk kecil berwarna hitam. Di dalamnya ada beberapa folder yang hanya dinamai angka satu, dua, dan seterusnya. Taufan tak mengerti arti dari angka-angka tersebut. Jadi dia mulai membuka folder itu satu per satu. Dalam folder angka satu, Taufan menemukan kurang lebih sepuluh video, begitu pula dalam folder angka lainnya, ditemukan lebih banyak video yang semakin diselami, semakin terasa mencekik lehernya.

Dalam situasi normal, video-video itu hanya akan tampak seperti video rekaman CCTV biasa, tetapi kali ini situasinya berbeda. Yang membuatnya terasa mengerikan, video-video itu merupakan video dari CCTV yang dianggap rusak, dan tanggal yang tertera dalam video itu terjadi saat Gempa jatuh dari atap.

Itu artinya CCTV di SMA Budi Asih tak pernah mengalami kerusakan dan bukan dalam masa perbaikan seperti kabar yang beredar, melainkan ada pihak yang sengaja menciptakan kondisi tersebut agar diam-diam dapat menghapus semua rekaman videonya untuk menghilangkan jejak.

Ini lebih gila dari dugaannya.

Kepalanya terasa pening. Kalau sudah begini, logikanya sulit menerima bahwa rentetan kejadian yang dialaminya tempo hari hanya disebabkan oleh para penulis sticky note. Mereka mungkin saja bisa keluar-masuk area sekolah sesuka hati, tetapi tidak mungkin mereka memiliki akses sampai ke fasilitas keamanan. Namun, jika ini ulah pihak sekolah, kenapa harus Gempa yang menjadi korban? Mungkinkah karena pembicaraannya dengan Solar?

Tanpa sadar, Taufan mengacak-acak rambutnya sendiri. Hati kecilnya memberi sinyal bahaya yang semakin terasa kencang, sekencang degupan jantungnya sendiri, tetapi dia tidak bisa berhenti hanya sampai di sini. Taufan merasa ada hal yang lebih besar di balik semua ini dan semua yang terjadi di sekitarnya saling terhubung. Namun, jika terus ditelusuri lama-lama dia bisa gila sungguhan.

"Kenapa? Kepalamu ketombean?"

Taufan tersentak saat tiba-tiba mendengar suara orang lain di dekatnya. Batinnya merutuki kecerobohannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar. Namun, Taufan masih berusaha tenang dan tak menanggapi.

Seorang gadis yang berusia lima tahun lebih tua dari Taufan masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan sembari kedua tangannya terlipat di dada. "Kamu nggak lagi cari masalah, kan?"

Pertanyaan itu sukses membuat Taufan menoleh pada gadis itu. Wajahnya berubah malas. "Apa di mata kakak aku kayak tukang cari masalah?"

"Memang iya, kan? Biasanya kalau kamu diam di kamar terus, nggak lama pasti ada masalah," katanya sok tahu.

Bagi gadis itu, Taufan tak ubahnya sesosok balita yang butuh pengawasan. Ketika balita diam tanpa suara, pasti ada saja proyek yang sedang dikerjakan. Gadis itu jadi teringat kejadian dua tahun lalu, saat Taufan kedapatan menyebarkan soal ujian tengah semester, beberapa hari sebelumnya Taufan juga banyak mengurung diri di kamar. Apakah salah jika dia memiliki prasangka serupa?

"Hanna!" seru seorang wanita dari ruangan lain. Gadis yang dipanggil Hanna itu menghela nafas.

Taufan melirik jam di atas meja belajarnya, kemudian dia tersenyum pada Hanna. "Oh, udah jamnya, Kak. Ayo minum obat. Nanti kalau telat, penyakitmu kambuh lagi," ucap Taufan tanpa memalingkan wajah dari Hanna. "Jangan salah paham. Ini bukan berarti aku peduli. Kita kan lagi main rumah-rumahan."

"Bisa nggak usah bahas itu lagi?"

"Ok. Omong-omong, aku ada pertanyaan serius. Menurut kakak, siapa yang bisa hapus video rekaman CCTV?"

Hanna tampak mengerutkan alisnya sejenak. "Petugas keamanan."

"Selain itu?"

"Guru atau kepala sekolah mungkin." Kemudian Hanna tersadar. "Kenapa kamu nanyain itu?"

"Bukan apa-apa," jawabnya sambil tersenyum. "Cuma tanya aja."

Taufan langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Sekarang semuanya sudah lebih mengerucut. Hanya dua. Guru atau kepala sekolah. Jika salah satu diantara mereka pelakunya, Taufan akan membuat perhitungan dengan mereka. Setidaknya dengan caranya sendiri.

~o0o~

Aroma kopi menguar dari mesin pembuat kopi. Katanya, aromanya bisa membuat orang-orang menjadi lebih rileks, karena itu dewasa ini banyak sekali produk-produk aromaterapi beraroma kopi di jual di pasaran, tetapi sayangnya aroma kopi itu bahkan tak bisa menenangkan orang-orang yang ada di ruang kepala sekolah, terutama bagi orang tua Halilintar.

Orang tua mana yang bisa tenang, sementara salah satu putranya ditahan dan dituduh menjadi otak dari upaya pembunuhan, bahkan sejak penjemputan paksa Halilintar oleh kepolisian, mereka sama sekali tidak bisa bertemu dengannya. Polisi terlanjur membawanya ke lembaga lain dan membawa berkasnya menuju kejaksaan. Rasanya seperti terburu-buru diselesaikan. Karena itu mereka datang ke SMA Budi Asih, bermaksud meminta dukungan, bahkan jika mereka harus melakukan hal-hal tak masuk akal, akan mereka lakukan tanpa pikir panjang.

Ayuyu meletakkan tiga cangkir kopi di atas meja. Dia menghela nafas panjang. "Sebenarnya pagi ini perwakilan dari komite orang tua menghubungi saya. Mereka terus mendesak agar saya segera mengeluarkan Halilintar dari sekolah ini secara resmi."

Tidak mengejutkan bagi mereka, kepala sekolah pasti salah satu yang mendapat tekanan untuk tetap menjaga nama baik instansi, dan hanya tinggal menunggu waktu sampai hal itu terjadi.

Rasa lelah, frustasi, dan juga kesedihan terpantul di wajah Mama. Beberapa hari ke belakang dia sulit beristirahat. Pikirannya selalu melayang-layang, tidurnya tak lagi damai. Lalu dia berujar dengan bibir yang pucat dan kering, "Halilintar bukan pelakunya. Saya bisa jamin itu."

"Saya tahu, Bu. Karena itu saya masih menahannya. Tapi, untuk sekarang saya tidak bisa menutup mata dari kasus ini, apalagi ini terjadi di lingkungan sekolah. Yang bisa saya lakukan hanyalah tetap mempertahankan Halilintar di sekolah ini selagi mengawasi hukum yang berjalan. Agar nantinya kalau bukan dia pelakunya, dia masih bisa melanjutkan pendidikannya."

"Apa ada orang lain selain siswa yang ada di sekolah hari itu? Video yang polisi punya diambil dari gedung lain, tapi kalian bilang semua siswa diliburkan?"

"Ya, saya akan cari tahu secepatnya, Pak."

"Anak sulung kami bukan pelakunya. Ini pasti ada kesalahan."

"Ya, saya tahu, Pak. Kita berdoa saja agar Solar bisa segera pulih dan bisa memperjelas semuanya."

Itu terdengar seperti utopia. Pada kenyataannya orang tua Halilintar bahkan tak bisa bertemu dengan Solar. Mereka mengerti tindakan orang tuanya. Bagaimanapun juga Solar adalah saksi kunci. Jika ada kesalahan dalam pernyataannya, tuduhan bisa saja berbalik arah. Namun, bisakah putra mereka mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya?

Seolah mengerti, Ayuyu meraih kedua tangan Mama yang sejak tadi bergerak gelisah. Direngkuhnya tangan itu dalam genggamannya. "Negara kita adalah negara hukum, Bu. Kita percayakan saja semuanya pada pihak yang berwenang. Saya yakin, kebenaran pasti akan terungkap."

Ya, mereka berdua percaya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri, tetapi jika tidak diusahakan, bagaimana kebenaran itu akan muncul?

~o0o~

Taufan memandangi pintu kayu jati berukiran elang dan awan dengan pandangan skeptis. Mendengar pembicaraan Kepala Sekolah dengan orang tua Halilintar membuatnya mual. Hanna benar. Jika seseorang menginginkan video rekaman CCTV hilang selamanya, selain petugas keamanan, ataupun guru, maka orang yang menempati ruangan inilah yang harus dicurigai. Gempa tak pernah berurusan dengan petugas keamanan, tentu mereka tak memiliki motif spesifik. Apalagi guru-guru, bisa dibilang Gempa adalah anak kesayangan mereka, tipikal murid teladan. Jadi, kemungkinannya hanya orang yang menempati ruangan itu. Namun, apa tujuannya melakukan hal itu? Apa orang itu saling berkaitan dengan penulis sticky note? Untuk yang satu itu, dia tak yakin.

Taufan segera bersembunyi saat orang tua Halilintar keluar dari ruangan itu. Sepertinya kepala sekolahnya akan mengantar orang tua Halilintar sampai ke depan gerbang. Semoga saja begitu. Saat mereka menghilang di tangga, Taufan keluar dari tempat persembunyiannya.

Perlahan-lahan, Taufan mendorong pintu di depannya. Kakinya pelan melangkah menuju meja kerja kepala sekolah, jemarinya menelusuri rak kecil yang berisi berbagai penghargaan yang disematkan kepada SMA Budi Asih beberapa tahun silam. Beranjak ke meja kerja, Taufan mendudukan diri di kursi kepala sekolah, kursinya lebih nyaman daripada kursi belajarnya di kelas, lalu kepalanya bersandar hingga kursi itu sedikit miring ke belakang. Dari situlah dia melihat sebuah potret kepala sekolah SMA Budi Asih bertiga dengan Walikota dan seorang pria lain dalam sebuah acara formal. Taufan mengambil bingkai foto itu dan mengamatinya dari dekat. Matanya tak lepas memandangi pria necis yang berdiri di samping Walikota. Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, terasa familiar, tetapi juga terasa asing, seperti pernah melihatnya di suatu tempat, tetapi dia tak ingat dimana.

Diletakkannya kembali bingkai foto itu. Tidak ada gunanya memikirkan hal yang tidak perlu. Fokus pada tujuan itu lebih utama, jika tidak semuanya akan berantakan. Taufan mengatur nafas, mencoba menenangkan diri, sejak tadi jantungnya berdetak tak karuan.

Taufan tahu betul tindakannya hari ini akan mendatangkan masalah di kemudian hari, tetapi dia tak punya pilihan lain. Semua manusia tak pernah lepas dari masalah, dan dia akan lebih merasa bersalah jika memilih tetap diam. Mengetahui semua ini membuat hatinya tak tenang, tetapi jika tak diungkapkan, rasanya dia bisa mati tenggelam dalam rasa tak nyaman.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki disusul suara pintu yang terbuka, dan suara seorang wanita, "Apa yang kamu lakukan di ruangan saya, Taufan?"

Taufan menoleh pada sumber suara, tetapi tidak juga beranjak dari sana. "Teman saya lagi ada masalah, Bu. Jadi, sebagai anak baru gede yang kurang pengalaman, saya butuh saran dari orang dewasa. Ibu contohnya."

"Daripada datang ke sini, bukannya kamu lebih cocok pergi ke ruang bimbingan konseling?"

"Yah, guru BK mana bisa ngurus masalah CCTV?"

Mendengar itu Ayuyu terlihat waspada. "Taufan dengar, saya punya banyak pekerjaan. Bisa kamu kembali ke kelas sekarang?"

"Saya Cuma minta bantuan Ibu buat bebasin Halilintar. Itu aja."

"Saya ini kepala sekolah, tidak punya wewenang dalam hal itu. Lagipula polisi akan melakukan tugasnya dengan baik."

"Yah, padahal saya punya buktinya."

Umpan sudah dilemparkan. Ayuyu tampak mengangkat alis, memastikan pendengarannya tak salah. Mengerti kebingungan kepala sekolahnya, Taufan segera memperlihatkan sebuah video di ponselnya. Butuh waktu semalaman untuk menonton semua video dari flashdisk Kaizo. Spesial untuk sang Kepala Sekolah, Taufan memilihkan salah satu video terbaik, video rekaman CCTV di lorong yang dilewati Halilintar pada saat kejadian. Meskipun memang benar Halilintar ada di gedung dua pada saat itu, tetapi sebelum mencapai atap, Halilintar terlihat hampir terjatuh di tangga, lalu memutar arah dan kembali ke lantai dasar. Hal itu tentu saja bisa membuktikan bahwa Halilintar bukanlah pelakunya.

Ada dua ekspresi yang Taufan lihat. Pertama, terkejut. Kedua, geram. Terlihat jelas dari cara Ayuyu menggenggam ponselnya seolah sedang mengepalkan tangan. Sudut bibir Taufan terangkat, saat pandangan mereka bertemu, kedua alisnya bergerak naik turun dengan seulas senyum yang tak lepas dari bibirnya.

"Darimana kamu dapat video itu?"

"Rahasia," ucap Taufan dengan suara berbisik.

"Jangan main-main—"

"Kalau videonya ada, berarti sebenarnya CCTV gedung dua nggak rusak. Ya kan, Bu?" Dengan santainya Taufan kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, matanya terarah ke langit-langit, menerawang jauh ke masa depan. "Tapi Ibu bilang ke semua orang kalau videonya nggak ada, karena semua CCTV rusak. Wah, sekarang apa jadinya kalau semua orang tau Kepala sekolah SMA Budi Asih ternyata menghapus barang bukti pembunuhan siswanya?"

Ayuyu beranjak dari tempatnya berdiri. Wanita itu mendudukkan dirinya di sofa, tak jauh dari meja kerjanya, dia juga mengisyaratkan agar Taufan duduk di hadapannya.

"Apa maumu?"

"Ibu udah dengar tadi. Ah, satu lagi. Saya nggak tau apa masalah Ibu dengan Halilintar dan keluarganya, tapi mulai besok, jangan ganggu siswa kelas E lagi. Bisa, kan?"

"Kalau saya tidak mau?"

"Jam 12 nanti, semua sosial media saya bakal otomatis upload video CCTV itu. Tapi kalau Ibu setuju, saya bisa batalin. Semuanya bisa diatur lah."

Ayuyu melirik jam tangannya. Hanya lima belas menit yang tersisa sebelum waktu benar-benar menunjukkan pukul 12 tepat. Tidak cukup banyak waktu untuk berpikir mencari cara lain, juga terlalu berisiko untuk membuktikan kebenaran ucapan anak itu. Bagaimana jika Taufan tak main-main dengan ucapannya? Semuanya bisa hancur. Namun, jika Ayuyu menuruti keinginan Taufan, justru dialah yang akan hancur.

Benar. Ucapan Taufan tepat sasaran. Entah dia hanya asal bicara atau memang tahu segalanya. Ayuyu lah yang merencanakan semuanya, termasuk otak dibalik penahanan Halilintar di LPAS.

Semua akan berjalan lancar jika anak laki-laki di depannya tidak mencoba menghancurkan rencananya.

.

.

.

Tbc


Haaaai, akhirnya setelah sekian purnama, aku bisa kembali nulis cerita ini wkwk. Sejujurnya dari awal tahun ini sampai sekarang aku lagi sibuk meningkatkan kualitas diri sebagai penagih utang profesional, dan sedikit demi sedikit melupakan impian terbesarku untuk tinggal di Mars. Cuma memang bulan Maret dan April ini pressure-nya lagi tinggi-tingginya, apalagi menjelang lebaran, otakku agak macet karena udah mumet dan terbayang-bayang pulang ke kampung halaman. Ditambah bulan Mei ini tempat kerja lagi di invasi tim audit, dan bulan Juni mood nulisku benar-benar hilang :'(( jadi perlu membaca satu atau dua buku sebelum lanjut menulis lagi.

Seperti biasa, kalau ada pertanyaan atau kritik dan saran, bisa dikirimkan ke kolom review. Makasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.

Sampai nanti.
SkyLi