Reply0:
Hush :)
Alix Nostrand:
Mwahaha, no comment :D
SI PALING REVIEW:
Sudah ada jadwal up, dan kapitalnya diperhatikan :v
Agam31p:
Ah, bukan, kalau kau cek Mio Takamiya di google, ntar ketemu desain visualnya :D
Alasan kenapa marganya Uzumaki, karena di fic ini, orang yang disukai Seirei pertama adalah Naruto :D
Reply0:
Oh sudah pasti, seirei awal :D
MFaizB:
wkwk, anak Naruto x Mio tentunya, dan sudah up ini yeah :D
Megumin07:
Well, anak kandung atau bukan, ntar juga ketauan, hehe :D
Soal zaman kuno… no comment, ntar juga keliatan :)
dlucifer35:
Done ;)
Sesi balas review berakhir, dan seperti yang diharapkan dari situs ini, wkwk :D
Tanpa basa-basi lagi silakan membaca update chapter 14 di bawah ini ;D
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Seirei Ninja
Summary
Dengan kenyataan yang terungkap, ninja kuning itu harus berhadapan dengan ancaman lain, yang tidak hanya mengancam eksistensi Spirit, tapi juga alam semesta secara keseluruhan.
.
.
Disclaimer
Naruto dan Date a Live dimiliki oleh pemilik aslinya. Author hanya meminjam mereka untuk kepentingan fanfic ini.
.
.
Genre
Utama : Romance. Drama. Friendship. Harem.
Selingan : Humor. Family. Action. Supranatural.
Warning : Semi-OOC Naruto.
.
.
Chapter 14
Memori & Kenangan
.
.
.
Mereka berdua mengamati layar hologram yang menampilkan struktur badan seseorang.
"Gimana?"
Dia menekan sisi kacamatanya. Hologram tersebut menghilang seketika.
"Meski kedengarannya aneh, semenjak awal, gak ada penyakit atau kelainan apapun yang dialami Naruto-kun."
"Lantas mengapa dia seperti ini?"
Suasana di Kediaman Asahiko saat ini dipenuhi ketidaknyamanan. Hal itu karena seseorang yang dicintai para Spirit dalam kondisi tak sadarkan diri. Entah apa penyebabnya.
Saat ini, Maria beserta Nia sedang berada di salah satu kamar, dan melakukan pengecekan ulang terhadap fisik lelaki berambut kuning itu.
Nia menghela nafas.
"Aku sendiri gak paham, maksudku, aliran energi [Reiryoku] yang ada pada tubuhnya saja bereaksi normal. Sisanya seperti tekanan darah, sel kulit, genetik, bahkan semua itu baik-baik saja."
Maria mengerutkan alis.
"Jadi... dia cuma pingsan saja?"
"Begitulah."
Spirit itu mengangguk.
"Aku mengerti. Seharusnya dengan berita ini, kecemasan Spirit lain akan berkurang," ujar Maria.
Nia tertawa canggung.
"Bahkan setelah seminggu kita ngelakuin ini, pada akhirnya kita cuma bisa bilang "Oh, dia cuma pingsan, kalian gak perlu cemas." walau seharusnya ada faktor penting mengapa… hmm?"
Maria penasaran.
"Ada apa?"
Nia menatap gadis itu dengan ekspresi serius.
"Enggak, apa kau masih ingat kata-kata Spirit asal mula kepada Kurumi-chan waktu itu?"
"…"
"Beritahu Uzumaki Naruto, setelah dia dapat satu [Kristal Sephira] lagi, maka kita akan bertemu, dan dia akan mengingat semuanya."
Maria melebarkan matanya.
"K-Kalau dipikirkan lagi, aku bahkan lupa soal ini," ujar Maria.
"Yah, masuk akal, seingatku percakapan ini sudah terjadi lama sekali." Nia menambahkan."Omong-omong, ada baiknya kita ke bawah sekarang, untuk memberitahu yang lain gitu."
"Kau benar."
Mereka berdua keluar dari ruangan ini.
Pintu kamar tertutup dari luar.
Tidak berselang lama, keduanya turun ke bawah lalu memasuki ruang tamu, dan melihat Tenka, Kurumi, beserta kru kapal sedang duduk.
Mereka semua segera berdiri.
"Bagaimana keadaan Naruto?" tanya Tenka.
Nada bicaranya terdengar cemas.
Nia menggaruk pipinya.
"Enggak ada perubahan, Naruto-kun masih tak sadarkan diri, tapi di satu sisi… Kurumi-chan, apa kau masih ingat kata-kata Spirit asal mula dulu?"
Kurumi berkedip.
Kurumi matanya melebar.
"J-Jangan bilang…"
Maria mengangguk.
"Ya, ada kemungkinan Naruto sedang… berinteraksi, dengan Spirit asal mula saat ini."
Semua orang di sini terdiam. Setidaknya, sampai salah satu dari mereka angkat bicara.
"Waahh, padahal kami berencana untuk pamit dengannya sekalian, tapi kalau sudah begini… ya mau bagaimana lagi," kata Kawagoe.
Minowa menghela nafas, lalu tersenyum pada Tenka.
"Jaga dirimu baik-baik, Tenka-chan."
Tenka ikut tersenyum, walau ada sedikit kesedihan terlintas di wajahnya.
"Um, pasti itu, Minowa."
Nakatsugawa mengelap kaca matanya.
"Uhuhuhu, aku akan merindukan tim ini."
Shiizaki menepuk pelan bahu pria gemuk itu.
"Walau berpisah, ini bukan berarti kita gak bisa saling berhubungan lewat kontak, bukan?"
"Huh? Oh, kau benar."
Ekspresi Nakatsugawa cerah kembali, tapi kemudian, dia terlihat bingung.
"Bentar, apa maksudmu dengan 'kita'? Kau bicara aku dan kau saja, Shiizaki?"
Shiizaki salah tingkah.
"M-Maksudku kita semua tentunya. Apalagi memangnya?" (Shiizaki).
"Oh, begitu." (Nakatsugawa).
Kurumi berseri.
"Ara, ufufufu, indahnya punya naksiran."
Nakatsugawa kebingungan sementara Shiizaki merona.
Mikimoto mengerutkan alis.
"Hutangku sudah lunas, dan entah kenapa, itu berbarengan dengan selesainya tugasku di kota ini… aneh."
Nia menyengir.
"Aku bisa tawarkan pinjaman, jika kau mau itu juga."
"Ogah."
Semua orang di sini tertawa.
Maria tersenyum ke arah mereka berlima. Namun, jika diperhatikan, ada kesedihan tersendiri di wajahnya.
"Hati-hati... dan jaga diri kalian baik-baik."
Kelimanya mengangguk sambil tersenyum.
Lalu, mantan anggota [Fraxinus] itu menaiki taksi (yang telah) disiapkan sebelumnya. Para Spirit dan Nia hanya bisa melambaikan tangan ketika mobil-mobil kuning tersebut melaju.
Mereka berempat masuk ke dalam.
Tenka mengerutkan alis.
"Kau yakin kita gak antar mereka sampai ke bandara?"
Maria menggeleng.
"Itu gak perlu. Karena jika kita melakukannya, mereka akan… merasa bersalah pada kita." Maria menambahkan. "Di sisi lain, kemungkinan besar gak akan ada Spirit yang muncul lagi ke depannya.
"Terlebih lagi, kontrak kerja kru kapal lain telah habis, jadi wajar jika mereka pergi mengejar keinginan mereka yang lain."
Nia berkedip.
"Aku masih di sini." (Nia).
"Orang tua kau 'kan salah satu pendiri [Ratatoskr]." (Maria).
"Hehe, begitulah." (Nia).
Tenka dan Kurumi (sweatdrop).
Naruto kehabisan kata-kata saat ini.
Di sisi lain, Mio masih tersenyum ke arah ninja tersebut, dan nampaknya tidak keberatan dengan keheningan yang terjadi.
"Fufu."
Mio berjalan menghampiri Naruto.
Tiba di dekatnya, dia mengelus lembut pipi lelaki itu, sensasi gemetar langsung dirasakan Naruto.
"Naru…"
Naruto menelan ludah.
"Y-Ya, Mio-chan?"
Mio menunjukkan ekspresi lembut. Namun, dalam sekejap, itu berubah menjadi ganas.
"…beraninya kamu ya!"
"A-Adududuh!"
Mio mencubit gemas pipinya. Naruto meringis bukan main.
"Kau sudah punya aku, tapi kenapa main cewek lain hah?! Saudara sesama Spirit pula!"
"M-Maaf! Maafkan aku, dattebayo!"
"Tambah!"
"Arrgghhh!"
Setelah beberapa saat, Naruto berhasil lepas dari cubitan gadis ini, lalu mengusap pelan pipinya (yang masih) terasa sakit.
Mio menengok ke arah lain dengan lengan terlipat. Dia tampak cemberut saat ini.
Naruto memperhatikan itu dan berusaha memikirkan sesuatu.
"E-Etoo, Mio-chan, terlepas dari apa yang telah terjadi… aku sungguh-sungguh, dan benar-benar minta maaf, dattebayo," kata Naruto.
Tak ada jawaban.
Naruto mulai panik.
'Wah, dia masih marah rupa-'
"…fufu."
'-eh?'
Spirit asal mula itu mendadak tertawa.
Naruto kebingungan.
"Err, Mio-chan?"
"M-Maaf, ngeliat ekspresimu yang panik itu keliatan lucu jadi pfffft!"
Ninja tersebut (sweatdrop).
Pada akhirnya, dia berhenti tertawa, dan ekspresi puas terlihat di wajahnya.
"Haah, rasanya lega sekali bisa ketawa selepas ini," kata Mio.
Naruto berkedip.
"Itu berarti… kau sudah gak marah padaku?"
Mio memiringkan kepalanya.
"Marah? Ngapain juga aku harus begitu?"
"Eh? Tapi tadi kau bilang…"
Mio melingkari lengannya pada leher Naruto. Dia tersenyum manis kepada lelaki itu.
"Mou~ dasar kau ini, mana mungkin bisa aku marah sama kamu, sayang~"
Naruto memerah wajahnya.
"O-Oh, bagus kalau begitu."
"Hehe~"
Bijuu itu berkedip.
"Woah."
'Kurama, untuk kali saja tolong diam, kumohon padamu.'
"Maaf, hanya saja, kapan terakhir kali aku melihatmu tersipu seperti sekarang ini?"
Naruto kehabisan kata-kata untuk menjawab.
Mio mengambil langkah mundur. Dia mengerutkan alis ketika menyadari sesuatu.
"Walau awalnya terasa aneh, tapi makhluk ini benar-benar bersahabat telah denganmu rupanya."
Naruto tersadar.
"Bentar, kau menyadari keberadaannya? Lalu kenapa Kurama gak tahu tentangmu?"
"Aku juga penasaran soal ini."
Mio berkedip.
"Oh, itu mudah." Mio menambahkan. "Saat aku ke duniamu, aku mengatur ulang logika di dimensi itu, dan gak cuma membuatku terlihat seperti 'cewek normal' baik luar maupun dalam.
"Tapi juga memberiku kuasa dan pembatasan, pada jumlah spesies yang bisa berinteraksi atau menyadari kehadiranku. Apa penjelasanku cukup?"
"..."
"..."
"Intinya... kau gak suka kehadiranku? Benar begitu?" tanya Kurama.
Mio tersenyum.
Naruto dan Kurama merinding.
"S-Sudah cukup, Mio-chan. K-Kurama sudah berubah, dattebayo."
"B-Benar itu. Aku yang dulu idiot, sangat idiot, dan benar-benar idiot, karena gak sadar kebaikan hati partnerku."
Mio menghela nafas.
"Yah, aku tahu, atas alasan ini juga aku membiarkan.. Kurama, benar? Yah, Kurama, ikut pergi bersama jiwamu ke dimensiku ini, dan itu bisa terjadi berkat kinerja [Senshi Lock]," jelas Mio.
"Oh, kalau dipikirkan lagi, itu sangat multi-fungsi sekali... kapan kau ada waktu meletakkan itu?" tanya Naruto.
Nada bicaranya terdengar gugup.
Mio berseri.
"Mengenai pertanyaanmu, aku 'meletakkan' [Senshi Lock] pada jiwamu, saat kau tidur... selesai kita berhubungan badan lebih tepatnya."
Kurama berkedip.
"Wah, pantas kau gak sadar, pas habis niknot rupanya."
Naruto tertawa canggung.
"O-Oh, begitu, aku mengerti sekarang."
Mio masih berseri sebelum duduk di kursi.
"Sebelum kita berbincang lagi, bagaimana kalau duduk dulu?"
Naruto menengok ke belakang, kemudian duduk setelah menyadari ada kursi. Dia memperhatikan meja dan peralatan lain muncul tiba-tiba.
"Teh?" tawar Mio.
"Kopi tanpa susu," jawab Naruto.
"Hmm, baiklah."
Mio menuangkan minuman ke masing-masing.
Mereka berdua minum dengan tenang.
"Rasanya enak."
"Hehe, makasih banyak."
Naruto tersenyum tipis lalu meletakkan gelas ke meja. Hal serupa dilakukan oleh Mio.
Keheningan menyelimuti suasana keduanya.
"…"
"…"
"Jadi… kau Spirit, huh?"
Mio tersenyum gugup.
"Maaf, kalau aku gak jujur soal diriku sebelumnya."
Naruto berseri.
"Ah, gak masalah, aku cuma kaget saja." Naruto menambahkan. "Omong-omong, gimana kabarmu?"
"Dan kukira kau akan langsung menuju inti permasalahan," kata Mio.
"Kita sudah lama berpisah, jadi kupikir ada baiknya kita membahas hal sederhana sebelum beralih ke topik yang lebih… serius, jika kau paham maksudku," jelas Naruto.
Mio mengangguk.
"Aku mengerti. Mari kita mulai dengan hal sederhana."
Naruto menunggu sambil minum lagi.
"Kau sudah ketemu Hibiki? Dia putri kita, kau tahu."
"Pffft?!"
Naruto menyemprotkan air kopi ke wajah Mio. Mio hanya tersenyum, dan dalam sekejap, air kopi di wajahnya lenyap.
Naruto gelagapan.
"M-Maaf, tapi mendengar kalau dia... p-putri kita, aku jadi..."
Mio mengerutkan alis.
"Aku sangat yakin dia menunjukkan beberapa hal yang mirip denganmu, bukan?"
Naruto menggaruk pipinya.
"Ya... itu memang benar." Naruto menambahkan. "Tapi kalau benar begitu... kenapa dia gak kasih tau aku? Kecuali kalau-"
"-dia gak membencimu, jika itu yang kau khawatirkan."
Naruto meringis.
Mio beranjak dari kursi.
"Ikuti aku."
Naruto berdiri.
Mereka berjalan dalam keheningan.
"Aku dengar setiap kali ketemu Spirit lain, kau mengubah panorama dan lingkungan jadi lautan, dan dikelilingi awan."
"Yup."
"Kenapa aku cuma putih tanpa ujung?"
Mio tertawa kecil.
"Aku cuma ingin membuat mereka nyaman, kalau kau... hm, aku sendiri gak tau alasannya, tehehe."
Naruto (sweatdrop).
Keduanya berhenti tepat di depan suatu adegan. Itu memperlihatkan Mio sedang memperhatikan seorang anak bayi yang merangkak ke arahnya.
Naruto tersentak.
"Ini... memori masa kecil Hibiki?" tanya Naruto.
"Ya, aku membesarkannya seorang diri di dimensi buatan ini, sambil menunggu era modern tiba," jelas Mio.
Kurama berkedip.
"Huh, usianya jauh lebih tua dari keliatannya."
Naruto memilih diam.
Mio tersenyum ke arah bayi itu.
"Ayo kemari, bisa gak deketin mama?"
Bayi perempuan itu berseri lalu berusaha mendekati ibunya.
Saat mendekat, Mio langsung menggendong anaknya ini, lalu tertawa kecil.
"Wah, anak mama pintar, udah lancar ya ngerangkaknya sekarang."
Hibiki tertawa khas anak bayi.
Adegan ini lenyap seketika.
Mio melirik ke arah lelaki itu.
"Berikutnya?"
Naruto mengangguk.
Mereka berjalan lagi, dan kali ini, kenangan (yang diperlihatkan) adalah Hibiki dengan usia anak-anak. Dia tampak memainkan suatu permainan ringan, sementara itu, Mio duduk sambil memperhatikan kegiatannya.
Setelah cukup lama mengatur, Hibiki merasa puas dengan hasilnya, yaitu tumpukan balok menara kokoh aneka warna.
Hibiki beralih ke arah ibunya.
"Gimana, Ma? Mama bisa gak?"
Mio mengelus dagunya.
"Hmm, kayaknya sulit. Mama gak sepintar kamu sih."
Hibiki berseri.
"Hehe, Hibiki gitu loh. Anak kebanggaan mama dan..."
Ada jeda sesaat.
"...papa? Papa... di mana, Ma?"
Naruto merasa dadanya sesak saat ini.
Mio mengelus rambut putrinya itu.
"Sabar, ya? Papa itu lagi... ngalahin orang-orang jahat di dunianya."
"Hmm, jadi kalau papa udah selesai ngalahin mereka, papa bakal kemari?"
Mio tersenyum.
Hibiki cerah ekspresinya.
"Kalau gitu, Hibiki akan nunggu, pasti gak akan lama. Kan? Kan?"
Mio masih tersenyum.
"Um."
"Hehe."
Kenangan ini lenyap seketika.
"..."
Mio menatap cemas lelaki itu.
"Mungkin... akan lebih baik kalau kita..."
"...gak, teruskan saja."
"K-Kau yakin, maksudku, bahkan dari sini saja, kau pasti paham akan ke mana ini tujuannya..."
Naruto menyengir pada Spirit itu.
"Bukan masalah, kau tahu aku, 'kan?"
Mio terdiam.
"Baiklah."
Mereka melangkah cukup jauh dan berhenti pada suatu adegan. Namun, ketimbang menyenangkan, kenangan kali ini memperlihatkan Hibiki dalam keadaan marah saat berhadapan dengan ibunya.
"Kenapa... ibu bohong terus padaku?"
Mio tersenyum.
"Omong-omong, kerja bagus, kau memang anak pandai bisa menguasai kendali [Reiryoku] dengan mudah."
Ledakan energi menghasilkan retakan pada dimensi ini. Mio memperbaiki itu dengan pikirannya.
"Kuat juga. Yeah, itu wajar, kau putriku sih, fufu."
Hibiki menggeram, walau demikian, air mata menetes dari sisi matanya.
"Kenapa... kenapa Ayah gak pernah menemui kita? Apa..."
Naruto meneteskan air mata.
"...ayah gak suka denganku? Apa ayah membenciku?"
Naruto refleks mendekati mereka.
"Tidak! Kau salah! Aku.."
Adegan ini lenyap seketika.
"..."
Mio ekspresinya rumit.
"Apa yang kita lihat sekarang, gak lebih dari sekedar memori yang telah lama terjadi, kau mengerti maksudku, 'kan?"
"Ah, kau benar, aku lupa soal itu, haha."
Naruto tertawa, tapi ada yang salah dari hal tersebut, dan membuat Mio mengambil tindakan lain; yaitu memeluknya.
Naruto tersentak.
"Mio-chan?"
Mio mengangkat wajah dan menyeka air mata lelaki itu dengan ibu jarinya. Pandangan mereka bertemu saat ini.
"Aku paham rasa bersalah yang kau rasakan." Mio menambahkan. "Tapi ingatlah... kalau sekarang, kita bisa membuat kenangan baru bersama-sama.
"Dan bukankah... merelakan yang telah terjadi di masa lalu, lalu fokus pada masa depan... adalah hal wajar bagimu?"
"..."
Naruto perlahan tersenyum, tulus dan tersirat kelegaan.
"Kau... benar. Ya ampun, bodohnya aku."
Mio tertawa geli.
"Konyol lebih tepatnya."
Naruto terkekeh.
"Gak ada komen."
Melepaskan pelukan, dia melirik ke samping, dan terlihat ada kursi sekaligus meja.
Naruto menyadari maksudnya.
"Kalau dipikirkan lagi, masih ada hal yang harus kita bicarakan."
Mio tersenyum.
"Tepat sekali."
Mereka duduk secara berhadapan.
"Jadi... sebenarnya ada banyak hal yang terjadi setelah perpisahan kita. Bagian mana yang ingin kau tahu pertama kali?"
Naruto berpikir sejenak.
"Dilihat dari beberapa kenangan tadi, anggap saja saat kita berpisah dulu, itu berarti era di bumi ini masih pada zaman kuno?"
"Ya."
"Dan ketika era modern tiba, cuma orang tertentu saja yang menyadari kehadiran Spirit, mengapa?"
Mio nampak tidak nyaman.
"Kerusakan yang terjadi akibat pertarungan kami berdua mengakibatkan luka mendalam pada alam semesta." Mio masih bicara. "Oleh sebab itu, setelah aku berhasil menghentikannya, alam semesta ini beserta seisinya aku reset, hingga ke tahap sebagian besar umat manusia tak mengetahui apapun perihal Spirit."
"Itu berarti sisanya…"
"Ya, mereka memohon agar tetap mengingat sejarah aslinya meskipun banyak kejadian tragis yang terjadi kala itu. Kebetulan beberapa keturunan mereka juga yang membangun organisasi untuk penyelamatan Spirit."
Naruto mengangguk.
"Itu... cukup mengejutkan."
Mio hanya tersenyum.
"Apa kau ada pertanyaan lain?"
"Sebentar… maaf, ini mengenai Spirit yang diselimuti kebencian. Saat kau menghentikannya, apakah maksudmu..."
"Dia masih hidup. Aku menyegelnya di suatu wilayah khusus." Mio menambahkan. "Namanya adalah Carmerra. Dia adalah manusia pertama yang berubah menjadi Spirit… tapi hal itu terjadi karena aku memaksakan keegoisanku padanya."
Naruto terdiam sejenak.
"Dan keegoisan yang kau bicarakan ini… apa ada sangkut pautnya dengan hubungan kita?"
Mio perlahan mengangguk.
"Dia... wanita yang ceria, dan bisa dibilang teman baikku dulu." Mio masih bicara. "Dan saat mengetahui aku akan pergi ke dimensi lain untuk menemuimu... dia mendukung, tapi mengungkapkan kekhawatiran tentang keselamatan orang lain.
"Oleh sebab itu, sebelum kepergianku, aku menyerahkan salah satu [Kristal Sephira] yang kusimpan kepadanya. Bukan serpihan, tapi satu utuh."
Naruto tersentak.
"Bentar, jadi alasan mengapa Kurumi-chan dan Maria-chan cuma menerima serpihan saja, karena hal ini?"
Mio tersenyum.
"Ya."
Naruto mengusap dagunya. Dia tampak berpikir keras.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Mio.
"Enggak... tapi ada hal yang aneh," jawab Naruto.
Mio kebingungan.
"Seperti apa?"
"Begini, selain memberikan kekuatan, setiap [Kristal Sephira] pada dasarnya mempunyai kepribadian juga, bukan? Dan sejauh yang kutahu, mereka selalu berusaha ngelakuin yang terbaik bagi pemiliknya."
"Y-Ya, itu benar."
"Lalu mengapa, Carmerra tiba-tiba diselimuti kebencian? Terlebih lagi, kau sedang berada di duniaku saat itu terjadi, jadi masuk akal mengapa kau gak tau... kalau mungkin, mungkin saja, ada faktor luar yang mempengaruhi pikirannya."
"…"
"..."
Mio mengelus kepalanya.
"Dan ketika semuanya akan selesai... sekarang ada hal lain yang harus kukhawatirkan."
Naruto tertawa canggung.
"Maaf, tapi kerasa aneh saja bagiku."
Mio tertawa kecil.
"Bukan masalah, kau ada benarnya juga soal ini."
Naruto puas.
"Bagus, dan pernahkah aku bilang kalau kau begitu imut saat ini?" (Naruto).
"Muu, aku selalu imut dan cantik setiap saat, kau tahu." (Mio).
"Hehe, aku cuma bercanda, dattebayo." (Naruto).
Mio cemberut, tapi kemudian tawa kecil lepas dari bibirnya.
"Fufu, dasar kau ini."
Naruto terkekeh. Dia penasaran dengan suatu hal.
"Aku lupa mengatakan ini, tapi mengenai [Senshi Lock]…"
"Oh, sebentar."
Mio menjentikkan jarinya.
Dari dada Naruto, terpancar sinar yang kemudian melayang keluar, itu menampilkan sebuah kristal dengan perbedaan aneka warna setiap detiknya. Terkadang ungu, crimson, biru, putih, dan hal tersebut terus berulang.
Dia berkedip.
"Huh, rasanya sedikit geli saat kristal itu keluar." Naruto menambahkan. "Omong-omong, aku tahu tiga di antara pemilik warna itu, tapi yang putih aku sama sekali gak kenal."
Spirit pertama itu cemberut ke arah Naruto.
Naruto menyadari kesalahannya.
"O-Oh, benar juga, [Senshi Lock] dibuat olehmu jadi-arggh jangan telinga juga!"
Setelah tiba di tangan Mio, [Senshi Lock] langsung terpecah menjadi beberapa lapisan, objek tersebut melebur dan menyatu dalam wujud kristal baru. Namun, tidak seperti sebelumnya, kristal ini memancarkan cahaya pelangi.
Itu menghilang seketika.
"Tahap menengah selesai, sekarang tinggal tahap terakhir. Untuk sekarang kusimpan itu di dimensi khusus."
Naruto kebingungan.
"Ada tahapnya?"
"Huh? Oh, pada dasarnya [Senshi Lock] merupakan buatanku, bukan alami seperti [Kristal Sephira] pada umumnya, jadi beberapa tahap harus kulakukan.
"Seperti terkumpulnya beberapa [Reiryoku] Spirit, lalu peleburan dan penyatuan jadi sumber kekuatan baru yang dirancang khusus untukmu. Tahap terakhir… nah, soal itu serahkan saja padaku."
Naruto berkedip.
"Mungkin ini firasatku saja, tapi aku merasa kau mencoba mengubahku jadi sesuatu... yang bukan manusia?"
Nada bicaranya terdengar humoris.
Mio tertawa geli.
"Sedikit bukan manusia," jawab Mio.
Naruto terkekeh.
"Kekhawatiranku gak perlu rupanya."
"Hehe, salahku juga sih."
"Jadi, apa namanya akan tetap sama? Maksudku setelah tahap penyatuan tadi, rasanya aneh kalau tetap dipanggil [Senshi Lock]."
Mio tersenyum tipis, seakan dirinya menanti pertanyaan itu.
"[Kristal Spiral]."
Naruto mengangguk. Dia tersadar.
"Oh, karena kekuatanmu juga ada, apa itu berarti…"
"Itu benar, kau nanti bisa menulis ulang kenyataan, membuat semesta atau dimensi dengan ukuran, hukum, dan lingkungan sesuai kehendakmu sendiri, manipulasi realitas." Mio mengangkat bahu. "Intinya hal-hal sederhana semacam itu."
"…sederhana, huh?"
Mio mengerutkan alis. Dia berbicara lagi.
"Kalau ini membuatmu lebih baik, saat Kurumi, atau Maria, menerima sisa serpihan [Kristal Sephira] mereka yang masih ada padaku, maka kau gak akan ngerasa kaget nanti."
Naruto terdiam sejenak.
"Dan ya, bagaimana dengan ramen isi infinite?" (Mio).
"Aku suka kekuatan ini. Wooho!" (Naruto).
Spirit asal mula itu berseri.
"Dasar."
Naruto memperhatikan fisiknya mulai pudar.
Mio memahami hal ini.
"Ah, sebentar lagi kau akan bangun rupanya."
"Begitu."
Keheningan menyelimuti suasana mereka. Lalu, tanpa diduga, keduanya langsung berciuman.
Manis dan lembut. Itulah yang dirasakan Naruto saat mencium Mio.
Selesai, mereka berhenti berciuman, dan tersenyum satu sama lain.
Mio berkedip.
"Omong-omong, karena aku mengambil kembali [Kristal Spiral], untuk sementara waktu ikatan kalian akan terputus, dan kau gak akan bisa mengakses kekuatan Spirit lain." Mio menambahkan. "Dan kalau kau ingin menunjukkan masa lalu kita, instruksinya sudah ada pada otakmu.
"Awalnya itu khusus untuk diliat Maria saja, sama seperti ketika Tenka melihat momen kematianmu contohnya, tapi kurasa akan lebih adil kalau semuanya ikut melihat."
Naruto terkekeh.
"Jadi, ada alasan dibalik ciuman itu rupanya."
Mio tersenyum.
"Sebenarnya ada cara lain, tapi yang tadi jauh lebih menyenangkan, bukan begitu?"
Naruto terkekeh sementara Mio tertawa kecil.
Spirit itu teringat sesuatu.
"Terakhir… aku turut berduka cita, atas kematian Jiraiya-san," ujar Mio.
Ninja itu mengangguk.
"Ya, dia... pasti akan senang mendengarnya."
Mio melihat lelaki itu lenyap seutuhnya.
Kemudian, dia memikirkan sesuatu, dan ini terkait teman baiknya itu.
"Carmerra.. faktor luar..."
Mio mengibaskan lengannya. Kumpulan layar (yang menampilkan) banyak kejadian pada zaman kuno nampak di hadapannya.
"Karena sebentar lagi kekuatanku pulih, ada baiknya kucari tahu ini... sebelum berkumpul dengan yang lainnya."
Dia mencari dengan serius.
Naruto membuka matanya.
Dengan cepat, dia mengambil posisi duduk, dan menyadari dirinya sedang berada di kasur.
'Haah, lega rasanya.'
Kurama terkekeh.
"Aku ingin bilang begitu, tapi secara teknis, kita kena bom dalam wujud berita kalau kau punya anak."
Naruto terdiam sebentar.
'Ini… aku gak tahu harus bertindak seperti apa.'
"Oh? Ini berarti kau gak suka punya anak, begitu?"
'Jangan bercanda, Kurama. Aku cuma berpikir kalau aku gak bisa jadi ayah yang baik baginya. Maksudku, aku bahkan gak pernah merasakan rasanya disayangi orang tua. Kau paham, bukan?'
"…"
"Oh, uhh, kau benar."
Naruto menyadari kesalahannya.
'K-Kurama, aku gak bermaksud untuk…'
"Enggak masalah, apa yang kau katakan tadi itu benar."
Naruto tidak tahu harus mengatakan apa. Begitu pula dengan Kurama (yang memilih) diam tak bersuara.
"…"
"…"
"Tapi… kalau boleh jujur… dia mungkin gak akan membencimu, meski yang kita lihat barusan nampak terbalik."
'Anggap saja aku percaya kata-katamu… tapi dari mana pemikiran ini berasal?'
Bijuu itu menyeringai.
"Karena dia putrimu, maka kuyakin dia mewarisi sebagian sikap dari ayahnya, aku yakin itu."
Naruto tertawa kecil.
Kurama terkekeh.
Ketegangan (yang terjadi) sebelumnya sudah lenyap sepenuhnya.
'Terserah kau saja, Kurama. Terserah kau saja.'
Pintu ini tiba-tiba terbuka.
Naruto melihat Tenka dan Kurumi berdiri di ambang pintu.
Mereka berdua tampak kaget.
"Ada apa dengan wajah itu? Kalian seperti ngeliat hantu saja," canda Naruto.
"…"
"…"
"Tenka-chan? Kurumi-chan? Ada ap-ooff!"
Tenka dan Kurumi langsung memeluk lelaki itu.
Naruto terkejut.
Setelah cukup lama, mereka melepaskan ninja tersebut, dan mengamatinya dengan ekspresi senang.
"Kami kira sesuatu yang buruk telah terjadi padamu…"
"…tapi untunglah itu cuma pemikiran kami saja."
Naruto berkedip, sekali, dua kali.
"Apa ada… hal yang kulewatkan?"
Dua Spirit itu melirik satu sama lain sebelum mengangguk. Mereka beralih pada Naruto. Nightmare itu yang berbicara pertama kali.
"Naruto-san, sebenarnya…"
Naruto mendengarkan dengan seksama.
Usut punya usut, rupanya dia telah tertidur selama satu minggu, dan tidak hanya itu, dirinya juga mendengar kabar bahwa kru kapal [Fraxinus] telah dibubarkan karena tugas mereka sudah selesai.
"Aku mengerti, tapi pertama-tama, apa kalian liat Hibiki?"
Kurumi berkedip.
"Ah, kalau Hibiki-san, dia bilang ada urusan di luar, tapi nanti juga kembali."
Naruto mengangguk.
Kemudian, dia merasakan saku celana(nya) bergetar, lalu mengeluarkan ponsel dari sana.
Hibiki:
[Naruto-san, kau ada waktu malam ini? Mari kita ketemuan di taman]
Naruto membalas pesan.
Selesai, dia menyimpan kembali ponsel, dan menyadari pandangan penasaran dari keduanya.
"Hibiki. Dia minta ketemuan denganku di taman malam ini," ujar Naruto.
Tenka tertarik.
"Aku penasaran dia ingin ngebahas apa."
Naruto tersenyum.
"Nanti kuberitahu rinciannya besok." Naruto menambahkan. "Omong-omong, di mana Nia-chan dan Maria-chan?"
"Ara, mereka ada di ruang tamu."
"Sempurna."
Tenka kebingungan.
"Tapi... entah kenapa, ikatan spiritual kita terasa... lenyap, begitu?"
Kurumi penasaran.
"Perkataan Tenka-san benar juga. Apa kau tahu sesuatu, Naruto-san?"
Naruto tersenyum.
"Nanti kuberitahu saat di bawah."
Keduanya mengangguk.
Turun dari kasur, dia berkedip dan mengendus ketiaknya, kemudian mengamati mereka dengan sebelah alis terangkat.
Tenka tampak salah tingkah sedangkan Kurumi hanya tersenyum.
"Jadi… selama seminggu ini… kalian menikmati pemandangan?"
Tenka merona dan Kurumi senyumannya melebar.
"Ufufufu, apa itu mengganggumu, Naruto-san?"
Naruto tertawa kecil.
"Itu mungkin kalau yang melakukannya orang lain, tapi karena hubungan kita spesial, seharusnya itu bukan masalah." Naruto menambahkan. "Dan ada baiknya kita pergi ke ruang tamu sekarang."
"Ya."
"Um."
Mereka keluar dari ruangan ini.
Pintu itu tertutup dari luar.
Lalu, ketiganya berjalan menuruni tangga, tiba di ruang tamu dalam waktu singkat dan melihat Maria beserta Nia. Dua gadis ini tersentak sebelum berlari ke arahnya.
"Naruto!/Naruto-kun!"
"Oof!"
Naruto hampir terpukul mundur.
Walau demikian, dia merespon dengan memeluk balik Maria dan Nia, dan sementara waktu keadaan mereka bertiga seperti ini.
Ketiganya berhenti berpelukan setelah beberapa saat. Naruto melihat ekspresi khawatir di wajah Maria dan Nia.
"Maaf telah buat kalian cemas."
Nia menggeleng.
"Y-Yah, setidaknya kau baik-baik saja, dan itu yang paling terpenting."
Maria mengangguk.
"Itu benar, dan apa kau tau perasaanku saat meninggalkanmu di kapal, cuma untuk kembali dan ngeliat kau gak sadarkan diri entah karena apa?"
Naruto tersenyum canggung.
"Aku paham, tapi sungguh, aku baik-baik saja, cuma ya… aku gak sangka dimensi yang dibuat Mio-chan, rupanya punya garis waktu tersendiri. Kami cuma bicara sebentar padahal."
Semua orang (minus Naruto) kebingungan.
"Mio-" (Tenka).
"Cewek ini-" (Kurumi).
"Siapa?" (Maria).
Nia tidak bicara, tapi kacamata-nya bersinar secara misterius ketika mengamati Naruto.
Hawa aneh tiba-tiba menyelimuti ruangan ini.
Ninja itu (sweatdrop).
"Uh, itu nama dari Spirit asal mula... atau lebih tepatnya, nama pemberianku untuknya."
Hawa aneh di ruangan ini menghilang.
Maria (yang pertama) kali buka mulut.
"H-Huh, apa katamu?" tanya Maria.
Naruto tersenyum.
"Sebelum aku mengenal kalian, dan sebelum aku berada di dunia ini, kami pernah bertemu dulu." Naruto menambahkan. "Ah, maaf, lebih tepatnya… dia yang berkunjung ke duniaku."
Mereka mengangguk.
Maria kebingungan.
"Entah kenapa, aku ngerasa kalau... ikatanku padamu lenyap, kenapa itu?"
Nia menekan sisi kacamata-nya, dan itu memancarkan sensor (yang menyelimuti) keseluruhan fisik Naruto sebelum padam.
"Wah, bahkan jejak [Reiryoku] gak ada... apa ada hubungannya dengan Spirit asal mula-maaf, Mio-san?" tanya Nia.
"Dia bilang ini cuma terjadi sementara saja, nanti juga dikembalikan," jelas Naruto.
Mereka lega.
Naruto membuka telapak tangannya.
Kemudian, para gadis melihat cahaya berkilauan dari sana, dan itu tampak melayang dengan perlahan ke atas.
"Mengenai masa lalu kami, aku bisa jelaskan semuanya, tapi akan lebih baik… kalau aku tunjukkan saja secara langsung."
Sinar itu menyilaukan ruangan ini.
Mereka membuka matanya masing-masing usai cahaya redup.
Mengamati kondisi sekitar, mereka melihat keadaan hutan yang cukup damai, dengan suara burung berkicauan di udara.
"Ini… damai," gumam Maria.
"Daerah ini terletak di samping wilayah komersial, dulu aku sering kemari untuk latihan," jelas Naruto.
Tenka dan Nia terkesan dengan pemandangan sekitar area ini.
Tidak berselang lama.
Seseorang terlihat di antara pepohonan. Dia adalah lelaki berambut kuning dan mata biru dengan tinggi rata-rata. Pakaian yang dikenakan merupakan perpaduan warna jingga dan hitam. Jika ada fitur menarik dari orang ini, itu adalah tanda lahir di masing-masing pipinya.
Para gadis tersentak saat melihat orang ini.
Naruto hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun.
"Dasar petapa genit, cari inspirasi dengan ngintip pemandian air panas katanya? Baah, nyari inspirasi enggak, mancing kerusuhan baru iya."
Mereka (sweatdrop).
"Uh, ini… benar-benar kau, Naruto?" tanya Tenka.
Naruto tertawa canggung.
"Diriku yang dulu memang agak… antusias, dalam memanggil orang lain dengan julukan khusus," jelas Naruto.
Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Mereka fokus memperhatikan kegiatan 'Naruto' yang satu ini.
Sambil berjalan, Naruto membuka sebuah buku, dan terdapat beberapa catatan di sana, kemudian menengadah sejenak.
Dia menyengir.
"Huh, daunnya ada di sana rupanya. Gak sulit juga nyari daun herbal ini."
Melompat ke atas, dia mengambil beberapa daun sebelum turun, kemudian menyimpan mereka di plastik khusus.
"Yosh, waktunya balik dan makan ramen."
Suara aneh tiba-tiba terdengar dari atas.
Naruto berkedip, menyadari itu berasal dari pepohonan besar, Jinchuuriki tersebut mengeluarkan kunai dari pouch-nya lalu memasang kuda-kuda.
Seseorang mendadak jatuh.
Refleks, dia membiarkan kunai terlepas sebelum melompat dan menangkap orang itu, lalu keduanya mendarat ke tanah dengan selamat
"Oi, kau baik-baik…"
Naruto menyadari kalau orang yang diselamatkannya adalah seorang perempuan. Dia memperhatikan rambutnya yang berwarna biru pucat dan pakaian yang dikenakan berupa gaun putih. Warna iris mata gadis ini sama persis seperti Naruto.
"…saja?"
Bibir gadis ini membentuk senyuman, tipis, tapi penuh dengan makna.
"Berkatmu, makasih."
Naruto salah tingkah ketika melihat senyumannya.
"Y-Ya, sama-sama."
Gadis itu masih tersenyum.
"Aku penasaran…"
"Ya?"
"…apa tanganmu gak pegal menggendongku terus?"
Naruto tersadar lalu menurunkan perempuan ini.
"Maaf karena membuatmu gak nyaman."
Dia berkedip.
"Hm? Enggak juga, sebenarnya tadi itu cukup nyaman, tapi aku gak mau nyusahin kamu jadinya ya gitu, hihi."
Gadis itu tertawa dengan merdu.
"…"
Kurama terkekeh.
"Biar kutebak, kau sempat memikirkan Spirit asal mula ini jauh lebih menawan dari cewek tomboy yang kau kenal di dunia kita."
'No comment.'
Dia memiringkan kepalanya, keheranan dengan sikap diam lelaki itu.
"Hello? Apa kau baik-baik saja?"
"Huh? Oh ya, aku baik-baik saja… sungguh."
Gadis itu lega.
Naruto berdeham.
"Jadi, siapa namamu? Aku Naruto. Uzumaki Naruto."
Gadis itu terdiam.
"Aku gak punya nama."
Naruto tercengang.
"Eh? K-Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggilmu?"
Dia mengusap dagunya, kemudian tersenyum.
"Bagaimana kalau kau membuatkanku nama?"
"…kau serius?"
Dari semua hal yang pernah dialami Naruto, ini tidak termasuk salah satunya.
Gadis itu mengangguk.
Naruto menggaruk pipinya.
"Aku gak punya pengalaman yang bagus soal ini, tapi baiklah… bagaimana dengan Momo?"
Dia berkedip lalu menggeleng.
"Maaf, ada yang lain?"
"Oh, bentar… Mikan?"
Gadis itu tertawa gugup.
"Kalau bisa, nama yang sederhana mungkin?"
Naruto melipat lengannya sambil memejamkan mata.
"Sederhana… sederhana… Mikan… Momo… Mik… omo… Mi… o… nah, Mio saja. Gimana nama itu?"
Gadis itu, Mio, menunjukkan senyuman.
"Mio… Mio… yah, itu namaku…"
Naruto ikut tersenyum. Ninja itu ikut merasa senang saat ini.
Naruto penasaran.
"Omong-omong, kau ngapain di atas sana?" tanya Naruto.
"A-Ah, di atas sana ya… ngambil buah, yah, buah," jawab Mio.
Naruto mengangguk.
"Tunggu di sini."
Dia melompat ke pepohonan, tidak berselang lama, dirinya kembali turun dengan membawa beberapa buah. Naruto menyengir ke arah gadis itu.
"Ini, ambillah yang kau suka."
Mio mengambil buah tertentu. Dia mengunyah dengan perlahan.
"Um, ini enak," ujar Mio.
"Haha, bagus kalau kau suka, dattebayo," balas Naruto.
"Dattebayo?"
"Eh? A-Ah, maaf, gak perlu dipikirkan. Itu cuma kebiasaanku saja."
Mio tersenyum manis.
"Enggak perlu dipikirkan? Padahal kau keliatan menggemaskan barusan."
Naruto merona.
Para Spirit dan Nia mengamati lelaki itu.
Untuk beberapa alasan, Naruto menutup wajahnya dengan satu tangan, dan jika diiperhatkan sentuhan merah tipis nampak di pipinya.
"Aku tahu apa yang sedang kalian pikirkan, tapi tolong, jangan sekarang."
Mereka kembali fokus pada adegan yang terjadi. Namun, jika diperhatikan, para Spirit dan Nia tampak menahan tawa saat ini.
Menoleh ke samping, dia berusaha menenangkan dirinya, lalu beralih ke arahnya lagi.
"Jadi…"
Mio masih tersenyum.
"…k-kau mau buah lagi?"
"Hmm, kurasa enggak. Omong-omong, kau lagi ngapain di hutan ini?"
Naruto tersentak lalu mengamati langit. Itu sebentar lagi akan gelap.
"Gawat! Aku harus kembali ke penginapan sebelum pertapa genit ngomel, dattebayo!"
Mio terdiam sejenak.
"Hey, Naruto."
"Eh? Ya, Mio-chan?"
"Kau keberatan kalau… kita ketemuan lagi? Di hutan ini?"
Naruto berkedip.
Naruto menyengir lebar.
"Tentu saja." Naruto menambahkan. "Kau juga tinggal di sekitar sini, bukan? Nanti aku akan datang. Aku janji."
Dia berbicara dengan nada positif.
Mio mengangguk.
"Aku akan menunggu."
Naruto berdeham.
"K-Kalau begitu, aku pergi dulu, sampai jumpa lagi besok."
Mio tersenyum.
"Ya, sampai jumpa lagi… besok."
Naruto tersenyum.
Dia memutar badan dan berlari ke suatu arah. Gadis itu mengamati kepergiannya dengan senyuman.
Mereka mengamati adegan telah berubah.
Suasana pada adegan berpindah ke suatu tempat (yang ramai) dengan keadaan matahari naik.
"Pasar?" respon Tenka.
Kurumi tertarik.
"Ara, apa jangan-jangan… Naruto-san dan Mio-san, kalian sedang berkencan?"
Naruto terkekeh.
"Dari sudut pandang lain mungkin keliatannya begitu, tapi karena aku yang dulu gak terlalu nganggap hal romantis dengan serius, hal ini gak lebih dari sekedar jalan bareng teman. Itu saja," jelas Naruto.
Maria menggeleng.
"Entah kenapa, aku pikir sepertinya butuh perjuangan untuk mendekati dirimu yang satu ini."
Dia tertawa canggung.
Naruto dan Mio melangkah berdampingan. Gadis itu tampak mengamati selembar kertas (yang dibawanya).
Naruto menggaruk pipinya.
"Kalau boleh jujur, kami sedikit terbantu dengan kehadiranmu. Maksudku, masakanmu enak, Mio-chan, bahkan pertapa genit saja sampai mengakuinya," kata Naruto.
Mio tersenyum lebar.
"Aku senang kalau keberadaanku membawa efek positif," ujar Mio.
"Cara bicaramu juga lucu."
"Makasih, dan kau tampak manis dengan kumis di pipimu itu, hehe."
Naruto merona.
Para Spirit dan Nia memperhatikan Naruto. Dia tampak berjongkok dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Mereka hanya menahan tawa dan kembali fokus pada adegan tersebut.
Mio tertawa kecil ketika melihat itu.
Selesai belanja, Mio tidak sengaja memperhatikan sesuatu, dan Naruto menyadarinya.
"Kau mau dompet itu?"
"Eh? Apa boleh?"
Naruto tersenyum.
"Tunggu di sini."
Kemudian, dia memasuki toko itu, dan keluar dengan membawa sebuah dompet katak biru.
"Ini untukmu, kuharap kau suka."
Mio menerima barang tersebut dengan senang hati.Mata gadis itu bersinar.
"Um, aku senang, terima kasih banyak, Naruto."
Naruto terkekeh.
"Sama-sama."
"Tetap saja, aku mungkin harus membalas kebaikanmu ini."
"Nah, kau gak perlu-"
Mio tiba-tiba mengecup pipi Naruto.
"-ngelakuin hal itu."
Mio tersenyum simpul.
"Cuma ini yang bisa kulakukan sekarang, jadi-eh? N-Naruto, kenapa kau malah pingsan?!"
Naruto mengabaikan pandangan aneh di sekitarnya.
Bijuu itu terkekeh.
"Benar-benar kenangan yang memalukan… apa ada lagi?"
'Bajingan kau, Kurama.'
"Hoho, sudah pasti itu."
Langit telah gelap.
Pada kamar tertentu di penginapan ini, Naruto berkeliling ke sana-kemari, sementara Jiraiya memperhatikan muridnya ini dalam keheranan.
Naruto tersenyum saat melihat gurunya itu.
"Kalau kau belum sadar, toilet sedang kosong saat ini," ujar Jiraiya.
Naruto menoleh ke arahnya.
"Pertapa genit, aku ada pertanyaan."
"Apa? Jika ini mengenai latihanmu, itu bisa dilakukan esok hari."
Genin tersebut menggeleng lalu berbicara.
"Apakah wajar kalau seseorang kena penyakit jantung saat dekat dengan perempuan?"
Naruto menampar wajahnya sendiri.
Para gadis di sekitarnya menahan tawa mereka.
Jiraiya keheranan.
"Kau ini bicara ap-oh, aku paham, ini mengenai cewek itu, bukan?"
Naruto salah tingkah.
"B-Bukan, aku gak bicara soal Mio-chan, tapi kesan laki-laki secara keseluruhan, dattebayo."
Meski begitu, pipi lelaki itu tampak menyala sedikit, dan Jiraiya hanya menyengir dengan situasi ini.
"Aku bahkan belum bilang namanya, tapi kau sudah sebut duluan, ada-ada saja."
Naruto memerah wajahnya. Jiraiya tertawa ketika melihat ini.
"Yah, aku gak bisa menyalahkanmu, anak muda dan pemikiran lugunya."
"Pertapa genit, aku serius ini."
"Begitu pula denganku, tapi sebelum kita lanjut, aku punya beberapa pertanyaan dan aku ingin kau jawab dengan jujur."
Naruto mengangguk.
"Pertanyaan pertama; jika kau sedang berada di dekatnya, apa kau ingin lakukan yang terbaik untuknya?"
"Ya."
"Pertanyaan kedua; kalau kau dipinta melakukan sesuatu olehnya, gak peduli baik atau buruk permintaannya, apa kau akan tetap melakukannya?"
"Err, kurasa cuma hal baik saja, kalau yang buruk aku akan menolak dan mempertanyakan itu kepadanya."
"Pertanyaan ketiga dan terakhir; apa kau senang jika melihat dia bersama lelaki lain?"
Naruto mulai merasa tidak nyaman.
"Kurasa… enggak, maksudku gak sama sekali." Naruto menambahkan. "Membayangkan Mio-chan dengan orang lain… itu membuatku… membuatku…"
Genin tersebut tidak bisa menyelesaikan kata-katanya.
Jiraiya hanya tersenyum.
"Kalau kau sudah dapat jawabannya, pergilah."
"Eh?
"Kau mulai sadar, bukan? Perasaan rumit ini… kekhawatiran saat memikirkannya… bahkan ini melebihi dari yang kau rasakan soal gadis Haruno itu, apa aku salah?"
"…"
Naruto perlahan tersenyum.
"Aku… aku akan segera kembali!"
Dengan cepat, dia keluar dari fuangan ini dan menutup pintu dari luar, meninggalkan Jiraiya (yang mengamati) kepergian muridnya itu sambil tersenyum.
"Yah, jika ada hal baik yang terjadi saat ini… adalah kau, Naruto, mulai memkirkan kebahagiaanmu sendiri daripada kebahagiaan orang lain."
Maria terkesan.
"Beliau ini keliatan seperti guru yang baik."
Naruto tertawa canggung.
Setelah beberapa saat, Jiraiya membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku, kemudian menutup itu.
"Dan karena sekarang gak ada yang ganggu, waktunya cari inspirasi di onsen, tubuh seksi tunggulah aku mwehehehe, ehehe~"
Jiraiya melompat keluar jendela dengan tetesan darah mengalir dari hidungnya.
"…"
Nia mengamati Spirit itu dengan cengiran.
"Guru yang baik, benar begitu, Maria-chan?"
Maria merasa malu.
"M-Mana kutahu kalau dia akan seperti itu!"
Kurumi tertawa geli.
"Ufufufu, Maria-san lucu juga kalau seperti ini."
"B-Berisik!"
Tenka hanya tersenyum.
"Tenka, porsi makanmu akan dikurangi selama dua hari ke depan." (Maria).
"Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku minta maaf!" (Tenka).
"Satu hari." (Maria).
Tenka menghela nafas, menatap tajam ke arah Kurumi (yang tertawa) kecil.
"Dasar manekin hidup."
Tawa Kurumi mereda, ekspresi gelap muncul dari senyumannya.
"Ara, Tenka-san, apa kau… mau tanding ulang?"
Senapan flintlock muncul di tangan Kurumi.
Tenka membuka telapak tangannya dan meraih gagang pedang (yang termanifestasi).
"Hmph, aku terima tawaran ini."
Naruto mengamati keduanya.
"Kalau kalian teruskan, beberapa jatah kencan kalian akan dialihkan ke Maria-chan."
Maria tersenyum.
"Hmm, aku gak keberatan."
Hawa persaingan Tenka dan Kurumi langsung mereda. Masing-masing senjata mereka bahkan telah lenyap dari eksistensi.
Naruto puas.
"Gitu lebih baik."
Nia menggeleng.
"Ada-ada saja."
Maria menghela nafas.
"Sedikit mengecewakan, tapi mungkin di kesempatan berikutnya."
Tenka dan Kurumi menatap tajam Maria. Maria hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun lagi.
Semua orang fokus pada adegan kenangan tersebut.
Pada hutan ini, Naruto terlihat berlari di antara pepohonan, dan dia pada akhirnya berhasil menemukan gadis itu. Mio nampak sedang membaca buku di atas batu besar ditemani kunang-kunang.
"Mio-chan!"
"Eh? Naruto? Kenapa kau keliatan tergesa-gesa gitu?"
Meski senang bisa melihatnya lagi, dia kebingungan dengan kedatangan lelaki itu, terlebih kondisi saat ini bukan siang melainkan malam.
Naruto berhenti tepat di depannya. Dia menyengir pada gadis itu.
Namun, ada yang berbeda dari senyuman tersebut, dan itu membuat Mio gugup entah kenapa.
"Gak usah dipikirkan. Omong-omong, ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu saat ini. Bisa kita bicarakan itu dekat rumahmu?"
"Oh, baiklah."
Mereka berjalan ke suatu arah.
Saat keluar hutan, keduanya melihat sebuah rumah kayu sederhana yang terletak di samping air terjun, dan itu merupakan kediaman Mio. Naruto pernah beberapa kali masuk ke dalam sana. Mereka terkadang berbincang atau sekedar makan bersama.
Naruto dan Mio berhenti tepat di samping aliran sungai.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" tanya Mio.
"Aku… kalau boleh jujur, aku gak tau harus memulai dari mana," ungkap Naruto.
Mio penasaran.
"Apa maksudmu?"
Naruto menggaruk pipinya.
"Ini terjadi secara tiba-tiba… dan aku juga baru dalam hal ini." Naruto masih bicara. "Walau begitu, apa yang kurasakan padamu… itu nyata dan bukan tipuan.
"Jadi, err singkatnya, apakah mungkin kalau hubungan kita… bisa lebih… dari sekedar teman?"
"…"
"Y-Yah, kalau kau gak mau juga-"
Mio memeluk Naruto.
Naruto terkejut.
"M-Mio-chan?"
Dia melepaskan pelukannya. Mio tersenyum pada Naruto.
"Apa itu cukup sebagai jawabanku?"
Naruto terkekeh.
"Kurasa begitu."
Mio tertawa kecil. Dia tersadar dengan sesuatu.
"Um, Naruto."
"Ya, Mio-chan?"
"Untuk merayakannya… kau mau bermalam denganku?"
Para gadis di sini memerah sedangkan lelaki itu tertawa gugup.
Kurama terkekeh.
"Jadi, di sini awal mula Naruto kecil gak jadi kecil lagi."
'No comment.'
Naruto merona.
"B-Bentar, kau serius? M-Maksudku, aku gak mau kau memaksakan diri atau semacamnya."
Mio ikut merona, tapi ekspresi wajahnya tampak tidak main-main.
"Y-Ya, dan aku juga gak ngerasa kepaksa atau gimana… itu juga kalau kau mau..."
"…"
Naruto menarik nafas lalu membuangnya perlahan.
"Baiklah."
"Eh? K-Kau yakin?"
Naruto mengangguk.
"Kalau sudah sejauh ini… maka gak ada gunanya juga untuk kita mundur."
"K-Kau benar, jadi…"
Mio tersenyum malu-malu saat menggengam lengan Naruto.
"…ayo."
"Y-Ya."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah kayu itu. Suara keras bisa terdengar dari dalam.
Tak berselang lama.
Cahaya menyelimuti pandangan semua orang.
Setelah cahaya padam, mereka menyadari kalau mereka sudah berada di ruang tamu lagi, dan semuanya telah kembali normal.
Maria berdeham.
"Kenangan yang cukup menyentuh… tapi di bagian akhir… agak lain itu."
Kurumi tertawa kecil.
"Ara, ufufufu, yang dikatakan Maria-san benar adanya, yah, walaupun itu sepadan karena bisa ngeliat ekspresi Naruto-san yang mustahil kita lihat sekarang."
Naruto tertawa canggung.
"Tolong jangan ingatkan aku soal itu lagi? Ya? Ya? Kumohon?"
Kurumi mengedipkan matanya pada Naruto.
"Itu bisa diatur kalau untukmu."
Naruto lega.
Di sisi lain, Nia menggaruk pipinya, dan tampak penasaran dengan sesuatu.
"Jadi, Spirit asal mula ini, maksudku, Mio-chan, berapa lama dia berada di duniamu?" tanya Nia
"Sekitar 1 bulan lebih 15 hari kalau ingatanku benar," jawab Naruto.
"Heeh, begitu rupanya."
Nia menekan sisi kacamata-nya. Itu menampilkan hologram (yang memperlihatkan) struktur kapal [Fraxinus].
Naruto penasaran.
"Kau sedang apa, Nia-chan?"
Nia menekan bagian tertentu pada hologram, dan menampilkan nama-nama rumit seperti [MZ-1245] atau [RS-008].
"Huh? Oh, aku sedang memastikan gak ada masalah pada mesin atau ketersediaan [Maryoku] pada [Fraxinus]. Rencananya, aku akan mengembalikan kapal ini ke pangkalan [Ratatoskr] mengingat tugas para kru telah selesai."
"Oh, begitu... kau keberatan kalau aku ikut?"
Nia terkejut.
"Kau yakin? M-Maksudku, besok pagi juga jemputan dari [Ratatoskr] akan tiba, kau tahu," jawab Nia.
Naruto mengangkat bahu.
"Yah, kenapa enggak? Siapa tau aku dapat pengalaman yang menyenangkan dari ini."
Nia berkedip, sekali, dua kali, terakhir tiga kali. Gadis itu beralih fokus pada kegiatannya saat ini, walau jika diperhatikan, terdapat semburat merah muda tipis pada pipinya.
"K-Kita akan berangkat lusa depan. Jangan lupa itu."
Naruto menyengir.
"Oh, baiklah."
Di sisi lain, ketiga Spirit itu mengamati Naruto dan Nia, lalu melirik satu sama lain.
"Ara, aku baru ingat ada bab yang belum kuselesaikan hari ini." (Kurumi).
"Um, aku juga mau ke toko roti, ada roti yang gak bisa kulewatkan siang ini." (Tenka).
Tenka dan Kurumi pergi dari ruangan ini. Satu keluar rumah dan satunya lagi naik tangga menuju kamarnya.
Maria memperhatikan arloji-nya sejenak.
"Enggak kerasa hari sudah mau sore saja."
Naruto menyadari hal ini.
"Ada apa, Maria-chan?" tanya Naruto.
"Ah, enggak, tapi aku ada rencana pergi ke suatu tempat bentar lagi," jelas Maria.
"Mau kutemani?"
"Eh? Oh, boleh saja…"
Maria tampak gugup saat ini. Naruto tersenyum ketika memperhatikan itu.
"Nia-chan, kami pergi dulu, dattebayo."
Nia mengangguk.
"Ya, hati-hati di jalan."
Naruto dan Maria pergi dari ruangan ini. Nia menekan sisi kacamata-nya kemudian hologram itu sirna.
Dia menghela nafas.
"Mungkin ada baiknya aku selesaikan pemeriksaan ini di lab saja," gumam Nia.
Nia memejamkan mata sebelum cahaya menyelimutinya. Dia menghilang diikuti sinar tersebut.
Menjelang sore hari.
Di sekitar lokasi ini, sebuah taksi nampak berhenti, dan meninggalkan dua penumpang usai keduanya membayar. Mereka memasuki area pemakaman sambil membawa karangan bunga.
"Makam keluargamu?" tanya Naruto.
"Ya," jawab Maria.
Naruto mengangguk. Dia tidak mengatakan apapun lagi setelah itu.
Beberapa saat berlalu, keduanya berhenti tepat di depan suatu makam, dan meletakkan karangan bunga pada itu.
Maria tersenyum tipis.
"Tepat setelah kematian Marina… kedua orang tuaku ikut meninggal, bukan karena pembunuhan atau semacamnya, tapi memang faktor usia telah menjangkau mereka," jelas Maria.
Naruto terdiam sejenak.
"Aku... turut berduka cita," ujar Naruto.
"Terima kasih, aku mengapresiasi itu."
"…"
"…"
"Hey, Naruto."
"Ya?"
"Apa kau… pernah kehilangan anggota keluargamu sebelumnya?"
Naruto menggaruk pipinya.
"Sebenarnya, semenjak aku kecil… aku sudah jadi yatim-piatu."
Maria tersentak.
"M-Maaf, aku gak bermaksud untuk…"
Naruto tertawa kecil.
"Jangan khawatir. Itu sudah lama terjadi." Naruto menambahkan. "Mereka mati karena melindungiku, dan aku bangga pada pengorbanan mereka. Akan tetapi, dengan situasiku yang sekarang…"
Naruto mengamati langit dengan ekspresi rumit.
"…aku gak bisa mengikuti jejak ayahku, dan itu membuatku… dilema."
Usai sebagian memorinya kembali, Naruto mulai sadar ada beberapa hal (yang tidak) mungkin terwujud di dunia ini, satu di antaranya adalah menjadi Hokage.
Maria ikut memperhatikan langit.
"Kau tahu, kedua orang tuaku selalu mendukung apa yang kuinginkan, dan kadang agak berlebihan dalam hal itu.
"Bahkan ketika saudaraku tiada, aku sendiri yang mengajukan diri jadi komandan, walau kedua orang tuaku awalnya keberatan karena itu berarti aku mengabaikan impian awalku."
Naruto terkekeh.
"Melihat angkasa, bukan?"
Maria tersenyum.
"Yeah." Maria menambahkan. "Yang ingin kusampaikan adalah, kasih orang tua akan selalu besar kepada anak-anaknya, enggak peduli impian, atau pilihan yang dibuat putra-putri mereka ketika sudah besar nanti."
"…"
Naruto tersenyum.
"Kurasa aku sudah mengerti garis besarnya."
Maria tertawa kecil.
"Syukurlah kalau begitu."
Spirit itu memperhatikan arloji(nya).
"Kurasa ada baiknya kita segera pulang. Maksudku, hari sebentar lagi gelap."
Naruto mengangguk.
"Kau benar. Ayo."
"Um."
Mereka menjauh dari makam ini. Keduanya berjalan tanpa henti sampai berada di trotoar lagi.
Naruto teringat sesuatu.
"Mengenai angkasa, apa kau sempat berkeliling? Maksudku, dengan kekuatanmu sekarang, itu bukan suatu masalah harusnya."
Maria mengangguk.
"Luar angkasa itu luas. Aku bahkan cuma berkeliaran di area bulan sebelum kembali lagi ke planet ini."
Naruto tersenyum.
"Aku senang impianmu terwujud," ujar Naruto.
"Dan sama sepertiku, kau juga bisa menemukan impian lain, aku yakin itu," ujar Maria.
Nada bicaranya terdengar percaya diri.
Naruto tertawa.
"Seharusnya begitu."
Maria berseri.
Beralih ke depan, Naruto memikirkan baik-baik perkataannya tadi, kemudian pemikiran lain terlintas di benaknya.
'Impian baru… huh?'
Ninja itu merenung dalam perjalanan.
Malam hari tiba.
Terletak pada taman ini, Naruto menunggu seseorang sambil duduk pada kursi, dan terkadang memperhatikan arloji(nya). Dia mengenakan pakaian santai berupa baju lengan pendek dan celana panjang.
"Momen kenyataan, huh?"
'Sejujurnya, aku cukup gugup saat ini.'
Bijuu itu terkekeh.
"Jika aku ada di posisimu, aku mungkin akan merasakan hal serupa."
Naruto menghembuskan nafas.
'Tapi gugup atau enggak, pertemuan semacam ini memang harus terjadi. Dan aksi terbaik yang bisa kupikirkan adalah-'
"-menghadapi sumber masalahnya, aku paham itu."
Ninja itu menahan senyumnya.
'Tepat.'
Tak berselang lama.
Seorang gadis mengenakan pakaian sederhana dibalut jaket mendekati Naruto. Setiap langkah orang ini menunjukkan kecanggungan.
"A-Apa aku membuatmu menunggu lama, Naruto-san?"
Naruto menggeleng.
"Enggak juga, duduklah, Hibiki."
Hibiki menyadari kalau Naruto sedang serius. Dia mengangguk lalu duduk di samping lelaki itu.
Keheningan menyelimuti suasana mereka.
"…"
"…"
"Marga Higoromo… apa itu idemu?" tanya Naruto.
"Bukan, tapi salah satu atasan [Ratatoskr] yang membuat identitas palsu itu untukku," jawab Hibiki.
"Dan dia termasuk keturunan dari umat manusia kuno, bukan? Ibumu sempat kasih tahu aku perihal ini."
"Um."
"Gitu."
"…"
"…"
Naruto menggaruk pipinya.
"Apa kau…"
Hibiki menunggu dengan sabar.
"…membenciku, karena gak bersamamu saat kau tumbuh besar?"
"…"
"Itu… mustahil."
Naruto menengok ke samping. Hibiki tampak gugup.
"Maksudku… mungkin saat pikiranku masih kurang matang, aku akan berpikir demikian, tapi untukku yang sekarang… kurasa mustahil, karena aku paham kau ada kesibukan waktu itu."
Naruto menghembuskan nafas. Dia merasa lega sekarang.
"Kalau benar itu yang kau rasakan… aku akan menerimanya, sebagai a-ayahmu."
Ada kecanggungan tersendiri (yang dirasakan) Naruto. Hibiki menyadari hal ini lalu tersenyum lebar.
"Ibu bilang ayah adalah seseorang yang terlihat gak takut pada apapun, tapi hari ini, kurasa pernyataan itu salah," ujar Hibiki.
Naruto terhibur. Entah mengapa dia menemukan humor dari kalimat putrinya ini.
"Walau keliatan begini, aku masih manusia, jadi seharusnya wajar."
"Hehe."
"Haha."
Hibiki dan Naruto tertawa kecil. Intensitas (yang menyelimuti) suasana mereka telah menurun drastis.
"Oh iya, gimana kerjaan ayah? Seri sebelumnya kan sudah selesai, apa ada rencana mau buat lagi?" tanya Hibiki.
"Ada beberapa konsep dalam pikiranku, tapi belum pasti mau ngambil tema apalagi," jawab Naruto.
"Hooh. Omong-omong, apa ayah sudah menemukan petunjuk terkait Spirit terakhir?"
"Selain dari nama, kondisi, dan latar belakangnya, ibumu gak kasih tahu ayah lebih lanjut, apa kau punya info lain terkait itu?"
Hibiki mengangguk.
"Dia ada di…wilayah Segitiga Bermuda."
Naruto berkedip.
"Oh, masuk akal. Seingatku jarang sekali manusia pergi ke sana."
"Um."
Naruto mengamati arloji(nya) sejenak.
"Karena hari sudah malam, mungkin ada baiknya kalau kita segera pulang, bagaimana menurutmu?" tanya Naruto.
Hibiki menggaruk pipinya.
"Umm… jika memungkinkan…"
Naruto penasaran.
"Ya?"
"…aku ingin kepalaku dielus... boleh?"
Gadis itu tahu permintaannya terdengar konyol. Namun, entah karena apa, dia menginginkan hal itu saat ini.
Naruto tertawa kecil.
"Yah… kenapa enggak?"
Hibiki senang.
Kemudian, dia mengelus kepala gadis itu, dan terkejut saat melihat air matanya menetes.
"H-Hibiki, ada apa-"
Hibiki langsung memeluk lelaki itu.
"Aku senang *hiks* karena momen ini *hiks* sudah lama sekali *hiks* kuimpikan *hiks*. Akhirnya *hiks* kita ketemu juga *hiks* ayah…"
Naruto kehabisan kata-kata.
Namun, satu hal pasti, dia tahu hal (yang harus) dilakukannya saat ini.
"Lihat aku."
Hibiki menuruti perkataan lelaki itu. Saat pandangan keduanya bertemu, Naruto mengusap air mata Hibiki menggunakan ibu jarinya, lalu menunjukkan senyuman.
"Ayah juga senang bisa bertemu denganmu." Naruto menambahkan. "Maka dari itu, mulai hari ini, seterusnya, dan sampai kapanpun juga… kita akan selalu bersama. Kau bisa pegang janjiku ini."
Hibiki mengangguk lalu tersenyum lebar.
"Ya."
Naruto lega.
Kemudian, gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tas, dan menunjukkan dompet katak biru padanya.
Naruto tertawa kecil saat melihat itu.
"Seharusnya aku sudah menduga kalau ibumu akan memberikan dompet itu padamu."
Hibiki berseri.
"Karena gak perlu ada rahasia lagi, aku putuskan untuk pakai dompet ini mulai sekarang."
Naruto mengacak gemas rambut putrinya itu.
"Pandai bicara kamu ya." (Naruto).
"Ehehehe~" (Hibiki).
Bunyi aneh terdengar.
Mereka memperhatikan ekspresi satu sama lain.
"…"
"…"
Naruto dan Hibiki tertawa geli. Keduanya menyadari kalau ada kedai ramen di sekitar sini.
"Mau makan ramen?" tawar Naruto.
"Boleh, ayah yang bayar tapi," ujar Hibiki.
Naruto menatap remeh putrinya itu.
"Heh, boleh saja. Tapi asal kau tahu, jika sudah menyangkut ramen, aku bisa habiskan banyak mie dan masih bisa tambah lagi."
Hibiki menyeringai tipis.
"Lihat saja, aku pasti bisa ngalahin rekormu itu."
"Teruslah bermimpi, dattebayo."
"Mimpi yang akan jadi kenyataan, dattekana."
Mereka berjalan menuju kedai ramen itu dengan ekspresi bahagia.
Dalam ruangan minim penerangan ini, seorang pria memakai setelan rapi yang diketahui adalah Isaac Westcott, menatap beberapa mayat di lantai dengan ekspresi 'prihatin'. Terdapat nama Artemisia, Jessica, dan Ryouko, di tanda pengenal mayat-mayat itu.
"Semua potensi itu… lenyap," ujar Isaac.
Wanita di sampingnya menghela nafas.
"Semenjak awal, terciptanya organisasi [AST] semata-mata bukan untuk membasmi Spirit, tapi menjadikan mereka 'umpan' agar para Spirit membenci umat manusia, dan energi kebencian itu tersalurkan pada [Gods] lain."
Isaac terkekeh.
"Tepat sekali. Kau pintar, Ellen."
Berdiri, dia mengamati mayat-mayat di lantai sebelum menjentikkan jarinya, lalu tiga portal tercipta di udara. Portal ini memancarkan hawa gelap dan tidak bersahabat.
Dari portal, beberapa tentakel keluar dan langsung menyeret mayat-mayat tersebut masuk, kemudian itu menutup lagi.
Isaac terangkat sebelah alisnya.
"Tumben sekali, biasanya Ghidorah, tapi entah kenapa yang gerak cepat… yah, sebagai seorang pencipta, itu bukan masalah bagiku."
Ellen nampak tenang, tapi jika diperhatikan, punggungnya terlihat gemetar walau sesaat. Hal ini karena efek gelap yang menyelimuti ruangan tadi membuat Ellen seperti itu.
"Ike, mengenai Honjou Nia-"
Isaac mengerutkan alis.
"Jangan sampai hal buruk terjadi padanya. Biar bagaimanapun dia adalah instrumen penting dalam rencana kita."
Ellen mengangguk.
"Aku mengerti. Kalau begitu saya pamit undur diri."
Isaac mengangguk.
Kemudian, setelah wanita itu pergi, hanya ada Isaac saja di ruangan ini.
Dia menghela nafas.
"Jika semuanya berjalan mulus, maka kedamaian mutlak akan terjadi pada semesta ini… dan jika ada masalah lain…"
Kemudian, perubahan terjadi pada penglihatan Isaac, dan kali ini iris matanya hitam tanpa pupil.
Isaac menyeringai tipis. Barisan gigi taringnya terlihat jelas.
"…maka sudah pasti, keberadaan Naruto Uzumaki itu."
T-B-C
A/N: Halllooo reader-san sekalian. Gimana chapter kali ini? Membosankan? Menyenangkan? Seperti biasa letakkan review di tempat seharusnya :)
Wah, wah, reuni pasangan dari dimensi yang berbeda, wkwk, bagian favorit author sudah pasti saat nulis kepribadian Mio, dan penderitaan MC kuning kita, walau sesaat itu juga, mwahaha :D
Dan hmm, sepertinya akan ada hal mengasyikkan di depan, entah apa itu :D
Terakhir…
Sampai jumpa di chapter berikutnya :D
{Racemoon - Sign out}
