"Tidak mungkin jika dia menjemputku se-awal ini. Lagipula siapa yang mau ikut dengannya?" gerutu Ino.
Langkah kaki Ino terhenti tepat satu meter dari tempat pemuda itu berdiri. Ia mengalihkan pandangannya dari pemuda bertato 'Ai' itu. Ke arah mana saja, asalkan tidak untuk melihat wajah pemuda itu. Bukan apa-apa. Ino bukannya takut akan jatuh cinta, tetapi Ino tidak cukup berani untuk menatap sepasang mata turqoise itu. Meskipun pemuda itu tidak terlihat menyeramkan seperti dulu, tetapi sepasang mata itu masih sama tegasnya. Ino masih ingat bagaimana takutnya ia dulu saat melihat mata itu —tepatnya saat ujian chuunin ketika usianya masih 13 tahun. Karena tidak mau berurusan dengan pemuda itu, timnya sampai berusaha untuk benar-benar menghindarinya. Tidak mendapatkan gulungan langit dan bumi bukan masalah kala itu, asalkan Tim 10 bisa lolos dari kematian akibat pasir milik pemuda itu.
Lagipula… jatuh cinta? Ino sudah terlalu sakit hati sebab cintanya tak terbalaskan oleh Sasuke Uchiha. Sejak Akademi –bahkan sebelum Ino benar-benar masuk ke pelatihan ninja itu– ia menyukai Sasuke. Satu-satunya laki-laki yang dapat memikat hatinya adalah Sasuke. Namun, kisah cintanya tidak seperti novel ataupun cerita teater yang pernah ia nikmati. Ino telah dibuat sakit hati oleh yang mananya mencintai seorang Uchiha terakhir. Meskipun begitu, sampai detik ini hatinya tidak bisa berbohong jika ia masih menaruh perasaan dengan pemuda itu. Hanya saja, Ino pintar menyembunyikan perasaannya sekarang. Ia tidak terlalu blak-blakan seperti dulu. Jika dulu orang-orang bertanya 'Siapa yang kau cintai?' Maka Ino akan menjawab dengan lantang nama Sasuke. Namun, sekarang ia lebih memilih untuk mengelaknya.
"Aku membawakanmu kimono," kata pemuda itu sambil sedikit mengangkat paper bag yang sejak tadi ia tenteng dengan tangan kanannya.
"Eh?" Ino tertegun.
Suara pemuda itu –Gaara– se-tenang Sasuke, tetapi sedikit lebih rendah dan dalam. Jika dipikir-pikir, kedua laki-laki itu hampir sama. Mereka sama-sama pernah terjebak dalam kegelapan. Sasuke yang ditelan rasa dendam, dan Gaara dengan hasrat ingin diakui tetapi caranya salah.
Sebenarnya Ino tidak tahu banyak soal Gaara. Ia mendengar sedikit gosip bahwa sewaktu kecil Gaara ibenci dan dijauhi oleh penduduk desa karena ia dulunya adalah seorang jinchuriki ichibi. Beruntungnya, kini Gaara sudah dicintai oleh semua warga desa. Tanpa sadar, sebuah senyum terukir di wajah cantiknya.
Semua orang mendapatkan apa yang telah mereka perjuangkan selama ini. Ia ikut senang dengan kebahagiaan orang lain. Namun, tak bisa dipungkiri ia meratapi kisah hidupnya yang tidak se-beruntung orang lain. Satu hal yang membuatnya terluka sampai saat ini bukan karena ditolak oleh Sasuke, tetapi karena ayah dan pamannya tewas dalam perang menyusul Guru Asuma yang sama-sama ia sayangi. Senyuman yang awalnya tulus berubah menjadi senyuman miris.
"Ino?" panggil Gaara.
Tubuh Ino seketika menegang saat nama kecilnya disebut oleh Gaara. Selain tubuhnya seperti membeku, seketika itu juga Ino tersadar dari lamunannya. Beberapa detik yang lalu, ia sempat melamunkan dua laki-laki yang dianggap sama dan kepedihan hidupnya.
"Ah, apa sih yang aku pikirkan? Sepertinya aku benar-benar butuh istirahat," gumam Ino sambil memukul-mukul pelan kepalanya.
"Apa yang kau lakukan?" Melihat tingkah aneh Ino, Gaara memutuskan untuk menghampiri gadis itu.
Dari beberapa gadis yang pernah Gaara temui, yang satu ini terlihat berbeda. Lain daripada yang lain. Gadis itu tidak se-galak kakaknya, tetapi tidak lemah lembut seperti gadis yang dicintai Naruto. Beberapa momen kebersamaannya yang singkat, Gaara cukup sering melihat Ino melamun dan sesekali seperti sedang berbicara sendiri. Dan yang paling aneh adalah momen ini. Gaara baru saja melihat Ino memukul dirinya sendiri sambil menggerutu tak jelas. Lain daripada Temari ataupun Matsuri. Untuk seumuran gadis 19 tahun, tingkah Ino bisa dibilang sangat lucu. Gaara baru menyadari jika sifat Ino yang ditunjukan saat rapat, berbeda dengan keseharian. Gadis itu cukup pandai menyesuaikan diri dengan keadaan.
"A-A! Tidak!" pekik Ino saat Gaara mengulurkan tangan kiri ke arahnya, seperti hendak meraihnya.
Gaara sontak terkejut, tetapi ia cukup ahli untuk menyembunyikan perubahan ekspresinya itu. Ia langsung menarik tangannya dan sedikit mengambil jarak. Jarak yang memisahkan keduanya hanya sekitar setengah meter saja. Saat ini mereka saling berhadapan meskipun hanya Gaara saja yang memperhatikan Ino, sementara gadis itu sedang mengalihkan pandangannya. Dari jarak yang sedekat itu, Gaara dapat melihat paras Ino dengan teliti.
Meskipun hanya dari samping, Gaara masih bisa melihat wajah Ino yang digadang-gadang sebagai gadis paling cantik di Konoha. Jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Gaara bukannya suka bergosip, tetapi ia punya telinga. Hal semacam itu mudah sekali tersebar dari mulut ke mulut. Gaara tahu julukan itu dari orang-orang yang tak sengaja bergosip di dekatnya, termasuk Temari yang sering pulang-pergi dari Suna ke Konoha. Dari mulut saudara perempuannya itu, Gaara tahu beberapa nama yang ada di Konoha, termasuk Ino yang dekat dengan Shikamaru. Beberapa informasi soal Ino sudah sedikit-banyak diketahui oleh Gaara dari Temari.
Gaara memperhatikan wajah Ino dengan teliti. Gadis bunga itu memiliki kulit yang mulus terawatt. Untuk ukuran seorang shinobi, Ino cukup perhatian dengan penampilannya. Ino memiliki hidung yang mancung dan warna mata yang indah seperti biru lautan. Entah kenapa sepasang mata aquamarine yang cerah itu sangat sulit untuk diabaikan. Warnanya mirip seperti milik Gaara, tetapi milik Ino sedikit lebih pekat dan gelap warnanya. Mata itu cantik –pikir Gaara. Saat pandangan Gaara sedikit diturunkan, pemuda itu melihat bibir ranum Ino yang terlihat sehat dan berwarna peach karena polesan lipstik.
Gaara mulai menilai. Baginya, Ino jauh berbeda dari... gadis itu. Jika gadis itu diibaratkan bulan, maka Ino adalah matahari. Kedua gadis itu... memiliki penampilan yang bertolak belakang. Ino jauh lebih fashionable dan modern dibanding gadis itu yang lebih sering mengenakan yukata di kesehariannya.
"Apa dia laki-laki cabul?" batin Ino.
Ino mulai merasa tidak nyaman. Meskipun saat ini Ino sedang mengalihkan pandangannya dari Gaara, tetapi melalui ekor matanya, Ino bisa tahu jika sejak tadi pemuda itu memperhatikannya.
"Kazekage-sama, aku ingin pulang sekarang!" ucap Ino dengan cepat dan keras —setengah berteriak.
"Pulang?" ulang Gaara.
Gaara menatap Ino dengan heran. Dahinya mengernyit karena bingung.
"Apa sesuatu telah terjadi?" tanya Gaara.
Ino terlebih dahulu menarik napasnya dalam-dalam sebelum ia mengembuskannya perlahan. Ia berusaha menguasai diri sebelum berterus-terang kepada Gaara.
"Sepertinya keinginanku cukup jelas. Aku ingin kembali ke Konoha. Hari ini juga!" ujar Ino dengan segenap keberaniannya.
Cukup lama Ino menunggu tanggapan dari Gaara, tetapi pemuda itu hanya diam tak bersuara. Sebab Gaara tidak mengiakan keinginannya itu, Ino menjadi sedikit jengkel. Ia memutuskan untuk memusatkan perhatiannya ke arah Gaara dengan cara memandangi pemuda itu.
Akhirnya sepasang mata mereka saling bertemu –turqoisedan aquamarine. Untuk kedua kalinya, tubuh Ino seketika membeku. Saat Ino berhasil menguasai diri, ia langsung membuang mukanya ke arah lain. Untuk pertama kalinya Ino dibuat salah tingkah oleh seorang laki-laki selain Sasuke.
"Duh, apa sih? Kok aku jadi aneh begini!" batin Ino menjerit-jerit.
Tidak bisa dipungkiri jika Gaara memiliki wajah yang tampan. Ino perempuan, jadi wajar saja jika ia sedikit gugup ketika berbicara dengan seorang laki-laki. Apalagi Gaara adalah calon suaminya. Siapa yang tidak salah tingkah ketika saling berpandangan dengan pemuda tampan yang memiliki suara bariton yang memikat?
"Aish! Ino, kuasai dirimu!" batin Ino frustasi.
Saat Ino sedang bergelut dengan batinnya sendiri, tiba-tiba….
Grab!
Ino memekik tertahan saat ia merasakan tangan besar dan hangat tiba-tiba menyentuh pergelangan tangannya yang menggantung bebas di sisi tubuhnya.
"A-apa…." Tiba-tiba saja Ino tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia jadi mirip seperti Hinata Hyuuga yang sering terbata-bata saat berbicara dengan Naruto.
Gadis itu sangat terkejut ketika Gaara sedikit menurunkan genggaman tangannya. Saat ini Gaara sedang memegangi tangan Ino dan sedikit mengangkatnya hingga sejajar dengan dada pemuda itu. Pandangan pemuda itu seluruhnya tertuju ke arah tangan Ino.
"Kau tidak betah karena ini?" tanya Gaara.
Ino membelalakkan kedua matanya ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Gaara. Buru-buru Ino langsung menarik tangannya secara paksa dan menyembunyikannya di belakang tubuh.
Alasan Gaara menanyakan itu karena ia melihat banyak sekali area kemerahan di tangan Ino. Terlihat jelas bagaimana gadis itu belum siap untuk tinggal di desa dengan iklim panas, kering, dan tandus seperti di Suna. Bagi perempuan seperti Ino, pasti berat untuk meninggalkan Konoha demi tinggal di Suna. Cuaca di Konoha sangat sayang untuk ditinggalkan. Mungkin gadis itu berpikir ia beruntung lahir di desa yang sejuk di pagi hari dan hangat ketika siang menjelang. Konoha berbeda sekali dengan Sunagakure. Meskipun sudah dua tahun berlalu sejak perang, tidak banyak yang berbeda dari Sunagakure. Desa itu masih sama-sama kering karena memang tidak ada pilihan. Tidak banyak jenis tumbuhan yang bisa ditanam di tanah itu. Tidak seperti Konoha yang semakin lama semakin sejuk dan dijadikan tempat baru untuk tinggal.
"Aish! B-Bukan begitu!" seru Ino salah tingkah bercampur jengkel.
Sebelumnya tidak pernah ada laki-laki yang secara cuma-cuma memegang tangan Ino. Ino akan sangat marah jika laki-laki asing berani menyentuhnya tanpa izin. Hanya Shikamaru dan Chouji yang bebas menyentuh tangannya. Itupun dilakukan dengan alasan melindungi ataupun menjaga tubuh Ino ketika misi. Selebihnya kedua sahabatnya itu sangat berhati-hati dalam bersikap. Baik Shikamaru ataupun Chouji, kedua pemuda itu sangat menghormati Ino sebagai perempuan dan sahabat mereka.
"Bukan karena ini! Aku benar-benar ingin pulang karena aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Kazekage-sama!" rengek Ino.
Sial, sifat Ino yang rencananya akan selalu dirahasiakan itu akhirnya terbongkar juga. Baru saja gadis itu merengek seperti anak kecil di depan seorang Kazekage.
"Mengapa?" tanya Gaara singkat.
Ino mendengus. Ia sempat menghentakkan pelan kaki kanannya karena kesal.
"Mengapa? Kau masih bertanya mengapa?" tanya balik Ino.
Sepertinya Ino sudah kehabisan kesabaran. Ia mulai berani bicara tidak sopan dengan Gaara.
Bagaimana Ino tidak kesal? Setelah Gaara salah menerka, pemuda itu kembali merespons Ino dengan singkat. Seolah Gaara tampak begitu polos tak berdosa saat menanggapi keinginannya itu. Coba sekarang pikirkan, bagaimana jika Gaara berada di posisinya? Pasti pemuda itu juga tidak mau menikah dengan orang yang tidak ia kenal.
"Kuatkan hatimu, Ino. Kau ingin pulang, 'kan? Laki-laki ini hanya berusaha membuatmu luluh," batin Ino.
Ino kembali memberanikan diri untuk melihat ke arah Gaara. Ia berusaha menatap lekat pemuda itu. Sebisa mungkin ia harus memperlihatkan sorot matanya yang tegas dan penuh keyakinan agar Gaara tidak bisa berbuat seenaknya seperti apa yang dilakukan Kankurou.
"Dengan tidak mengurangi rasa hormat, aku benar-benar ingin pulang ke Konoha. Aku harap Kazekage-sama bisa membatalkan rencana pernikahan ini," ulang Ino mempertegas keinginannya itu.
Gaara meletakkan paper bag di lantai dekat kakinya. Kedatangannya ke penginapan itu untuk memberikan sebuah hadiah yang dapat dikenakan Ino saat perjamuan makan. Sesuai dengan permintaan Temari, ia melakukannya. Namun, Gaara malah dikejutkan dengan keinginan Ino untuk pulang sekaligus membatalkan rencana pernikahannya yang akan dilangsungkan dua minggu terhitung dari hari ini.
"Pernikahan kita sudah di depan mata, Ino. Aku sudah meminta izin kepada Hokage dan dia sudah mengizinkanku untuk membawamu ke sini," balas Gaara.
Akhirnya Ino mendengar Gaara berbicara sedikit lebih panjang dari biasanya. Meskipun begitu, Ino tidak menyukai balasan itu. Gaara berusaha menahannya untuk pergi dan tetap akan melanjutkan rencana pernikahannya.
"Hokage itu bukan orang tuaku. Kau terlalu mudah menyimpulkan sesuatu. Jika dia mengizinkanmu untuk membawaku ke sini bukan berarti aku mau melakukan apa yang kalian mau!" bantah Ino tak terima dengan tanggapan Gaara.
Nada bicara Ino sedikit lebih tinggi dari biasanya. Kebiasaan Ino memang seperti itu ketika berdebat. Saat ia mulai terdesak, maka cara ampuh untuk membentengi dirinya adalah dengan bersuara sedikit lebih keras dari tone suara normal.
"Bukankah kau sendiri yang melarangku untuk bertemu dengan ibumu?"
Sekakmat!
Omongan Ino malah menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
"Oh, shit!" umpat Ino dalam hati.
Ino terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Gadis itu memutar otak dan memikirkan cara untuk memenangkan perdebatannya dengan pemuda itu.
"Sebenarnya bukan hanya itu," ucap Ino setelah beberapa detik berpikir.
Gaara tidak membalas dengan perkataan, tetapi pemuda itu menatap lekat Ino, seolah itu adalah isyarat bahwa ia menunggu kelanjutan ucapan Ino.
"Aku tidak bisa menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki sebuah rahasia. Akui saja jika kau tidak benar-benar ingin menikahi gadis sepertiku. Iya, 'kan, Kazekage-sama?"
Berbeda dari sebelumnya, kali ini Ino memutuskan untuk mengajak Gaara mengobrol serius. Ia rasa, ini saatnya untuk mencari tahu kebenaran sekaligus membatalkan rencana gila itu.
"Apa maksudmu? Apa sebenarnya kau takut jika aku tidak akan mencintaimu saat kita sudah resmi menikah nanti?" balas Gaara.
Pertanyaan itu mampu membuat Ino tertegun.
"Apa-apaan itu?" batin Ino.
Ino berdecak kesal.
"Tidak, bukan itu masalahnya!" bantah Ino.
"Akui saja, Kazekage-sama. Aku mau tahu kebenarannya! Saat aku ke desa tadi, seorang pria misterius tiba-tiba datang dan meneriakiku bodoh karena aku bersedia mengiakan pernikahan ini. Siapa orang itu dan kenapa saudaramu begitu kejam?!" teriak Ino.
Oops, maaf! Kali ini Ino tidak bisa lagi menahan dirinya. Apa yang seperti ini bisa disebut pengkhianat sama seperti yang dilakukan pria misterius itu? Haruskah ia mati di tangan Kankurou juga karena sudah berani bersikap kurang ajar di hadapan Kazekage?
"Tunggu, apa katamu? Kankurou?" tanya Gaara heran.
"Ya. Dia menangkap pria misterius itu dan menusuknya dengan pisau beracun yang ada pada Karasu," terang Ino.
"Kau sendiri yang meminta kami untuk berdamai kala itu, tetapi mengapa desamu sendiri begitu kejam? Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Ino.
Gaara terlihat menghela napasnya sejenak sebelum berbicara.
"Jika itu mengganggumu, aku akan berbicara dengan Kankurou nanti," katanya.
Ino mengerutkan dahinya sambil menggelengkan kepala.
"Hanya itu? Sadar tidak sih jika saudaramu itu baru saja melukai seseorang? Bagaimana jika orang itu mati? Dia bahkan tidak jahat. Aku bisa menjaminnya. Dia... dia hanya ingin mengatakan sesuatu kepadaku," balas Ino.
Pandangan Ino sempat melembut. Ia teringat bagaimana Kankurou dengan kejam mengurung pria misterius itu ke dalam kugutsu-nya, lalu ia membungkam paksa lawannya itu dengan memberinya racun.
"Lagipula bukan hanya itu intinya. Akui saja jika kau berbohong. Jangan pikir aku tidak tahu jika kalian menyembunyikan sesuatu. Apa susahnya sih mengaku? Oh, atau mungkin kau mau aku sendiri yang membacanya dengan kemampuanku?" balas Ino kesal.
"Dengan senang hati, jika kau mengizinkannya, aku akan membaca pikiranmu," lanjutnya.
Ino sedikit berjinjit lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah dahi Gaara. Ia hendak menyentuh dahi Gaara agar ia bisa membaca semua isi kepala pemuda itu. Sebab dengan cara lembut, Gaara tak mau berterus-terang, jadi dengan terpaksa Ino bersikap kurang ajar.
"O–!"
Pekik Ino saat Gaara memegangi dan sedikit menyentak tangannya ke depan. Mau tidak mau Ino tertarik ke depan dan berakhir menabrak tubuh tegap Gaara. Sebelum tubuh Ino merosot ke bawah, Gaara lebih dulu memegangi pinggang Ino dengan kedua tangannya.
"K-Kazekage-sama...," panggil Ino pelan.
Pergerakan yang sangat mendadak itu mampu membuat Ino mati gaya. Tidak pernah ada dibayangan Ino jika ia akan berakhir di pelukan Gaara setelah apa yang mereka lakukan sebelumnya. Selayaknya sepasang kekasih yang baru saja bertengkar hebat, si laki-laki berinisiatif menenangkan kekasihnya dengan sebuah pelukan hangat.
"Aku berjanji akan segera mengurus masalah itu. Setelah ini, Kankurou tidak akan berani mengambil keputusan tanpa izinku," ucap Gaara.
Entah sejak kapan Gaara mendekatkan wajahnya, yang pasti suara pemuda itu sangat jelas di telinga kiri Ino.
Embusan napas hangat Gaara menerpa cuping telinga Ino. Gadis itu membeku di pelukan Gaara.
"Sekarang giliranmu untuk membantuku terlebih dahulu. Setelah perjamuan selesai, kita akan membicarakan ini lagi," imbuh Gaara sambil melepaskan pelukannya perlahan.
Ino masih saja diam. Ia berusaha mengatur degup jantungnya yang memburu. Ini terlalu mendadak dan tidak pernah ada di otak Ino. Setelah hidup selama 19 tahun, baru kali ini seorang laki-laki lebih dulu memeluk dan berbisik tepat di telinganya. Butuh per sekian detik bagi Ino untuk tersadar.
"Temui aku di gedung utama. Pakai ini. Aku sendiri yang memilihnya."
Entah sejak kapan paper bag yang tadi terabaikan di lantai sudah kembali berada di tangan Gaara. Kemudian, pemuda itu menyodorkannya ke arah Ino.
"Urusan kita belum selesai. Kau berjanji akan membicarakan ini denganku lagi nanti?" tanya Ino memastikan.
"Ya," balas singkat Gaara.
Ino sempat menghela napasnya sejenak. Setelah itu, ia menerima pemberian Gaara dengan terpaksa.
Setelah tujuan Gaara memberikan hadiah itu terlaksana, ia segera meninggalkan penginapan itu. Awalnya Gaara berniat untuk menunggu Ino bersiap-siap, tetapi ada hal penting yang harus ia pastikan.
Sejujurnya Gaara sangat terkejut ketika Ino memberitahunya soal tindakan Kankurou. Ia kaget bukan karena mengetahui aksi Kankurou, tetapi ia tak habis pikir mengapa saudara laki-lakinya itu bisa melanggar kesepakatan yang sudah mereka buat jauh hari sebelumnya hari ini.
Sesampainya di gedung utama –tepatnya di ruangannya sendiri– Gaara mendapati Kankurou sedang berdiri menghadap ke luar jendela bersama dengan Temari. Kebetulan sekali, Gaara tidak perlu repot menyuruh shinobi lain untuk mencari saudaranya itu.
Sret!
"Gaara!" seru Temari panik.
Bukan tanpa sebab, Temari meninggikan suara karena ia baru saja melihat tindakan adik bungsunya.
Gaara tiba-tiba datang dan langsung mencengkeram kerah baju Kankurou dan menariknya mendekat.
"Gaara, apa yang kau lakukan?" tanya Kankurou.
Siapapun yang berada di posisi Kankurou akan takut. Jika sudah berurusan dengan Gaara, tak ada yang menjamin jiwa seseorang akan tetap berada di tubuhnya. Namun, Kankurou tampak tenang menghadapi sikap adik laki-lakinya itu.
"Aku salah, seharusnya cukup Temari saja yang tahu soal ini," kata Gaara sambil menatap lekat ke arah mata Kankurou.
Meskipun Gaara tidak meninggikan suaranya, justru hal itu menambah aura mengintimidasi bagi Kankurou. Namun, pandangan Kankurou sedikitpun tidak terlihat goyah. Dengan berani, pemuda ahli kugutsu itu membalas tatapan Gaara.
"Gaara, Kankurou, berhenti bertengkar," pinta Temari.
Temari meminta Gaara untuk menyudahi sikap kurang ajarnya itu, tetapi Si Sulung dari clan Kazekage itu tidak banyak bertindak. Ia tidak melerai, tetapi hanya bersiaga jika sewaktu-waktu Gaara lepas kendali. Ia cukup paham jika Gaara tidak akan mungkin melukai keluarganya sendiri. Temari hanya mengantisipasinya.
Gaara tak menggubris permintaan Temari, bahkan pemuda itu tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Kankurou. Ia mengabaikan Temari begitu saja.
"Mengapa kau mengingkarinya?" tanya Gaara.
-to be continued-
Halo, hai! Ketemu lagi nih sama aku, Phi! Kayaknya pada kurang suka karena kependekan. Jadi kali ini aku lagi berbaik hati untuk menambah jumlah kata, biar puas baca karena chapter selanjutnya update masih hari Selasa depan. Gimana-gimana suka tidak sama chapter ini? Honestly, aku sendiri salting brutal waktu Ino dipeluk GaaraTwT. Kayak... pengin juga enggak sih?! xD. Fyi, aku itu paling enggak bisa bikin judul, ya! Sebelum diputuskan judulnya 'Truth', judul pertama fanfic ini adalah 'Takdir Benang Merah' lho. Kayaknya lebih bagus sebelumnya, deh TwT.
By the way, terima kasih aku ucapkan sekali lagi kepada semua pembaca, baik silent readers ataupun yang setia memberikan review-nya. Aku suka dan sayang banget sama kalian semua!
~Sesi ngobrol~
zielavienaz96: Kak Zie, simpen dulu kecewanya, ya! Next chapter bakalan tambah kesel lagi sama Sakura kalau sudah nongol. Aku spoil-spoil langsung nih buat antisipasi xD.
BngJy: Aduh, kayaknya meski sudah update chapter ini, Kakak tetep belum bisa tidur nyenyak, deh. Rahasianya masih belum kebongkar eheheh~ Tahan lagi ya, Kak.
Inzaghi: Yey~ Selamat datang kembali, Kak Inzaghi. Tau tidak setiap kali aku baca username Kakak, aku selalu keinget Izanagi, gomen ne~ Ahahah, Kankurou itu ganteng, cuma ketutupan tato wajah aja xD. Aduh, maaf deh Kak. Maaf, ya. Sebenernya memang sengaja pengin buat Kakak penasaran dan enggak sabar nungguin, sih *peace. Terima kasih banyak sudah selalu menyemangati aku! See you next chapter yang masih akan menggantung *kabur aja dulu enggak sih?
Azzura yamanaka: Gomen gomen~ Gimana, sudah panjang, 'kan? By the way, terima kasih banyak!
Julian Nara: Halo, Kak Julian Nara! Salam kenal juga, ya! Terima kasih banyak atas apresiasi dan semangatnya! Selamat menikmati fanfic ini. Semoga tidak mengecewakan Kakak, ya.
See you next chapter~
