"A-apa yang Anda la-lakukan?" suara cicitan yang bertanya itu membuat Taufan tambah marah. Mereka sudah berada di mobil Taufan sekarang. Taufan sudah mengunci pintu mobilnya, jadi si janda di sampingnya tak akan bisa pergi dari sini.

Taufan mendorong keras punggungnya ke sandaran mobil, lalu mata safirnya memandang si janda yang masih menunduk sambil mengusap pergelangan tangannya.

"Apa yang kulakukan? Justru itu yang ingin kutanyakan padamu." Taufan mendekatkan dirinya pada Yaya, membuat wanita itu semakin menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah malu. Wajah mereka terlalu dekat! Bahkan hidung Taufan bisa mencium wangi yang entah mengapa mampu membuatnya gila. "Apa yang kau lakukan padaku?" Taufan tulus menanyakan itu. Dirinya sendiri juga bingung tindakannya pada si janda. Makanya, Taufan lah yang bertanya tentang itu pada si janda.

Hening sejenak, Taufan masih intens memandangi wajah ayu yang masih menunduk itu.

"A–anda yang mengatakan sendiri bahwa sa–saya adalah i–istri Anda." Saat mengatakan itu, wajah Yaya sudah sangat merah padam. "Bu–bukankah seharusnya An–Anda yang mengetahuinya di–dibandingkan saya?"

"Kurasa, sepertinya aku jatuh cinta padamu," perkataan itu sukses membuat Yaya mendongak. Lalu netra karamel dan safir itu saling bertemu. "Aku tidak tahu, karena ini asing untukku. Aku tak pernah merasakan perasaan ini saat masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihku..." lanjutnya berbisik. Dada Yaya mulai bergemuruh, ini pertama kalinya dirinya mendapat ungkapan seperti itu, dari orang yang bahkan tak pernah Yaya impikan. "Jadi... bagaimana menurutmu? Apakah perlakuan ini kuberikan padamu karena aku jatuh cinta padamu?"

Yaya membuang wajahnya ke luar jendela. Kemudian dia kembali menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Rasa panas menjulur ke semua tubuhnya, bahkan detakan jantungnya bisa dia rasakan diujung kuku-kukunya.

"Sa–saya juga tidak tahu," Yaya bercicit kecil. Mana bisa dirinya menjadi sangat percaya diri atas apa yang dikatakan oleh Taufan. Jatuh cinta atau pun tidak, hanya Taufan saja yang tahu. Kenapa... dia harus menanyakan itu padanya?

Memalukan.

Taufan merasa gemas, harum wanita di sampingnya ini sudah tidak bisa ditolerir. Taufan menjadi lapar, bahkan masalah kerugian perusahaannya sudah tak ada lagi dibenaknya.

"Aku sudah tidak bisa menahannya!" Membanting punggungnya pada sandaran mobil, Taufan lalu menyalakan mobilnya.

Taufan sudah tak bisa memikirkan apa pun. Saat ini, hanya ada satu cara yang terpikirkan olehnya agar bisa memiliki si janda di sampingnya ini seutuhnya. Taufan tak mau jika Yaya berakhir hidup bersama dengan pria lain.

Tak ada waktu yang lain, karena ini adalah timing yang paling tepat.

"An–anda akan membawa saya ke mana?" matanya sedikit melirik ke arah si janda yang kini menatapnya dengan tatapan syok dan bingung.

Ke mana dia akan membawa wanita di sampingnya ini? Tentu jawabannya sudah jelas, kan?

"Kita ke hotel."

Deg

Mata cokelat karamel Yaya membulat. Mulutnya menganga.

"Ap–apa?!


"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 21 : Kenalkan Aku padanya


"Bunda." Ilham datang dengan menyodorkan ponselnya.

Mara yang sedang menikmati teh chamomile-nya mendesah lelah. Matanya menatap Ilham sejenak dengan tajam.

Ilham hanya diam meringis. Sebagai seorang bawahan, tentu dia tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin akan baik-baik saja jika nyonyanya yang tidak mengangkat telepon sang tuan besar Mechamato, tapi tidak untuk Ilham yang statusnya sebagai bawahan.

"Tuan besar ingin berbicara dengan Anda." Ilham mengatakannya dengan hati-hati.

"Seharusnya kau katakan jika aku sudah tidur!" Tamara berbisik jengkel pada tangan kanannya itu. Dengan ogah-ogahan, wanita berkepala lima itu menerima sodoran dari bawahannya.

Bisa apa Tamara sekarang?

Di sisi lain, Ilham merasa tak enak. Dia dilanda dilema.

"Saya tidak bisa berbohong bunda," balasnya berbisik setelahnya lelaki itu hanya bisa menunduk sambil meringis meratapi nasibnya.

Tamara memutar matanya malas. Kemudian ia meletakkan ponsel pintar itu ke telinganya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikummussalam." Terdengar suara berat suaminya di seberang. "Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Apa sekarang aku harus menghubungi lewat ponsel asistenmu?" Tamara meringis saat mendengar suara Amato yang tampak sedang kesal.

Hening. Tamara masih diam dan mulai membuat otak jeniusnya bekerja. Dirinya cukup pintar untuk tak membuat alasan seperti 'ponselku mati' atau 'aku lupa menghidupkan nada dering ponselku.' Amato itu cerdas, berkali-kali lebih cerdas dari dirinya.

Suaminya itu selalu maju selangkah dari dirinya. Ia bahkan bisa mencium sesuatu yang tak beres dengan cepat jika seseorang bertingkah laku mencurigakan. Oleh karena itu, Tamara selalu berhati-hati jika sedang menyimpan rahasia. Diam-diam Tamara merengut dalam hati. Memiliki suami yang pintar tidak selamanya baik.

"Kebetulan saat kau menelpon, rekan kerjaku juga menelpon diriku untuk membahas pertemuan besok. Setelahnya kau menelpon Ilham, tepat saat itu juga urusan kami selesai."

"Hm, kebetulan yang hebat ya. Tapi, sejak kapan istriku mau menerima telepon yang membahas pekerjaan di saat malam hari?" Tamara terdiam. Diam-diam wanita paruh baya itu agak merutuk dalam hati, tentu dia tak menampik sifat manusia yang akan menjadi bodoh saat sedang gugup. Di dunia ini, hanya suaminya saja yang bisa membuat Tamara menjadi gugup.

Memandang ke luar jendela untuk menghilangkan kegugupannya, Tamara menjawab, "Yah... kali ini benar-benar penting, maka mau tidak mau aku harus menjawabnya, kan."

Sedangkan Amato di seberang sana justru mengangkat satu alisnya ke atas, "Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu dariku," ujarnya dan itu sukses membuat Tamara panik.

Tamara menggigit bibirnya. Dia melirik ke arah Ilham yang kembali menunduk.

Dialah biang keroknya. Andai saja Ilham tidak menjadi anjing penurut pada Amato, tentu saja Tamara bisa lebih sedikit menikmati hidupnya.

"Apa maksudmu, darling? Kau tahu betul bahwa aku tidak bisa menyembunyikan apapun darimu." Tanpa sadar Tamara tersenyum canggung. Dia seharusnya tahu, mau dia mengeluarkan ekspresi apapun, Amato tetap tidak akan bisa melihatnya.

Meskipun sekarang ada fitur panggilan yang disebut video call, Amato tidak begitu suka memakainya. Suaminya itu terlalu kaku jika melakukan hal yang seperti itu. Amato hanya menggunakan fitur itu sesekali untuk menghubungi orang tuanya ataupun mertuanya.

Tak ada jawaban, pria di seberang telpon itu hanya diam. Dan itu justru membuat Tamara jauh lebih gugup lagi.

"Kapan kau pulang?"

"Kurasa masih lama. Ada apa? Apa kau merindukanku?"

"Kau harus mengatur anggaran keluarga. Selain itu, aku rindu dengan masakanmu." Tamara memutar bola matanya jengah.

Apa-apaan itu? Mana ada suami yang menyuruh istrinya pulang hanya karena untuk mengatur anggaran keluarga. Untuk alasan kedua, ia bisa memaklumi karena bukan hanya suaminya, anak-anaknya juga terkadang mengatakan itu padanya.

"Kau menjadikanku istrimu hanya untuk dijadikan sempoa?"

Di seberang sana, Amato menyerngitkan dahinya saat mendengar jawaban sang istri. Namun, ia tak pedulikan dan justru mengubah topik pembicaraan. "Berhenti mengurusi urusan percintaan Taufan," ucapnya.

Tamara menggigit bibirnya. Ini adalah kebiasaannya saat sedang gugup. Memang Tamara beralasan pergi menemui Taufan pada Amato untuk membahas masalah perjodohan.

Dan duar! Dia justru mendapatkan kejutan berupa dua cucu kembar yang lucu dan menggemaskan.

"Pulanglah."

Satu kata tetapi itu mengguncang. Suaminya itu selalu to the point, tidak suka berbasa-basi.

Tamara semakin menggigit bibirnya. Suaminya itu sangat memiliki watak yang keras. Jika dia bilang A, maka dia akan tetap mengatakan A bukan B. Watak kerasnya itu ia turunkan pada si anak kembar tertua dan si bungsu, yaitu Halilintar dan Solar.

"Aku akan pulang jika Taufan sudah benar-benar memiliki calon yang akan dikenakannya pada kita." Tamara menghela napas sebelum lanjut berbicara. "Kau juga tahu sendiri apa yang sudah kita janjikan pada putra-putra kita. Aku tentu membebaskan mereka untuk mencari wanita yang mereka sukai sampai batas umur yang telah kita sepakati, dan Taufan sudah terlalu banyak melanggar. Umurnya itu sudah pantas disebut perjaka tua."

"Perjaka tua apanya. Jika kau lupa, putra kita yang itu pernah terlibat skandal dengan seorang wanita," sahut Amato di seberang membuat Tamara lagi-lagi merutuk dalam hati. "Apa perlu aku yang pergi menjemputmu?" Amato tidak menanggapi serius ucapan istrinya barusan. Karena bagi dirinya karir di umur Taufan adalah hal yang harus diprioritaskan. Jika memang Taufan sudah menikah di umurnya yang sekarang, maka Amato hanya akan menganggap itu sebagai bonus.

Lain halnya dengan Amato yang masih tenang, Tamara justru mulai gerah. Dia sedikit panik dan kalut saat membayangkan Amato datang ke sini. Ke tempat di mana seorang wanita yang sudah bertahun-tahun dicarinya sedang asik merawat cucu yang tidak diinginkannya.

Apa yang akan dilakukan oleh suaminya jika mengetahui hal itu?

Menyingkirkan cucu dan calon menantunya?

Oh yang benar saja!

Sudah sejak lama Tamara sangat mendambakan cucu dari Taufan. Dan siapa sangka putranya itu memberikannya langsung dua cucu kembar yang imut dan menggemaskan walaupun dengan cara yang sangat salah.

Sekarang yang terpikirkan olehnya adalah mengasingkan Yaya dan kedua cucunya, memberi tahu Taufan yang kebetulan sudah jatuh cinta pada Yaya, lalu mereka berdua bisa hidup bahagia tanpa harus diketahui oleh Amato.

Sedih memang jika Amato tidak mengetahui keberadaan cucunya dari benih Taufan, namun Tamara rasa Amato tidak akan sesedih itu, toh mengingat Amato pernah mengatakan ia tak akan menerima cucunya hasil di luar nikah dan terlebih lagi suaminya itu dikelilingi oleh cucunya yang lain.

"Seminggu." Amato berujar final.

"Baiklah." Menghela napasnya, Tamara menyetujuinya. Tak ada pilihan lain. Itu adalah opsi terlonggar yang diberikan oleh suaminya padanya. "Kalau begitu aku tutup teleponnya karena aku ingin tidur. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah panggilan itu terputus, Tamara menyandarkan tubuhnya sambil mendelik ke arah Ilham yang masih menciut.

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana caranya untuk menyusun rencana agar sang cucu bisa selamat dari cengkeraman suaminya?

Menghela napasnya gusar, Tamara mengambil ponselnya. Ia lalu menelpon Taufan yang katanya tadi saat berpamitan ada pertemuan bisnis di salah satu restoran kelas atas.

Beberapa detik sampai akhirnya panggilannya ditolak.

Tamara melotot kesal pada ponselnya yang menampilkan kontak sang anak. Ini masalah yang genting!

Dasar anak durhaka!

Tak menyerah, Tamara kembali menghubungi Taufan sekali lagi.

Dan lagi-lagi dirinya ditolak. Tamara berdecak kesal.

Taufan harus tahu kebenarannya. Tentang siapa itu perempuan bersurai coklat yang selama ini dicarinya, juga tentang Yaya dan kedua anaknya.

Dia kemudian mengetikkan sesuatu dan mengirim pesan ke ponsel putranya.


Tangannya mulai terasa sakit. Pandangannya ia larikan ke sana kemari. Yaya inginnya sih meminta bantuan dari beberapa orang yang sudah mereka lewati, namun dirinya justru mendapati tatapan heran dan takjub terhadap pria yang menariknya ini.

Sialan.

Taufan dengan sangat cepat menariknya dari parkiran menuju ballroom mewah yang tidak bisa Yaya tafsirkan harganya.

"Tu–tuan Taufan, tangan saya sakit." Yaya mencoba berhenti, berharap gaya gesek pada sepatu pantofel yang dikenakannya membesar. Namun, pria di depannya ini sepertinya justru memiliki tenaga monster!

Tangan rampingnya berulang kali meronta, tapi tangan besar berurat itu layaknya borgol.

Yaya tak bisa melawan.

Banyak hal liar yang berkeliaran di dalam otaknya. Yaya bukanlah lagi perempuan polos yang akan berpikir bahwa mereka hanya akan mengobrol santai dalam sebuah hotel.

Benar. Hotel.

Untuk apa seorang wanita dan pria pergi ke hotel bersama? Terlebih lagi di malam hari.

Tentu saja Yaya bisa menebak itu.

Untuk bermain 'Kuda-kudaan'.

Satu yang tidak bisa Yaya tebak. Kenapa harus dirinya? Bukankah perempuan di luaran sana banyak yang lebih cantik dan semok daripada dirinya?

Sekarang dalam otak Yaya hanya berkeliaran pertanyaan 'Mungkingkah pria ini menjadi gila karena terobsesi padaku dan menyukaiku?'

"Jika tidak ingin sakit, maka jangan melawan. Kau cukup diam dan ikuti aku saja," suara maskulinnya itu hanya mengingatkan Yaya dengan adegan beberapa tahun yang lalu, saat mereka sedang memproduksi Yachana dan Taufik.

Astaghfirullah, mikir apa aku Ya Tuhan. Yaya menggelengkan kepalanya, wajahnya juga sudah merah padam. Mikir apa dia barusan?!

Itu adalah pemerkosaan! Dan dirinya juga sempat trauma gara-gara hal itu!

Tapi... mengapa saat ini Yaya merasa dirinya sudah tidak trauma lagi? Biasanya bukannya korban pemerkosaan akan trauma jika bertemu dengan pelakunya? Tetapi entah mengapa rasa trauma Yaya sudah menghilang. Apa karena Taufan adalah pria yang luar biasa?

Bukan. Sepertinya selama ini Yaya tidak menganggap itu sebagai pemerkosaan karena dirinya merasa tau diri.

Bukan Taufan yang salah saat itu.

Tetapi Mimy. Mimy lah yang menjebak mereka, oleh karenanya ... dibanding membenci Taufan Al Mechamato yang telah mengambil kesuciannya, Yaya justru membenci dirinya sendiri.

Karena dia yang tidak bisa bertanggung jawab atas kerusakan mobil Mimy. Dan karena dirinya tidak bisa menjaga dirinya sendiri.

Dan karena dia hidup miskin.

Itu salahnya, jadi itu sebabnya ... rasa traumanya cepat menghilang dari dalam hatinya.

"An–anda berjalan terlalu cepat."

"Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak sabar menggagahimu."

Yaya melotot malu menatap Taufan yang berada di depannya. Lupakan tampang rupawan milik pria di depannya ini, Yaya merasa pria di depannya ini benar-benar memiliki gangguan mental atau kelainan seksual.

Tunggu dulu, atau apa mungkin itu adalah fetish seorang Taufan Al Mechamato? Bercinta dengan seorang wanita asing yang telah memiliki anak?!

"Kau sudah gila!" Hilang sudah kesopanan Yaya yang beberapa waktu yang lalu masih menggunakan sapaan 'Anda.'

Taufan yang dikatain gila akhirnya berhenti. Dia berbalik hanyak untuk melihat wajah si janda yang memerah pekat menatapnya dengan pelototan. Dia menaikkan satu alisnya ke atas.

Taufan heran.

"Menurutmu siapa yang telah membuatku menjadi gila seperti ini?"

Yaya terdiam. Apa yang barusan itu bisa disebut dengan gombalan romantis?

Tidak! Bukan sama sekali. Sekarang Yaya yakin jika memang Taufan sudah tidak waras.

"I–ini pelecehan! Aku... aku akan melaporkanmu ke polisi jika kau masih meneruskan ini!"

Taufan hanya menggedikan bahunya sambil memerkan seringai menawannya. Lalu ia berbalik dan menarik lengan Yaya lagi.

Sejujurnya Yaya sedikit meleleh dengan karisma Taufan barusan. Seringaiannya sungguh membuat dirinya benar-benar terpesona.

Terbesit sedikit dalam kepalanya untuk ikut andil dalam permainan menunggang kuda ini.

Tanpa sadar Yaya mempertimbangkan ajakan Taufan.

'Bubun!'

Namun pemikiran itu langsung hilang saat bayangan Taufik dan Yachana memasang wajah sedih sambil menunggunya di rumah melintas dalam kepalanya.

Ah, benar! Yachana dan Taufik tidak mungkin ia tinggalkan sendirian semalaman di rumah sedangkan dirinya bersenang-senang membuatkan adik baru untuk mereka.

"Lepas, Tuan Taufan!" Entah mendapatkan tenaga dari mana, tangan Yaya lolos dari cengkeraman Taufan. Meski dirinya merasa sedikit sakit karena adanya gesekan paksa. Yaya menilai itu adalah tenaga seorang induk yang mencemaskan anak-anaknya.

Yaya baru menyadarinya, Taufan membawanya ke tangga darurat. Di sini tidak ada orang. Yaya sedikit was-was, namun ia usahakan untuk berani.

Yaya melipat kedua tangannya, memperlihatkan wajah marahnya.

Dirinya itu bukan wanita murahan!

"Kau pikir siapa dirimu? Memangnya apa yang ingin kau lakukan sekarang denganku?"

"Apalagi? Tentu saja aku mengajakmu bercinta." Taufan mengatakannya dengan wajah dan nada yang santai.

Yaya menatap Taufan dengan raut wajah shock. Apa setiap pria di keluarga Mechamato memang mesum seperti ini? Yang Yaya tahu dari Mimy adalah Taufan Al Mechamato adalah pria yang tak tersentuh oleh wanita manapun. Bahkan Mimy masih perawan ting-ting meski dia sudah bertahun-tahun pacaran dengan Taufan saat itu.

Tapi apa ini? Taufan terlihat sangat murahan.

Atau Yaya itu perempuan yang spesial di mata dan hidup Taufan? Memikirkan hal itu entah kenapa membuat hatinya membuncah aneh, seperti ada desiran yang entah kenapa membuatnya senang.

Tapi lupakan tentang perasaannya. Logikanya sebagai seorang ibu berhasil mengalahkan ego hatinya.

"Kau pikir aku mau?!" seru Yaya kesal. Dirinya tak habis pikir. Taufan Al Mechamato mengajaknya bercinta selayaknya mengajaknya makan malam. Yaya itu memiliki putra dan putri, dia itu single parent yang menyewa baby sitter hanya sesuai jam kerja. Tentu sebagai seorang ibu, Yaya tak bisa meninggalkan kedua buah hatinya berlama-lama. Setengah jam lagi, Amy tentu akan pulang karena jam kerjanya sebagai baby sitter telah berakhir untuk hari ini. Taufik dan Yachana akan sendirian.

Tidak! Yaya tidak akan tega membuat kedua buah hatinya menunggunya semalaman!

Taufan mengangkat satu alisnya. "Memangnya kau tidak mau?" tanyanya keheranan. Bukannya dia merasa percaya diri atau apa, tapi dari pengalamannya yang sering dijebak oleh puluhan wanita di luaran sana membuat Taufan selalu berpikir jika tidak ada yang bisa menolaknya. Menolak pesona fisiknya.

Yaya diam. Matanya meniliti wajah tampan Taufan yang menatapnya lembut. Tentu saja... 'mau sih... tapi...'

"Tidak!" Yaya mengambil satu langkah mundur. Mata karamelnya menyipit menatap Taufan yang masih menatapnya lembut. "Aku sudah berumah tangga dan memiliki dua anak jika kau lupa."

"Tapi kau, kan, janda."

Yaya terdiam. Matanya melotot menatap Taufan. Darimana pria itu tahu dirinya sudah menjanda padahal dirinya tak pernah mengatakannya padanya?!

"Itu... tidak mengubah apapun." Yaya berkata lirih. "Aku tetap seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang menungguku di rumah."

Taufan tertegun. Benar. Bagaimana dengan kedua anak si janda di depannya ini.

Sebagai pria sempurna seperti dirinya, tentu akan berat jika harus menerima dua orang anak yang bukan darah dagingnya. Dan terlebih lagi, bagaimana dengan tanggapan keluarganya nanti? Bukan berarti Taufan membenci status Yaya sebagai ibu dari dua orang anak...

Menurutnya itu bukanlah hal yang menjadi masalah. Yang ia takutkan nantinya adalah tentang pilih kasih.

Bagaimana pun naluri orang tua dan darah dagingnya itu sangat kental. Taufan takut nantinya ia tidak bisa membagi kasih sayang yang adil kepada anak si pemilik restoran menengah itu ketika dirinya dan Yaya menikah dan memiliki anak.

"Jika kau memang sedang ingin melakukannya, kau bisa mencari wanita yang lain," Yaya akhirnya berbicara setelah lama menunggu respon dari Taufan. Taufan diam dan tak merespon apapun.

Sudah Yaya duga, Taufan hanya sedang bernafsu saja.

Lebih baik dirinya pulang, kedua anaknya pasti menunggu kepulangannya. Taufan membawanya terlalu jauh, memikirkan biaya taksi sudah membuat Yaya meringis sedih.

Yaya berbalik, namun lengangnya digenggam lagi.

"Tidak bisa..." Taufan mengatakannya dengan serius. Wajahnya memandang lurus si janda yang entah kenapa terlihat berkali-kali sangat cantik. "Hanya kau..."dan perempuan si jalang coklat. Taufan mengatakannya dalam hati. "Yang membuatku seperti ini..." lanjutnya lagi.

Karamel Yaya membola. "A–apa?"

"Hanya kau yang membuatku seperti ini. Aku ingin melakukannya bersamamu." Taufan lagi-lagi mengatakannya, dia berusaha menyingkirkan siluet si jalang bersurai coklat yang terbesit di dalam otaknya. Sial, mengapa dia selalu terbayang dengan sosok si jalang itu akhir-akhir ini.

Taufan ingin menikah Yaya. Namun hal yang berat menurutnya adalah tentang keluarganya. Ini tentang status yang dimiliki oleh Yaya.

Tentu Taufan bukanlah pria yang lugu yang akan berbicara 'Kita saling menyukai, ayo menikah!' Tidak! Mengajaj seseorang menikah tidak semudah itu. Sebagai seorang anak yang sudah dibesarkan dengan keluarga yang utuh, tentu Taufan tahu diri untuk menghargai pendapat keluarganya.

Meski terkadang dirinya membenci kedua orang tuanya yang terlalu ikut campur dalam urusan percintaannya.

Tidak! Itu hanya ibunya.

"Kupikir aku benar-benar menyukaimu."

Wajah Yaya memerah setelah mendengar itu.

"Ke–kenapa?"

"Aku tidak tahu. Tetapi kau terlihat sangat cantik dan menarik di mataku."

"A–apa..."

"Jadi ayo." Lagi, Taufan menarik tangan Yaya.

"A–apa yang kau pikirkan sih?" Yaya menghentikan langkahnya, lagi-lagi tangannya berontak minta dilepas. Hancur sudah kekaguman Yaya padanya barusan. Apa Taufan hanya berpikir tentang seks, seks, dan seks?

Taufan mengeratkan genggamannya. Dia harus melakukan ini. Si janda ini harus mengandung anaknya.

Dengan begitu, keluarganya akan setuju jika mereka menikah. Selain itu, agar wanitanya ini tidak diambil oleh siapa pun.

Taufan ingin mengikat si janda ini dengan ikatan darah. Agar dia tidak bisa melarikan diri darinya.

"Apa yang harus kulakukan agar kau mau bersamaku?" Taufan bertanya di sela perjalanan mereka. Dan Yaya tambah malu saat ia melanjutkan. "Hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehku untuk mengikatmu."

Tentu saja Yaya merasa malu! Yang barusan dikatakan oleh Taufan itu terdengar seperti lamaran!

Yaya hanya diam. Dia belum bisa menyimpulkan secepat ini jika dirinya memiliki perasaan pada Taufan. Yaya tak bisa menampik bahwa dia menyukai wajah tampan Taufan dan kekayaannya.

Namun itu tidaklah cukup. Yang Yaya butuhkan adalah kenyamanan. Sosok yang mampu melindungi dan kedua buah hatinya.

Mungkin akan terdengar sempurna jika dia dan Taufan akan benar-benar menjadi pasangan. Taufik dan Yachana akan bersama ayah kandungnya. Mereka akan merasakan rasanya memiliki ayah.

Segala kebutuhan Taufik dan Yachana akan terpenuhi. Baik keluarga yang utuh ataupun materi.

Tapi... apakah akan semudah itu?

Tidak. Bagaimana jika Taufan justru akan membencinya dan kedua anaknya jika dia mengetahui kebenarannya?

Yaya lah yang merusak nama baik Taufan dan keluarganya saat itu.

Lalu... begitu juga dengan anggota keluarga Mechamato lainnya. Apakah mereka akan semudah itu memaafkannya dan membuka tangannya untuk wanita yang telah mencemarkan nama baik keluarga mereka?

Membayangkan mereka berusaha menyingkirkan Taufik dan Yachana membuat Yaya langsung pucat pasi.

"A–aku sudah menyukai o–orang lain." Yaya mengatakannya sambil memberontak tidak nyaman.

Taufan masih tidak mau melepaskan genggaman pada tangannya.

"Apa?! Kau..."

Perkataan Taufan terhenti karena ponselnya berdering. Pria itu berdecak kesal dan mengambil ponselnya dari saku jasnya. Lalu melihat layar tampilannya.

In Calling

Bunda

Lagi, Taufan mendecih. Tanpa berpikir dua kali, dia menolak panggilan ibunya. Taufan kembali menaruh atensinya pada Yaya dan menatapnya tajam.

"Apa pria jelek yang tadi?!" Wajah Taufan mengeras. Ini adalah kali kedua dirinya marah terhadap seorang wanita.

Pertama, karena si jalang bersurai cokelat yang wajahnya tidak ia ketahui, dan ini yang kedua.

Ah sial! Dia mengingat perempuan jalang itu lagi!

"KATAKAN!" Tanpa sadar, suara Taufan meninggi. Dia menjadi sangat posesif terhadap seseorang yang dia inginkan.

"Itu..." Yaya yang dibentak sedikit terkanjat. Wanita itu mengambil langkah mundur tetapi Taufan ikut maju mendekatinya.

TRING TRING

Lagi, suara dering telepon Taufan mengganggu keduanya.

Taufan benar-benar geram. Dia menolak lagi panggilan itu tanpa mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Ke–kenapa kau ingin tahu sekali? Kita tidak ada dalam hubungan untuk mencampuri urusan masing-masing...!"

"Kau..." Lagi, perkataan Taufan terganggu dengan nada dering ponselnya. Kali ini nada dering yang berbeda.

"Kau harus mengangkat itu dulu."

Taufan menggeram sebentar. Saat ini dia sangat ingin membanting ponsel di genggamannya. Taufan menaikkan ponselnya sambil berkata, "Ini bukan panggilan, ini hanya pesan masu..." perkataannya terhenti saat melihat isi pesan yang ternyata dikirimkan oleh ibunya.

Yaya mulai penasaran. Wajah Taufan terlihat sangat mengeras, bahkan dia memandang Yaya dengan tajam sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

"Apa bunda sedang bercanda?" Taufan mengapitkan ponselnya ke telinga.

Ah, ternyata pria di depannya ini menelpon ibunya. Yaya menyimpulkan jika pesan yang masuk tadi adalah dari nyonya Tamara.

"Bunda nggak lagi sedang berbohong, kan?" Wajah Taufan semakin mengeras, lalu matanya menatap tajam Yaya.

Entah kenapa Yaya merasakan perasaan tidak enak.

Banyak hal buruk yang ada dipikirannya.

"Putra dan putrinya?" Ekspresi Taufan semakin mengeras, matanya semakin tajam menatap Yaya.

Deg.

Jangan katakan nyonya Tamara mengatakan tentang Taufik dan Yachana? batin Yaya berkata.

Yaya mundur. Pergi dari sini adalah pilihan yang terbaik.

Ketika Yaya akan lari, tangannya lagi-lagi dicekal.

Yaya berbalik dan wajahnya bertemu pandang dengan wajah Taufan.

Pria itu masih memegang ponsel di telinga kirinya. Dia masih menelpon ibunya.

Satu yang menjadi perhatian Yaya adalah wajah Taufan yang berubah.

Wajah tadi yang Yaya lihat sangat marah, berubah menjadi menyeringai.

Dia memandang Yaya penuh dengan makna aneh.

Kenapa pria ini menyeringai? Apa yang dikatakan nyonya Tamara padanya? Yaya bertanya-tanya.

Kemudian pria itu mematikan teleponnya. Seringainya semakin lebar.

"Kau harus menikah denganku."

"Ap–apa?"

Taufan mendekat kearahnya, memeluknya erat sambil membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Taufik dan Yachana...

... Kenalkan aku padanya."

DEG.


Peek A boo

Chapter 21 : Kenalkan Aku padanya

To be continued


Author's note :

Loha, assalamualaikum! Aku balik lagi bawa chapter yang kalian tunggu-tunggu! Bta maaf ya ada sebulan atau dua bulan aku gak update gara-gara sibuk sama pekerjaan aku wkwkwk (﹏). Chapter 22 insyallah dua minggu lagi update. Untuk Ellena Nomihara maaf sudah membuatmu menunggu. Chapter ini kudedikasikan untukmu~

Selamat membaca jangan lupa reviewenya ya~~

See you next chapter~~~