Rendez-Vous :The Lost Mother

"Ini salah, Carlisle. Dia seharusnya tidak disini."

"Aku tau, aku tau. Aku minta maaf, Edward."

Edward menatap pria yang ada di depannya dengan prihatin. Carlisle, dengan pakaian putih yang kini ternoda oleh darah. Wajahnya sedih, ada rasa sakit yang bisa Edward baca memenuhi kepala pria yang mengubahnya menjadi mahluk bersuhu dingin itu. Isi kepalanya penuh ke kalutan dan rasa bersalah, darah menempel di sisi bibir dan tangannya. Tak jauh dari mereka berdua, di atas kasur beranjang kecil, terbaring lembut seorang wanita, wajahnya cantik, namun tidak dengan kondisi tubuhnya. Tulangnya patah di berbagai tempat, darah masih mengalir dari luka yang segar, nafasnya tipis, jantungnya nyaris tak terdengar denyutnya. Edward kembali menatap Carlisle.

"Kamu adalah orang terakhir yang kuharapkan tidak melakukan ini, Carlisle. Kamu seharusnya menjadi orang baiknya."

"Maafkan aku, aku hanya… aku harus menyelamatkannya."

Edward menghela nafas. "Jelaskan padaku kenapa."

Carlisle mengangguk. "Aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, saat ia jauh lebih muda, jauh lebih bahagia. Aku menolongnya hari itu, dan aku tidak pernah membayangkan akan bertemu dengannya lagi dalam keadaan… seperti ini."

Carlisle dan Edward menoleh kearah wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Apa yang dia pikirkan sekarang?"

"Sakit." Ucap Edward, ada getar lemah pada suaranya. "Trauma, takut, bersalah, hilang, putus asa, dia menyerah dan meminta kematian membawanya. Dia mengira dirinya sudah mati, Carlisle."

"Aku tidak mengerti, Edward. Kenapa hidup bisa begitu kejam pada gadis seceria dirinya." Carlisle bisa mencium aroma samar darah. Bau kematian sangat dekat dengan gadis yang ada di atas Kasur, terbaring tak berdaya. Ia meraih tangannya, kepalanya tertunduk, membiarkan dirinya menangis tanpa airmata.

"Aku harus pergi." Ucap Edward. Bau darah sampai pada hidungnya, titik matanya merah pada ujung pengelihatannya, membuatnya sedikit berjuang menahan rasa gatal di tenggorokannya.

"Jangan pergi terlalu jauh." Pinta Carlisle, Edward mengangguk.

"Teruslah bicara padanya, dia mengingatmu." Mata Carlisle sedikit melebar saat mendengar perkataan Edward. "Dia mengira dirimu malaikat."

Carlisle tersenyum tipis pada Edward, tepat ketika hendak melangkah keluar dari rumah, Edward bisa mendengar suara Carlisle di kepalanya. "Esme, namanya Esme."

Esme Anne-Platt, Esme Evensson, Esme Cullen. Seorang wanita yang lahir pada tahun 1895, di Columbus, Ohio. Seorang gadis remaja dengan sifat riang dan manis, seorang wanita yang mencintai keluarganya. Seorang wanita yang tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupan akan membawanya pada badai kesengsaraan. Carlisle tidak pernah membayangkan akan bertemu lagi dengan wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu dalam keadaan terburuk yang pernah ia lihat darinya. Pertama kali ia bertemu dengan Esme saat gadis itu berumur 16 tahun. Carlisle di tugaskan di Columbus pada tahun 1911 sebagai dokter disana, saat pertama kali ia bertemu dengan Esme. Gadis itu menatapnya dengan senyum di bibirnya ketika Carlisle merawat kakinya yang patah akibat terjatuh dari pohon.

"Aku belum pernah melihat orang sepertimu sebelumnya, Dr. Cullen."

"Maksudmu?"

"Kamu sangat tampan, tidak seperti kebanyakan dokter lainnya." Celetuknya membuat Carlisle tertawa.

Carlisle menatap kearah istrinya yang sedang melukis di halaman belakang. Esme-nya nampak damai dan bahagia, jauh dari sesuatu yang ia lihat saat pertama kali menemukan tubuh lemah istrinya itu di rumah sakit, di kamar mayat yang berbau kematian. Carlisle ingat denyut jantung Esme yang lemah dan nyaris hilang bersama deru nafasnya yang tipis. Carlisle menutup matanya sejenak, bayangan giginya sendiri menancap di leher Esme yang berada di ambang akhir hayat hidup, rasa manis darah Esme mengalir di tenggorokannya, hangat dan lembut. Carlisle dipenuhi pikiran akan dosa-dosanya kembali. Nalurinya selalu mengeram padanya, mengaungkan dendam ke pikirannya pada pria yang telah berani menyakiti wanita yang kini sepenuhnya miliknya.

Charles Evensson, nama yang mengukir kebencian di hati Carlisle, namun kebencian itu selalu dipendamnya untuk istrinya, untuk wanita yang dicintainya, wanita yang menyelamatkan hidupnya dari kesendirian dan kesepian yang melandanya selama beberapa 25 dekade sebagai seorang vampir, seorang mahluk yang tak lagi hidup namun tak juga mati.

Setelah masa perubahan, Esme masih meninggalkan jejak jejak halus dari masa lalunya. Salah satu yang Carlisle paling banyak perhatikan adalah racunnya tidak mengubah halus perut Esme yang juga memberi seberkas ingatan menyakitkan dan alasan mengapa Esme menjatuhkan dirinya dari atas tebing itu, mengapa dia bunuh diri.

Butuh beberapa waktu lamanya untuk Esme menyadari bahwa ia dilecehkan oleh pria yang dianggapnya suaminya, Charles. Sebelum Carlisle, Esme pernah menikah dan hanya untuk menemukan bahwa suaminya adalah seorang yang kejam. Charles selalu memukulinya untuk suatu kesalahan kecil, bahkan terkadang ia hanya menyiksanya untuk kesenangan. Sampai suatu hari Esme mendapati dirinya hamil, hal itu mengguncangnya. Alasan keamanan bayinya-lah yang membawa kepergian Esme kabur dari suaminya yang kejam, tidak peduli sejauh mana Charles bisa mengejarnya, ia terus bersembunyi untuk mencari tempat aman bagi dia dan bayinya yang belum lahir. Sampai semua berakhir sia-sia dengan kematian bayinya, Esme bunuh diri.

Carlisle dan Edward menyaksikan sendiri transformasinya saat Carlisle membawa pulang tubuh rapuhnya, dagingnya terkoyak, tulangnya patah dimana-mana, darah mengalir deras dari bajunya yang robek. Transformasinya berlangsung lama karena luka parah di seluruh tubuhnya, membutuhkan setidaknya 4 hari bagi Carlisle di sebelahnya melihatnya berubah menjadi salah satu dari dia dan Edward. Esme bangun dengan perasaan bingung dan merah menyala di bola matanya. Segera setelah itu Carlisle menjelaskan padanya keadaannya yang sekarang, apa dirinya sekarang, apa yang bisa dia makan dan apa yang tidak, lalu pola yang ditetapkan Carlisle untuk lebih mengosumsi darah binatang ketimbang naluri alami sebagai pengonsumsi darah manusia.

"Kenapa kamu melakukannya? Kenapa menyelamatku?"

"Karena aku masih melihat gadis muda yang sama yang aku lihat saat pertama kali bertemu dengannya dan merawat kakinya patah. Gadis yang dulu bahagia, terbaring diatas kasur dengan luka. Aku berdoa pada Tuhan agar memberikan kuasa-Nya padaku untuk membawa kembali gadis yang dulu aku kenal saat aku mengubahnya disana, aku meminta pada-Nya untuk membawa kembali kebahagiaan yang sama yang pernah terukir di wajah gadis yang selalu ceria itu. Mungkin ini terdengar egois, tapi Esme, saat aku melihatmu terbaring di ruangan itu jiwaku yang mati mengamuk memintamu dibawa kembali padaku, hanya aku. Aku merasa bersalah tidak datang lebih cepat."

"Tapi itu bukan salahmu."

"Aku tau, tapi aku ingin kamu tau kalau sekarang sampai nanti, kamu tidak sendirian. Tidak lagi. Aku tidak akan membiarkannya."

Kilatan-kilatan masa lalu tentang Esme selalu menyakiti Carlisle dengan caranya tersendiri, bahkan saat Esme tidak pernah membahasnya selama bertahun-tahun kehidupan pernikahan mereka. Dia mengambil langkah di belakang istrinya, memeluknya pelan saat wanita-nya itu fokus menggores kanvas dengan kuas lukis yang basah akan warna. Bahkan setelah bertahun-tahun memilikinya dalam hidupnya sulit menjelaskan bagaimana ia bisa terus jatuh cinta padanya, di setiap momen kecil bahkan seperti yang sekarang mereka lakukan. Carlisle tersenyum kecil, menatap lukisan yang dibuat istrinya.

"Siapa yang kamu lukis?"

"Ini Jasper."

Lukisan itu mengilustrasikan Jasper muda yang sedang menunggangi kuda, bertopi layaknya koboi yang gagah diatas padang rumput kuning yang luas dengan latar gunung menjulang menyentuh awan. Carlisle selalu tau Esme memuja anak-anaknya bahkan ketika mereka bukan darah dagingnya sendiri, dia menyayangi mereka sepenuh hati. Lukisan itu mengilustrasikan putra (secara garis besar adalah adopsi, mereka semua) yang paling tidak dekat dengannya tapi sangat dicintainya.

Carlisle menatap kearah kebun bunga milik Esme yang terbentang luas dihalaman belakang rumah. Sesuatu menarik perhatiannnya pada kebun kesayangan istrinya itu. Ada tanaman baru, diantara bunga yang sudah Esme tanam. "Bunga baru? Endlewise?"

"Itu untuk Jacob, Renesmee sudah memiliki bunganya sendiri. Jacob sekarang bagian dari keluarga, dia layak mendapat bagian dari tradisi."

"Yah, tradisi milikmu tentang bunga-bunga itu selalu bagus. Aku suka bagaimana kamu menghargai kehadiran Jacob sebagai anggota keluarga kita yang baru."

"Itu harus, dia selalu diterima kapan saja."

Dia tersenyum lembut, menatap kearah Esme penuh kasih sayang. Tuhan maha baik padanya karena memberikannya kesempatan lagi untuk bertemu wanita yang membuatnya bahagia, bisa merangkulnya dan mengatakan dia aman bersamanya. Jika Carlisle bisa memberikan wanita dalam rangkulannya ini seluruh dunia, maka sudah akan ia lakukan semua cara untuk memberinya tempat paling nyaman di dunia.

"Aku mengajukan cuti selama 10 hari, ingin berlibur bersamaku?" Ucap Carlisle sembari membenamkan wajahnya di bahu istrinya.

Esme berhenti dari kegiatan melukisnya dan menatap Carlisle dengan salah satu alis terangkat. "Kamu sudah merencanakannya, huh?"

"Kurasa begitu," Carlisle sedikit terkekeh. "Jadi, kau mau?"

"Biar kutebak, Isle Esme?" Ada seringai halus di bibir Esme.

"Tidak ada tempat yang lebih baik. Hanya kamu dan aku."

"Kulihat kamu bersemangat."

Carlisle tersenyum lebar. "Tentu saja, apapun untuk istriku."

END.