Sejak awal abad ke-20, baru beberapa belas tahun terakhir, orang-orang di Keraton Yogyakarta tahu bahwa ada peraturan tak tertulis: dapur keraton terlarang untuk dimasuki dua makhluk hidup.

Yang satu adalah Muhammad Nova Al-Hafiz, putra Kolonel Pyrapi, pemilik Pabrik Gula Padokan.

Yang satu lagi adalah Raden Mas Jaiz Tirta Kalijaga, salah satu putra kembar dari Gusti Pangeran Harya Mawais Amarta Husada, pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta di urutan pertama.

Dan orang yang membuat ultimatum lisan itu tak lain dan tak bukan adalah Qua Li, sang juru masak keraton.

"Um, Ais?" gumam Duri, si kembaran, saat mereka sudah kembali ke rumah dari Surakarta. "Ka-kau yakin? Kau d-dan Mas N-nova?"

Raut wajah Ais, panggilan sang Raden Mas yang kena ultimatum sewenang-wenang itu, demikian seriusnya sambil memegang gagang pintu dapur. "Yakin!" serunya lantang, bagai prajurit siap maju perang.

Raden Mas Baiduri Jenggala Bawana mengernyit cemas sambil tergagap, "T-tapi, sebaiknya k-kita minta izin d-dulu ..."

"Peduli amat sama Koh Qua Li! Pokoknya, aku mau bikin serabi!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

BoBoiBoy (c) Monsta

Geef Mij Maar Serabi Solo (c) Roux Marlet

Penulis tidak mendapat keuntungan material apa pun dari cerita ini.

Sekeping kisah yang lain lagi dari "Balada Tjinta di Tanah Djawa" dan cerita terakhir dari serial "Asmaradana". Alternate Universe. Berlatar Indonesia di masa penjajahan Belanda, dengan referensi sejarah Kesultanan Yogyakarta.

Judul diambil dari lagu "Geef Mij Maar Nasi Goreng" (Beri Aku Nasi Goreng), yang digubah oleh Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort atau Tante Lien, seorang wanita berkebangsaan Belanda, pada tahun 1977.

.

.

.

Catatan penulis #1:

Cerita ini bersifat sekuel langsung dari "Sekar Jagat".

Sekadar pengingat: Nama panggilan Ice di sini jadi "Ais" seperti versi bahasa Melayu-nya.

.

Arti nama mereka (berasal dari bahasa Arab, Indonesia, Sanskerta, Jawa):

Jaiz = kehendak Allah; Tirta = air; Kalijaga = penjaga sungai, dari nama salah satu Wali Sanga.

Amarta = kekal, abadi; Husada = obat, ilmu pengobatan.

Baiduri = batu permata; Jenggala = hutan, rimba; Bawana = dunia.

.

Penjelasan singkat untuk gelar:

Gusti Pangeran Harya (G.P.H.) = gelar untuk putra Sultan dari permaisuri, pewaris takhta utama.

Raden Mas (R.M.) = gelar untuk cucu laki-laki dan keturunan setelahnya dari pemegang takhta.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Enam belas tahun sebelumnya ...

.

DUK. GLUTUK-GLUTUK.

Bunyi benturan pelan disusul suara kayu tipis yang saling beradu membuat Mawais menoleh dari layar tancap dengan banyak tulisan. Putranya yang berumur tujuh tahun, Ais, dan alat tulisnya sudah jatuh: yang satu jatuh tertidur di atas meja, satunya jatuh harfiah ke lantai kayu.

"Ais," panggil sang ayah setelah menghela napas panjang.

Sang putra balas menggumam tak jelas dengan mata terpejam. Tarikan napasnya berat. Mawais mendekat dan menyentuh kepala anak itu.

"Tidak demam," gumam Mawais. "Kau hanya mengantuk?"

"Umm," balas Ais tanpa membuka mulutnya. Sekali lagi, Mawais menghela napas. Udara siang itu agak panas dengan angin sepoi-sepoi. Cocok sekali untuk tidur siang, tapi Ais punya sederet tanggung jawab untuk dipelajari.

"Begini saja, Ais. Pergilah ke dapur, minum dan makanlah sedikit, lalu kembalilah ke sini."

Kepala Ais terdongak. "Makan?" gumamnya, tertarik.

"Iya. Mungkin kau lapar, jadi mengantuk," balas ayahnya.

Ais menguap lebar-lebar terlebih dahulu, sebelum bangkit dari posisinya dengan gerakan lambat. "Baik, Ayah. Aku makan dulu."

"Setelahnya, kembali ke sini!" Mawais memperingatkan. "Kalau lima belas menit kau tidak kembali, aku akan mencarimu."

"Hmm, hmm." Ais mulai berjalan ke lorong teras yang menuju ke dapur. Dia sama sekali tidak berminat untuk kabur dari pelajaran, kok. Dia hanya bosan dan dilanda kantuk.

Sampai beberapa minggu yang lalu, pelajaran di keraton selalu dijalaninya berdua dengan kembarannya yang lahir belakangan, Duri. Sebuah musibah terjadi ketika mereka berlibur ke Pantai Parangkusuma di laut selatan dan Duri menjadi gagap dan mudah gugup setelahnya. Sejak saat itu, hanya Ais seorang yang diwajibkan menimba ilmu sebagai calon pewaris takhta sultan.

Waktu Duri sempat hilang itu, Ais bernazar dalam hatinya, bahwa dia akan menjadi anak yang rajin belajar. Seharusnya, setelah Duri pulang kembali ke sisinya, Ais menepati janji itu. Sayangnya, Duri memang kembali, tapi tidak dengan utuh seperti Duri yang dikenalnya dahulu. Apalagi Duri kemudian malah disuruh kakeknya ikut kesenian merangkai bunga saja alih-alih belajar. Ais jadi tak punya teman belajar. Dia kehilangan motivasi.

Dalam perjalanannya ke dapur siang itu, Ais melihat kembarannya tengah duduk bersila di salah satu pendapa bersama beberapa wanita. Semuanya memegang peralatan masing-masing untuk merangkai bunga. Dilihatnya wajah yang serupa dengannya itu tersenyum senang, tampak sangat menikmati aktivitas yang butuh ketekunan dan ketelitian itu. Kebetulan, Duri melihat ke arahnya dan melambaikan tangan. Ais berhenti berjalan, lalu membalas lambaiannya sambil tersenyum. Para wanita itu menunduk hormat ketika melihatnya.

Sejak masih balita, Ais dan Duri sudah diajarkan mengenai tugas dan kewajiban mereka sebagai keturunan sultan Yogyakarta. Kakek mereka, Sultan Balakung, adalah pemimpin tertinggi kesultanan ini, yang tunduk di bawah pemerintahan Belanda. Apabila kelak Balakung mangkat, maka gelar sultan akan beralih kepada Mawais, ayah Ais dan Duri, yang adalah putra pertama sang sultan dari istri sahnya. Maka, sedari kecil, kedua cucu kembar Balakung juga harus mempersiapkan diri menjadi pemimpin. Putra dan cucu Balakung yang lain juga mendapatkan pelajaran-pelajaran, tetapi tidak semasif Mawais, Ais, dan Duri. Urutan pertama dari takhta membuat segalanya terasa berat. Namun, seperti yang Mawais sering bilang pada kedua putranya, takhta adalah rahmat dari Allah, dan wujud baktinya harus dikembalikan kepada Allah dengan ikhlas.

Ais melanjutkan melangkah ke dapur sambil memikirkan kembali nasihat sang ayah, berharap setelah ini dia akan lebih bersemangat belajar sekaligus memenuhi nazarnya. Mawais tadi sampai pada ilmu ukur tanah. Tidak semembosankan sejarah, tapi lebih rumit daripada ilmu hitungan.

Sebelum Ais mencapai dapur, dia melihat sesosok laki-laki di tengah halaman keraton. Iya, di dekat pohon beringin kembar raksasa yang konon ada penunggunya itu! Sejak pulang dari laut selatan, Duri tidak pernah mau lagi main-main di sekitar kedua pohon beringin itu. Berarti benar, pohon-pohon itu memang keramat. Dan, sosok yang sedang berdiri di dekat pohon yang satu itu adalah seorang asing yang bersikap tidak sopan!

"Heeeeeiiii!" pekik Ais kuat-kuat sambil berlari mendekat. Orang itu menoleh, dan Ais mendapati bahwa yang bersangkutan ternyata masih remaja. Beberapa tahun lebih tua dari Ais, tapi belum sepenuhnya orang dewasa. Hanya saja, tubuhnya tinggi menjulang dan lengannya sedikit berotot, sehingga dari kejauhan Ais mengira dia orang dewasa.

Perihal kenapa Ais bisa tahu otot lengan orang itu adalah, karena remaja laki-laki yang dimaksud sedang memakai baju tanpa lengan.

"Kau ... siapa?!" sembur Ais begitu sudah dekat. Napasnya langsung berantakan padahal dia cuma berlari sedikit.

"Namaku Nova," balas yang ditanya, masih sambil meregangkan tangan dan bahunya di depan pohon beringin.

"Hentikan itu!" bentak Ais sambil mendongak karena badan Nova begitu tinggi.

"Eh?"

Ais, yang badannya lebih kecil, rupanya cukup kuat untuk menyeret Nova menjauh dari pohon sampai keduanya berhenti di teras. Ais segera duduk karena kelelahan.

"Kau mau dirotan Simbah?!" ujar Ais, masih emosi, sementara Nova ikut duduk di sampingnya.

"Hah?" Nova tampak kebingungan, lalu memiringkan kepalanya sambil mengamati Ais dengan cermat. "Simbah ...?"

"Jangan mempertontonkan aurat di depan pohon beringin! Tak sopan!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Jangan mempertontonkan aurat di depan pohon beringin! Tak sopan!"

Muhammad Nova Al-Hafiz melongo. "Aurat? Ini maksudnya?" Nova mengangkat kedua tangannya.

Anak kecil di sampingnya melepas pakaian luarannya, kain bergaris-garis berwarna biru gelap, lalu menyampirkannya ke bahu Nova yang terbuka. Anak itu sendiri masih memakai kaos putih di balik luaran yang tadi.

"Segera pergi! Ayo!"

Nova menurut saja ketika anak itu berdiri dan menyeretnya lagi, menjauh dari pohon beringin. Mereka menuju ke sebuah bangunan kecil berbentuk segilima dengan pintu ganda dari kayu jati. Si anak laki-laki berusaha mendorong pintu, tapi pintu itu terlampau besar untuk badannya yang mungil. Nova membantu mendorong dan dengan mudahnya pintu itu membuka ke arah dalam.

"Terima kasih. Namaku Ais," ujar anak kecil itu sambil menggandeng tangan Nova untuk masuk.

Hawa panas segera menyergap. Api ada di mana-mana di atas berbagai tungku. Nova otomatis melepas kembali kain lurik pemberian Ais tadi, menyampirkannya di bahu, sembari bergumam, "Gerah."

Ais sedang fokus mengambil beberapa jenis kudapan dan tidak mendengarkan. Orang-orang di dapur itu sibuk bekerja di bagian masing-masing, di antara begitu banyak meja berbagai ukuran serta bahan-bahan makanan, dan membiarkan keduanya. Saat Ais sudah memenuhi bakinya dengan makanan dan hendak menggandeng Nova sekali lagi, dia tertegun melihat remaja itu malah memakai kain luriknya untuk kipas-kipas.

"Mas Novaaaaaaaa! Itu bukan kipaaaaas!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Maaf, Ais, maaf."

Nova duduk bersila di teras bertegel dekat dapur bersama Ais, sedang mengganyang kue onde-onde yang lembut dan gurih.

"Ummh, ummh," balas Ais yang sibuk mengunyah. Ada sedikit kerutan di dahinya, mungkin masih kesal.

"Kau cucu Sultan Balakung, ya?" tanya Nova sembari menggigit kudapannya kecil-kecil.

Ais mengangguk, mulutnya penuh. Dia balas menunjuk Nova dengan pandang bertanya.

"Wuiiih. Cucu sultan. Aku ini rakyat jelata, haha," sahut Nova cengar-cengir. "Ampuni kesalahan hamba, hamba hanya putra pengusaha tebu," tambahnya sambil melirik geli ke arah Ais.

Ais tampak sangat bersemangat untuk makan dan kelihatannya suasana hatinya membaik karena berangsur kenyang. Wajahnya tak lagi merengut. Keduanya sama-sama menikmati camilan siang itu.

"Ais sendiri, memangnya tidak gerah, pakai baju berlapis-lapis begitu?" Nova bertanya ketika kue-kuenya sudah tandas.

Ais menggeleng-geleng. "Tidak. Aku jarang berkeringat."

"Oh. Mengapa begitu?"

"Aku biasanya tak banyak bergerak," balas Ais sambil menguap, kain luriknya terlipat rapi di pangkuan. "Buang-buang tenaga."

"Tapi tadi kau sudah cukup banyak bergerak untuk menyeretku ke sini," kekeh Nova.

"Salah siapa," gerutu Ais, nadanya datar.

Nova melirik wadah di tangan anak yang lebih muda. Ais mengambil minimal dua potong kudapan yang sejenis, di situ masih ada empat jenis atau lebih, dan Ais masih mengunyah lagi begitu tangannya kosong. "Kalau makanmu sebanyak itu, kau harus lebih banyak gerak."

"Tidak. Makanan ini nanti habis buat belajar."

"Belajar?" ulang Nova.

"Iya. Aku harus belajar setiap hari. Kalau hari Jumat, kelas hanya setengah hari. Tetap saja, aku bosan."

"Kenapa bosan?"

Ais angkat bahu sembari mengunyah bakpao. "Tak ada teman belajar."

"Apa kau tak bisa minta teman belajar?"

Yang ditanya menghela napas. "Tadinya, adikku juga belajar bersamaku." Wajah Ais menjadi muram. "Belakangan ini, aku belajar sendirian."

"Kenapa begitu?" Nova menelengkan kepala.

Ais tak segera menjawab. "Adikku kena ... kecelakaan. Dia masih hidup, tapi dia dianggap tidak mampu lagi untuk menjadi calon sultan. Jadi, hanya aku yang harus terus belajar."

Nova tertegun sejenak. "Aku ikut sedih mendengarnya," ujarnya bersimpati. "Tapi, menurutku, tak seharusnya orang cacat dibatasi seperti itu."

Ais mengerjap. "Adikku bukan cacat ..." Kalimatnya menggantung. Badan Duri memang masih utuh, tapi dia kehilangan kemampuan bicara dengan lancar.

"Bagaimana kalau kau bicarakan baik-baik dengan orang tuamu?" usul Nova.

Dalam pikiran Ais, yang belum banyak mengenal dunia, dia tidak suka menyebut adiknya cacat. Mawais, ayahnya, yang dulu menyampaikan bahwa Duri tidak perlu lagi ikut pelajaran. Dengan setengah gusar, Ais melahap potongan terakhir kue gethuk di tangannya.

Nova hanya tersenyum maklum, sorot matanya terarah ke kejauhan dengan sendu. Tiba-tiba, dia berseru sambil bangkit berdiri, "Ayaaah! Aku di sini!"

Ais menoleh dengan heran. Saat dilihatnya ayah Nova berjalan menggunakan tongkat, hati Ais terenyuh. Pria kurus itu hanya punya satu kaki dan Nova bergegas mendekatinya.

"Bocah! Ke mana saja kau?" gerutu sang ayah yang tertatih-tatih.

"Hehe. Ayah tadi bilang, aku harus tunggu di luar," balas Nova sambil menggandeng tangan ayahnya.

"Malah keluyuran?" Ayah Nova menjitak pelan kepala sang anak.

"Ampun, Ayah. Aku dibawa ke dapur lalu dijamu kudapan oleh Raden Mas Ais!"

Yang disebut namanya berdiri dan membungkuk sekilas. Dia bisa melihat bahwa pria itu kira-kira seusia ayahnya sendiri, atau lebih tua sedikit.

"Cucu Tuanku Balakung?" tanya ayah Nova yang berusaha balas membungkuk dengan kikuk dibantu putranya.

Ais mengangguk, lalu buru-buru bicara lagi, "Tak perlu begitu, Tuan."

"Persis seperti kakeknya," ujar ayah Nova sambil tersenyum. "Terima kasih sudah mengurus Nova yang bandel."

"Ah—um, iya."

Nova terkekeh dan menuntun ayahnya duduk di teras. "Kita pulang sekarang, Ayah?"

"Pulangnya minggu depan. Ya, tentu sekarang!"

Ais ikut geli pada selera humor ayah dan anak ini. Nova bicara padanya,

"Ais, terima kasih makanannya. Kapan-kapan, aku mau bertemu juru masakmu, ya! Boleh, ya?"

"... Apa kalian akan ke sini lagi?" Pertanyaan Ais bernada penuh harap.

"Kami ke sini tiap hari Jumat pertama setiap bulan," sahut Nova riang, lalu berjongkok membelakangi ayahnya. "Benar, 'kan, Ayah?"

"Ya, begitu," balas ayah Nova sambil memanjat punggung putranya.

Nova menggendong ayahnya, lalu membawakan tongkatnya, dengan cengiran lebar. "Kalau dulu, waktu aku masih kecil, Ayah yang menggendongku seperti ini. Ayahku itu dulunya tentara, Ais! Hebat, 'kan?"

Tangan kurus ayah Nova menyambar kepala sang putra. "Tak usah banyak omong, Nova. Nah, kami pamit dulu, Raden Mas Ais."

Ais masih memandangi Nova yang menggendong ayahnya sepanjang jalan di halaman keraton. Seingatnya, Nova tadi bilang, dia putra pengusaha tebu? Jadi, pria kurus berkaki satu yang barusan adalah si pengusaha tebu? Sesungguhnya, Ais hanya tahu tentang orang cacat dari gambar-gambar di buku pelajaran. Dia merasa kagum pada ayah dan anak itu.

"Ais. Di sini kau rupanya."

Suara Mawais di dekatnya membuat Ais menoleh.

"Ayah."

Pria besar berjanggut tebal itu ikut duduk di teras. "Sudah selesai makannya?"

Ais baru sadar bahwa dirinya tadi harus sudah kembali dalam lima belas menit. Namun, seperti biasanya, ayah Ais tak pernah marah. Sebuah perasaan ganjil menyeruak di dada Ais dan dia memeluk pinggang ayahnya yang lebar dan empuk itu setelah mengamankan bakinya di lantai.

Mawais mengusap-usap rambut putranya. "Kau baru bertemu Kolonel Pyrapi dan putranya, Nova."

"Kolonel Pyrapi?" ulang Ais sambil mendongak. "Yang barusan itu?"

"Iya. Pensiunan tentara angkatan darat, sekarang pengusaha tebu. Pemasok gula untuk dapur kita."

"Apa yang terjadi dengan kakinya?" Ais terisak kecil.

"Perang," sahut Mawais getir. "Dia dipensiunkan dari tentara meski masih muda, padahal bukan salahnya juga dia kehilangan sebelah kaki."

"Kasihan ...," gumam Ais.

Bermenit-menit kemudian, Ais masih menangis di pelukan ayahnya.

"Ayah ..."

"Ya?"

"Bolehkah Duri ikut belajar bersamaku?"

Mawais tidak menduga permintaan itu, tapi Ais masih punya kelanjutannya.

"Bukankah orang cacat juga punya hak yang sama untuk hidup? Duri mungkin akan kesulitan belajar bahasa, tapi dia bisa belajar yang lainnya."

Mawais merasa terharu mendengar putranya yang baru berumur tujuh tahun punya pemikiran setulus itu. Sejatinya dia juga menginginkan pendidikan yang baik untuk Duri terlepas dari apa yang telah menimpanya di laut selatan, tapi Sri Sultan telah bertitah.

"Nanti, Ayah akan coba bicara dengan Simbah," ucap Mawais pada akhirnya.

"Terima kasih, Ayah," gumam Ais senang sembari mengenakan kembali kain luriknya di luar kaos.

"Ayo, kita lanjutkan pelajaranmu."

"Um!"

Dengan mudah, Mawais membawa sang putra ke atas bahunya yang lebar.

"Ugh. Kau tambah berat, Ais."

Ais menguap satu kali. "Apa iya, Ayah?"

"Atau aku yang semakin tua dan lemah?" gurau Mawais, mulai berjalan dengan Ais di gendongannya.

"Ayah itu besar dan kuat," balas Ais sambil menyingkirkan rambut lebat ayahnya yang berkibar terkena angin dari depan hidungnya. "Kenapa aku dan Duri badannya kecil?"

"Kalian hanya sedang bertumbuh."

"Apa suatu saat nanti, aku bisa menggendong Ayah seperti Mas Nova tadi menggendong ayahnya?"

Mawais terbahak, pemikiran anaknya sungguh lucu dengan ukuran badan mereka yang saat ini. Ais bahkan hanya setinggi lututnya kalau mereka sedang berdiri. "Kita tunggu saja, Ais. Tentu saja, kita tidak perlu meragukan Qua Li dalam hal makanan."

"Hah?" gumam Ais berselimut nada kantuk. "Kuali apa?"

"Qua Li, juru masak kita." Mawais menoleh heran sambil berpikir-pikir. "Kau belum pernah bertemu Qua Li?"

"Belum," balas Ais. "Namanya seperti alat masak. Kuali."

"Dia orang Cina peranakan. Sejak Ayah kecil, dia sudah memasak untuk keluarga kita."

Ais harus mencatat nama itu dalam hati, karena di pertemuan berikut, Nova mau bertemu si juru masak! Ais sendiri selalu menikmati semua hidangan di piringnya tanpa pernah benar-benar memikirkan siapa yang membuat segala masakan itu.

"Oh, Ais. Ngomong-ngomong, Ayah juga punya ide untukmu, supaya bisa fokus belajar."

"..."

"Ais?"

Dengkuran halus terdengar di belakang Mawais, yang segera terkekeh geli.

"Sudah tidur pula anak ini."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Catatan penulis #2:

Soal aurat dan pohon beringin, itu karangan Roux saja, ya /plak/ Tapi beneran, ada beringin kembar di halaman keraton Yogyakarta. Pembahasan tentang beringin, nanti oleh Duri saja, ya XD

Rasanya, cerita ini dibuat jadi multichapter saja, deh. Daripada kepanjangan. Banyak muatan yang mau Roux masukkan, berhubung ini cerita terakhir di Asmaradana series. Setengah bab ini dan selanjutnya masih akan bercerita tentang masa lalu.

Yup, bab ini menceritakan bagaimana pertemuan pertama Ais dengan Nova, juga sedikit tentang ayah mereka. Roux ambil nama pemilik asal kuasa elemental masing-masing, Mawais dan Pyrapi.

Dari antara penguasa elemental yang ada, yang paling mungkin muncul lagi adalah Kuputeri dan Satriantar, sayangnya bagian kisah Taufan dan Halilintar di serial ini sudah habis. Apa Kuputeri dan Satriantar jadi permaisurinya Sultan Balakung aja, ya? /heh/

Roux nggak kebayang gimana memunculkan Retak'ka, nggak usah, ya.

.

Catatan terakhir: ilustrasi sampul yang indah dibuat oleh Fanlady! Tentang panahan gaya Keraton Yogyakarta yang dilakukan oleh Ais di gambar ini, nanti akan dijelaskan di bab kedua, ya.

Untuk kalian semua, terima kasih sudah membaca karya Roux. Kritik dan saran sangat diterima!

30.01.2023.