Anting hitam di daun telinga sebelah kiri, tato di lengan atas kanan. Pria itu menghisap rokok keduanya hari ini, dari yang bisa Sakura lihat. Ini bahkan belum dua jam sejak Sakura dan Ino berada di sini, pikirnya tak percaya. Rambutnya yang berwarna gelap terlihat berantakan dan akhirnya pria itu ikat separuh. Sakura menahan diri untuk tak memerhatikan lebih jauh setelah melihat dua kancing paling atas kemeja pria itu yang dibiarkan terbuka. Sedangkan bagian bawah kemejanya terangkat tiap kali pria itu bergerak, menunjukkan perut dengan otot-otot yang membuat para gadis berteriak setiap kali itu terjadi.
Sasuke, dari yang Sakura dengar beberapa kali, ketika para gadis meneriakkan nama itu dengan sangat bersemangat. Pria itu baru saja turun dari wall climbing setelah berhasil mencapai puncak dengan sangat mengesankan. Kemudian turun juga dengan cara yang mengesankan. Tubuhnya yang tinggi besar dan pembawaannya yang tenang membuatnya terlihat lebih dewasa dari pria-pria di sekitarnya. Padahal mereka semua masih mahasiswa.
"Kau sudah memerhatikannya cukup lama." Suara sepupunya, Ino, membuatnya menoleh seketika.
Sakura mengerutkan alisnya. "Kau benar." Ia mengakui. "Aku baru sadar sudah melakukannya."
Ino tertawa tak percaya. "Aku terkadang tak habis pikir dengan kejujuranmu."
"Aku juga tak ingin begitu," keluh Sakura. "Hanya saja itu terjadi di banyak waktu. Paling sering di waktu yang buruk."
"Aku tahu," balas Ino. Masih sambil terkekeh. "Kau sudah banyak mendapat masalah karena itu."
Sakura teringat sesuatu. "Orang-orang seringkali mengira aku polos karena kebiasaan itu, dan bodoh." ungkapnya masih dalam keluhan.
"Padahal kau tidak." Ino kembali tertawa. "Tak ada orang bodoh yang yang pernah memenangkan lomba Matematika tingkat nasional."
Sakura menghela napas. "Itulah maksudku," ujarnya tak percaya. "Aku tidak bodoh dan tak bisa juga dikategorikan polos. Yang benar saja. Pikiranku mungkin saja lebih kotor dari orang-orang yang mengatakan bahwa aku polos."
Ino terbahak keras. Dan itu terjadi di waktu yang tidak tepat. Di depan sana, tepat di depan wall climbing, seorang senior laki-laki baru saja menempelkan dahinya pada dinding dengan banyak pijakan warna-warni itu. Menempelkannya dengan suara yang keras. Sekarang dahi senior mereka itu terlihat bengkak dan memerah.
"Got ya!" Komentar Sakura saat senior itu melihat tepat ke arah Ino. Ia berusaha keras untuk tak terbahak. "Itu Sai. Bukannya kau yang tak sengaja menjatuhkan es krimmu di mobil yang katanya baru dibelikan orangtuanya?"
Ino berdiri seketika. Membungkukkan badannya ke arah Sai yang masih menatapnya dengan mata yang menyipit. "Maaf. Tapi aku bukannya menertawakanmu. Aku hanya tertawa di waktu yang tidak tepat."
Sakura menggeleng, menggigit bibirnya agar tak tertawa dan menjadi sasaran kedua kejengkelan senior mereka.
"Apa kau sedang menertawakanku?" Desis Ino."
"Maksudku." Sakura membungkuk dalam posisi duduk. Menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia sebenarnya merasa sesak karena harus menahan tawa. Jadi setelah lima detik, ia ikut berdiri di sebelah Ino.
"Maaf," ungkapnya dengan raut wajah yang ia yakin pasti terlihat tenang. Sai di depan sana menghela napas, terlihat seperti tak ingin memperpanjang masalah. Pria itu mungkin hanya merasa jengkel sebentar karena seseorang terbahak keras ketika ia kesakitan dan membuat malu dirinya sendiri. Jengkel adalah reaksi normal untuk keadaan itu, pikir Sakura percaya diri.
"Kami turut menyesal untuk dahimu yang mencium dinding."
Suasana hening untuk beberapa saat.
Hening hingga Sakura sadar apa yang baru saja ia katakan.
"Sial" Umpatnya dalam desisan.
"Habislah kita," keluh Ino di sebelahnya.
00000
Sakura berdiri sambil bersedekap di depan miniatur bangunan yang sudah ia rancang untuk project akhir semester ini. Ia tak merasa cukup puas dengan hasil yang ia lihat setelah benda itu dipajang di meja-meja besar di ruangan khusus jurusan arsitektur. Walaupun sulit mengakui kalau ia memang tak pernah merasa puas dengan rancangan yang sudah ia buat.
Berpikir tentang hal itu hanya akan menambah sakit kepala, pikir Sakura setelah lama terdiam dan mencatat di dalam kepalanya apa saja yang harus ia lengkapi untuk project selanjutnya. Sakura mengedikkan bahu, lalu berpamitan dengan dosennya yang masih melihat-lihat hasil rancangan para mahasiswa. Banyak temannya yang sudah pergi sejak tadi dan hanya sedikit orang yang masih berada di sini termasuk Sakura.
Jam kuliahnya sudah habis untuk hari ini. Ia juga tak ada jadwal lain karena sudah menolak ajakan karaoke dari teman-teman sekelasnya. Ino yang berada di jurusan musik masih memiliki satu kelas yang harus dihadiri. Sakura berpikir sejenak, lalu mengirim pesan pada Ino kalau ia akan menunggu Ino di dekat wall climbing agar mereka bisa pulang bersama.
Sakura membeli beberapa camilan, banyak sebenarnya. Ia bisa menikmatinya sambil melihat beberapa mahasiswa yang memanjat wall climbing; olahraga yang sangat suka ia lihat tapi tak akan pernah ia ikuti. Ia suka melihat olahraga atau kesenangan ekstrim seperti bungee jumping jika orang lain yang melakukannya, bukan dirinya. Ia sama sekali tak pernah mencobanya dan belum ada niat untuk melakukannya dalam waktu dekat.
Sasuke ada di sana lagi, mengenakan t-shirt hitam polos dan jeans selutut robek-robek. Otot lengan dan paha pria itu mengencang ketika bergerak memanjat wall climbing. Rambutnya diikat setengah sama seperti beberapa hari yang lalu. Kulitnya berkilauan karena keringat. Tapi raut wajahnya terlihat tenang dan tak menunjukkan kesulitan sedikit pun.
Sakura memilih macaron mini dari dalam tasnya, membuka bungkusnya, menikmati camilannya sambil memerhatikan Sasuke yang memanjat semakin tinggi.
"Dia sangat suka memanjat," gumam Sakura. "Dia juga tak terlihat ragu sedikit pun."
Ia bertepuk tangan kecil ketika Sasuke kembali berhasil mencapai puncak. Para gadis penggemar Sasuke bersorak dan bertepuk tangan keras. Sakura tersenyum, mendapati Sasuke yang turun secara perlahan lalu mengobrol dengan pria-pria lain dalam kelompoknya.
"Kau memandanginya lagi."
Ia hampir menjatuhkan bungkus macaronnya saat mendengar suara Ino tepat di telinga kanannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Sakura. Macaronnya sudah berada di tangan Ino. "Seharusnya masih lima belas menit lagi sampai kelasmu usai," tambah Sakura setelah melirik jam tangannya.
Ino menggeleng. "Jam makalah," jawab Ino singkat. "Kelas yang pendek dan tugas yang menumpuk."
Sakura terkekeh.
"Kau sedang memandanginya 'kan? Sasuke itu." Ino berbicara sambil mengulum senyum.
Sakura mengangguk. "Dia terlihat keren."
"Aku sepakat." Ino menyetujui. "Tak ingin bergabung dengan pemandu sorak?" Ino menunjuk para penggemar Sasuke dan Sakura membalasnya dengan tinjuan lengan.
"Dia hanya terlihat keren." Sakura menjelaskan. "Dan aku suka melihatnya. Kau tahu? Seperti menatap bunga di musim semi, atau salju di musim dingin"
Ino mengerutkan alis. "Bukankah seharusnya hujan di musim panas?"
"Bukan. Diguyur air saat sedang sangat kepanasan itu melegakan," jelasnya. Lalu merasa bingung harus menjelaskan bagaimana. "Maksudku, sama seperti bunga di musim semi yang sudah pasti indah atau salju di musim dingin yang juga sudah pasti indah. Dia terlihat keren dan itu normal saja."
"Maksudmu dia keren dan wajar jika kau memandanginya?" Tebak Ino, hampir menyemburkan tawa. "Aku bersyukur kau tak jadi memilih sastra. Aku mengerti, tapi ini sedikit membingungkan. Kau tak memikirkannya dengan cara lain?"
Sakura memerhatikan Sasuke yang kini sedang merokok sambil melihat temannya yang sedang mendapat giliran memanjat. Ia tahu apa maksud Ino. "Tidak," jawabnya kemudian. "Dia agak berantakan, terlalu besar dan sedikit acuh tak acuh dengan sekitarnya. Dia seperti berasal dari dunia yang sangat berbeda dariku. Jadi dia bukan tipeku."
Orangtua Sakura bercerai saat ia berusia tiga belas tahun. Mereka berdua selalu bertengkar di masa-masa pernikahan dan menjadi teman saat sudah bercerai. Keduanya belum menikah lagi namun tinggal di kota yang berbeda saat ini. Sakura boleh memilih ingin tinggal dengan siapa pun yang ia mau. Tapi karena tak ingin memilih salah satu dan menyakiti yang lainnya, ia akhirnya memilih untuk tinggal di rumah lama mereka yang besar bersama Ino.
Orang tuanya sejak awal sangat berbeda. Ayahnya seorang karyawan tinggi di kedutaan Perancis dengan kehidupan serba teratur dan disiplin. Sedangkan ibunya adalah seorang sutradara film dengan pemikiran yang bebas. Mereka bertolak belakang dengan gaya hidup yang sulit untuk disesuaikan. Sakura benci dengan pertengkaran dan debat yang tak berkesudahan. Jadi saat ia berkencan, ia memilih pria dengan latar belakang dan gaya hidup yang tak jauh darinya.
Tapi itu pun sulit untuk dipertahankan.
Sasuke adalah tipe yang paling ia hindari dari semuanya. Tapi seperti yang ia bilang, sulit untuk tak memandangi sesuatu yang menarik perhatian.
"Kupikir ia sedang melihat ke arah sini?"
Sakura tahu yang Ino maksud dan membenarkannya. Sasuke bahkan sedang berjalan ke arah mereka. Di belakang pria itu, Sai melangkah dengan senyuman misterius di wajahnya.
"Hai." Sasuke menyapa singkat sambil memandangi dirinya dan Ino secara bergantian. Sakura mengeluh tentang betapa indahnya suara berat pria itu saat berbicara.
"Hai." Ino membalas sapaan pria itu. Sakura menatap ke belakang Sasuke, merasakan firasat tak enak saat senyum Sai bertambah lebar.
"Kami sering melihat kalian di sini." Sasuke menatapnya saat mengatakan hal itu.
Sakura mengangguk sekali. "Ya," jawabnya dengan ekspresi penuh tanya. "Ini dekat dengan fakultasku."
"Dan dekat dengan kantin langgananku," tambah Ino. Mereka bertukar pandang dan masih belum memahami ke mana arah pembicaraan ini.
"Arsitektur?" Sasuke menebak.
"... Ya," kini ia menjawab dengan ragu-ragu. Sebenarnya ada tiga fakultas yang paling dekat dari sini selain arsitektur.
Sasuke memperhatikannya. "Kau terlihat rapi, tenang dan mahal."
Sakura tak tahu harus menanggapi penggambaran Sasuke tentang dirinya, jadi ia hanya mengangguk dan pura-pura tak peduli.
"Tepat seperti itu," kata Sasuke lagi dengan nada suara yang sekarang terdengar tak menyenangkan.
"Seperti apa?" Sakura menatap tepat di mata Sasuke dan mendapatkan jawabannya di sana. Sama seperti yang sering ia dengar, fakultasnya selalu dipandang seperti royal family dan terkenal dengan anak-anak yang kaya yang manja dan angkuh. Tapi kenyataan sebenarnya tak seperti itu. Selain biaya semester yang lebih tinggi, anak-anak di fakultasnya tak jauh berbeda dari fakultas lain.
Sakura biasanya tak mudah tersinggung. Lagipula ia sudah cukup terbiasa dengan penilaian itu. Tapi kali ini berbeda. Sasuke seolah datang dan menghancurkan salah satu tempat ternyaman Sakura di kampus ini. Padahal pria itu sama sekali tak mengenalnya.
Sakura berdiri seketika. "Aku tak tahu apa yang ingin kau bicarakan," kata Sakura dengan nada formal. "Aku minta maaf karena sepertinya tak bisa mendengarkan lebih jauh," ungkapnya. "Kau masih ingin di sini?" Tanyanya pada Ino yang masih duduk di tempat dan berdiri saat Sakura bertanya.
Seseorang menangkap pergelangan tangannya. Dan Sakura tahu saat melihat tangan besar dan berotot itu. Ia menatap Sasuke persis seperti cara pria itu menilainya tadi.
"Maafkan aku." Pria itu mengejutkannya dengan langsung meminta maaf. "Kurasa aku sudah bertindak tak sopan di obrolan pertama."
Sakura mengangguk. "Ya." Ia membenarkan. Kini pria itu yang terlihat terkejut. "Bisa tolong lepaskan genggamanmu dari tanganku?"
"Ah." Sasuke menggeleng. Seolah tak percaya dengan perbuatannya sendiri. "Maaf lagi."
Pria itu menghalanginya saat ia akan kembali melangkah. Di belakangnya, Sai melihat dengan tatapan penuh rasa tertarik. Sakura mengerutkan alis saat menangkap tatapan cemburu dari para penggemar Sasuke di sekitar mereka.
"Ada yang lain?"
Sakura tak habis pikir tentang apa yang terjadi sekarang. Perilaku Sasuke sangat sulit untuk dipercaya. Pria itu juga terlihat mengulur-ulur waktu untuk menjelaskan dan malah menatap lurus padanya.
Sebenarnya pria itu harus menunduk saat menatap matanya. Sakura tak bisa di bilang pendek, namun Sasuke sangat-sangat tinggi. Tak banyak juga pria di sini yang lebih tinggi dari Sasuke.
"Aku ingin menawarkan apa kau ingin mencoba memanjat?"
"Memanjat?" Tanya Sakura. "Climbing wall?"
Sasuke mengangguk.
"Aku tidak mau."
"Ahem." Suara deheman itu berasal dari Sai. "Kau mungkin belum tahu. Orang yang duduk di bangku-bangku di taman sekitar wall climbing, berkewajiban untuk untuk menerima jika diminta untuk memanjat oleh salah satu anggota klub."
Sakura dan Ino sama sekali belum mengetahui peraturan aneh itu karena mereka hanya baru-baru ini memilih untuk bersantai di tempat ini sekali-kali. Tapi ia tahu beberapa klub memang memiliki semacam peraturan yang disahkan oleh kampus. Ia tak menyangka klub ini memilikinya karena para anggotanya terlihat seperti selalu menikmati dunia kecil mereka sendiri dan terlihat sangat bebas.
Tapi peraturan tetap peraturan. Sebenci apapun Sakura terhadap hal itu. Jadi ia mengangguk dan menyetujuinya begitu saja. Sasuke terlihat terkejut lagi melihat persetujuannya.
"Setinggi apa aku harus naik?" Ia bertanya setelah mereka berdiri tepat di depan climbing wall.
"Setinggi yang mampu kau capai." Sai yang menjawabnya.
Sakura sudah mengenakan sepatu khusus climbing yang dipinjamkan klub, membiarkan Sasuke memasang peralatan pendukung dan pengaman di tubuhnya. Teriakan cemburu terdengar keras sepanjang waktu itu. Ia juga diam saja ketika Ino membantunya mencepol rambut.
"Pakaianmu mungkin akan sedikit kotor," ujar Sasuke setelah Sai selesai memberikan instruksinya.
"Tak akan sekotor dugaanmu." Sakura tak bermaksud sinis tapi tampaknya memang terdengar seperti itu dilihat dari ekspresi yang ditunjukkan Sasuke. "Cokelat juga termasuk warna gelap," tambahnya.
"Kau siap?" Tanya Sasuke singkat.
Sakura memberi tatapan tak senang pada pria itu. "Tidak," katanya. Lalu mulai memanjat.
00000
Ini sulit sekali, pikir Sakura setelah berada sekitar hanya satu setengah meter dari lantai. Telapak tangannya terus berkeringat. Dan ia bertambah bingung dengan pegangan dan dimana harus menapak. Ia sudah menduganya. Ini hanya terlihat mudah saat Sasuke melakukannya.
"Hati-hati Sakura." Ino berteriak saat mengatakannya. Demi tuhan, ini bahkan belum dua meter. Oke sudah sekarang. Ia mungkin bisa mencapai empat meter jika berusaha lebih keras. Ia biasanya berhasil jika berusaha dengan tekad kuat.
Tapi ini sulit sekali, keluhnya lagi.
Ia masih terus memanjat. Ambisi untuk mencapai setidaknya ketinggian empat meter, membuatnya bersemangat dan mengabaikan pakaiannya yang sudah dikotori bubuk kapur untuk tetap membuat tangannya kering. Cepolan rambutnya terasa seperti mengendur karena ia terus bergerak.
Ia sudah mencapai empat meter sesuai keinginannya ketika ikatan rambutnya terlepas. Rambut-rambut yang tadinya dicepol tinggi, terurai hingga ke pinggang. Dalam prosesnya, sebagian rambut itu menutupi pandangannya.
Sakura seketika kehilangan keseimbangan. Tangannya terlepas dari pegangan. Ia terlambat bereaksi dan menyebabkan benturan cukup keras di punggungnya. Panik ketinggian yang tadinya tak terasa kini membuatnya tubuhnya berontak dengan keras.
"Jangan panik, Sakura." Sasuke yang berbicara. "Kau tak akan jatuh."
Sakura menenangkan tubuhnya. Ia berhenti bergerak-gerak dan memilih untuk bergeming, membiarkan orang di bawah menurunkannya secara perlahan. Punggungnya tak terasa sakit. Sepertinya ia tak mengalami cidera apapun.
Tapi kakinya mungkin tak akan bisa berdiri tegak saat menyentuh lantai. Hal yang tampaknya tak perlu ia khawatirkan. Karena saat sudah berada dalam jangkauan, Sasuke menangkapnya dengan kedua tangannya yang berotot.
Sakura sadar ia sedang mendekap bahu lebar pria itu. Napasnya terdengar lebih keras. Mungkin karena merasa lega sudah berhasil mendarat. Ia juga bisa merasakan kedua lengan Sasuke yang mendekap kedua kakinya.
Dilihat dari sudut pandang orang lain, Sasuke akan terlihat sedang menggendongnya. Dan Sakura sedang mendekap pria itu erat-erat.
"Kau sudah bisa berdiri?" Tanya Sasuke di lehernya. Napas hangat pria itu membuatnya sedikit tersentak.
"Ya," jawabnya singkat.
Sasuke menekuk kakinya sendiri dan menurunkan Sakura secara perlahan.
"Ini tidak apa-apa." Sakura hampir tersenyum pada pria itu setelah berdiri dengan dua kakinya sendiri, yang dibalas Sasuke dengan anggukan disertai senyuman tipis.
Seperti saat memasangnya, Sasuke juga yang membantu Sakura untuk melepaskan tali pendukung dan juga pengaman. Sakura menggeleng saat pria itu ingin membantunya melepaskan sepatu dan memilih untuk melepaskan sendiri sepatu climbing dan mengenakan sepatunya lagi.
"Lebih kotor dari dugaanku," komentar Sasuke sambil memerhatikan baju Sakura yang dipenuhi bubuk kapur. "Kau bisa pakai ini untuk membersihkannya sedikit," tambahnya sambil menyerahkan handuk kecil pada Sakura.
"Terima kasih."
"Kau yakin tak apa-apa?" Ino yang sejak tadi diam akhirnya bertanya. "Benturannya cukup keras."
"Ujung dari setiap pijakan dilapisi karet dan cukup lembut." Sasuke menjelaskan. Pria itu menatap Sakura. "Tapi kau mungkin harus tetap memeriksakannya."
"Apa kau ingin bergabung dengan klub ini?" Sai menawarkan. "Kau cukup bagus untuk pemula."
"Tidak," jawab Sakura cepat. "Aku hanya suka melihat orang lain memanjat selama ini dan akan terus begitu."
"Kurasa sudah waktunya kami pergi," potong Ino cepat.
"Kau akan tetap kesini sekali-kali 'kan?" Tanya Sasuke, yang mengejutkan semua orang. "Kau bisa tetap datang jika kau suka. Tak akan ada yang memaksamu lagi untuk memanjat."
Sakura mengamati pria itu dengan seksama. Raut wajah penuh harap, tatapan yang terlihat jujur dan terbuka. Pria itu, Sakura rasa, mulai tertarik padanya.
"Tidak," jawab Sakura dalam senyuman. "Aku tak akan pernah datang lagi."
00000
Bangunan tiga lantai sewarna buah alpukat itu berdiri di pemukiman sedikit penduduk dengan halaman yang luas beralaskan padang rumput yang menghijau. Pagar-pagar pendek setinggi satu meter yang terbuat dari besi dibentuk menyerupai papan yang telah diruncingi bagian atasnya, di cat putih dan dipasang secara teratur mengelilingi halaman. Di sisi kanan, kiri juga bagian belakang rumah utama dipenuhi oleh taman bunga pribadi yang ditumbuhi berbagai jenis bunga berwarna warni.
Setiap petak bunga berukuran dua meter dengan jenis yang dibagi dan dipisahkan oleh sebuah jalan setapak yang sudah disemen. Selain berfungsi agar bunga-bunga tak terinjak ketika ingin melihat-lihat, jalan setapak itu mengarah jauh ke belakang, ke sebuah kolam renang besar di balik taman bunga yang besar. Tersembunyi seperti sebuah harta karun yang berharga.
Sakura dulu biasanya menghabiskan waktu luangnya di kolam renang itu daripada harus keluar rumah. Tapi jadwal kuliahnya kian padat, ditambah project yang seolah tak ada habisnya. Sekarang, daripada berjalan jauh untuk berenang, Sakura lebih memilih berendam di bathtub di kamar mandinya.
Ia tadinya sedang berendam dengan tenang. Pikirannya terasa jernih setelah menghirup wangi lilin aromaterapi. Tubuhnya juga mulai merasa relaks. Lalu ketika ia memejamkan mata, raut terkejut Sasuke waktu itu tergambar dengan sangat jelas.
"Kurasa aku sedikit terlalu kasar," gumam Sakura.
Sasuke sendiri sebenarnya tak bertindak kasar. Kebalikannya, Sasuke cukup sopan dan berbicara dengan suara rendah sepanjang waktu itu. Sakura menggeleng, mencoba menjernihkan pikirannya kembali. Tapi ketika ia menutup kembali matanya, Sasuke kembali muncul dalam benaknya. Pria dengan tubuh tinggi besar, anting, tato dan rambut gondrong, menatapnya dengan tatapan teduh.
Sakura menghela napas. Tubuhnya bereaksi aneh saat mengingat bagaimana rasanya berada dalam dekapan Sasuke waktu itu. Lengan yang kuat, wangi tubuh yang maskulin, suara rendah yang berbicara di dekat telinganya.
Sakura kembali menggeleng, merendam keseluruhan tubuhnya di bathtub termasuk kepalanya. Berada di posisi itu untuk beberapa waktu sebelum menyelesaikan mandinya.
00000
"Kau yakin ingin menyewakan kamar-kamar itu?" Ino bertanya sambil berlari pelan di atas treadmill. Terlihat memastikan pendengarannya sendiri.
"Ya," jawab Sakura santai. Ia baru saja memberikan instruksi pada kepala rumah tangga untuk membuat iklan penyewaan. Sekarang ia ditinggal berdua dengan Ino di ruang gym. Tapi belum memutuskan untuk melakukan apa. Belum lama sejak ia mandi. Berolahraga akan memaksanya untuk mandi lagi.
"Jadi itu alasan kenapa kau membuat tangga keluar dan memperbesar kamar," simpul Ino tak percaya. "Kau berniat menyewakannya sejak lama."
Sakura tertawa dan mengangguk. Ia memang sudah merencanakannya sejak lama. Dekorasi lantai tiga sudah ia ubah sepenuhnya menyerupai flat-flat kecil dan siap untuk disewakan mulai hari ini juga.
Rumah itu terlalu besar untuknya dan Ino, bahkan walau mereka kebanyakkan hanya berada di lantai dua. Lantai satu diisi sebagian besar ruang utama seperti garasi, dapur dan ruang tamu. Semua kamar asisten rumah tangga, termasuk tukang kebun juga berada di lantai itu.
"Lantai tiga sama sekali tak berguna," ungkap Sakura. Ino terlihat membenarkan. "Aku pikir ada bagusnya menghasilkan uang dari sana."
Ino tersenyum bangga. "Ah, sepupuku yang kaya. Kau bahkan sudah memiliki warisan di usia semuda ini."
Sakura mengedikkan bahu. Rumah itu sudah diberikan atas namanya. Ia boleh melakukan apa saja dengan itu asal tak berkaitan dengan tindak kriminal. Seolah ia akan melakukannya saja. Daripada membuang-buang sumber energi untuk pemeliharaan, penyewaan adalah pilihan yang lebih baik.
"Aku sudah mengatakan pada para asisten rumah tangga bahwa kita berdua akan berpura-pura sebagai penyewa lantai dua nantinya." Sakura mengatakan itu sambil melihat ke luar dari dinding kaca. Bunga-bunga yang sedang mekar di bawah sana memberikan pemandangan indah yang membuat pikirannya lebih tenang.
"Apa lantai tiga akan menjadi flat campuran?" Ino bertanya. Memperlambat laju treadmill nya.
Sakura mengangguk. "Ada enam flat di lantai tiga. Hmm kurasa menjadikannya flat campuran bukan masalah."
Ino mengangguk. "Itu akan dipenuhi oleh mahasiswa, mengingat rumah ini hanya berjarak sepuluh menit berjalan kaki dari kampus kita," simpulnya. "Omong-omong, aku bertemu Sasuke tadi pagi, saat berada di kantin biasa."
"Oh ya," tanggap Sakura datar. Ia bisa menebak kemana arah pembicaraan ini karena Ino sudah melakukannya seminggu penuh.
"Kau masih tak ingin bertanya apapun?" Tanya Ino, mengerucutkan bibirnya.
"Liburan semester tinggal satu minggu lagi." Sakura mengalihkan pembicaraan dengan teramat jelas. "Aku akan berada di rumah ayahku lalu ibuku secara bergantian."
Ino memberinya tatapan mengejek. "Tentu. Aku juga akan pulang," jelasnya. "Sasuke menanyakanmu."
"Apa?" Sakura mengusap sisi kiri lehernya. "Maksudku, terserah." Suaranya terdengar memelan di ujung kalimat.
Tak ada yang lebih menjengkelkan selain melihat Ino yang menghela napas sambil memperlihatkan senyuman sok tahu. Jadi Sakura menaikkan satu alis sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Mari dengarkan apa yang ingin Ino katakan sekarang.
"Kau tahu, Sakura. Kau sangat cocok berada di sana." Hmm, tak seperti yang Sakura duga.
"Dimana tepatnya?" Tuntut Sakura.
"Klub Climbing Wall," jawab Ino percaya diri. "Kau terlihat bersemangat saat memanjat, lebih dari yang pernah aku lihat."
Sakura menyipitkan mata. "Darimana kesimpulan itu berasal? Kau tahu aku tak pernah suka melakukan olahraga ekstrim."
"Tapi kau suka olahraga," kata Ino dengan nada meyakinkan. "Lihat. Lenganmu bahkan sedikit berotot."
"Itu karena tennis!" Jelas Sakura tak percaya. "Dan tempat ini," lanjutnya sambil merentangkan tangan."
"Apa karena dia? Karena Sasuke?"
"Ino dengar..."
Ino menjentikkan jarinya. Tersenyum lebih lebar dari tadi. Sakura tak habis pikir dengan jalan pikiran Ino yang tampaknya sudah mengarah kemana-mana. Pembicaraan ini pada akhirnya akan menuju ke orang yang sama.
Pikiran Sakura semakin kacau saat Ino turun dari Treadmill dan berjalan ke arahnya.
"Kau harus berhati-hati pada dirimu sendiri Sakura." Ino berbicara sambil menunjuk hidung Sakura. "Kau terlihat seperti orang yang akan kehilangan kendali sewaktu-waktu."
Ino bahkan menepuk bahunya sebelum berjalan ke arah pintu keluar.
"Maksudku." Kepala Ino muncul dari balik pintu. "You have so much desires to touch him. Who wouldn't right? But, you're different. Kau tak pernah merasakan itu sebelumnya. Jadi kau menjauhinya karena alasan itu. Kau sudah ketahuan olehku . girl."
"INO!"
Tawa Ino bergema di koridor. Sakura menatap tak percaya ke arah pintu yang tertutup. Detak jantungnya terasa lebih keras dari biasanya.
00000
Liburan semester dimulai tanpa terasa dan berakhir juga tanpa terasa. Sakura sudah mengatakan pada orang tuanya tentang menjadikan lantai tiga rumahnya sebagai tempat sewaan. Dan seperti yang ia duga, orang tuanya menyetujui hal itu tanpa banyak pertanyaan. Mereka malah memuji Sakura karena berpikir dengan cara dewasa dan jauh ke depan.
Ia kembali ke rumah dua hari lebih awal daripada Ino. Kelas baru akan dimulai tiga hari lagi. Jadi tak banyak yang bisa ia lakukan di lantai dua yang hanya ada ia sendiri. Ia juga tak berniat untuk memperkenalkan diri dengan para penyewa di atas. Meskipun senang setelah mendengar kalau enam flat langsung terisi penuh begitu iklan disebarkan.
Sakura sedang memandangi kebun bunga melalui dinding kaca di kamarnya. Pemandangan bagian belakang rumah tak akan bisa dilihat oleh para penyewa lantai tiga, karena tempat itu di desain dengan koridor tertutup. Sedangkan beranda kaca menghadap ke bagian depan rumah. Hal yang Sakura pertimbangkan karena ia tak ingin sering terlihat saat sedang berjalan-jalan di taman bunga.
Seperti beberapa menit kemudian. Ia berjalan ringan menuju kolam renang. Sudah mengenakan pakaian renangnya yang masih ia lapisi dengan kemeja putih besar sepanjang mata kaki. Ia tak perlu membawa peralatan seperti handuk atau kacamata renang karena semuanya sudah pasti tersedia di sana.
Sakura berniat untuk menghabiskan banyak waktu di sana. Ia juga akan menekan bel panggilan dan memesan jus jeruk dan camilan. Tapi tak lama setelah melompat ke kolam, seseorang muncul dari dalam kolam, dua langkah dari tempat ia berada sekarang.
Sakura tersentak kaget. Orang itu sedang berdiri di kolam sedalam satu koma lima meter dan permukaan air hanya menyentuh pinggangnya. Tato di lengan atas kanan adalah hal pertama yang matanya tangkap. Anting di daun telinga kiri yang selanjutnya.
"Sasuke?"
Pria itu berada di hadapannya tanpa mengenakan pakaiannya. Tentu saja, pikir Sakura kacau. Ini kolam renang. Sasuke mungkin hanya memakai celana renang. Sakura sedikit membungkukkan tubuhnya. Permukaan air mencapai dadanya. Ia langsung ingat bahwa ia sedang mengenakan bikini yang Ino belikan di ulang tahunnya yang terakhir. Bikini itu adalah bentuk dari lelucon nakal Ino. Bagian atas bikini benar-benar terbuka dengan tali yang diikat ke punggung. Penahan yang berada di bahu hanya berupa tali tipis bening yang tak akan terlihat jika tak benar-benar diperhatikan.
Sakura pasti terlihat sama telanjangnya dengan Sasuke saat ini.
"Sakura? Kenapa kau ..."
Jelas, Sasuke juga memerhatikan hal itu, rutuk Sakura alam hati. Tatapan pria itu sejenak mengarah pada tubuhnya.
"Kenapa kau di sini?" Tidak mungkin. "Kau salah satu penyewa lantai tiga?" Tapi Sakura sudah memberi instruksi jelas agar tak satu pun penyewa memasuki kolam renang ini. Kepala rumah tangganya tak mungkin melakukan kesalahan semacam ini.
Sasuke berkedip. Butuh beberapa waktu bagi pria itu untuk mengiyakan pertanyaannya.
"Aku diberitahu bahwa ada kolam renang di balik taman bunga," jelas Sasuke. "Dan aku diizinkan untuk menggunakannya asalkan tak memberitahunya pada orang lain."
"Ha?" Sakura tak memercayai pendengarannya sendiri. Sasuke diberitahu dan diizinkan. Darimana sebenarnya perintah konyol itu berasal?
"Aku tak pernah melihatmu selama satu bulan tinggal di sini," lanjut Sasuke. Suara pria itu menyentak pikirannya dan membuatnya menyadari lagi keadaan sekitar. Keadaan dirinya sendiri.
Sakura rasanya ingin melarikan diri dengan cara yang memalukan. Keadaan sekitar benar-benar sepi. Bahkan sedikit gerakan saja menimbulkan suara yang keras di sini. Dan seolah semuanya harus bertambah buruk, Sasuke maju mendekatinya. Pria itu tak melepaskan tatapan mereka dan yang bisa Sakura lakukan hanya menunggu saja.
Tapi Sasuke tak melakukan apa-apa setelah itu. Seperti terakhir kali mereka bertemu, tingkah laku Sasuke sangat bertolak belakang dari penampilannya.
"Kau bisa melanjutkan acara renangmu," ujar Sasuke dengan suaranya yang rendah. "Aku sudah berada di sini cukup lama."
Sakura menggigit bibir bawahnya ketika Sasuke berenang melewatinya.
"Ya," bisik Sakura. Ia ragu Sasuke akan mendengarnya.
00000
Sakura sudah berada di dalam kolam renang sekitar setengah jam. Ia bermaksud untuk menyelam sebentar, seolah hal itu bisa menenggelamkan perasaan yang ia rasakan saat bertemu dengan Sasuke tadi. Ia lalu akan memencet bel, memesan jus jeruk dan camilannya, beristirahat sebentar sebelum melanjutkan renangnya.
Rencana yang rapi namun tak akan terlaksana lagi. Karena begitu ia muncul di permukaan, ia melihat Sasuke yang sedang duduk di pinggiran kolam. Mengenakan jubah mandi putih yang sama sekali tak menutupi bagian depan atas tubuhnya.
"Kau bilang akan pergi." Nada suaranya terdengar lebih kasar dari seharusnya.
Sasuke mengerucutkan bibirnya. "Aku masih tak mengerti apa alasannya sesering apapun aku memikirkannya," ucap pria itu.
Sakura menggerutu sambil berenang lurus mendekati pinggiran kolam tempat Sasuke berada sekarang. "Alasan apa?"
"Alasan kenapa kau tak ingin mendekati wall climbing lagi padahal kau sering berada di sana sebelumnya."
Jadi pria itu tak benar-benar acuh dengan sekitarnya, pikir Sakura. Satu hal lagi yang salah ia nilai.
"Apa aku menyinggungmu, atau karena kau takut dengan peraturan itu." Sasuke terdiam untuk beberapa saat. Tatapan pria itu terlihat menilai reaksinya.
"Atau karena kau hanya ingin menghindariku."
"Hah!" Ia bereaksi dengan keras, sekeras detakan jantungnya saat ini. "Kau sangat percaya diri rupanya."
Sasuke menggeleng dengan raut wajah serius. "Aku hanya tak ingin mengabaikan semua kemungkinan."
Semua kemungkinan? Sakura membuang pandangannya ke arah lain saat Sasuke menekuk satu kakinya dalam posisi duduk, memperlihatkan otot pahanya dan sekilas celana renangnya yang berwarna navy.
Pria ini benar-benar membuatnya gila. Sekelebat ingatan tentang pembicaraannya dan Ino sebelum mereka libur semester waktu itu membuat Sakura menahan diri untuk tak mengumpati dirinya sendiri. Sebenarnya Sakuralah yang sudah gila saat ini. Pikirannya penuh dengan kotoran yang mustahil untuk dibersihkan.
"Hm. Kita bisa membicarakan itu lain kali," putus Sakura.
"Tidak," potong Sasuke tegas. "Aku punya firasat kau akan membuat pertemuan kita mustahil setelah ini."
Sasuke tak mengerti. Pria itu tak tahu seberapa keras Sakura menahan diri untuk...
Untuk apa? Apa sebenarnya yang akan ia lakukan?
Sakura menghela napas. Sebenarnya ia tahu. Ia menyisir rambut basahnya ke belakang sebelum keluar dari dalam kolam. Ia bisa menangkap tatapan terkejut Sasuke saat ia berjalan dan menempatkan diri di hadapan pria itu.
"Jadi apa yang bisa kita lakukan?" Tanya Sakura sambil mencondongkan tubuhnya pada Sasuke. "Aku tak mau membahas apa yang ingin kau bahas."
Ia bisa melihat Sasuke menahan napas. Wajah pria itu terlihat lebih tampan lagi dari jarak dekat. Tubuh pria itu dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Sakura tertegun mendapati Sasuke yang sedang memandangi bibirnya. Sakura hanya mengenakan bikini super seksi, mencondongkan tubuhnya ke depan. Tapi alih-alih mencuri pandang ke arah sana, Sasuke malah memandangi bibirnya.
Sakura menutup jarak mereka, menyatukan bibir mereka. Dan yang ia rasakan setelah itu adalah bagaimana dengan cepatnya Sasuke bereaksi atas ciumannya. Pria itu membuka mulutnya, menciumnya dengan cepat, kuat dan tanpa basa-basi. Tak ada waktu bagi Sakura untuk mundur dan memang tak ada keinginan untuk melakukannya. Sakura naik ke pangkuan Sasuke, membingkai wajah pria itu, memperdalam ciuman mereka.
Mereka mengambil napas sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat sebelum menyatukan bibir mereka kembali. Melakukannya berulang kali untuk waktu yang lama. Dalam prosesnya, Sakura menggerakkan jemarinya semakin turun; merasakan detak jantung Sasuke yang keras, otot-otot perut pria itu yang mengencang. Ia bergerak semakin turun sebelum Sasuke menangkap tangannya.
Pria itu melepaskan tautan bibir mereka dan menatapnya dengan raut wajah frustrasi.
"Maafkan aku," ujar Sakura seketika. Sakura terkejut dengan apa yang mungkin akan ia lakukan jika Sasuke tak menghentikannya. Pria itu bahkan hanya menyentuhnya dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain menyangga ke belakang, mencegah mereka berdua agar tak jatuh terbaring.
Sakura berniat berdiri. Namun lengan kuat Sasuke menahan tubuhnya agar tetap berada di tempat semula. Di pangkuan pria itu. Telapak tangan Sasuke yang menyentuh punggung bawahnya yang telanjang, terasa hangat walaupun tubuhnya basah setelah berenang
"Maaf untuk apa?" Tanya Sasuke. Tatapan pria itu tak pernah meninggalkan wajahnya.
"Ya?" Sakura berkedip sekali. Jantungnya berdetak dengan cara yang memalukan. "Karena menciummu tanpa bertanya lebih dulu? Dengar, aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Kau hanya terlihat..." Ia terdiam. Sadar dengan apa yang hampir ia utarakan. "Aku hanya..."
Sakura kembali menghela napas. "Aku menciummu tanpa bertanya lebih dulu. Bukankah ini termasuk tindak pelecehan."
Sasuke menatapnya tak percaya. Raut wajah frustrasinya telah digantikan dengan senyuman terhibur.
"Maksudmu aku baru saja dilecehkan dan tak bisa melakukan apapun padahal orang itu memiliki tubuh yang lebih kecil dan lemah dariku?"
"Itu terdengar aneh 'kan?" Sakura membenarkan. Tak habis pikir dengan cara kerja otaknya.
Sasuke mengusap ujung bibir Sakura dengan ibu jarinya. "Kau memang sedikit aneh. Kau berciuman seperti seorang profesional. Di sisi lain, kau terlihat polos dan menjaga jarak, seperti sekarang."
Pria itu menyimpulkannya dengan cukup tepat, kecuali di bagian yang polos. Karena ia jauh dari kata polos. Ia sangat memahami bagaimana otaknya bekerja. Sakura memang ingin menjaga jarak. Bukan karena ia takut pada Sasuke tapi karena ia takut pada apa yang ia bayangkan saat ia menatap Sasuke. Ia takut pada dirinya sendiri.
Sakura turun dari pangkuan Sasuke dan berjalan ke tempat ia meletakkan kemejanya tadi. Ia sudah mengancing kemejanya, berbalik, mendapati Sasuke yang sudah berada di depan pintu keluar.
Sakura menggeleng, merasa aneh dengan perubahan situasi dalam hubungan mereka.
"Kau akan melihat-lihat climbing wall lagi 'kan?" Tanya Sasuke saat mereka berjalan bersisian menuju rumah.
"Aku tidak tahu," jawab Sakura pelan.
"Hmm," gumam Sasuke. "Apa karena aku selalu terlihat berantakan?"
Sakura berhenti melangkah dan seketika menoleh pada Sasuke.
"Jadi aku benar," simpul Sasuke. Senyum pria itu tak menyiratkan apapun. "Kau merasa aku tak sepadan. Tapi di sisi lain, kau menginginkanku."
Dijelaskan dengan cara seperti itu, Sakura terdengar seperti orang yang munafik. Mungkin memang seperti itu. Hanya saja, ada alasan lain yang Sasuke belum ketahui.
Sakura berhenti berpikir ketika jemari Sasuke membingkai wajahnya. Pria itu mencium bibirnya dengan kuat dan melepaskannya sebelum Sakura sempat bereaksi.
"Tidak apa-apa Sakura," bisik Sasuke di telinganya. "Aku juga menginginkanmu."
00000
Anybody home?
Hi, lama tak berjumpa, kalau ada yang masih ingat.
