Saat mencicipi kuah sayur yang menurutnya kurang asin siang itu, Qua Li terkenang akan peristiwa beberapa hari yang lalu. Ada seorang pria yang seperti Londo tersasar (karena wajahnya seperti pribumi tapi warna kulit dan cara berpakaiannya seperti orang Eropa) yang mengaku dari STOVIA. Sekolah kedokteran Belanda itu, bukan? Begini-begini, Qua Li juga pernah dengar nama STOVIA. Lebih sulit mengingat nama si dokter Londo kesasar, yang kalau tak salah ada sebutan matahari dalam namanya. Surya? Suryo? Entahlah, Qua Li tak berhasil mengingat nama panjang yang hanya satu kali diucapkan si empunya. Dokter muda itu bilang padanya: Sultan Balakung harus membatasi konsumsi garam, karena tekanan darahnya tinggi belakangan ini.
"Seberapa banyak garam yang biasa kaupakai?"
"Satu sendok kecil untuk satu panci ini." Waktu itu, Qua Li menyodorkan sebuah sendok.
Pria Londo kesasar itu mengerutkan alisnya dalam-dalam, matanya menyipit di balik lensa monocle. "Terlalu banyak. Separuh dari ini, dikurangi lagi."
Mata sipit Qua Li melotot dari balik pipi yang tembam diiringi protes, "Nanti jadi sayur tanpa rasa!"
"Pakai sendok begini sebetulnya terlalu besar. Apa kau punya timbangan?"
"Tidak ada timbangan," balas Qua Li kesal, padahal ujung sendok itu pun hanya seukuran jempol tangannya yang gemuk. "Takaranku selalu dengan sendok ini."
"Iya, sebegini banyak garam dalam satu kali santap, tiga kali sehari, dan kau akan mengirim tuanmu ke liang kubur beberapa tahun lagi."
Perkataan lugas sang dokter membuat Qua Li terhenyak. "Benarkah ...?" Dia bertanya ragu-ragu.
"Tekanan darah Sultan Balakung saat ini cukup tinggi. Orang bisa kena serangan jantung atau pembuluh darahnya pecah kalau begitu terus. Menilik gaya hidup beliau yang lebih banyak duduk, aku sudah menyarankan untuk rutin senam atau olahraga ringan. Selain itu, batasi makan garam, dan soal ini tentu harus kusampaikan ke juru masaknya."
Meski dilanda dilema perkara rasa, akhirnya Qua Li memutuskan mengutamakan kesehatan tuannya. Dia masih bisa memakai penyedap rasa dari rempah-rempah yang disarankan si dokter, karena bahan makanan dari tumbuhan pun mengandung garam dalam jumlah tertentu. Saat itulah, pandangannya jatuh pada tiga sosok yang familier di depan pintu dapur. Dua dari tiga pemuda itu punya wajah serupa, sedangkan satu lagi wajah di belakang mereka juga diingat Qua Li.
"Kalian ..."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BoBoiBoy (c) Monsta
Geef Mij Maar Serabi Solo (c) Roux Marlet
Penulis tidak mendapat keuntungan material apa pun dari cerita ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jemparingan itu murni soal rasa, Ais."
Qua Li ingat, beberapa tahun yang lalu, dirinya ikut menyimak pembicaraan di tepi alun-alun, tempat putra pertama Mawais yang berumur delapan belas tahun sedang duduk bersila. Raut wajah Raden Mas Jaiz Tirta Kalijaga sore itu merengut, kedua alisnya bertaut. Qua Li juga sesekali melihat lirikan yang tajam dari mata pemuda itu ke arahnya, yang hari itu memang hadir karena Mawais mengundangnya.
"Ais ... kalau kau membiarkan emosi menguasaimu, sampai kapan pun kau tak akan pernah bisa membidiknya dengan benar."
"Aku tahu, Ayah." Ais menyiagakan busurnya di depan perut sekali lagi.
"Kau sedang ... marah? Kita tunda dulu latihan hari ini," pungkas Mawais tegas.
"Oh, jadi Ayah tahu aku sedang marah," gumam Ais setengah menggeram, lalu menurunkan busurnya dan menoleh. "Bagaimana bisa?"
"Kau tak pernah berwajah seperti itu sebelumnya."
Ais berpaling. Dia juga tidak pernah melihat raut wajah sang ayah yang demikian. Dahinya berkerut dalam, seperti ... kecewa?
Ukh, ini semua karena orang itu! Kehadirannya membuat suasana hati Ais memburuk dan tidak fokus latihan. Dengan gerakan mendadak, tanpa beranjak dari posisinya bersila, Ais mengangkat lagi busurnya dan membidik ke samping, ke arah si juru masak yang sedari tadi diam saja.
"Ais!"
Si pemilik nama tak menyangka Mawais akan menampar tangannya keras-keras hingga busur dan panahnya terjatuh. Ais terkesiap dan mengerang kesakitan, sekaligus kaget luar biasa. Seumur hidupnya, dia tak pernah dikasari oleh sang ayah, dan pukulan barusan membuatnya tertegun serta sadar bahwa dirinya salah.
"Apa yang mau kaulakukan?! Ayah mengajarimu bukan untuk melukai orang!"
Ais merasakan wajahnya memanas. Bisa dilihatnya Qua Li berdiri terpaku di samping ayahnya dengan sorot terkejut dan takut. Ais menggumam sambil menahan tangis,
"Maaf ..."
"Pegang lagi busur dan panahmu, bidik ke arah sana, tapi jangan menembak," perintah Mawais dingin sambil menunjuk deretan target jemparingan. "Jangan turunkan tanganmu sampai Ayah izinkan."
Ais tampak malu dan kesal pada dirinya sendiri, tapi dia patuh. Dilakukannya hukuman dari sang ayah dalam diam, merutuki emosi sesaatnya tadi yang seharusnya tidak diperlukan.
Sementara itu, Qua Li dibimbing Mawais untuk menyingkir.
"Maafkan dia, Koh," gumam Mawais sedih.
"Bukan masalah besar, Tuanku." Meski bicara begitu, Qua Li sebetulnya tidak menyangka Mawais akan sebegitu murka terhadap putra kesayangannya. Bukan hanya Ais yang terkejut dengan pukulan yang tadi. "Itu artinya, Raden Mas Ais memang tidak ingat kejadian itu. Sebaiknya tetap begitu."
"Tapi dia jadi punya pemahaman yang keliru tentangmu," keluh Mawais.
"Yang penting Raden Mas sehat dan selamat," sahut Qua Li.
Mawais tidak bicara lagi selama beberapa saat, begitu pun sang juru masak. Keduanya memandangi Ais dari kejauhan, masih patuh dalam posisi duduk bersila, membidik tanpa melepaskan panahnya. Qua Li kagum pada betapa tabahnya Ais menjalani hukuman yang pasti membuat badan pegal itu.
"Sunan Kalijaga konon seperti itu juga," gumam Mawais sejurus kemudian.
"Kalijaga?" ulang Qua Li. "Bukannya itu nama Raden Mas?"
"Benar. Nama Ais diambil dari salah satu Wali Sanga yang membawa ajaran Islam ke tanah ini."
Qua Li menyimak dengan penuh minat. Mawais telah mengajaknya berjalan keliling.
"Sunan Kalijaga adalah murid Sunan Bonang dan pernah disuruh menjaga tongkat yang ditancapkan ke sungai untuk melihat kesungguhannya berguru. Arti namanya juga 'penjaga sungai'."
Qua Li manggut-manggut.
"Banyak kesenian dan budaya yang digunakan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah. Salah satunya, wayang kulit."
Kali ini, mata Qua Li terbelalak. "Wayang itu tidak haram, Tuanku?"
"Di situlah letak uniknya. Sunan Kalijaga membuat wayang manusia dengan tangan yang panjangnya sampai ke kaki, kepala menghadap samping dengan leher digaris-garis. Bentuknya tidak sama dengan manusia sungguhan, jadi tidak haram."
"Ooh. Seandainya saja …." Suara Qua Li melenyap seiring mentari yang bergerak makin ke barat.
Mawais menepuk bahu juru masaknya yang menjadi murung. "Apa yang pernah ada di waktu dulu, selalu ada maknanya. Aku dan keluargaku bersyukur punya juru masak sepertimu."
Benar. Qua Li di masa lalu adalah pendatang dari negeri yang jauh dan boneka wayang potehi yang dibawanya dianggap menyesatkan penduduk. Dia pikir bisa mendapat penghasilan dari berjualan boneka itu. Malah diskriminasi dan penolakan yang didapatnya dari penduduk sekitar, sampai-sampai Qua Li yang putus asa mencuri dari pabrik gula milik keraton. Para abdi dalem Sultan Balakung menangkap basah dirinya, tapi sang sultan memberi pengampunan. Bahkan, setelah diketahui bahwa Qua Li bisa memasak, dia segera dipekerjakan di dapur.
Dan di dapur itulah Qua Li telah tiga puluh delapan tahun mengabdi pada Sultan Balakung. Di dapur itulah juga, hari ini, Qua Li berhadapan kembali dengan wajah-wajah dari masa lalu yang belum terlalu lama berlalu.
.
.
.
.
.
"Geef mij maar Serabi Solo!"
Belum sempat Qua Li bicara apa pun di pintu dapur, Raden Mas Jaiz Tirta Kalijaga yang berumur dua puluh tiga tahun telah memberi perintah. Qua Li tahu itu kalimat perintah, meski dalam bahasa Belanda yang dia hanya paham sedikit.
"Serabi Solo, Tuanku?" Qua Li buka suara sambil membungkuk sedikit di depan cucu tuannya itu. Dia harus ingat posisi dan tata kramanya, juga fakta bahwa Ais bukan lagi anak-anak yang bisa diajaknya bicara dengan bebas. Ais sekarang adalah seorang calon sultan, maka Qua Li bicara kepadanya dengan tingkat bahasa yang sama dengan Sultan Balakung.
"Ya," sahut Ais sambil menatap Qua Li tajam. "Koh Qua Li bisa membuatnya?"
Qua Li pernah dengar nama Solo, Solo … bukannya itu Desa Sala, yang kalau ditempuh dari Yogyakarta ini ke arah timur laut melewati Klaten dan bekas wilayah Keraton Kartasura itu? Orang Belanda saja yang tak bisa menyebut kata "Sala" dengan benar sehingga bunyinya jadi "Solo". Tapi ini, serabi? Makanan macam apa itu? Sepertinya Qua Li pernah baca di suatu tempat ….
"Hamba belum pernah membuatnya, Tuanku." Qua Li mengakui.
"Kalau begitu, biarkan aku membuatnya sendiri." Ais sudah maju selangkah lagi mendekati Qua Li yang masih merintangi pintu dapur. Sang juru masak menatap Ais yang kini sudah lebih tinggi darinya, bahkan sedikit lebih tinggi dari kembarannya, Duri. Ada sorot yang tak terbantahkan di mata cucu sulung Sultan Balakung itu. Masalahnya, satu orang lagi yang ada di sana ….
"Aku akan lihat dari jendela," ujar Nova.
Qua Li sama sekali tidak menyangka hal itu. Duri tersenyum mendengar kalimat itu dan menambahkan,
"A-aku i-ikut M-mas Nova."
Dengan gerakan yang halus dan tenang, kembaran Ais itu menggandeng Nova untuk menyingkir. Qua Li masih terdiam dan meragu dengan Ais di depannya seolah menantikan izinnya untuk masuk ke dapur. Sebetulnya, kalau mau, Ais berhak saja merangsek masuk. Toh, dia cucu sultan!
Qua Li menghela napas panjang. "Raden Mas Ais … kalau tidak salah, serabi ini bentuknya bundar? Kita tidak punya penggorengan bundar."
"Kita punya penggorengan bundar!" balas Ais, antusias melihat Qua Li tidak melarangnya lagi. "Duri, mana hadiah dari Mas Taufan?"
Sebentuk wajan bundar kecil dikeluarkan dari tas yang dibawa Duri, yang juga tersenyum senang ketika pemberian Taufan itu berpindah tangan kepada Ais. Taufan bersemangat sekali ketika tahu bahwa Ais suka memasak dan diberikannya wajan itu cuma-cuma (setelah minta izin Mbah Kasa, tentu saja).
"Bisa kita mulai, Koh?" Ais minta izin sekali lagi.
Sang juru masak menyingkir dari pintu. "Silakan, Tuanku."
Berikutnya, Qua Li mengekori Ais yang berjalan di depannya, melihat bahwa sosok pemuda itu memang punya aura yang serupa dengan kakeknya. Tenang sekaligus tegas, dan bersungguh-sungguh seperti asal namanya, Kalijaga. Sambil berjalan, Qua Li melontarkan instruksi kepada para abdi dalem yang tengah menyelesaikan persiapan menu santap siang sang sultan, yang tadi ditinggalkan oleh si juru masak.
"Di mana kita menyimpan baskom?" tanya Ais, berhenti di depan banyak lemari.
"Di sini, Tuan." Qua Li menunjukkannya.
"Bagus. Apa kita punya santan? Bahannya yang terbanyak adalah santan."
Qua Li dengan cekatan menyambar berbagai bahan yang disebutkan oleh Ais. Dalam waktu singkat, mereka telah siap dengan adonan serabi di depan penggorengan panas. Qua Li terkejut sekali lagi ketika Ais menyodorkan spatula ke arahnya.
"Koh Qua Li saja yang menggorengnya."
Karena Qua Li begitu terpana sampai melongo beberapa detik, Ais tersenyum dan menambahkan,
"Atau, boleh aku? Aku akan hati-hati. Kita perlu menggorengnya sampai pinggirannya berwarna kecokelatan dan saat itu juga serabinya harus diangkat dari penggorengan. Tolong aku, ya, Koh?"
Qua Li mengangguk mantap. Dia baru menyadari betapa Ais sudah bertumbuh dewasa menjadi calon sultan yang bertanggung jawab dan berhati-hati. Tak sungkan bertanya kalau ada yang tidak diketahui. Mau minta tolong tanpa menurunkan harga diri. Melirik ke luar jendela, Qua Li mendapati Nova pun benar-benar hanya diam dan tak banyak tingkah seperti waktu remaja dulu. Sesungguhnya si juru masak punya dendam tersendiri terhadap Nova, yang nyaris mencelakakan Ais yang polos dan belum tahu banyak hal waktu itu! Ultimatum larangan masuk dapur pun bukan dilontarkan tanpa sebab. Dia hanya ingin memastikan keselamatan cucu tuannya, hanya itu.
Qua Li kemudian terkenang juga pada Nova semasa baru saja kehilangan ayahnya dulu, yang menjadi awal mula pelarangan Nova dan Ais masuk dapur keraton. Dahulu, Nova mencoba cara masak Flambe yang memakai alkohol, yaitu bir milik ayahnya, di atas penggorengan alih-alih minyak. Waktu itu, Ais terkejut ketika melihat api dari tungku di bawah sampai masuk ke wajan. Di dekat situ ada kotak es dari kayu, yang berfungsi sebagai semacam lemari es di zaman itu; di dalamnya ada es batu kecil-kecil dan sebuah kotak plastik besar yang sama dinginnya. Ais saat itu berpikir bahwa akan lebih cepat memadamkan api kalau menggunakan kotak plastik yang besar dan sepertinya berisi air itu, jadi diambilnya dari kotak kayu lalu dilemparnya ke penggorengan yang berkobar. Ternyata, kotak plastik itu sesungguhnya kompresor uap eter. Bahan yang berbahaya jika terkena api, bisa meledak!
Itulah yang terjadi berikutnya. Ais berada terlalu dekat dengan penggorengan sedangkan Nova yang gerakan refleksnya lebih baik telah menjauh. Qua Li menerjang dan menyambar Ais, tapi keduanya tetap terkena ledakan. Si juru masak terkena luka bakar di punggung dan memar di mana-mana karena jatuh ke lantai batu, sedangkan Ais terbentur kepalanya dalam penyelamatan itu.
Qua Li tahu Nova telah ditegur keras oleh orang tua Ais karena kejadian itu, tapi pihak keraton masih cukup baik hati dengan memberinya pekerjaan mengelola pabrik gula yang sebelumnya dikelola ayahnya, Kolonel Pyrapi. Tidak ada yang menduga bahwa pensiunan tentara itu rupanya sering mabuk di rumah semasa masih hidup. Nova rupanya menanggung beban yang terlampau berat untuk remaja seusianya kala itu. Namun, berkat Nova dan ayahnya jugalah, Qua Li jadi terinspirasi untuk membuat apa yang kemudian dikenal dengan bir Jawa, minuman kesukaan sultan. Bahan-bahan alam diracik dengan teknik tertentu, menimbulkan aroma hangat seperti alkohol, tapi tidak haram.
Saat ini, Nova, di luar jendela, melongok dengan penuh minat ke sebentuk kue bundar yang mulai matang di penggorengan, lalu berkomentar,
"Baunya harum! Hmm, persis yang ada di Mangkunegara, hehe."
Duri mengangguk-angguk setuju di samping Nova.
"Mangkunegara?" tanya Qua Li.
"Kami baru saja dari sana," sahut Ais, mengangkat kue serabi perdananya dengan mata berbinar. "Saudara jauhku menikah. Mas Nova adalah iparnya."
"Begitu, rupanya." Qua Li membantu menuangkan adonan baru ke atas penggorengan. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Nova juga tampak berbinar-binar, namun menahan diri.
Qua Li tidak yakin apa yang mendorongnya untuk bicara kemudian, "Mas Nova boleh masuk."
"Eh?" Nova seperti habis melamun dan baru tersadar ketika Duri menyenggol sikunya. "Apa?"
"Mas Nova boleh masuk dapur," ulang Qua Li.
Nova terperangah sampai lima detik. Mendadak, binar di matanya kembali. "Waaaah, terima kasih!" Dia sudah berlari memutari teras ketika ingat sesuatu lalu berlari kembali ke samping Duri.
"Kau mau ikut juga, Duri?" tawar Nova.
Duri menggeleng sambil tersenyum. Dia tetap mau lihat dari luar saja. Jadilah mereka bertiga ada di dapur: Ais, Qua Li, dan Nova. Qua Li mundur dan membiarkan Ais memasak bersama Nova, sambil sesekali mengawasi tungku agar apinya tidak terlalu besar.
.
.
.
.
.
Saat mengamati baik Ais di dekatnya maupun Duri di balik jendela, dalam hatinya, Qua Li terharu. Terlepas dari kepercayaan mengenai weton anak kembar yang berbeda karena selisih kelahiran yang melewati pergantian hari di waktu Magrib, kedua anak kembar itu lahir prematur dan karenanya kekurangan nutrisi. Terutama Ais, yang diketahui kemudian tidak bisa minum susu karena alergi terhadap laktosa, jenis gula dalam susu. Sampai masa balita, asupan makanan mereka berdua betul-betul diperhitungkan setiap hari oleh Qua Li yang aslinya tidak pernah sekolah kuliner apalagi mengenal ilmu tentang gizi. Hanya belajar sendiri, modalnya. Beragam kudapan pun dicoba dibuat dengan menghindari bahan yang menyebabkan alergi.
Ais mulai cukup banyak makan di atas umur enam tahun, sedangkan Duri memang selalu lebih lahap makan, terutama sayur-sayuran. Namun, sejak Duri pulang dari laut selatan waktu umurnya tujuh tahun, selera makannya tak pernah bisa sebanyak dahulu. Seringnya, dia makan apa pun tanpa ekspresi berarti. Bicara saja terpatah-patah dan anak itu menjadi pendiam.
Qua Li kurang paham apa yang telah terjadi pada Duri, tapi dia merasa kasihan. Tidak ada santapan yang berhasil membawa kembali binar ke wajah si kembar yang lebih muda. Makanan enak harusnya membuat hati gembira, tapi Qua Li tahu bukan masakannya yang salah di sini.
Dan di hari itu, Qua Li melihat Duri tersenyum riang menyaksikan mereka bertiga masak serabi. Dia bahkan cukup yakin mendengar Duri bersenandung, menyanyikan lagu-lagu Jawa yang sering didengar Qua Li di pelataran keraton. Rupanya Nova juga memerhatikan kembaran Ais itu dan berujar keras-keras,
"Duri bahagia sekali, hehe."
Duri mengangguk dan bertepuk tangan. Pandangan matanya bertemu dengan Qua Li, dan mereka saling bertatapan lekat. Ekspresi Duri seolah mau memeluknya seandainya tidak ada kosen jendela dan penggorengan panas di antara mereka. Qua Li balas tersenyum, merasakan hatinya hangat.
Mungkin semua ini tidak akan terjadi kalau tidak ada serabi. Serabi khas Solo yang ada dalam pertemuan kembali Ais dan Duri dengan Nova. Serabi hidangan perjamuan pernikahan saudara jauh mereka, Taufan. Serabi yang belum pernah dibuat oleh Qua Li dan dicobanya untuk pertama kali bersama cucu sultan dan sahabatnya.
"Waaaaah!" Berikutnya, Qua Li seolah menyaksikan matahari terbit di paras yang bagai pinang dibelah dua itu. Duri menatap nampan serabi di tangan Ais dengan penuh harap.
"Ayo, kita makan bersama!" ajak Ais yang juga riang gembira. "Mas Nova dan Koh Qua Li juga, ayo!"
Nova tampak ragu saat akan meraih sepotong serabi yang masih panas. Bukan karena panasnya hidangan, tapi karena dia bersitatap dengan si juru masak.
"Selamat makan," ujar Qua Li, menepuk bahu Nova keras-keras sambil tersenyum, mencairkan semua dendam yang pernah ada. Senyum Nova ikut terkembang. Sebelum mulai makan, Duri memeluk mereka satu per satu sambil memanjatkan doanya untuk masing-masing di dalam hati melalui pohon terdekat, Kiai Janadaru. Di mata Duri, dia bisa melihat kucing putih khodam Qua Li dan merak penjaga Nova sedang bercengkerama bersama, sementara mawas milik Ais berdiri menjulang di dekat mereka.
Ya. Hari ini, Duri akhirnya paham bahwa kera besar itu sesungguhnya penjaga Ais. Bukan dirinya. Satu penjaga gaib untuk satu orang, sekalipun anak kembar. Khodam milik Duri, entah apa pun wujudnya, saat ini mestinya telah berkumpul bersama kawanannya di bawah laut selatan sebagai ganti dirinya yang dibawa ke sana. Meski demikian, mawas penjaga Ais selalu berpindah dengan cepat tiap kali Ais dan Duri tidak sedang bersama-sama, seperti saat Ais ada di dalam dapur dan Duri di luar tadi.
Duri memeluk Ais lebih erat daripada dua yang lain, bersyukur atas kehadiran saudara kembar yang doanya di waktu dahulu telah menyelamatkan Duri. Kini dia makin mengerti bahwa Ais juga selalu menyayanginya dan mendoakannya. Kalau tidak begitu, mana mungkin khodam penjaganya akan menganggap Duri juga tuan yang perlu dijaga?
Duri menyimpan tawanya ketika melihat kucing penjaga Qua Li main-main mencakar ekor indah merak penjaga Nova, lalu dihalau oleh mawasnya Ais. Sejak dulu, kucing dan merak itu juga tampaknya tidak pernah akur tapi sesungguhnya saling menyayangi. Duri memilih memandangi serabi hangat di tangannya saja karena itu yang bisa dilihat oleh semua orang.
Serabi sudah matang dan kini mereka berempat makan bersama di teras dapur, berbahagia atas pertemanan yang terjalin kembali antara cucu kembar sultan, juru masak keraton, dan pengelola pabrik gula.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Terima kasih pada teman Roux di Twitter, icha / bubblestaffy yang pernah melontarkan request adegan Qually masak bareng FrostFire XD anggap saja di sini Ais dan Nova yeaaa.
Dengan ini, berakhirlah serial Asmaradana yang bertema historical AU, yang bermula dari parodi opera jamu cinta dan berkembang ke mana-mana sejak tokoh Taufan terpilih peran jadi Raden Mas (hehe). Nulis historical fic ternyata seru, macam belajar ulang pelajaran sekolah dan jadi tahu lebih banyak hal lagi. Di samping itu, Roux jadi merasa semakin cinta sejarah dan budaya negeri :D
Kritik dan saran sangat diterima! ^^
30.07.2023
.
Terakhir, ada satu lagi kejutan fanart dari kawan baik Roux, Asha! Gambarnya bisa dilihat di AO3 atau Wattpad Roux.
Selamat makan serabi! XD
