"Lo yakin mau masuk sekolah hari ini?" tanya Ying via telepon.
Yaya melihat dirinya di cermin untuk membetulkan seragamnya. "Iya, Ying. Udah seminggu aku nggak masuk sekolah. Aku udah gapapa, kok." sahut Yaya. Terdengar helaan napas panjang dari Ying, membuat Yaya tersenyum karena tahu apa yang sahabatnya itu cemaskan. "Aku serius gapapa, beneran." katanya lagi agar meyakinkan Ying.
"Huh, yaudah deh. Lo jangan jauh-jauh dari gue pokoknya! Bye!"
Telepon kemudian ditutup oleh Ying. Yaya terkekeh. Ia sudah selesai bercermin dan segera mengambil tasnya. Ponsel yang ia letakkan di meja belajar juga ia raih, menatap sebentar layarnya yang menampilkan sebuah notifikasi.
Gopal
Lo nggak jenguk Boboiboy hari ini?
Yaya terdiam selama beberapa saat. Ia memang tak pernah ke rumah sakit lagi semenjak ucapan Shielda padanya hari itu. Walaupun Gopal sudah mengatakan padanya berkali-kali bahwa ia tidak salah, namun Yaya merasa dirinya memang menjadi penyebab awal ini semua.
Tentu ia merindukan Boboiboy dan sangat ingin menemuinya. Tapi rasa bersalahnya pada Boboiboy belum hilang. Yaya memutuskan untuk menjauhi Boboiboy sementara, meski kedengarannya ia sangat egois. Hanya saja Yaya tak tahu harus melakukan apalagi.
"Yaya! Ayo berangkat, nanti kamu telat!" seru ibunya dari bawah.
Yaya buru-buru menyimpan ponselnya ke saku tanpa membalas pesan Gopal. "Iya, Bu!" sahutnya.
Hubungannya dengan sang ibu pun sudah membaik sejak kejadian itu. Ibunya memang belum sepenuhnya merestui hubungan ia dan Boboiboy. Namun dari sikap yang ibunya berikan, terlihat jelas bahwa ia berterima kasih pada cowok itu karena sempat melindunginya. Seiring waktu berjalan, Yaya yakin ibunya akan menerima keputusan yang ia buat.
"Kalo ada apa-apa hubungi ibu, ya? Jangan pergi sendirian, nanti langsung pulang saja..." celoteh ibunya selama ia menyantap sarapan.
Yaya tak menganggap itu sebuah kekangan lagi. Ibunya memang tetap bawel seperti biasa, tapi itu ditujukan agar dirinya aman. Mungkin sejak kejadian itu, ibunya takut ia mengalami peristiwa yang sama lagi.
"Iya, Bu. Yaya berangkat ya, assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam."
Yaya diantar Pak Toni ke sekolah. Ketika sampai ia diam sebentar di mobil, menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Seminggu ia tidak masuk untuk memulihkan dirinya dari trauma, dan Yaya tidak tahu apa saja yang sudah terjadi di sekolah. Gosip tentang dirinya yang hampir dilecehkan pasti tersebar luas. Itulah alasan Ying tak mengizinkannya masuk, karena takut akan membuat mentalnya terguncang. Namun Yaya meyakinkan dirinya bahwa ia tidak apa-apa, ia tidak mau berlarut-larut dalam traumanya.
Setelah lima menit menguatkan diri, Yaya akhirnya masuk ke dalam sekolah. Pak Toni memberikannya kata-kata semangat sebelum ia turun, membuatnya tersenyum penuh terimakasih. Tatapan mata dari orang-orang langsung didapatkannya selama ia berjalan. Yaya berusaha tenang, menulikan pendengarannya dari bisikan-bisikan mereka yang mengatakan hal buruk padanya. Yaya mempercepat langkah dengan tangan meremas tali tasnya kuat. Jika Boboiboy di sini, mungkin cowok itu sudah menariknya pergi dari sana. Membawanya ke tempat dimana ia merasa aman.
"Yaya!"
Seruan seseorang membuat Yaya menoleh. Ia bernapas lega menemukan Ying berlari menghampirinya bersama Fang.
"Ayo ke kelas bareng kita! Nggak usah peduliin mereka!" sindir Ying seraya menatap tajam siswa-siswi yang menggosipi Yaya.
"Ying bener! Ayo, awas kalian semua! Minggir, ngalangin jalan aja lo pada!" seru Fang, berjalan di depan mereka seraya mengusir manusia-manusia yang menghalangi jalan.
Yaya tersenyum tipis. Setidaknya ia masih memiliki sahabat seperti Ying dan Fang yang mau menemaninya. Kini ia bisa tiba di kelas dengan selamat.
"Yaya! Lo nggak papa, 'kan? Gue nggak bisa bayangin kalo jadi lo gimana,"
Tapi ternyata ia belum bisa bernapas lega ketika duduk di kursinya.
"Gue nggak percaya Iwan cowok busuk!"
BRAK!
Mejanya dipukul oleh salah satu teman kelasnya, membuat ia terlonjak kaget.
"Kalo aja dia ada di sini, pasti udah gue hajar! Dasar buaya darat!"
"Lo pasti trauma banget. Yaya, yang sabar ya?"
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan penuh perhatian dari teman-teman sekelasnya.
Yaya tak mengerti kenapa mereka melakukan ini padanya, disaat ia mendapat tatapan tak mengenakkan saat di luar kelas tadi. Ia menduga ini perbuatan Fang dan Ying agar menyuruh mereka mendukungnya, bukan membuatnya semakin down.
"Tenang, Yaya. Lo masih punya kita, kok. Kalo ada apa-apa bilang aja sama kita, oke?"
Hingga akhirnya Yaya tak dapat lagi menahan air matanya. Ia menangis, membuat teman-temannya langsung heboh dan mulai saling menyalahkan karena membuatnya menangis.
"Tuh, 'kan Yaya nangis! Ah lo pada gimana, sih!" seru Ying kesal. Ia menerobos kerumunan dengan tidak santai dan memeluk Yaya segera.
"Temen-temen... makasih..." gumam Yaya sambil terisak. "Makasih banyak..."
Semuanya terdiam dan tersenyum mendengarnya.
Berita tentang Iwan belum juga reda meskipun sudah lewat seminggu. Cowok itu dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun atas perbuatannya dan pihak sekolah resmi mengeluarkannya. Yaya yang menjadi korban pada kejadian itu menimbulkan banyak sekali spekulasi dari teman-temannya. Tak jarang juga yang membicarakan Boboiboy yang sampai saat ini belum ada kabar. Karena tak ada satu pun yang mengetahui masalah cowok itu kecuali dirinya dan Ying.
"Lo belum jenguk Boboiboy?" tanya Ying saat ia ingin menyantap baksonya.
"Ying, nanti ada yang dengar." tegur Yaya dengan suara serendah mungkin. Untungnya Fang sedang memesan makanan jadi ia tidak mendengar percakapan mereka.
Ying mendecak. "Pasti belum. Lo kenapa, sih? Gue nggak paham sama sikap lo yang satu ini." omel Ying. Yaya memang sudah menceritakan semuanya, tapi Ying sama sekali tidak mengerti alasan Yaya tak mau menjenguk Boboiboy. "Gimana bisa lo setuju sama ucapan tuh cewek? Bukan lo yang bikin Boboiboy dalam bahaya, Yaya."
"Ying, udah." balas Yaya lelah. Ia menghela napas panjang. "Aku cuma nggak mau memperumit masalah mereka. Boboiboy selama ini udah menderita, aku nggak mau nambah beban dia lagi."
Ying memutarnya malas. "Gue yakin Boboiboy juga nggak akan setuju sama keputusan lo ini. Dia pasti membutuhkan lo." balas Ying telak.
Yaya diam seribu bahasa. Obrolan mereka terputus karena Fang sudah kembali dengan semangkuk mie ayam. Ying dengan cepat merubah suasana seperti semula, sementara ia melamun dengan pikirannya. Batinnya memang ingin menemui Boboiboy. Tak ada yang bisa membohongi hatinya meski Yaya sudah berusaha keras. Ia masih menyayangi Boboiboy. Tapi bagaimana caranya agar ia berhenti beranggapan bahwa ialah penyebab semua ini, seperti apa yang dikatakan Shielda?
Ucapan Ying barusan juga menghantui pikirannya. Bahwa Boboiboy pasti membutuhkannya. Cowok itu sudah kehilangan segalanya dan pasti sangat sulit untuk menerima itu semua. Ia memerlukan seseorang untuk menemaninya. Tapi pantaskah ia berada di samping Boboiboy?
Getaran panjang di sakunya membuat Yaya terkejut. Ia mengambil ponselnya dan mendapati Gopal meneleponnya. Yaya terdiam sejenak. Gopal jarang meneleponnya, cowok itu lebih sering memberikannya pesan singkat mengenai kondisi Boboiboy. Apa ada sesuatu terjadi?
"Halo?" ucap Yaya pelan, berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
"Yaya... Boboiboy udah sadar!" seru Gopal di seberang sana. Tubuh Yaya membeku. Hatinya begitu lega mendengar kabar baik itu. Ia hampir menitikkan air mata, membuat Fang dan Ying di depannya kebingungan. "Gue harap lo ke sini. Tenang aja, Shielda nggak akan nyudutin lo lagi."
"Syukurlah..." gumam Yaya pelan. Rasanya ia ingin berlari menuju ke rumah sakit sekarang. Tapi apa daya, pikiran itu kembali menguasainya lagi.
"Aaaaaa."
"Gue bisa makan sendiri, Sai."
"Nggak! Lo baru sadar dan harus disuapin. Ayo, aaaaaa."
Boboiboy menghela napas dan akhirnya menerima suapan yang Sai berikan padanya. Sai tersenyum puas.
"Anak pintar."
Boboiboy memutar matanya malas. Tangannya memang sakit tapi ia masih bisa menggerakkannya. Dokter juga mengatakan kondisinya sudah lumayan baik, namun ia belum diperbolehkan bergerak banyak karena luka di perutnya. Tapi entah bagaimana, Sai berubah selebay ini seolah-olah dirinya lumpuh.
"Yang lain kemana?" tanya Boboiboy karena hanya menemukan Sai disini. Padahal saat ia sadar tadi semuanya ada.
"Au. Nanti juga kesini." balas Sai sambil mengangkat bahunya cuek.
Boboiboy terdiam. Ia memiliki banyak pertanyaan di kepalanya, tapi ia berusaha menahannya. Hanya satu yang benar-benar memenuhi pikirannya. Yaitu Yaya.
"Yaya? Dia gapapa, 'kan?" tanya Boboiboy saat Sai memberinya suapan lagi.
"Aaa dulu."
"Jawab gue." desak Boboiboy.
Sai menghela napas dan kembali meletakkan sendok di mangkuk yang ia pegang. "Dia gapapa. Puas lo?"
"Tapi gue belum liat daritadi." balas Boboiboy dengan kernyitan di dahinya. Gadis itu pasti akan menunggunya di sini sampai ia bangun. Apa itu hanya sekadar harapannya?
"Dia sekolah, woi. Lo pikir hidupnya dia lo doang? Udah, sekarang aaaa." balas Sai.
"Ini udah jam pulang. Mana ada sekolah sampai jam 5 sore?" balas Boboiboy lagi, lagi-lagi mengabaikan suapan Sai.
Sai akhirnya kehilangan kesabaran dan menaruh kembali mangkuk itu di nakas. "Tau ah! Capek gue debat sama lo!"
"Ya lo tinggal kasih tau Yaya dimana, anjir?" Dan tampaknya Boboiboy juga kesal pada dirinya.
"Gak tau gue, ke konoha kali!" balas Sai ngasal.
Boboiboy menghela napas. Pikirannya terus dipenuhi oleh Yaya. Gadis itu bersamanya saat disekap oleh Adu Du, dan ia sama sekali belum mendengar kabarnya. Bagaimana ia tidak khawatir?
Pintu kamar rawatnya tiba-tiba terbuka. Kaizo dan Gopal masuk, membuat Sai bernapas lega karena ia tak menghadapi Boboiboy sendirian lagi.
"Lo udah makan?" tanya Gopal, melirik mangkuk berisi bubur yang tinggal setengah.
"Udah." jawab Boboiboy singkat.
Kaizo berdiri di depannya dengan ekspresi tak terbaca. Dari sana Boboiboy sudah tahu ada yang ingin dibicarakan cowok itu.
"Boboiboy, Kaizo mau ngomong sama lo." kata Gopal.
"Kalo ini tentang bokap gue dan Adu Du, gue nggak mau bahas." balas Boboiboy. Ia menatap mata Kaizo yang terus memandanginya. "Yang gue mau tanyakan adalah dimana Yaya."
"Dia baik-baik aja. Lo bisa ketemu dia nanti saat lo udah–"
"Gue mau ketemu dia sekarang." Boboiboy memotong ucapan Kaizo. Cowok itu mendengus, tampak berusaha tetap tenang di tempatnya.
"Lo nggak peduli apa yang udah nimpa lo kemarin?" tanya Kaizo langsung ke intinya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya semenjak menemui Adu Du di penjara. "Nyawa lo hampir melayang, dan keluarga lo–"
"Gue udah bilang gua nggak mau bahas itu, Kai." peringat Boboiboy tajam. "Keluarga gue adalah urusan gue. Lo nggak berhak ikut campur."
"Gimana bisa gue nggak ikut campur kalo lo aja hampir mati!" bentak Kaizo marah. Semuanya terkejut mendengarnya. Kaizo semakin menatap Boboiboy geram, sementara yang ditatap tertawa sinis.
"Iya, gue hampir mati. Sorry kalo bikin kalian repot." katanya. "Gue udah bilang, kalo gue nggak mau siapapun tau masalah keluarga gue. Gue nggak suka. Gue benci itu."
Kaizo terdiam kembali. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, Boboiboy dapat melihatnya dengan jelas. Namun ia mengabaikannya.
"Gue tanya sekali lagi dimana Yaya."
Semuanya diam. Suasana tiba-tiba hening. Tiga orang yang tahu dengan jelas apa yang terjadi bingung harus menjawab apa. Sementara Boboiboy mengernyit heran karena tak ada satu pun yang menjawabnya. Sepertinya memang ada yang tidak beres di sini.
"Lo semua bilang dia nggak papa, seharusnya dia ada di sini. Dimana Yaya sekarang?" tanya Boboiboy sekali lagi. Ia menatap temannya satu per satu untuk menuntut jawaban. "Jangan bilang Yaya..."
"Dia nggak akan kesini." ucap seseorang yang baru saja masuk. Perhatian Boboiboy kini mengarah pada Shielda yang berdiri di dekat pintu. "Gue udah larang dia buat nemuin lo." ungkapnya.
Boboiboy menatapnya bingung dan tak percaya. "Maksud lo? Kenapa lo larang dia?"
"Dia yang bikin lo kayak gini. Lo nggak akan secelaka ini kalo nggak sama dia. Dia cuma ngebahayin lo!" jawab Shielda.
"Shielda, lo–"
"Gue tau gue nggak berhak atas itu! Tapi ini buat kebaikan lo, Boboiboy." potong Shielda.
Mendengarnya membuat Boboiboy tertawa kecil. Ia benar-benar tak mengerti dengan pikiran Shielda yang sungguh aneh. "Gue nggak paham kenapa lo sampai berpikiran kayak gitu." ucap Boboiboy tajam. "Karena situasi yang sebenarnya adalah sebaliknya. Gue yang bikin dia dalam bahaya. Lo sama sekali nggak berhak larang dia buat ke sini." lanjutnya dingin.
Shielda berdecak. "Boboiboy!"
Boboiboy kemudian menyingkap selimut yang menutupi setengah badannya tanpa mendengarkan Shielda. Ia mencabut infus di tangannya, membuat teman-temannya terkejut.
"Boboiboy, lo ngapain?" tanya Sai yang berada di dekatnya.
Boboiboy tak menghiraukannya, ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas nakas dan melangkah keluar. Jika tak ada yang memberitahunya, maka ia akan mencari tahunya sendiri. Persetan dengan kondisinya sekarang. Ia tidak memedulikan itu semua.
Namun ketika ia melewati Gopal, tangannya ditahan oleh cowok itu, membuatnya otomatis menghentikan langkah.
"Lepas."
"Lo baru sadar hari ini dan kondisi lo belum benar-benar baik. Gue tau lo mau kemana, tapi please, jangan berbuat hal bodoh." tegur Gopal.
Boboiboy menepisnya dengan kasar. Ia menatap temannya satu per satu.
"Gue nggak tau apa yang udah lo semua lakuin ke Yaya selama gue nggak sadar. Jadi gue mau mastiin dia baik-baik aja, dan kalo dia nggak baik-baik aja..." Boboiboy menjeda ucapannya sebentar sebelum melanjutkannya lagi. "Gue nggak akan biarin itu."
Setelah mengucapkan itu, ia pergi meninggalkan ruang rawatnya tanpa menatap lagi pada Shielda yang hanya diam. Sai melongo tak percaya. Gopal mendengus kesal dan ingin menyusul Boboiboy, namun Kaizo menahannya.
"Biarin. Jangan kejar dia." katanya. Mau tak mau Gopal membatalkan niatnya tersebut.
"Argh, kenapa dia bego banget sih?!" gerutu Sai kesal.
Ssmentara itu, Boboiboy berjalan tertatih-tatih menuju parkiran, berusaha menahan rasa sakit terutama di area perutnya. Sesampainya di mobil ia mengatur napasnya yang memburu sebentar sambil memegangi luka di perutnya yang belum sepenuhnya kering. Entah apa jadinya nanti karena ia melanggar larangan dokter padanya. Ia tak peduli saat ini.
"Gue mohon bertahan sebentar, gue cuma mau liat Yaya." gumamnya pada diri sendiri. Ia kemudian menjalankan mobilnya menuju rumah Yaya tanpa menunggu lebih lama lagi.
Mobil hitamnya berhenti di depan rumah bertingkat itu. Boboiboy mematikan mesin dengan tangan kanannya, menyandarkan kepalanya pada jok sambil memejam erat. Napasnya tersengal-sengal karena rasa sakit yang kian menjadi di bagian perutnya. Dengan perlahan, ia mengangkat tangan kirinya yang sedari tadi memegangi luka itu. Darah merembes dari bajunya dan mengotori telapak tangannya. Jahitannya pasti terlepas. Boboiboy mencoba menahan ringisannya sekuat mungkin meski sangat sulit.
Dengan susah payah ia keluar dari mobil dan menghampiri rumah Yaya. Tubuhnya membungkuk sedikit karena luka itu. Ia menunggu dengan sabar di sana setelah menekan bel rumah Yaya.
"Yaya... ini aku–" seru Boboiboy tertahan. "Buka pintunya, aku mohon..." lirihnya. Ia hampir kehilangan keseimbangan karena darahnya keluar semakin banyak. Boboiboy mati-matian menahan dirinya agar tetap sadar, sampai akhirnya pintu terbuka dan sosok Yaya terlihat.
"Astaga, Boboiboy! Kamu kenapa disini?!" seru Yaya panik. Ia menahan tubuh Boboiboy yang ingin ambruk dengan memegang kedua lengannya. Betapa terkejutnya Yaya menemukan rembesan darah di baju cowok itu. "Luka kamu–"
"Yaya... kamu... gapapa...?" tanya Boboiboy susah payah.
Yaya mengangguk cepat. Tentu ia baik-baik saja. "Aku gapapa. Sekarang kita ke rumah sakit, luka kamu harus diobatin sekarang, oke?" bujuknya. Kondisi Boboiboy sangat tidak baik saat ini. Cowok itu terlihat jelas menahan diri agar tidak pingsan.
"Yaya... aku minta maaf..." lirihnya. Yaya tertegun. Boboiboy menatapnya begitu sayu, membuatnya terpaku sesaat. "Soal Shielda... jangan... dengerin... dia..." Tubuh Boboiboy semakin limbung. Ia hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya lagi, namun ia terus berucap. "Aku... butuh kamu–"
Ucapan Boboiboy tiba-tiba terhenti dan tubuhnya jatuh ke depan. Yaya membelalakan matanya kala kepala Boboiboy mendarat tepat di bahunya. Ia yang tak sanggup menahan beban cowok itu segera berlutut, membawa tubuh Boboiboy ke dalam dekapannya.
"Boboiboy... aku disini..." bisiknya. Ia menumpukan tangannya di atas tangan cowok itu yang memegangi lukanya. Sementara tangannya yang lain memeluk kepala Boboiboy yang terkulai.
"Bertahanlah..."
"Dia memang bego."
Yaya menoleh ke arah Gopal yang berdiri di sampingnya. Keduanya berada di depan ruang rawat Boboiboy, yang kini sedang dijahit kembali lukanya oleh seorang suster.
"Dia bener-bener nekat." ucap Gopal lagi. Cowok itu seperti menahan emosinya. "Gue dan yang lainnya berusaha bantu dia buat selesein masalahnya, tapi dia dengan begonya nolak itu padahal dia udah kewalahan."
Yaya terkejut mendengarnya. Ia menatap Gopal bingung, menuntut penjelasan dari cowok itu. "Maksud kamu... Boboiboy juga nggak nerima bantuan dari kalian?" tanya Yaya memastikan. Ia mengira Boboiboy hanya melakukan itu padanya.
Gopal mengangguk. "Dia daridulu kayak gitu. Selalu berusaha menyelesaikan semuanya sendirian. Gue kira masalah dia nggak akan sebesar ini. Sampai gue tau semuanya kemarin kalo dia selama ini menderita."
Yaya terdiam. Ucapan Gopal terdengar bergetar, jelas sekali cowok itu marah entah pada siapa.
"Tapi kayaknya dia bakal denger lo." lanjut Gopal, membuat Yaya mengangkat alisnya. "Lo orang yang dia suka, jadi pasti dia nurut sama lo kalo lo yang ngomong ke dia soal ini."
Yaya baru ingin bersuara saat tiba-tiba ponsel Gopal berbunyi dan dia pamit pergi. Gadis itu menghela napas menatap kepergian Gopal. Ia beralih masuk ke ruangan Boboiboy, menemukan suster itu sudah selesai dan keluar dari ruangan. Dipandanginya Boboiboy yang terpejam di sana karena obat bius. Ia benar-benar tak bisa membayangkan berapa besar rasa sakit yang dirasakan cowok itu. Membuat Yaya merasa sedih sampai matanya terasa panas.
Yaya memutuskan ke toilet sebentar untuk menenangkan dirinya sebentar. Namun tangannya tiba-tiba ditahan, membuat ia hampir memekik kaget kalau saja ia tidak melihat siapa yang menahan tangannya.
"Jangan pergi..." lirih Boboiboy.
Yaya buru-buru menahan air matanya dan tersenyum. "Aku nggak kemana-mana. Cuma mau ke toilet sebentar." Ia tidak boleh menangis di depan Boboiboy saat ini.
"Jangan... temenin aku disini..." katanya lagi. Obat bius itu sepertinya belum bekerja sepenuhnya, atau bisa jadi Boboiboy bertahan agar dirinya tidak tertidur. Yaya akhirnya duduk di sisinya, mengusap pelan tangannya yang tidak diinfus.
"Kamu selalu bikin aku khawatir," ujar Yaya. Ia meletakkan tangan Boboiboy di pipinya, memandangi cowok itu yang juga menatapnya.
"Aku cuma mau lihat kamu,"
"Dan dateng tiba-tiba kayak tadi?" tanya Yaya. Boboiboy menutup mulutnya kembali. "Kamu bodoh." lanjutnya.
Boboiboy tersenyum tipis. Ia tak memedulikan makian Yaya padanya. Yang penting gadis itu ada di sini untuk menemaninya.
"Jangan lakuin itu lagi. Aku mohon." pinta Yaya serius.
Boboiboy mengangguk kecil. Ia membalas genggamanan tangan Yaya yang terasa hangat. Semuanya terasa baik-baik saja selama Yaya ada di sampingnya.
"Kamu juga. Jangan tinggalin aku tiba-tiba." kata Boboiboy. "Aku nggak pernah menginginkan itu. Jadi jangan pergi walaupun itu dari perkataan orang lain," lanjutnya.
Yaya terdiam. Ia mengerti maksud Boboiboy. Karena ucapan Shielda, hatinya goyah begitu saja tanpa memikirkan perasaan Boboiboy. Cowok itu tidak pernah menyuruhnya pergi. Dan ia malah tega menjauhinya secara tiba-tiba.
"Kamu tahu? Aku mimpiin kamu saat nggak sadar." ujar Boboiboy. Yaya diam mendengarkannya, menatap mata teduh itu yang sudah lama tak ia temukan. "Aku nggak tahu pasti gimana mimpinya, tapi aku ngerasa semuanya udah berakhir begitu aja. Aku mau pergi, tapi aku denger suara kamu yang memohon agar aku kembali."
Yaya tertegun. Kejadian di ruang ICU itu...
"Awalnya suara kamu terdengar sayup-sayup. Tapi lama-lama suara kamu jelas banget. Kayak nggak ngebiarin aku pergi. Aku ngikutin suara kamu terus, sampai ada cahaya terang banget, dan aku–eh?" Boboiboy berhenti cerita kala merasakan tangannya basah. Yaya sudah menangis terisak di sana, membuatnya panik buka main. "Yaya, kenapa? Kamu kenapa nangis?"
Yaya menggeleng. Ia semakin menangis dengan kepala tertunduk. Bayangan saat di ICU tempo hari kembali teringat jelas di otaknya. Karena tak tega, Boboiboy berusaha merubah posisinya menjadi duduk dengan susah payah. Ia meraih wajah Yaya dengan kedua tangannya untuk mengusap air mata di pipi gadis itu.
"Jangan nangis, dong. Nanti aku ikut sedih..." kata Boboiboy. Dalam tangkupan tangannya, Yaya akhirnya menatapnya berkaca-kaca. Boboiboy tersenyum. Jarinya mengusap lembut pipi Yaya yang memerah. "Jangan nangis, ya?"
"Aku takut. Aku takut kamu nggak selamat waktu itu, Boboiboy..." isak Yaya semakin keras. Boboiboy tertegun. Ia membawa Yaya ke dalam pelukannya. Mengusap belakang kepala gadis itu agar tenang. "Aku takut kamu beneran pergi... aku takut..."
"Aku disini... Aku nggak kemana-mana."
Yaya terus menangis. Menumpahkan seluruh penderitaannya selama ini pada Boboiboy. Hatinya sesak sekaligus lega. Boboiboy semakin mempererat pelukannya. Menenangkannya dengan sabar tanpa mengeluh sedikitpun. Ia bahkan tak merisaukan pundaknya basah karena air mata Yaya. Karena ia akan melakukan apa saja untuk gadis itu.
"Besok bakal ada polisi yang bakal interogasi lo." Gopal menatap lekat Boboiboy yang terduduk di ranjangnya. Cowok itu tak menunjukkan reaksi apapun, hanya tatapan datar menatap ke depan. "Kalo lo gabisa menjelaskan semuanya–"
"Apa itu perlu?" potong Boboiboy. Gopal terdiam, membiarkannya berbicara lagi. "Semuanya udah terjadi. Gue nggak ngerasa itu bakal membantu, semuanya bakal sia-sia."
"Seenggaknya lo dapet keadilan. Bokap lo–"
"Hampir bunuh gue. Itu 'kan yang mau lo ucapin?"
Gopal menghela napas lelah. "Boboiboy..."
"Gue nggak mau denger apapun tentang dia." Boboiboy berhenti sejenak untuk menarik napasnya yang terasa berat. "Semakin gue denger itu, semakin gue membenci diri gue sendiri. Kenapa gue nggak tau apapun soal ini. Kenapa gue tolol banget sampai nyokap gue jadi korban." Tangan Boboiboy tanpa sadar meremas selimutnya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya tiap ia berbicara. Rasanya sesak, tapi Boboiboy tak tahu bagaimana cara menghilangkannya.
"Gue menolak untuk diinterogasi. Gue nggak peduli hukuman apa yang bakal dia dapetin."
Gopal terdiam. Ia tak melempar argumen lagi dan beralih menepuk pundak sahabatnya. Masalah yang dihadapi Boboiboy bukan lagi hal sepele. Gopal takut jika dirinya terus melanjutkan argumennya, mental cowok itu akan down dan Boboiboy semakin hancur.
Tapi nyatanya, Gopal tak bisa melakukan apapun kala pintu terbuka dan sosok Kaizo muncul.
"Lo nggak mau minta keadilan buat nyokap lo?"
Suasana berubah tegang dan Gopal buru-buru menghampiri Kaizo untuk berhenti. Tapi Kaizo menepisnya, matanya berkilat tajam menatap kedua netra Boboiboy.
"Maksud lo–"
"Nyokap lo dibunuh, anjing! Dia diracunin sama bokap lo sendiri!"
"Terus? Gue harus apa, Kai? Semuanya udah nggak bisa diapa-apain lagi dan nyokap gue... nyokap gue nggak bakal balik lagi..."
Kaizo berdecak. Ia melempar dokumen yang ia bawa pada Boboiboy.
"Itu kasus bokap lo. Dia udah bersekongkol sama Adu Du semenjak lo nyelametin gue." ucap Kaizo. "Kalo lo tanya kenapa gue ikut campur masalah lo, itu alasannya."
Boboiboy melirik dokumen itu dengan tidak minat. Entah dari mana Kaizo mendapatkannya. Tapi yang Boboiboy tahu cowok itu terus gigih membantunya menyelesaikan masalah ini.
"Anggep aja gue balas dendam ke Adu Du. Dan lo perjuangin keadilan buat lo dan nyokap lo." katanya lagi.
"Lo tau apa yang paling gue sesalin sampai sekarang?" tanya Boboiboy. Kaizo dan Gopal terdiam. "Gue lahir di dunia ini..." lirihnya. Nada bicaranya terdengar tertahan, menandakan bahwa ia sangat sulit hanya untuk mengatakannya. "Seharusnya gue nggak pernah dilahirin."
Sampai akhirnya tangis Boboiboy pecah. Cowok itu terisak dengan tangan menutupi matanya. Orang bilang, cowok tidak ingin dirinya yang menangis dilihat siapapun. Dan selama ini Gopal serta Kaizo tak pernah melihat Boboiboy menangis. Membuat mereka yakin, Boboiboy tak sekuat yang mereka pikirkan.
"Gue udah sering bilang, kita selalu bersedia bantu lo." ucap Kaizo. Gopal menepuk bahu Boboiboy untuk menenangkannya. Sementara Kaizo kembali berbicara. "Karena lo adalah bagian kita. Lo keluarga bagi kita."
Waktu berlalu begitu cepat. Persidangan telah dilakukan dan Amato resmi dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena melakukan pembunuhan pada istrinya sendiri, dan hampir membunuhnya. Boboiboy tak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Haruskah ia senang? Atau sedih? Namun kenyataannya, ia tak merasakan apapun. Semuanya terasa hampa.
"Kita pergi?"
Boboiboy menoleh dan menemukan Yaya di sampingnya. Satu per satu telah meninggalkan ruang persidangan. Boboiboy mengangguk kecil. Baru menyadari ia melamun selama proses persidangan dan hanya sekali bertatapan langsung dengan Amato yang berada di kursi terdakwa. Masih ada rasa nyeri yang teramat di hatinya ketika menatap wajah itu. Tapi Boboiboy berusaha melupakannya, dan Yaya tak pernah melepaskan genggaman pada tangannya.
Keduanya melangkah pergi dari sana. Dan sampai di depan gedung pengadilan, Boboiboy tetap diam tak bersuara. Yaya tahu apa yang cowok itu pikirkan, namun ia tidak bertanya. Yang ia lakukan hanya menemaninya terus, memberitahu bahwa ia selalu di sisinya.
Sebuah taksi berhenti di depan mereka. Keduanya menaiki taksi itu, Yaya baru akan menyebutkan tujuan mereka saat tiba-tiba Boboiboy bersuara.
"Ke tempat pemakaman umum windara ya, Pak."
Yaya menoleh ke arah Boboiboy, membuat cowok itu menatapnya dan tersenyum. "Aku mau ketemu mama sebentar." ucapnya.
Senyum Yaya terukir dan ia mengangguk kecil. Sudah 2 bulan berlalu, Boboiboy pasti baru sempat mengunjungi sang ibu sekarang.
Taksi kemudian berhenti di depan sebuah pemakaman umum setelah setengah jam berlalu. Mereka turun dari mobil dan berjalan pelan di antara makam-makam. Suasana terasa sepi karena tak banyak orang berziarah. Yaya mengikuti langkah Boboiboy yang sedikit di depannya. Tak lama kemudian, mereka tiba di makam ibu Boboiboy.
"Assalamu'alaikum ma, apa kabar?" sapa Boboiboy. Ia sudah berlutut di samping makam ibunya, sementara Yaya berdiri di belakangnya dengan menundukkan kepala.
"Maaf Boboiboy baru dateng lagi, karena banyak yang harus Boboiboy urus..." lirihnya. Papan nama itu diusap pelan dengan tatapan rindu. Boboiboy tersenyum tipis. "Mama sekarang udah bisa tenang, karena Boboiboy udah baik-baik aja dan Papa udah dihukum dengan adil..." ucapnya tertahan. Bahunya diusap dengan pelan oleh Yaya, Boboiboy mengenggam tangan kecil Yaya, mengatakan tanpa suara kalau ia baik-baik saja.
"Maaf Boboiboy buat mama selama ini kesusahan, semuanya salah Boboiboy karena nggak tahu penderitaan mama selama ini. Andai Boboiboy tahu lebih cepat, pasti akan ada perbedaan ya, ma?" tanya Boboiboy pilu. Karena tak kuasa, Yaya ikut berlutut di sampingnya, memeluknya dengan sebelah tangan untuk menenangkannya. "Makasih udah rawat Boboiboy selama ini. Boboiboy nggak akan ngelupain mama. Mama yang tenang ya, disana?"
Ucapannya dibalas oleh hembusan angin lembut. Boboiboy menghela napas dan tersenyum pada Yaya. Gadis itu melepaskan pelukannya, mendekatkan tubuhnya pada makam ibu Boboiboy. Kini giliran Yaya yang berbicara.
"Tante, ini aku Yaya. Tante masih inget, 'kan? Maaf Yaya baru ngunjungin tante sekarang. Yaya minta maaf." ucap Yaya. "Walaupun Yaya baru ketemu tante sekali, tapi Yaya bersyukur bisa kenal sama tante. Tante orang yang baik dan ramah, pasti tante ibu yang baik buat Boboiboy. Makasih udah membuat Boboiboy lahir ke dunia ini."
Di sampingnya Boboiboy tersenyum haru. Rasanya sangat bahagia saat ada seseorang yang mensyukuri kehadirannya. Boboiboy semakin mempererat genggaman mereka, ia takkan membiarkan genggaman tangan itu terlepas.
"Boboiboy orang yang luar biasa, tante. Dia selalu kuat dan nggak pernah menyerah. Yaya suka sama dia dan mau buat dia bahagia terus. Tante ngizinin Yaya, 'kan?"
Boboiboy terkekeh di sampingnya. Diusapnya pipi Yaya dan mencubitnya pelan karena gemas.
"Boboiboy juga mau bahagiain Yaya terus, ma. Jadi mama juga harus bahagia disana, ya?"
Setelah puas berkunjung, Boboiboy dan Yaya pamit pergi untuk pulang. Keduanya sepakat untuk menaiki bus agar waktu mereka lebih lama. Tangan mereka yang tertaut itu diayunkan ke depan dan ke belakang sepanjang mereka berjalan.
"Kamu mulai besok sekolah?" tanya Yaya di tengah-tengah langkah mereka menuju halte.
Boboiboy mengangguk. "Iya. Aku udah tertinggal banyak pelajaran. Jadi harus mengejarnya sebelum kelas 12."
"Aku bakal bantuin kamu." kata Yaya.
"Aku terima tawaran itu dengan senang hati, Ibu Guru Yaya." jawab Boboiboy, membuat Yaya tertawa.
"Oh ya, Fang dan Ying apa kabar?" tanya Boboiboy kemudian. Ia sudah lama tak bertemu dengan dua sejoli itu.
"Baik. Fang nanyain kamu terus, mau ngajak main basket katanya. Ying juga baik kok, dia suka khawatir sama keadaan kamu setiap aku cerita."
"Kamu nggak cemburu?" goda Boboiboy.
"Buat apa cemburu? Ying kan sahabat aku, malah yang cemburu kayaknya si Fang, karena pacarnya khawatirin kamu terus." balas Yaya. Boboiboy tergelak.
Keduanya tiba di halte dan duduk di bangku yang tersedia sambil menunggu bus datang.
"Kalau ibu kamu?" tanya Boboiboy lagi. Yaya bingung sesaat namun dengan cepat mengerti.
"Baik-baik aja. Aku sama ibu aku juga udah baikan. Semenjak kejadian itu..." ucapnya menggantung karena takut dengan reaksi Boboiboy. Ekspresi wajah cowok itu berubah tegang sebentar, membuat Yaya buru-buru mengalihkan topik. "Aku udah ceritain tentang kamu. Kamu mau tau nggak reaksinya gimana?"
Alis Boboiboy terangkat. "Gimana?"
Yaya melebarkan senyumnya. Ia mendekatkan wajahnya pada Boboiboy dan membisikkan sesuatu. "Dia mau ketemu kamu."
Dan Boboiboy merasa jantungnya seperti berhenti berdetak saat itu juga.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
tbc
a/n
chap depan adalah ending yuhuuuu author senang sekali
