Sisa liburan tanpa kejadian yang berarti. Ino kembali dengan raut wajah cerah seperti biasa namun dengan senyuman yang membuat Sakura kehilangan kata-kata.

Sakura sudah memanggil kepala rumah tangga setelah ia bertemu Sasuke dua hari yang lalu dan menanyakan, dengan sangat menekan, tentang siapa orang yang memberitahu dan mengizinkan Sasuke untuk menggunakan kolam renang. Walau sedikit banyak ia bisa menebaknya. Tak ada orang lain di rumah ini yang bisa memberi instruksi kepada kepala rumah tangga selain dirinya dan Ino.

Sakura mengurut alisnya setelah mendengar jawaban dari kepala rumah tangganya. Namun tak mencabut instruksi yang sudah Ino berikan. Sakura tak mau membingungkan para karyawan dan membuat semua orang meragukan instruksi Ino ke depannya. Walau selalu memiliki lelucon kejam dan sedikit nakal, Ino tetap saja sepupu sekaligus sahabat terbaiknya.

Besok kuliah sudah akan dimulai kembali. Sakura yang sudah menyiapkan perangkat belajarnya, tersenyum saat mengeluarkan salah satu kemeja terbaru yang dibelikan oleh ibunya saat liburan kemarin. Kemeja berwarna karamel itu terasa lembut di tangannya dan akan sangat cocok jika dipadukan dengan jeans yang ayahnya orang tuanya masih saling menghubungi dan membuat kesepakatan tentang hal-hal mengenai dirinya.

Sakura berdiri di depan cermin besar setinggi dua meter. Memerhatikan pantulan dirinya sendiri yang sedang mengenakan hot pants biru muda dan tank top berwarna putih. Rambutnya sudah mencapai pinggang, terlihat tebal dan bergelombang dengan cara yang alami. Sakura menggenggam ujung rambutnya, mengangkatnya ke depan hidungnya. Ia menghirup wangi shampo kesukaannya dan pikirannya melayang pada dua hari yang lalu. Saat Sasuke melakukan apa yang ia lakukan sekarang.

"Sampai nanti, Sakura," ucap Sasuke saat itu. Tatapan mata pria itu lurus, menatapnya dengan perasaan tertarik yang teramat jelas. Senyuman miring yang diperlihatkannya membuat wajah pria itu terlihat lebih lembut.

Sakura memejamkan matanya. Sasuke sudah menunjukkan ketertarikannya secara terang-terangan. Tapi Sakura tetap merasa ragu sepanjang waktu. Ia juga tak memercayai apa yang sudah ia lakukan. Sikap impulsif itu seperti bukan dirinya. Ia sudah melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dan baru memikirkannya setelah semuanya sudah terjadi.

Apa yang harus ia lakukan setelah ini?

Ketukan di pintu menghentikan semua pemikiran mengenai Sasuke untuk sejenak. Namun kembali berlanjut setelah Ino masuk ke kamarnya dan dengan tanpa pertimbangan membahas orang yang sama.

"Kau baru mandi?" Tanya Sakura pada Ino. Ia bertanya karena Ino hanya mengenakan jubah mandi dengan rambut yang masih lembab setelah keramas. Sekarang masih bisa dikatakan tengah hari dan Ino tak pernah mandi di jam segini setahu Sakura.

"Aku habis berenang," jawab Ino sambil memasang senyuman manis. "Kau tahu siapa yang kutemui di kolam renang?"

Sakura menaikkan satu alis. "Sasuke?"

Ino bertepuk tangan. "Tepat," jawabnya ceria. "Dia hanya mengenakan celana renang. Ugh, dengan tubuh luar biasa dan wajah itu berada di kolam renang. Itu terlihat sangat gila."

"Kau... berenang bersamanya?" Sakura tak merasa senang dengan itu dan ia tak percaya telah merasakannya.

Ino menatapnya tak percaya. "Tidak." Tapi menjawab dengan senyuman nakal di wajahnya. "Ia sudah akan selesai saat aku datang. Ia menanyakanmu seperti biasa."

"Sasuke menanyakanku?" Ia sudah menghindari Sasuke selama dua hari ini karena tak tahu apa yang harus ia katakan pada pria itu. Ia juga merasa semuanya tak akan berakhir hanya sebagai obrolan jika ia berada di sekitar Sasuke. Kerja otaknya akan kembali berantakan dan ia hanya akan melemparkan dirinya lagi pada pria itu. Seperti wanita genit. Sasuke juga tak akan melakukan apapun untuk menghentikan diri mereka sendiri.

"Ia bertanya apakah kau tak berada di rumah karena kau tak terlihat sama sekali dua hari ini." Ino menjelaskan panjang lebar. "Hubungan kalian sudah sejauh itu tanpa aku ketahui? Dua hari tak bertemu dan ia mengatakannnya seperti itu sudah selamanya."

Sakura menggeleng. "Kau mengatakan hal-hal tak berguna lagi."

"Ya, sesuatu sudah pasti terjadi." Alih-alih tersinggung, Ino malah tersenyum lebar. "Coba kulihat. Saat menganggur kau biasanya berolahraga. Jika waktu menganggurmu panjang, kau pasti akan memilih renang setelah berjalan-jalan di taman bunga. Jadi kemungkinan kau bertemu dengannya adalah di taman bunga atau di kolam renang. Yang mana itu Sakura?"

Sakura menatap Ino dengan raut wajah tak percaya. Bagaimana mungkin sepupunya ini bisa begitu pintar dalam hal-hal tak berguna?

"Di kolam renang," jawab Sakura setelah menghela napas.

Ino tersenyum lebar. "Apa yang kau kenakan saat itu?"

Helaan napas lagi. "Bikini yang terakhir kau berikan."

"Hahaha." Tawa Ino terdengar keras di ruangan yang hanya ada mereka berdua. Sakura menjatuhkan dirinya di tempat tidur, menutup kepalanya dengan bantal sementara Ino menyimpulkan hal-hal sesuai keinginannya sendiri. Masalahnya tebakan Ino kebanyakkan benar dan Sakura tak selalu bisa menghindarinya. Tapi ia juga tak mau mengatakannya langsung kepada Ino.

"Diam Ino." Sakura mengerang, menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya termasuk kepala. Ino melompat ke tempat tidur, memeluknya dari balik selimutnya.

"Bagaimana rasanya mencium pria yang sangat jauh dari tipe idealmu?" Bisik Ino dan kembali tertawa.

00000

Seminggu berlalu tanpa kejadian berarti, lagi. Kecuali saat Sasuke berusaha bertemu dengannya sehari lalu dan dihentikan oleh asisten rumah tangga yang bertugas di lantai Satu. Tak seorang pun diizinkan untuk naik ke lantai dua selain para penghuninya. Tangga menuju lantai tiga berada di luar bangunan. Sedangkan tangga lantai dua berada di dalam. Jadi kemungkinan mereka untuk bertemu di dalam bangunan hampir mustahil terjadi.

Sakura dan Ino biasanya berangkat ke kampus dengan mengendarai sepeda masing-masing. Jika sedang bosan, Sakura juga akan mengenakan sepatu rodanya dan meninggalkan Ino yang berusaha memacu kencang sepedanya untuk menyamakan kecepatan Sakura yang gila-gilaan. Ino sudah mati-matian belajar menggunakan sepatu roda dan berakhir dengan lecet-lecet tanpa menghasilkan kemampuan yang memadai. Hal yang pada akhirnya Sakura jadikan bahan untuk mengganggu ego Ino selama bertahun-tahun.

Pagi ini Sakura berencana menggunakan sepatu rodanya untuk berangkat ke kampus. Ino yang bersungut-sungut sudah melaju lebih dulu dengan sepedanya ketika ia selesai bersiap-siap. Sakura tertawa sambil mengenakan ransel vintage cokelat mudanya. Rambutnya ia biarkan tergerai. Kemeja putihnya sengaja tak ia kancingkan, memperlihatkan tank top yang juga berwarna putih dengan tulisan hitam YOLO di bagian depan.

Cuacanya cerah dengan angin yang berembus segar. Suasana hatinya lumayan bagus. Ia berkeliling sebentar di halaman dan hampir beranjak pergi ketika ia melihat Sasuke yang muncul dari dari arah tempat tangga lantai tiga berada.

"Sakura."

Sakura menghentikan laju sepatu rodanya. Ia terlambat menjawab sapaan Sasuke setelah melihat seseorang yang berjalan dari balik punggung pria itu dan berhenti tepat di sebelah pria itu.

"Hai." Sakura menyapa singkat. Ia tahu wajah itu. Salah seorang penyewa lantai tiga, Hyuga Hinata. Orang yang menempati flat nomor lima, tepat di sebelah flat Sasuke yang menempati flat terakhir.

"Senang akhirnya melihatmu." Sasuke mendahului Hyuga Hinata dan berjalan dengan langkah panjang ke arahnya. Sakura yang tadinya sedang berdiri di ujung penahan sepatu rodanya kini mendekati pria itu.

"Sepatu roda yang bagus," komentar Sasuke sambil memerhatikan sepatu roda hitamnya saat mereka sudah berhadapan. Sakura melakukan hal serupa dan terkesiap ketika mengangkat pandangannya dan menatap langsung bibir pria itu. Ia sedang mengenakan sepatu roda. Jadi tingginya bertambah dengan drastis walau tak bisa melampaui tinggi pria itu. Keterkejutannya akan membuatnya jatuh ke belakang jika Sasuke tak memegangi lengannya.

"Terima kasih." Sakura mundur satu langkah. Ia menatap Hyuga Hinata yang sudah berdiri di belakang Sasuke. "Hai lagi," sapa Sakura.

"Hai." Jawab Hinata dalam senyuman manis. Gadis itu manis sekali, pikir Sakura. Dengan rambut hitam lurus dan warna mata kelabu yang teduh. Senyumannya menambah kesan feminin pada dirinya.

"Penyewa lantai dua ya?" Tanya Hinata dengan suara lembut. Suaranya bahkan terdengar lebih manis lagi. Sakura melirik Sasuke yang sejak tadi ternyata sedang menatapnya dalam diam.

"Ya," jawab Sakura singkat. Ia sebenarnya menghindari percakapan panjang dengan para penyewa. Satu pertanyaan bisa mengarah ke pertanyaan yang lain. Ia menghindari pertanyaan tentang jumlah penyewa di lantai dua.

"Aku sering melihatmu melalui beranda flatku," ujar Hinata ramah. Oh ya, tentu saja. "Kau dan temanmu yang berambut pirang selalu terlihat bersenang-senang."

Sakura tanpa sadar tersenyum. "Ya," jawabnya lebih ramah. "Kami pasti sangat berisik saat berada di halaman."

Hinata menggeleng.

Perhatian Sakura kembali pada Sasuke. Pria itu tentu sering melihat dan mendengar suaranya melalui beranda flatnya. Sakura seringkali melupakan para penyewanya dan bermain-main dengan Ino sepanjang waktu di halaman depan atau pun di taman bunga.

"Kenapa hanya aku yang sulit sekali melihatmu?" Sasuke menanggapi dengan alis yang bertaut. "Alih-alih berpapasan, aku bahkan tak bisa menemuimu ketika aku mau."

Sakura tertegun sejenak.

"Aku selalu di rumah jika tak sedang di kampus." Sakura cukup penyendiri. Secara umum ia tak memiliki masalah dalam hubungan sosial. Jadi ia memiliki cukup banyak teman. Tapi jika harus memilih antara keluar rumah atau tetap di dalam rumah, ia akan memilih pilihan yang kedua. Rumahnya sudah memberikan semua yang ia butuhkan. Hubungan sosialnya bagus namun tetap saja menguras banyak energinya.

Sasuke hanya menatapnya setelah mendengar apa yang ia utarakan. Sakura merasa sedikit canggung dan berniat pergi mendahului mereka. Ia tahu yang Sasuke maksud. Pria itu sedang membicarakan tentang larangan untuk mengunjungi lantai dua.

"Aku akan pergi duluan," ujar Sakura cepat.

"Itu cukup berbahaya," sahut Sasuke. "Jalanan ke kampus penuh dengan turunan dari sini. Aku selalu mendapat kesan bahwa kau tak suka melakukan hal ekstrim."

Sakura mengangkat bahu. "Selalu ada pengecualian," jawabnya ringan. "Lagipula aku sudah bersepatu roda selama bertahun-tahun. Ini bukan hal ekstrim bagiku."

"Benarkah?" Sasuke terlihat tertarik. "Ternyata memang ada pengecualian pada setiap hal yang tidak kau suka."

Sakura tak mungkin tak memahami maksud kalimat itu dan maksud dari tatapan itu. Sasuke mengacu pada apa yang sudah mereka lakukan waktu itu. Pria itu juga mengetahui bagaimana penilaian Sakura terhadap dirinya. Sasuke sama sekali tak terlihat tersinggung saat itu. Sekarang pria itu bahkan memiliki alasan lain untuk mendekatinya.

Sakura menggigit bibirnya. Pria seperti Sasuke tak pernah menjadi tipe idealnya. Mereka bertolak belakang dilihat dari berbagai sisi. Tapi sekarang, pria itu menemukan celah yang dulu tak pernah ada. Hal-hal seperti tipe ideal sudah tak berlaku lagi di sini. Sakura sangat menginginkan pria itu hingga terasa gila saat ia memikirkannya.

Sakura menelan ludah lalu mengecek jam tangannya. "Aku benar-benar harus berangkat lebih dulu, Sasuke. Dan senang bertemu denganmu, Hinata."

Sakura melaju kencang setelah itu, nyaris seperti melarikan diri. Ia tak berbohong saat mengatakan bahwa ia sudah hampir terlambat.

00000

Project kelompok selalu sangat melelahkan, pikir Sakura muram. Ia bukannya tak menyukai teman-temannya. Project kelompok itulah masalahnya, dan dirinya sendiri. Ia suka mengerjakan semuanya sendiri. Project individu adalah favoritnya. Berkelompok artinya mereka harus berdiskusi sepanjang waktu sebelum memutuskan semuanya. Terkadang diskusi itu bergerak ke arah yang salah dan berakhir menjadi debat.

Seperti sekarang.

Sakura menghela napas berkali-kali. Diskusi kali ini menguras lebih banyak energinya dibanding harus membongkar-pasang project individu yang ia anggap belum sempurna. Ia tak bertindak sangat aktif dalam diskusi, tapi juga tak menerima begitu saja hal-hal yang diputuskan secara sembarangan. Ia cukup memberikan pendapatnya dengan semua fakta yang sudah sama-sama mereka pelajari di semester lalu. Namun selalu ada saja orang-orang yang sangat suka mendebatkan apapun untuk bisa terlihat mencolok di situasi yang mereka anggap menguntungkan.

"Ini adalah project kelompok dan kita sudah menyepakati hal-hal tertentu sebelumnya." Gaara selaku ketua kelompok menengahi. Tujuh pasang mata terarah pada pria itu, temasuk Sakura.

Sejauh ini Gaara merupakan ketua yang bagus dan cukup tenang. Pria itu juga memiliki wibawa yang membuatnya tampak lebih dewasa dan mudah disegani. Perkataannya juga selalu masuk akal dan sangat sesuai dengan apa yang Sakura pikirkan. Memiliki rambut merah menyala dan mata yang tajam. Sakura pikir setidaknya Gaara akan menaikkan suara sekali-kali. Pria itu sama sekali belum pernah melakukannya.

"Menambahkan sesuatu yang baru, artinya kita harus memulai dari awal lagi," sambung Gaara. Dua orang yang tadinya hampir bertengkar terlihat ingin mendebat.

"Kita harus menghitung dari awal, membuat kembali desainnya. Kalian yakin ingin mengulanginya lagi sementara kita masih harus mencari material yang kita butuhkan?"

Sakura tak masalah jika memang itu diperlukan. Ia biasa melakukannya saat sedang melakukan project individu. Tapi project mereka sejauh ini terlihat baik dan berjalan lancar. Tak ada alasan untuk melakukannya.

"Sejujurnya project kita sudah sangat baik." Sakura akhirnya mengeluarkan pendapatnya. Gaara mengangguk setuju tapi belum mengatakan apapun.

"Aku sendiri tak menemukan celah yang membuat kita terpaksa untuk mengulang," tambahnya. "Seperti yang ketua katakan, kita masih harus mencari material yang dibutuhkan dan detail lainnya. Perjalanan kita masih sangat panjang. Kita bisa saja tak menyelesaikannya tepat waktu hanya karena mencari kekurangan yang sebenarnya tak ada."

Sakura menekan kalimat terakhirnya dengan suara yang lebih tegas. Ia lelah dan lapar. Kelas sudah selesai sejak dua jam yang lalu dan mereka masih berada di kelas hanya untuk membahas hal yang itu-itu saja.

Tampaknya apa yang ia katakan cukup keras hingga membuat semua orang terdiam. Ia adalah salah satu mahasiswa dengan ipk tertinggi di fakultasnya sejak semester awal. Dan menjadi yang tertinggi di kelasnya. Ia tak percaya hal itu bisa membantunya pada saat-saat seperti ini.

"Bermanfaat sekali, nilai-nilaimu itu." Gaara yang mengkutinya sejak tadi mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Bukannya merasa terganggu, Sakura nyaris terbahak berkali-kali.

Gaara sudah mengeluhkan posisinya sebagai ketua setelah mereka keluar kelas tadi. Pria itu sepertinya sudah menahan diri sejak kelompok mereka terbentuk. Sangat mengejutkan, karena pria itu selalu terlihat tenang dan penuh dengan kepercayaan diri. Gaara juga termasuk mahasiswa berprestasi.

Mereka sudah berada di kantin dan memilih pesanan mereka. Sakura merasa heran dengan Gaara yang masih mengikutinya sampai ke sini. Semakin heran dengan pilihan kantinnya saat ini. Tempat favorit Ino. Tak jauh dari Wall Climbing berdiri.

"Kau sering ke kantin ini?" Gaara bertanya setelah mereka duduk di depan meja dengan makanan yang sudah siap disantap di hadapan mereka.

"Tidak juga," jawab Sakura singkat. Ia menyuap nasi ayam lada hitamnya dan mengunyah cepat. Menaikkan satu alis ketika melihat Gaara yang tergelak menatapnya.

"What? Why are you laughing?"

Gaara menggeleng dan terkekeh. "Enjoy your lunch, Sakura."

Sakura menatap Gaara dengan mata yang menyipit. "You too."

Mereka selanjutnya hanya membahas tentang project mereka dan betapa konyolnya debat hari ini. Gaara mentraktirnya es krim yang Sakura terima dengan cengiran dan acungan jempol. Percakapan mereka menyenangkan karena Gaara bukan tipikal mahasiswa pintar yang kaku dengan pendapat yang tak mau dipatahkan. Dibalik penampilan rapi, sikap dewasa dan otaknya yang pintar, Gaara juga memiliki humor yang bagus.

"Sakura?" Suara yang menyapanya dari belakang terdengar familiar. Sakura berbalik hanya untuk mendapati Sasuke yang berdiri di sana, di belakang Hinata yang tadi menyapanya. Mereka membawa nampan makan masing-masing.

Mereka bersama lagi, pikir Sakura. Ia sangat sering melihat Hinata dan Sasuke yang berangkat ke kampus bersama-sama melalui jendela kaca kamarnya. Ia tak bisa menanyakan pada siapa pun tentang hubungan mereka sementara ia dengan tanpa alasan menghindari Sasuke sepanjang waktu. Itu mungkin membuat Sasuke lelah degannya setelah mencoba beberapa kali menemuinya.

Ia tersenyum, menutupi perasaan tak nyaman dalam hatinya. "Hinata."

"Aku tak pernah melihatmu di sini sebelumnya," ucap Hinata dalam senyuman. Raut wajahnya terlihat tulus dan tak dibuat-buat. "Bolehkah Sasuke dan aku bergabung?"

Sakura menatap Gaara, bertanya tanpa suara. Dan pria itu hanya mengangkat bahu menyetujui.

Hinata mengambil tempat di sebelahnya dan Sasuke berada tepat di hadapannya setelah Gaara bergeser sedikit. Mereka saling memperkenalkan diri sebentar dan obrolan mengalir begitu saja. Namun Sasuke berpamitan lebih dulu setelah menghabiskan makan siangnya. Sakura bisa melihat pria itu yang mengeluarkan rokok dari dalam sakunya sembari berjalan keluar kantin.

"Permisi sebentar." Sakura berpamitan pada Gaara dan Hinata.

"Apa kau akan meninggalkan kami di sini?" Tanya Gaara dengan ekspresi tak terima yang dibuat-buat.

Sakura tertawa. "Jika aku tak kembali dalam lima menit, kalian bisa menganggapnya begitu."

00000

"Bagaimana rasanya?" Sakura bertanya pada Sasuke yang sedang menghisap rokoknya. Mereka sedang berada di area khusus untuk merokok. Sakura menautkan alisnya. Ia sering melihat Sasuke yang merokok di dekat wall climbing. Ia tak menyangka pria itu akan repot-repot berjalan ke tempat ini hanya untuk merokok.

Sasuke menatap bibirnya untuk sejenak, dan naik ke matanya. Sakura tak bisa memalingkan mukanya bahkan ketika jantungnya berdebar sangat keras. Sasuke terlihat muram sejak di kantin tadi. Pria itu terlihat sedikit berbeda dari terakhir kali mereka bertemu, yang berarti satu bulan yang lalu.

"Kukira kau tak mau lagi berbicara denganku," ujar Sasuke dengan suara rendah. Hampir seperti gumaman. Tapi Sakura bisa mendengarnya dengan jelas. Sakura menggigit bibirnya. Terkejut ketika Sasuke menyentuh dagunya, menatapnya dengan raut wajah sulit ditebak.

"Apa kau menyesali apa yang terjadi waktu itu?" Tanya Sasuke. "Apa kau ingin melupakannya dan menghindariku selamanya?"

Sakura melirik sekitar. Tempat yang terlihat seperti pemberhentian bus tanpa bangku itu hanya ditempati mereka dan seorang mahasiswa yang kini sudah melangkah pergi. Tak banyak mahasiswa yang mengikuti aturan dan merokok di sini. Mereka biasanya merokok secara bebas di lapangan terbuka kampus atau di arena olahraga. Dan bila memungkinkan, beberapa akan merokok di ruang kelas umum yang kosong.

"Apa yang sedang kau cari?" Suara Sasuke terdengar sama muramnya dengan raut wajahnya. "Apa kau tak mau terlihat bersama orang dengan penampilan sepertiku?"

Sasuke tak menaikkan suaranya. Dan dibanding marah, pria itu terdengar kecewa. Sakura menggeleng cepat. Ia sudah tak lagi memikirkan tentang bagaimana penampilan Sasuke. Ia hanya tak tahu harus berbuat apa. Ia tak pernah bertemu dengan pria seperti Sasuke sebelumnya.

Sakura yang tak tahu harus berbuat apa, merebut rokok dari tangan Sasuke dan mendekatkan ke bibirnya sendiri. Ia terbatuk tepat setelah ia menghisapnya. Sasuke dengan cepat mengambil rokoknya kembali, membuangnya ke lantai dan menginjaknya hingga hancur.

"Apa yang harus kulakukan padamu?" Tuntut Sasuke sambil mendorong bahu Sakura ke dinding. Tatapan pria itu kini terlihat lebih tajam.

"Apa aku harus menciummu sepuasku di sini seperti yang aku mau?" Ia bertanya sambil mendekatkan wajah mereka. "Atau membawamu ke flatku dan menciummu di tempat tidurku? Bagaimana menurutmu, Sakura?"

Uchiha Sasuke adalah orang yang berbahaya, putus Sakura. Pria itu tak melampiaskan kemarahannya dengan amukan dan suara tinggi, melainkan bisikan dan godaan tanpa henti. Tubuh Sakura tersentak saat Sasuke menempelkan bibir pria itu di lehernya, menggigitnya sebelum menghisap kuat.

"Aku sangat menginginkanmu, Sakura," bisik Sasuke di telinganya. "Kupikir cuma itu," lanjutnya. "Tapi aku juga merasa cemburu."

Sakura bernapas keras ketika bibir Sasuke pindah ke ujung bibirnya. Ia kehilangan tenaga untuk menghindar. Kaki-kakinya juga terasa lemas.

"Sabaku Gaara." Nama itu Sasuke ucapkan di antara bibir mereka yang sudah menempel. "Pria dengan penampilan rapi, santun dan terlihat cerdas. Seseorang yang akan diterima dimana pun ia berada. Seseorang yang akan lebih kau pilih dibanding orang sepertiku."

"Sasuke," bisik Sakura. Pria itu melumat bibirnya perlahan. Menghentikan apapun yang ingin Sakura katakan.

"Tapi Sakura," lanjut Sasuke di antara ciuman mereka. Sakura terengah saat pria itu mendorong tubuhnya ke dinding, menekannya dengan tubuhnya yang kuat. "Pria seperti itu tak akan memuaskanmu."

Ciuman Sasuke semakin menuntut. Sakura tak melakukan apapun selain menerimanya seperti waktu itu. Ia membalas ciuman Sasuke dengan gairah yang lebih besar dari sebelumnya.

"Aku tahu keinginan terdalammu dibalik sikap anggun dan raut wajah dingin itu." Tangan Sasuke yang sejak tadi berada di dinding, menelusup ke punggungnya. Terus naik dan mencengkeram kerah bagian belakang kemejanya. Tangan Sasuke yang satunya memegangi dagunya, membuatnya mendongak, menerima ciuman yang jauh lebih dalam lagi.

Lalu Sasuke dengan seketika menghentikan ciuman mereka. Sakura memajukan wajahnya ketika bibir Sasuke menjauhi bibirnya. Pria itu menjilat bibirnya sendiri. Lalu tersenyum. Gerakan Sakura yang terlihat jelas meminta lebih, menguatkan apa yang dikatakan Sasuke sebelumnya. Wajah Sakura terasa panas. Sasuke menanggapinya dengan kecupan di kening sambil mengulum senyum.

"Jadi Sakura, apa kau akan menghindariku lagi setelah ini?" Tanya Sasuke setelah napas mereka kembali normal.

Sakura menggeleng.

Sasuke kembali tersenyum.

"Apa aku boleh bergabung di climbing wall?"

"Kau ingin pulang bersama?"

Mereka bertanya serentak.

"Tentu."

"Ya."

Dan menjawab serentak pula.

Sakura menunduk, menggigit bibirnya saat melihat senyuman Sasuke lagi. Ini mungkin terlihat seperti hubungan mereka hanya sebatas keinginan fisik. Tapi Sakura tahu yang sebenarnya lebih dalam dari itu. Masing-masing mereka merasa cemburu. Sasuke mendekatinya tanpa menyerah. Dan Sakura tak bisa menghilangkan pria itu dari dalam benaknya bahkan setelah menghindar berkali-kali.

Climbing Wall mempertemukan mereka. Kolam renang memaksa mereka menunjukkan keinginan terdalam mereka. Dan tempat ini. Tempat konyol ini, membuat mereka mengakui perasaan mereka sendiri dan kesepakatan untuk bertemu kembali, lebih sering lagi.

Sakura tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi Sasuke yang berjiwa bebas membuatnya berhenti berpikir dengan cara yang rumit. Ia hanya ingin menikmati momen saat ini. Dan seperti yang Sasuke katakan, pria lain tak akan cukup dan tak akan membuatnya puas.

So much desires, kata Ino.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Sasuke sambil mengaitkan jemari mereka.

Sakura hanya tersenyum.

Sasuke menatapnya dengan raut wajah serius. "Mau berciuman lagi?"

00000

Rumah ini sangat besar dan indah, pikir Sasuke setelah mengamati setiap sudut luar bangunan setinggi tiga lantai di hadapannya. Ia sudah berkeliling dan berjalan-jalan di taman bunga samping rumah. Sekarang ia sedang berdiri di bagian belakang bangunan yang juga didominasi taman bunga yang lebih luas. Di ujung terjauh taman bunga terdapat sebuah tembok tinggi yang dilapisi rumput sintetis berwarna hijau tua. Bingkai pintu yang terlihat di tengah-tengah tembok dihiasi tanaman rambat dan bunga-bunga. Terlihat seperti sebuah pintu yang akan membawamu ke negeri dongeng.

Sasuke memerhatikan tembok itu cukup lama, mempertimbangkan apakah ia harus melihat lebih jauh atau bertanya dahulu kepada salah satu pengurus rumah di lantai satu. Ia sudah menandatangani surat sewa tadi pagi untuk menempati flat terakhir di bangunan besar ini dan sudah membayar penuh untuk satu tahun. Sasuke belum mengetahui peraturan apa saja yang harus ia patuhi di tempat ini karena pengurus yang bertanggung jawab terlihat cukup sibuk pagi ini. Tapi ia sudah diberitahu bahwa ada peraturan-peraturan tak tertulis di tempat ini.

Sasuke memutuskan untuk menunggu. Ia mendongak, memerhatikan dinding belakang lantai dua yang sepenuhnya terbuat dari kaca yang gelap. Flat sewaan lantai dua kelihatannya dibuat lebih mewah, dilihat dari sudut luar mana pun. Sasuke tak begitu peduli dengan kemewahan, karena yang ia butuhkan hanya tempat tinggal layak dan dekat dari kampus sehingga ia tak perlu berkendara jauh setiap harinya. Tempat ini sendiri merupakan keberuntungan baginya, karena ternyata sangat nyaman dan cukup luas untuk ia tempati sendiri. Setelah beberapa bulan dan jika ia betah, ia berencana untuk melunasi sewa sampai kuliahnya selesai.

Seseorang datang dari arah depan rumah dan berjalan mendekat padanya. Itu adalah orang yang sama yang ia temui tadi pagi.

Orang itu membungkukan tubuhnya, memberikan kesan seperti seseorang yang sangat dapat diandalkan dalam pekerjaannya. Sasuke membalas dengan bungkukan yang sama untuk menunjukkan sikap terbaiknya. Banyak orang cenderung berpikiran negatif ketika melihat penampilannya. Ia tak berniat untuk mengubah dirinya seperti kebanyakan orang meski harus bekerja lebih keras agar orang-orang bisa memahami sisi baik dari dirinya.

Ia berpenampilan seperti preman, anak-anak nakal. Dan tubuhnya lebih tinggi dan besar dari kebanyakkan orang yang ia temui. Tapi ia tak pernah satu kali pun berniat menyakiti orang lain secara fisik maupun psikis. Ini hanya penampilannya. Ia yakin sekali ia tak berbahaya.

"Selamat siang, Tuan Uchiha."

"Selamat siang, Tuan Hashiburo." Sasuke membalas sapaan pria berusia sekitar akhir tiga puluh tahun itu dengan nada formal.

"Sudah puas melihat-lihat?" Tuan Hashiburo bertanya dengan nada lebih ramah daripada tadi pagi, saat pertemuan pertama mereka. Pria dengan tinggi sekitar satu koma delapan meter itu melangkah mundur satu langkah agar tak terlalu mendongak ketika harus menatapnya. Tinggi tubuhnya seringkali membuat orang merasa terintimidasi. Namun pria di hadapannya ini terlihat biasa-biasa saja. Sasuke merasa cukup senang dengan kenyataan itu.

Sasuke mengangguk, mempertimbangkan untuk bertanya mengenai tembok tinggi di ujung terjauh taman bunga.

"Ada sesuatu yang ingin anda tanyakan?" Tanya Tuan Hashiburo setelah menjelaskan beberapa hal. Pria itu jelas terlihat seperti penampilannya, pikir Sasuke. Sangat bisa diandalkan dan sangat peka.

"Hm, boleh saya tahu apa yang berada di balik tembok itu?"

Sasuke kira pertanyaannya akan sedikit mengganggu. Tapi tanggapan pria itu di luar dugaannya semula.

"Itu kolam renang. Anda boleh mengunjunginya dan menggunakannya. Tapi jangan beritahu orang lain mengenai hal itu." Tuan Hashiburo tersenyum. "Anggap saja anda sedang beruntung."

00000

Apa yang harus ia lakukan setelah mencium seorang gadis?

Sasuke memikirkan itu puluhan kali dan belum menemukan jawaban yang meyakinkan di dalam kepalanya. Sebuah ciuman yang liar di tepi kolam renang, dengan hanya memakai pakaian renang. Ia tak menyangka bisa keluar dari situasi berbahaya itu mengingat bagaimana dengan intimnya Sakura menempatkan diri di atas pangkuannya. Gadis itu juga menyentuh tubuhnya dengan jemarinya yang lentik.

Sasuke menarik napas dengan keras. Ingatan itu membuat tubuhnya mendamba lebih banyak. Ia memaksa dirinya untuk memikirkan hal lain selain Sakura dan bibirnya yang manis, juga kolam renang. Tapi berakhir dengan memikirkan Sakura dan bagaimana rasanya mendekap gadis itu di depan wall climbing waktu itu. Dialog di dalam kepalanya akan dimulai dengan kata Sakura dan berakhir juga dengan kata Sakura. Hal itu akhirnya membuat ia menyerah dan memutuskan untuk menemui gadis itu lagi.

Tapi Sakura tak bisa ditemukan dimana pun sekeras apapun ia berusaha. Gadis itu seolah lenyap seperti sebuah mimpi indah dalam tidur malamnya.

Apakah Sakura menghindarinya?

Ia tahu Sakura berusaha menahan keinginannya sendiri. Gadis itu, dengan wajah cantik dan penampilan yang elegan, terlihat tak berkeinginan untuk memiliki keterkaitan dengan Sasuke yang berantakan. Tapi Sasuke tahu. Ia sudah cukup banyak menerima tatapan semacam itu. Tatapan dari seseorang yang mendamba namun merasa Sasuke adalah orang yang tidak tepat bagi mereka. Ia tak menyalahkannya. Penampilannya tak membantunya mengundang seseorang seperti Sakura untuk masuk ke dalam kehidupannya.

Mereka hanya merasa tertarik padanya, secara fisik, secara seksual.

Sakura mungkin sama.

Perbedaannya adalah, Sasuke juga merasakan hal yang sama terhadap Sakura. Ia menginginkan Sakura hingga gila rasanya. Ia kira satu ciuman akan cukup baginya. Tapi ternyata jauh dari itu. Jadi ia mencium Sakura lagi di halaman belakang rumah. Namun itu masih belum cukup juga.

Ia mencari Sakura sepanjang waktu. Menahan malu ketika berniat pergi ke lantai dua dan dihadang oleh dua orang penjaga di lantai satu.

Keinginan seksual itu membuatnya memikirkan Sakura sepanjang waktu. Memaksanya mengingat setiap ekspresi gadis itu bahkan jauh sebelum mereka berbicara di depan wall climbing waktu itu. Gadis yang menonton climbing wall dengan segudang camilan dari dalam tasnya. Gadis yang seringkali duduk sendirian, menyilangkan kakinya yang jenjang dan bertepuk tangan kecil saat Sasuke berhasil mencapai puncak wall climbing.

Kesenangan yang ia rasakan pada saat-saat seperti itu terasa sangat nyata. Sampai ia sadar bahwa itu bukan lagi hanya sebatas keinginan fisik belaka.

00000

Kecemburuan itu membuat kepalanya terasa sakit. Ia juga tak pernah merasa penampilannya begitu buruk sampai ia melihat pria berambut merah yang tersenyum sambil menatap Sakura dengan ketertarikan yang sangat jelas di matanya. Pria itu terlihat seperti seseorang yang akan Sakura kencani.

Sasuke berusaha menormalkan detak jantungnya sendiri dan memaksa dirinya untuk berpikir rasional. Sesuatu yang biasanya terasa normal ia lakukan.

Ia berkepala dingin, sangat tenang bahkan di situasi yang berbahaya sekali pun. Ia sangat sangat jarang marah, hampir tak pernah menaikkan suaranya dan selalu berpikir lebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Ia penuh dengan perhitungan.

Tapi Sakura membuatnya berantakan. Gadis itu mengenalkannya pada berbagai emosi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya; rindu, ambisius dan cemburu. Sasuke belum yakin apakah ini bisa dikatakan baik atau buruk. Yang pasti perasaan itu kini menyerangnya dengan serentak dan rasanya sama sekali tak menyenangkan.

"Haruskah kita menyapa Sakura?" Hinata yang berdiri di sebelahnya, di dalam kantin terdekat dari wall climbing, bertanya dengan ragu-ragu.

Sasuke mencoba dengan keras mengendalikan ekspresinya agar tak membuat adik sepupunya itu takut. Hinata terlalu lembut dan mudah takut. Sangat berbeda dengan Sakura, yang walau pun terlihat feminin, namun memiliki kesan tegas dan keras kepala dari tatapan matanya.

Sekarang ia bahkan membandingkan sepupunya sendiri dengan Sakura, keluh Sasuke di dalam hati.

Sasuke mengangguk. Sulit mengendalikan perasaannya saat ini. Jadi ketika mereka memutuskan untuk bergabung di meja yang sama dengan Sakura dan teman prianya, Sasuke menghabiskan makan siangnya secepat kilat dan berpamitan lebih dahulu.

Ia butuh rokok untuk menenangkan dirinya.

Tapi Sakura mengikutinya.

Sasuke yang tadinya berniat merokok di depan wall climbing akhirnya memutar arah dan berjalan cepat menuju tempat itu. Tempat khusus perokok yang sangat jarang dipenuhi orang lain.

Sakura masih mengikutinya.

00000

Saat klub sedang aktif, taman sekitaran wall climbing biasanya didominasi oleh para gadis yang membuat suasana menjadi ramai. Sorak-sorai dan tepuk tangan akan terdengar ketika salah satu dari mereka berhasil mencapai puncak. Tapi sejak beberapa waktu belakangan, penonton pria bertambah dengan sangat drastis.

Sasuke tahu alasannya. Keberadaan Sakura yang kini sedang memanjat di depan sana seperti sebuah angin segar bagi para mahasiswa yang berlalu-lalang. Sasuke menatap Sakura yang sudah bisa memanjat lebih tinggi dari rekor yang sudah gadis itu capai satu minggu yang lalu. Merasakan kebanggaan tersendiri ketika gadis itu tanpa ragu-ragu menapak dan memilih pegangannya.

T-shirt krem Sakura sudah dipenuhi kapur di bagian pinggang. Sasuke tak bisa menahan senyumannya ketika memerhatikan hal itu. Sakura sudah semakin ahli namun belum bisa mengendalikan tangannya ketika mengambil kapur dari dalam kantung.

"Jadi ini alasan kenapa kau selalu menghilang saat jam kosong." Seorang mahasiswa yang duduk tak jauh darinya berbicara pada teman di sebelahnya, yang dibalas dengan senyuman lebar oleh pria berambut pirang itu.

Sasuke menatap pria itu. Cukup tampan dengan pembawaan yang menyenangkan. Ia mengerutkan alis.

"Dia sangat hebat dan cantik."

Sasuke mengerucutkan bibirnya dan mengalihkan perhatiannya kembali pada Sakura. Hebat dan cantik. Sasuke menyetujui penilaian itu. Sakura menguncir tinggi rambut panjangnya. Melipat sedikit ujung lengan t-shirtnya. Wajahnya hanya dipoles sunblock dan bedak tipis-tipis yang Sasuke yakin sudah luntur karena keringat. Warna bibirnya lebih merah dari kebanyakkan orang bahkan tanpa harus menggunakan lipstick. Tapi Sasuke sering melihat Sakura yang memoleskan lipstick yang sedikit memudarkan warna merah alami bibirnya. Sakura tampaknya suka tampilan yang lebih natural dan tak mencolok.

Tapi saat ini gadis itu terlihat begitu mencolok. Dengan kulit sempurna, tatapan cerah, keringat yang mengalir di dahinya ke bawah leher, dan berakhir di balik pakaiannya. Warna merah alami bibirnya melengkapi penampilannya yang menawan.

Sasuke menghela napas. Ia tak pernah memikirkannya sejauh itu hingga saat ini. Daripada penampilan, sikap Sakuralah yang menariknya sejak awal. Seseorang yang tak akan terintimidasi oleh penampilannya dan tahu dengan jelas apa yang ia inginkan. Sakura dipenuhi kepercayaan diri namun mampu menampilkan kesan misterius yang membuat orang tergila-gila. Dan di atas itu semua, Sakura membuatnya jatuh cinta.

"Betah di sini?" Sasuke bertanya sedetik setelah Gaara menempatkan diri di sebelahnya. Ia sudah melihat pria itu sejak tadi. Tapi Gaara baru menempatkan diri di sebelahnya setelah sebelumnya duduk di sudut yang lain.

Gaara sudah menjadi pengunjung tetap semenjak Sakura bergabung di klub climbing wall. Pria berambut merah itu sama sekali tak menutupi ketertarikannya terhadap Sakura namun juga tak melakukan apapun yang mungkin akan membuat Sasuke jengkel. Gaara hanya menonton, menyapa. Terkadang mengambil waktu Sakura dengan mendiskusikan project kelompok yang tak Sasuke pahami. Sakura sendiri menanggapinya dengan alami, nyaris seperti seorang pebisnis handal. Jadi Sasuke tak memiliki alasan untuk merasa keberatan. Sakura tak menunjukkan ketertarikan khusus pada pria selain dirinya.

"Alismu berkerut sepanjang waktu." Gaara hampir tertawa ketika mengatakannya. "Kau terlihat semakin menyeramkan."

Sasuke mengangkat bahu. "Aku tak bisa selalu mengendalikan raut wajahku."

Gaara menatapnya dengan tatapan menilai. "Apa kau cemburu?" Tanya Gaara ringan.

"Iya dan tidak," jawab Sasuke demokratis.

Gaara memberinya tatapan mengasihani, yang terasa tak menyenangkan. Pria ini selalu berbicara kejam padanya dan berubah manis saat bersama Sakura.

"Kau harus menahannya," lanjut Gaara. "Sakura adalah bintang di fakultas kami. Kenyataan itu, ditambah penampilannya. Walaupun aku ragu ia menyadarinya."

"Aku baik-baik saja," ujar Sasuke tegas. "Tak peduli berapa banyak pria yang menatapnya asalkan ia hanya menatapku." Ia kembali mengangkat bahu.

"Show off." Gaara mendengus.

Sasuke menggeleng serius.

"Kau benar," ucap Gaara serius. "Kita tak bisa menahan setiap mulut yang berbicara dan menutup setiap mata yang melihat." Pria itu kini tersenyum lebar. "Kau juga tak bisa menahanku untuk berbicara dan mengaguminya. Mau bagaimana pun, aku adalah teman sekelasnya, satu kelompok dengannya selama satu semester."

Sasuke tertawa tak percaya. "Terserah kau saja," katanya.

Aku tinggal satu atap dengannya, pikir Sasuke tak mau kalah. Dan tak percaya telah memikirkannya.

Sangat kekanakkan.

00000

Mereka bergandengan tangan menelusuri taman bunga di belakang rumah dan berlama-lama saat berada di bagian bunga mawar. Sakura sangat menyukai mawar. Mawar merah adalah favoritnya. Sakura suka strawberry smoothies dan cake favoritnya adalah red velvet. Dari yang bisa Sasuke lihat, Sakura suka hal-hal berwarna merah walau tak pernah memakai pakaian berwarna merah.

Hal ini membuat Sasuke memikirkan satu hal.

"Apa kau akan suka jika aku membelikan t-shirt atau dress berwarna merah saat ulang tahunmu?" Tanya Sasuke serius.

Sakura tertawa pelan. "Bukankah hadiah ulang tahun seharusnya menjadi kejutan?"

Sasuke mengangkat bahu. "Aku lebih suka memastikan langsung daripada mengira-ngira."

"Sangat tipikal dirimu. Fakultas bisnis juga sangat cocok untukmu," kata Sakura dengan suara lebih ceria. "Aku akan senang asal kau tak memberiku sebungkus rokok."

"Aku perlu mengatakan sesuatu mengenai hal itu," ujar Sasuke dengan nada ringan. "Aku sudah mengurangi kebiasaan merokokku. Walau belum bisa berhenti sepenuhnya."

Mata Sakura melebar. "Benarkah?" Ia bertanya dengan nada tak percaya. "Terakhir kali kau terlihat tak bisa hidup tanpa itu."

Sasuke menyipitkan matanya, yang dibalas Sakura dengan cengiran lebar. Sasuke menunduk, memberi kecupan singkat di bibir merah Sakura. Gadis itu membuka mulutnya lalu menutupnya kembali. Kemudian dengan tanpa malu menutup mata dan mendongakkan kepalanya. Sasuke menggeleng, menggigit bibirnya sendiri agar tak tersenyum lebar. Ia kembali menunduk dan memberi satu kecupan lagi di bibir Sakura.

"Mau ke kolam renang?" Tawar Sakura.

Sasuke menatap tak percaya. Ia tak mungkin tak memahami maksud gadis itu. Sakura semakin berani akhir-akhir ini dan itu justru terlihat menggemaskan. Karena ketika melakukannya, wajah Sakura akan merah padam.

Sasuke berpikir sejenak.

"Mau melihat-lihat flatku saja?" Ia bertanya setelah mempertimbangkan.

Wajah Sakura semakin memerah hingga ke telinga. Sasuke menahan dirinya untuk tak bertindak gila dengan menyudutkan gadis itu di tengah-tengah taman bunga yang bisa didatangi siapa saja. Walaupun ia sudah pernah mencium Sakura tak jauh dari tempat ini juga. Tapi kali ini, keinginan Sakuralah yang lebih penting.

Sasuke menatap Sakura, menunggu jawabannya. Terasa seolah tempat ini kian indah saat Sakura dengan yakin menganggukkan kepalanya. Sasuke mengeratkan genggaman tangan mereka dan tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

Apakah Sakura memang selalu secantik ini?

00000

FIN