! Trigger Warning : Mental breakdown. Transphobia. Gender Dysphoria. Mentions self-harm behavior. Suicidal thought. Underage Drinking !

First of all, apologize for the mess of my writing because it's been a long time since I made one. Furthermore, I am in love with the bonds between Yatora and Yuka.

All hail to Yamaguchi Tsubasa for creating a magnificent work like Blue Period.

Please keep in mind you can always click the back button.

No one is forcing you to read this fanfiction.

And then, enjoy :D


Krik krak krik krak–

Manik Yuka tak lepas dari sebilah cutter yang dimainkan tangan kanannya, naik turun tanpa kepastian untuk berhenti. Tampaknya merk ini memproduksi desain baru dan meskipun Yuka bukan pembeli impulsif, kapan dia pernah menahan diri guna memenuhi koleksinya? Gagangnya bahkan berbentuk simpel, berwarna pastel senada dengan kulitnya, pasaran. Bilahnya berkilat oleh sinar lampu-lampu yang mulai temaram, uh sumber penerangan di toilet umum sangat buruk, bahkan mata pisau cukurnya terlihat lebih tajam.

Namun, untuk waktu yang cukup lama pikiran Yuka bahkan tidak berada pada barang di depan matanya, bilik yang ditempatinya maupun aroma khas toilet pria yang menyaingi bau telur busuk.

Rambutnya tergerai menyentuh sisi kloset. Keringat menuruni sisi wajahnya. Ah, dia mungkin perlu memperbaiki makeup-nya nanti.

"Berhenti berpenampilan seperti orang aneh. Lulus dari sekolah berarti segera menyadari posisimu di masyarakat. Bukankah sudah cukup kau mempermalukan kami?"

Untuk kesekian kali dalam hidup Yuka, dirinya jemu mendengar bentakan ayah diiringi tangisan tertahan ibunya memohon agar dirinya menjadi normal kembali. Versi lainnya, mereka menggunakan embel-embel "tetangga" atau semacam itu.

Ah, ayah, ibu, nenek. Jika aku bisa mengharapkan dilahirkan tanpa penis, sudah kulakukan, tahu.

Menyadari genggaman eratnya pada cutter. Setelah melonggarkannya, Yuka merasakan darah perlahan mengalir kembali pada jari-jemarinya.

Dia tidak sendirian. Yuka pernah menemui beragam manusia dengan ataupun ratusan bahkan ribuan orang yang berbeda menumpahkan diri mereka di internet seperti kerumunan semut.

Tetap saja.

Yuka menyandarkan kepalanya ke dinding, menatap langit-langit dinding. Matanya terasa panas. Ah, jangan lagi. Jangan sekarang.

Kehadiran Yuka di dunia adalah sebuah kesalahan Yuka paham hal tersebut selayaknya secara natural dirinya menyadari birunya langit, putihnya nasi atau betapa memukaunya Ayu.

Apakah Yuka bahkan mempunyai alasan untuk tetap hidup selama ini?

Suatu hari nanti, aku pasti akan mengakhiri hidupku.

Suara keran-keran air yang diputar maksimal membawanya kembali ke dunia nyata. Jarinya berhenti detik kemudian, terfokus pada mata bilah cutter yang mencuat. Tidak sengaja, sikunya menyentuh paha berlapis rok gelapnya. Uh, bekas sayatan di sana masih terasa gatal.

Ponselnya bergetar. Semua media sosialnya sedang tidak aktif, jadi mungkin itu notifikasi dari LINE–

"Huh?" Yuka mengedipkan bulu matanya yang basah. Berusaha menghapus seberkas ide yang muncul seraya menutup mulutnya, menahan suara tawa dan tangis yang bercampur baur.

Yatora baru saja mengirimkan foto-foto blur. Jika ingatan Yuka benar, dia pernah melihat sosok-sosok kabur itu dari mereka saat berkunjung ke Gedai beberapa waktu lalu.

Kau mabuk?

Tanda baca langsung muncul setelah Yuka mengirimkan pesan singkatnya. Cukup yakin teman masa sekolahnya ini sedang membuka jendela kontaknya.

Mjkngin bedgtiu

Dnia brdgnungggggg

Ketikan Yatora sangat kacau, Yuka hampir tidak memahami apa dia ingin katakan. Begitu pula, penggunaan emoji tertawa berlebihan yang terkirim. Setidaknya, pria ini bisa membaca pesannya. Atau jangan-jangan seseorang membantunya membacakan itu?

Selamat bersenang-senang!

Belum jeda sedetik, balasan tiba seakan Yatora sudah berjuang sedari tadi mengetikkan pesan yang akan dia kirim selanjutnya.

Jkasu

Dyamana?

Mata layu Yuka menyusuri tiap hurufnya, lidahnya bisa merasakan asinnya air mata yang telah turun.

Y-a-t-o-r-a… A-p-a-k-a-u-b-i-s-a… T-o-l-o-n-g…

Berkali-kali jempolnya mengetik dan menghapus baris kata-kata di kolom pesan.

Tidak. Tidak Nenek, Mori-senpai, Fuuchan ataupun Yatora dalam keadaan tidak waras ini. Tidak ada yang perlu tahu mengenai kondisinya.

Sembari mencengkram bagian depan kaos hitamnya, Yuka merapatkan kedua kelopaknya. Berusaha menghirup napas dalam-dalam. Tidak berguna. Bagai sesuatu menghalangi fungsi hidungnya dan dadanya ditekan oleh kekuatan tak tampak.

Tangannya kehilangan tenaga sesaat sehingga ponselnya lepas dari genggamannya. Menimbulkan suara yang mengejutkan dirinya sendiri dan dengan panik menggapai benda kesayangannya itu. Dadanya segera memompa udara seakan dia baru saja berlari berkilo-kilo meter.

Ketukan dari luar bilik terdengar. "Eto, apa Anda baik-baik saja di dalam sana? Maaf lancang karena saya mendengar suara keras dari dalam."

"Ya…" sahut Yuka lemah, diam-diam mengutuk kenapa tidak dikira ada yang berhubungan seks di bilik toilet saja. "Baik… Baik, kok! Ponselku hanya terjatuh."

Yuka melihat bayangan langkah kaki perlahan menjauh dari bawah bilik. Sialan. Layar ponselnya retak. Keluaran terbaru ini bahkan belum digunakannya selama dua minggu. Syukurlah kelihatannya layar ponsel itu masih menyala dan berfungsi.

Menarik masuk bilah cutter yang sedari tadi berdiam di atas roknya, Yuka segera memasukkannya ke dalam tasnya kembali. Berdiri setelah menekan tombol siram otomatis kloset. Yuka membuka jendela obrolan Yatora lagi sambil menekan ikon mikrofon pesan audio. "Sadar, bodoh." Entah pada Yatora atau dirinya sendiri.


A/N: As Yuka is a suicidal person, my headcanon is they are struggling with self-harm drive secretly. Also, somehow it took 3 months for me to finish this flash fiction lmao. Was starting this fic in similar state, fyi. What Was I Made For? by Billie Eilish fits this fic's mood well, I think.