Akashi Seijuuro tidak pernah ingin mendengarkan pendapat orang lain perihal dirinya. Bukan selain karena dirinya absolut, selalu menang, dan juga tak terkalahkan, namun melodi abstrak yang mengisi telinga nya sama sekali tak memperbolehkan dia mendengarkan apa perkataan dari orang lain.
Tiap kali Akashi terjebak konversasi dengan orang lain, dia selalu berkata, "Kau bilang apa?" dengan raut muka datar yang alhasil lawan bicara tak jadi menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Jika hal itu terjadi, Akashi hanya bisa menghela napas. Kesal karena bukan keinginan dirinya mengintimidasi semua orang seperti itu. Itu cuma hal yang ada pada dirinya sejak saat Akashi Seijuuro terlahir di dunia ini.
Siang itu, Akashi mendengar suara. Pertama kali dalam hidupnya, sebuah suara masuk ke dalam telinga nya.
disclaimer :
Kuroko no Basket Fujimaki Tadatoshi sensei.
aku cuman minjem karakter nya.
Cerita ini milikku, kalau dirasa ada kesamaan dengan author lain, mohon di maafkan.
Warning : Shounen Ai, mungkin OOC, soulmate thingy.
Honorable mention : I Hear a Symphony by Cody Fry.
(yang mau idupin lagunya boleh, kalo gamau juga gapapa.)
AkaFuri AU
— I Hear a Symphony, 2O21 —
Dini hari ini, Akashi terpaksa melesat menuju Tokyo atas desakan sang Ayah yang membuat Akashi mau tak mau harus pergi ke Tokyo saat itu juga.
Akashi Seijuuro tiba di Tokyo pagi menuju siang setelah menempuh hampir enam jam perjalanan dengan menggunakan Mobil. Tugas yang diberikan Ayahnya cukup mudah sehingga butuh waktu dua jam saja bagi Akashi untuk menyelesaikan sepenuhnya tugas yang diberikan sang Ayah.
Setelah merapihkan barang bawaannya, Akashi langsung berjalan pergi meninggalkan kantor kepunyaan keluarganya dan memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu.
Makan siang di Restoran mahal adalah pilihan Akashi Seijuuro saat ini. Tepat setelah makanan pesanan Akashi diantarkan, Lelaki dengan rambut magenta itu memakan makanannya dengan tenang.
"Akh! Kenapa sial terus, sih!?"
Gerakan Akashi terhenti. Menutupi keterkejutannya, Akashi berdehem pelan lalu menatap sekeliling dengan perlahan.
Kening Akashi sedikit merengut ketika matanya tidak melihat makhluk lain selain dirinya. Jadi, suara tadi milik siapa?
Mencoba untuk tidak peduli, Akashi melanjutkan makan siang nya yang sempat terganggu karena suara orang yang bahkan tidak Akashi ketahui siapa pemilik nya.
"Aduh, Mama, Kakiku sakit sekali."
Sekali lagi Akashi mendengar suara yang sama. Dengan respon yang sama, Akashi tidak memperdulikan suara tersebut dan memilih untuk menghabiskan makanan yang berada dihadapannya sekarang ini.
"Ssh, Ini cara ngilangin darahnya gimana, sih?"
Cukup sudah. Akashi menjentikkan jari nya guna memanggil pelayan untuk berdiri di hadapannya. Tak lama, salah seorang pelayan bergender wanita menghampiri nya dengan terburu-buru.
"Apa ada orang lain di Restoran ini?"tanya Akashi dengan nada dinginnya yang tiga kali lebih mengerikan dari biasanya.
Pelayan wanita tadi gelagapan, "Tidak ada, Tuan. Kan restoran ini sudah Tuan booking?"ucapnya takut-takut.
Akashi menghembuskan napas kesal.
"Jawab dengan kepalamu."
Walaupun sedikit bingung, pelayan wanita tadi menggelengkan kepalanya dengan gerakan patah-patah. Sedangkan Akashi, lelaki itu duduk dengan melipat kaki kanannya diatas kaki kiri dan tangannya menyilang didepan dada serta dagu ia naikkan dengan arogansi yang terbilang tinggi.
"Pergi."
Cukup dengan satu kata tadi, pelayan tadi melesat pergi dengan cepat. Akashi menghela napasnya. Nafsu makannya sudah hilang karena suara yang ia dengar.
Aneh, kenapa satu-satunya suara yang dapat didengarnya adalah suara orang yang bahkan tidak dia ketahui siapa.
Suara itu kembali meringis untuk kesekian kalinya.
"Aduh, aku gaada plester luka, lagi."
Akashi mengerjap. Sesaat kemudian Akashi berdiri dan keluar dari Restoran setelah membayar bil. Akashi Seijuuro memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke sebuah apotek yang tak jauh dari tempat dia berdiri.
Sesampainya disana, Akashi membeli plester luka, kapas, dan juga obat merah. Setelah membayar, Akashi sedikit bingung kemana dia harus melangkah karena jujur saja, Akashi tidak tau dimana tepatnya pemilik suara tersebut.
"Duh, apa aku jilat aja, ya?"
Gotcha.
Akashi mengikuti insting nya dan berlari agak cepat entah kemana dia sendiri pun tidak tau. Tapi Akashi yakin, di penghujung jalan ini pasti orang yang dia cari ada disana.
Akashi tersenyum puas tatkala dirinya mendapati lelaki ber rambut coklat sedang menunduk sambil mengipas pelan luka di lututnya. Akashi mendengus geli saat lelaki itu mengangkat kepalanya—menurut pemandangan Akashi, dia menahan tangisnya— dengan kaki bergetar.
Akashi melangkah pelan menuju lelaki yang tampak sangat asing di matanya itu. Perlahan tapi pasti, Akashi berdehem singkat yang membuat lelaki tadi menoleh cepat. Raut terkejut sangat ketara di wajah biasa-biasa saja miliknya.
"Ada yang bisa ku bantu?"tanya Akashi sambil menaikkan sebelah alisnya
Lelaki tadi gelagapan, mulut terbuka tutup namun suaranya tak kunjung keluar. Akashi menunggu dengan sabar. Aneh, padahal selama ini dia benci menunggu, apalagi dimintai tunggu. Tetapi, lelaki dihadapannya membuat Akashi menunggu ucapannya.
"Em, bo-boleh minta tolong belikan plester luka—aku bu-bukannya memerintah mu tapi sekarang aku tidak—"
Ucapan lelaki tadi terpotong karena tangan Akashi yang memegang kantong berisi plester luka, obat merah, dan kapas sudah berada di depan muka nya. Dengan gerakan ragu-ragu, lelaki tadi mengambil kantong yang di sodorkan Akashi.
Setelah kantong tadi berada di tangannya, lelaki tadi bingung harus apa. Raut bingung terlihat. Akashi mengulum bibirnya, menahan senyum.
"Mau duduk ke sana dulu?"ucap Akashi sambil menunjuk bangku taman yang tak jauh di depan mereka. Lelaki dengan rambut coklat dan pupil mata kecil kecoklatan tadi menatap bangku yang dimaksud Akashi dan Akashi secara bergantian lalu mengangguk singkat.
"Jawab dengan suaramu."
"E-Eh? Iya, boleh?"
Akashi tersenyum kecil lalu mengambil tangan kanan lelaki yang tidak dia kenal itu kemudian dia letakkan di pundaknya. Sebelah tangan Akashi yang nganggur, dia letakkan di pinggang lelaki di sebelahnya itu.
"E-Eh, a-aku bisa sendiri."
"Kau tidak bisa."
Lelaki di sebelahnya terdiam. Lalu dengan muka kemerahan dia pasrah dan mendekatkan diri kepada Akashi—agar lebih mudah bergerak—kemudian mereka berjalan menuju bangku taman yang dimaksud Akashi.
Setibanya di sana, atas perintah Akashi, Akashi mengobati luka di lutut lelaki coklat yang masih tidak Akashi ketahui namanya.
"Namaku Furihata Kouki, kamu?"
Akashi menghentikan gerakannya dan menatap lelaki coklat yang akhirnya Akashi ketahui namanya tersebut.
"Akashi Seijuuro."
Furihata Kouki mengangguk singkat lalu tersenyum.
"Salam kenal, ya, Akashi-san. Maaf merepotkanmu."
"Tak apa."
Kemudian Akashi kembali fokus mengobati lutut kiri Furihata. Yang diobati hanya diam sambil sesekali meringis.
"Akashi-san tau? Kalau saja tadi Akashi-san tidak datang, aku pasti sudah menjilati lututku sendiri, Soalnya kata orang, kalau terluka, dijilat saja. Karena katanya air ludah bisa mencegah luka agar tidak infeksi,"kata Furihata Kouki panjang lebar, dan juga sedikit cepat.
"Iya, aku mendengarnya."
"Dengar apa, Akashi-san?"
"Suaramu."
"Erm, terima kasih?"
Hening terjadi lagi. Kedua nya sibuk sendiri. Akashi sibuk dengan lutut kiri Furihata, sedangkan pemilik kaki sibuk menatapi wajah tampan Akashi Seijuuro.
"Daripada menatap wajahku seperti itu, lebih baik ceritakan kronologi kenapa kau bisa jatuh."
Furihata gelagapan, panik karena ketauan menatapi wajah bak dewa milik Akashi Seijuuro. Berdehem pelan, Furihata akhirnya membuka mulut dengan suara bergetar.
"Awalnya—ekhem, Awalnya aku cuman berlari terburu-buru karena em, itu, lapar, hehe, tapi malah tersandung batu. Makanya jatuh sampai celanaku sobek begini."
Akashi manggut-manggut saja. Andai saja dia tadi kebingungan memilih restoran untuk makan siang, pasti dia sudah bertemu Furihata dan lelaki itu tidak jadi jatuh. Boleh Akashi menyalahkan masa lalu?
"Jadi, Kau mau makan apa?"
"Sebenarnya, Aku mau masak sup tahu, hehe."
Akashi diam. Furihata ikut diam.
"Em, kalau Akashi-san mau, Akashi-san boleh ikut ke rumah ku. Sekalian tanda terima kasih ku ke Akashi-san. Ta-Tapi kalau tidak mau juga tidak apa-apa."
Tak butuh waktu lama untuk Akashi berkata iya. Akhirnya mereka berdua berjalan menuju mobil Akashi—walau awalnya Furihata menolak, tapi tidak ada seorangpun di muka bumi yang boleh menolak tuan muda Akashi Seijuuro— setelah mereka sepakat menuju rumah Furihata dengan menggunakan mobil Akashi.
Di perjalanan yang tergolong hening, Akashi berdehem sebelum membuka suara.
"Kau tau, Kouki?"
Furihata menoleh cepat dengan amat sangat terkejut karena Akashi memanggilnya dengan menggunakan nama pemberiannya. Mencoba tak mempersalahkan hal tersebut, Furihata menyahuti perkataan Akashi, "Iya, ada apa, Akashi-san?"
"Kalau boleh egois, aku ingin menjadi orang pertamamu yang mana kalau kau menolak, aku bisa saja membunuh mu."
Mata Furihata bergetar seraya menatap Akashi tak habis pikir.
"Tapi, aku akan memintanya secara baik-baik."
"M-minta apa?"
"Bolehkah aku menjadi orang pertama mu, Kouki?"
Sudah hampir sebulan semenjak Akashi Seijuuro ditolak oleh lelaki super duper biasa-biasa saja yang bernama Furihata Kouki.
Iya, setelah Akashi menghabiskan sup tahu buatan Furihata—yang setelahnya Akashi mencap bahwa sekarang sup tahu, apalagi buatan Furihata adalah makanan kesukaannya— , dia ditolak mentah-mentah.
Furihata berkata bahwa mereka baru saja kenal dan secara tersirat, Akashi tau bahwa Furihata takut kepadanya, entah kenapa.
Padahal menurut seorang Akashi Seijuuro, dirinya itu tidak pantas di takuti.
Oke, Akashi akui kalau kemarin saat kalimat penolakan Furihata terucap, gunting merah ia keluarkan dari saku nya—Tapi! Kenapa Furihata bisa takut kepadanya?
Aneh sekali.
Malam ini, Akashi memutuskan untuk menelpon Furihata—yang Akashi minta tepat setelah penolakan Furihata yang katanya kalau ada apa-apa bisa kabari Akashi. Padahal mah mau modus— karena katanya malam ini bakalan badai besar di Tokyo.
Akashi sebenarnya biasa aja sih, toh mereka juga udah 22 tahun, ga mungkin Furihata takut dengan badai.
Panggilan dijawab dengan suara Furihata mengisi gendang telinga Akashi.
"Halo?"
"Apa kabar, Kouki?"
Ada jeda sebentar sebelum suara Furihata kembali terdengar.
"Baik, Akashi-san sendiri bagaimana?"
"Aku sakit, Kouki, boleh aku ke rumahmu sekarang?"
"E-Ehh??! Kan di sini lagi badai?"
"Kalau ada aku badai nya pasti berhenti, Kouki, karena aku absolut. Aku Mutlak."
Ada jeda lagi. Kali ini Akashi mendengar tawa Furihata. Napas Akashi sempat tercekat. Selama ini teman-temannya sering tertawa tapi tidak pernah terdengar oleh telinganya. Jadi, begini indahnya tawa seseorang? (Tepatnya tawa Furihata Kouki seorang.)
"Hahaha kamu aneh, Akashi-san."
"Kau menertawakanku, Kouki?"
Hening. Kali ini Akashi tau kalau Furihata pasti baru saja terbungkam dengan raut panik nya. Oh, sekarang Furihata Kouki pasti sedang mambuka tutup mulutnya—ragu untuk berbicara.
"Maaf."
Uh Oh, Akashi sudah menyangka akan mendapatkan permintaan maaf dari seorang pengecut dan penakut seperti Furihata Kouki. Biarkan Akashi menggoda nya sebentar.
"Kalau kau tidak mendapat maafku, bagaimana?"
Hening lagi, sekarang Akashi bingung kenapa respon Furihata lambat sekali.
"Em, apa tidak boleh dimaafkan saja?"
"Apa kau pikir maaf ku semurah itu, Kouki?"
"Kalau begitu, Akashi-san boleh ke rumahku. A-aku akan buatkan sup tahu."
Tak perlu waktu lama bagi Furihata menjawab ucapan Akashi. Apalagi dengan sedikit teriakan excited dan tempo ucapan yang sedikit cepat, Akashi tau kalau Furihata ingin Akashi pergi menuju rumahnya, tapi dia gengsi. Senyum Akashi merekah.
"Sebegitu rindu nya kau denganku, Kouki?"
"Tidak— em, sebenernya, iya."
Tawa kecil Akashi mengalun diudara.
"Baiklah. Tapi perihal tadi, jangan diulangi."
"Iya iya. Aku tunggu ya, Akashi-san."
"Kouki, kemungkinan aku sampai di sana subuh nanti. Kau masih tetap menungguku?"
"Tentu saja. Aku akan menunggu Akashi-san."
Akashi tak memberikan jawaban berupa suara walaupun senyum lebarnya tak kunjung pudar. Tepat sebelum Akashi menutup telepon, Furihata berteriak dengan tempo cepat.
"Hati-hati di jalan dan jangan ngebut!"
Lalu telepon dimatikan lebih dahulu oleh Furihata. Satu lagi alasan Akashi tidak bisa melepaskan Furihata begitu saja. Dia menggemaskan.
"Hhh, aku rindu Akashi-san."
Akashi menghentikan omongannya tepat di tengah rapat penting dengan perusahaan ternama lain yang berkuasa di daerah Osaka.
Itu suara Furihata Kouki. Dia tahu betul. Di tengah-tengah suara melodi tak jelas yang mengisi telinganya, hanya suara Furihata yang terdengar jelas.
Akashi berdehem sebentar sebelum melanjutkan omongannya. Se bagaimanapun inginnya dia melesat ke Tokyo saat ini, dia harus bersikap profesional demi hubungan perusahaan mereka masa depan.
Tunggu sebentar lagi, Kouki.
Rapat telah usai. Akashi melangkahkan kakinya terburu-buru menuju parkiran mobil. Setibanya di mobil, Akashi melirik sebentar jam tangannya. Kerutan terlihat jelas di kening Akashi saat matanya menangkap bahwa sekarang sudah jam satu siang.
Akashi menaikkan sebelah alisnya kemudian menelpon supir agar mengantarkan dirinya menuju Stasiun Kyoto. Dirinya memutuskan untuk pergi ke Kyoto dengan menggunakan Shinkansen saja. Selain karena menghemat waktu, Akashi ingin segera menemui Furihata Kouki.
Akashi tiba di Stasiun Kyoto agak terlambat karena macet. Setibanya di sana, Akashi mendengus kesal. Waktunya untuk bertemu Furihata kembali berkurang.
Shinkansen yang Akashi naiki berangkat pukul satu siang, itu artinya dia tiba di Tokyo sekitar pukul empat sore. Hanya ada beberapa jam tersisa hingga tengah malam. Akashi lagi-lagi mendengus malas.
Ingin sekali dia meminta pintu kemana saja milik doraemon sebelum akal sehat nya kembali menghuni jiwanya.
Perjalanan tiga jam Akashi dipenuhi dengan gumaman berkali-kali Furihata mengenai rasa rindu nya kepada Akashi Seijuuro.
Sebenarnya Akashi Seijuuro merasa tersiksa karena dirinya tak kalah rindu kepada lelaki coklat kesayangannya.
Alhasil, tepat saat Shinkansen yang Akashi berhenti, Akashi sudah berada didepan pintu nya bahkan sebelum pintunya terbuka.
Setelah keluar, Akashi berdesak-desakan dengan orang lain. Tak jarang dia mendapat tatapan sinis dari pengunjung lainnya.
Akashi tak peduli, yang ia pikirkan saat ini hanyalah bertemu dengan Furihata Kouki.
Akashi kemudian memanggil taksi dan menelpon Furihata Kouki.
"Halo Akashi-san, ada apa?"
"Kau sibuk, Kouki?" —Akashi memasuki taksi dan menyebutkan tempat yang ingin dia tuju.
"Sedang tidak. Kenapa?"
"Ke Restoran xx sekarang, Kouki. Ini perintah." Kemudian telepon di matikan.
"Bisa di percepat?"tanya Akashi yang ditujukan kepada sang supir.
Perjalanan menuju tempat janjian terasa begitu lama. Rasanya Akashi ingin membakar bumi saking lamanya. Kenapa alam tidak bisa mempercepat pertemuan dia dengan Furihata Kouki?
Apotek tempat Akashi membeli Plester luka dan segala macamnya untuk Furihata terlihat. Akashi memutuskan untuk berhenti disana. Setelah membayar, Akashi keluar dari mobil taksi dan berjalan agak terburu-buru menuju Restoran tempat mereka janjian.
Akashi tiba di tempat janjian. Di seberang sana, Furihata Kouki terlihat. Tepat setelah tatapan mata mereka bertemu, telinga Akashi Seijuuro mendengar semua suara disekitarnya pertama kali dalam hidupnya. Tapi, Akashi tidak mengindahkan hal tersebut dan tersenyum lebar.
Akashi berjalan agak cepat menuju tempat di mana Furihata berpijak—ingin cepat-cepat memeluk mesra orang kesayangannya guna menghilangkan rasa rindu yang sudah amat berat—.
Kejadian selanjutnya tidak pernah ada dalam skenario terburuk Akashi Seijuuro.
Kepalanya pusing, matanya berat—ingin tertutup, seluruh badannya mati rasa. Dari semuanya, telinganya yang paling nyeri. Semua suara bersatu padu, berlomba-lomba memasuki gendang telinganya.
Dengan pandangan redup, Akashi dapat melihat semua orang menghentikan kegiatannya dan berjalan menuju dirinya, tapi Akashi tidak peduli. Yang menjadi peduli nya saat ini adalah sebagian tubuhnya berada di atas pangkuan orang kesayangan.
"Akashi! Bisa dengar aku?! Akashi!! Seseorang tolong telponkan ambulans!!"
Furihata Kouki kembali memberikan seluruh atensinya kepada Akashi Seijuuro.
"JANGAN DI VIDEO IN, BANGSAT! KAMU PIKIR INI LELUCON!?"
Akashi ingin tertawa tapi ia tak bisa. Bibirnya terlalu sakit untuk digerakkan.
"Akashi, kamu bisa dengar aku, kan! Sumpah, sebentar lagi ambulan datang, kamu harus tahan. Kamu gaboleh pergi dulu. Kamu harus tunggu aku, kita mati sama-sama. Kamu tau kan kalo aku—"
"Kou-ki."
Furihata Kouki diam. Tubuhnya membeku tatkala suara lirih Akashi Seijuuro menyapa telinganya. Di tengah kebisingan yang terjadi, telinga Furihata terfokus pada suara lirih Akashi.
Setelahnya, tangan Akashi menggenggam pelan tangan Furihata. Lelaki coklat itu menangis sejadi-jadinya saat melihat senyum pedih terpancar di wajah penuh luka Akashi.
"A-ku mendengarmu,"ucap Akashi susah payah, kemudian dia terbatuk.
"Jangan ngomong dulu, Akashi. Sebentar lagi ambulan datang, sabar sebentar."
"Kau tau, Kouki? Aku mendengar kau berkata kalau kau rindu padaku."
"Sudah kubilang jangan—"
"Dengar, Kouki, Aku juga merindukanmu."
Tangis Furihata pecah. Tubuh Akashi dia peluk erat-erat agar Akashi Seijuuro tidak pergi darinya.
"Kouki, aku selalu mendengarmu. Karena kau mengambil semua melodiku yang rusak."
Furihata menangis tersedu-sedu, mengumpat keadaan karena membiarkan Akashi Seijuuro-nya menunggu ambulans sangat lama.
Akashi menutup mata. Ego nya ia turunkan. Keabsolutan, kemutlakan, dan sikap selalu menang nya tak ia pikirkan lagi.
"S-sakit, Kouki. Tubuhku, kepalaku, apalagi telingaku, semuanya sakit."
"Tahan sebentar, Akashi. Sebentar lagi ambulan datang dan kamu akan diantarkan ke rumah sakit. Setelah sampai di sana aku yakin rasa sakitmu pasti akan hilang, aku jamin."
Akashi Seijuuro tersenyum.
"Peluk aku, Kouki."
Menuruti perkataan lelaki magenta tersebut, Furihata Kouki kembali memeluk Akashi Seijuuro erat-erat.
"Kau tau, Kouki, rasa sakitnya sedikit menghilang. Entah kenapa, aku ingin tidur."
Furihata menggeleng kuat dalam pelukan.
"Jangan, Akashi, Buka matamu."
"Kupikir waktu ku bersama mu masih ada sekitar beberapa jam lagi."
"Iya makanya, jangan ngomong dulu, Akashi. Kamu harus kuat. Kemana pergi nya semua keabsolutan dan kemutlakan mu itu?"
"Sampai bertemu lagi, Kouki."
Furihata Kouki merasakan tangan Akashi melemas. Kedua matanya tertutup rapat, bibirnya tersenyum, telinganya mengeluarkan darah.
Furihata Kouki tak lagi menahan tangisnya. Dia menangis sekeras mungkin sampai rasanya tenggorokannya sakit. Tubuh Akashi masih berada didekapannya.
Ambulans tiba tepat setelah rasa sakit Akashi menghilang. Furihata Kouki marah, tapi tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis keras-keras dan tetap memeluk Akashi.
Sungguh, dia tidak ingin akhir yang seperti ini.
tamat.
Omake :: (ayo idupin lagunya!)
Kedua lelaki berbeda warna rambut itu duduk di bawah pohon maple yang lebat daunnya. Kedua nya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Walaupun dilanda keheningan, keduanya tak merasa canggung maupun terganggu dengan keheningan yang meliputi mereka.
"Bisa aku berkata lama tak berjumpa? Kouki?"
Suara itu. Suara yang sudah lama sekali tidak dia dengar.
"Iya, udah setahun."
Lelaki berambut coklat seperti tanah memeluk lutut, kemudian menenggelamkan kepalanya di sela-sela pelukan tersebut.
Furihata Kouki rindu. Sangat.
"Aku selalu ingin memanggilmu Sei."
Akashi Seijuuro menoleh.
"Kalau begitu, coba."
Furihata mengambil napas dalam-dalam kemudian dengan wajah yang merona, Furihata menatap wajah Akashi Seijuuro—orang pertama dalam hidupnya.
"Lama tak berjumpa, Sei."
Akashi Seijuuro tersenyum.
Kemudian mereka kembali terdiam. Keheningan tersebut tak berjalan lama sebelum keduanya serentak mendengar lantunan melodi yang indah. Keduanya spontan bertatapan.
"Kau pasti dengar, kan, Kouki?"
Furihata Kouki mengangguk.
"Jawab dengan suaramu."
"Iya, Sei, aku dengar."
Akashi Seijuuro kembali tersenyum. Tak lama lelaki magenta itu berdiri. Tangannya dia ulurkan dihadapan Furihata.
"Mau berdansa?"
Furihata mendongak kemudian meraih tangan Akashi.
"Lagu nya tidak boleh pakai lagu piala dunia?"tanya Furihata bercanda.
"Tidak, Kouki. Kalau pakai lagu piala dunia latar tempat nya bukan di bawah pohon maple melainkan di lapangan."
Furihata tertawa singkat kemudian keduanya mulai berdansa.
Di tengah-tengah dansa, Akashi berujar.
"Kau tau, Kouki, Sebelum aku bertemu denganmu, aku tidak bisa mendengar suara apapun kecuali suara melodi abstrak yang memekakkan telinga."
Wajah Furihata merah padam, malu karena ungkapan Akashi terasa seperti ajakan menikah.
"Lalu setelah bertemu denganku?"
"Awalnya, aku hanya bisa mendengar suaramu."
"Lalu?"
"Sebelum aku tidur, kau sudah menyukaiku dan menjadikanku orang pertama mu, bukan?"
Lagi-lagi wajah Furihata merah padam. Dia mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya—tidak ingin dilihat oleh Akashi.
"Jawab dengan suaramu, Kouki."
"Iya, aku sudah menyukai mu dan kamu orang pertama di hidupku."
Akashi tersenyum.
"Saat kau menyadari perasaanmu dan sesaat setelah kita bertatapan, semua suara berpacu memasuki telingaku."
Furihata terlihat bingung.
"Iya, Karenamu, Kouki, Aku bisa mendengar suara."
Furihata tersenyum lebar. Dia berhenti berdansa yang membuat Akashi juga menghentikan gerakannya.
"Ada apa?"
"Baguslah, kalau kamu pertama kali mendengar suaraku."
"Kenapa?"
"Tidak ada, hanya saja, aku merasa superior,"ucap Furihata dengan senyuman yang masih melekat di bibirnya.
Akashi ikut tersenyum, kemudian membelai pelan pucuk kepala Furihata.
"Kau orang pertama dan terakhir yang aku cintai, Kouki. Ku harap kau tau lebih cepat."
Furihata diam. Ingin sekali dia membalas bahwa dia juga seperti itu. Ingin sekali dia menjawab bahwa Akashi juga orang pertama dan terakhir yang dia cintai. Furihata ingin Akashi tau itu, tapi, Furihata memilih diam dan mendengar lebih lanjut perkataan Akashi.
"Aku juga mendengar tangisanmu untukku, Kouki. Itu menggelikan."
Pundak Akashi dipukul.
"Bisa-bisanya kamu menertawakan kesedihan orang lain?"
"Kau tidak malu menangis seperti bayi di hadapan banyak orang? Itu memalukan, Kouki."
Furihata mendengus malas. Akashi suka sekali menggoda nya.
"Aku tau, Kouki, kalau aku adalah cinta mu satu-satu nya. Tapi, ku harap untuk kali ini kau bangun, karena belum saat nya kau menemui aku di sini."
Mata Furihata berkaca-kaca. Dia tau kemana arah pembicaraan Akashi.
"Tapi, Sei. Aku ingin bersama denganmu lebih lama lagi."
"Kau tak bisa, Kouki."
Furihata menangis. Sedangkan Akashi memeluk Furihata erat-erat sambil menepuk pelan punggung lelaki coklat-nya yang sedang menangis.
"Cup cup, tak apa. Suatu saat kita abadi di sini. Saat waktu itu tiba, tidak akan ada yang memisahkan kita, Kouki."
Furihata sesegukan dan semakin mengeratkan pelukan mereka.
"Aku pasti menunggumu disini, Kouki. Aku janji."
Furihata akhirnya melepaskan pelukan mereka kemudian mendongakkan kepalanya untuk menatap Akashi.
"Janji?"
"Iya."
Kemudian atas keinginan Furihata, mereka terikat pinky promise walaupun Furihata sempat di bulli oleh Akashi, Furihata tidak peduli dan tetap kekeh berkata kalau Akashi harus menuruti kata-katanya.
Hanya untuk Furihata, Akashi mau di perintah begini. Jika saja yang tadi orang lain, pastinya gunting merah sudah melayang dihadapan orang itu.
"Kalau sudah, ayo bangun, Kouki. Aku akan selalu menunggumu."
Furihata mengangguk.
"Tunggu aku, ya, Sei. Aku mencintaimu."
Belum ia mendengar jawaban orang itu, Furihata Kouki bangun dari tidur nya dengan tubuh yang basah oleh peluh dan wajah yang penuh dengan air matanya yang mengering.
Furihata memeluk lututnya, menangis sejadi-jadinya.
"Wajahmu, Sei. Wajahmu, aku tidak ingat."
beneran selesai.
au note :
btw aku ragu apa masi ada yang baca au nya akafuri di tahun 2021 ini? soalnya semua story akafuri di app ini di publish sekitar tahun 2014-2016 an. tapi karena aku tiba-tiba kangen sama pair ini, so, here we go.
sumpah, aku nulisnya sedih banget. apalagi mengingat kalau sei gapernah ngucapin selamat tinggal ke kouki bahkan saat mereka ketemu lagi di mimpinya kouki—i can't. ditambah part terakhir saat kouki bilang kalau dia udah mulai melupakan wajah sei—it makes even worse.
maaf kalau menurut kalian story aku ga sesuai ekspektasi, karena jujur menurut aku ini drama banget wkwk.
so, boleh minta review nya?
