Malam itu sangat terang. Bulan terbit tinggi di atas kepala dengan sinar yang berpencar sangat terang. Furihata Kouki mengerjap lucu saat mata kucing nya menangkap seseorang yang ia kenali sedang bersandar di salah satu tiang listrik.

Berkat sinar bulan yang terang, Furihata langsung tau kalau seseorang dengan rambut magenta menyala tersebut adalah seorang Akashi Seijuuro—Lawan terakhir tim basket nya saat Winter Cup sekitar enam tahun lalu—yang terkenal dengan ke-absolute-an dan kemutlakannya. Tak lupa nama Akashi yang ia sandang membuatnya dikenali semua orang.

Dengan badan yang gemetar, Furihata mencoba mendekati Akashi yang kedua matanya sedang tertutup rapat. Semakin dekat hingga mata Furihata dapat melihat poni Akashi yang berterbangan diterpa angin dan hidungnya menangkap bau alkohol menguar dari tubuh Akashi. Furihata sampai tutup hidung dibuatnya karena bau alkohol dari tubuh Akashi sangat kuat.

Dengan perlahan, tangan Furihata ia letakkan pada pundak Akashi dan ia guncang pelan-pelan. Kedua mata Akashi terbuka, menampilkan lensa mata berbeda warna yang menatap nyalang ke arah Furihata berdiri.

"Berani sekali menyentuhku, Kouki?"

Ucapan Akashi membuat Furihata lagi-lagi gemetar. Padahal kalau dilihat-lihat, Akashi pasti mabuk, tapi kenapa omongannya masih se intimidasi ini?

Dan lagi, apa-apaan nama panggilan Akashi terhadap Furihata?! Sejak kapan mereka sedekat itu untuk saling memanggil nama pemberian?

"Um, Maaf, Akashi-san. Aku pikir Akashi-san mabuk—"

"Aku memang mabuk."

Furihata terdiam. Tidak tau harus dan akan berkata apa dihadapan sang raja hutan, Furihata hanya bisa menggaruk tengkuk yang tak gatal—ketara sangat kalau dia sedang dalam situasi canggung, sangat canggung.

"Em, apa ada yang bisa aku bantu, Akashi-san?"ucap Furihata akhirnya. Akashi diam selama lima menit dan hanya menatapi Furihata dengan tatapan yang tidak Furihata tau apa artinya. Furihata sendiri hanya memalingkan pandangannya saat ditatap seperti itu oleh seorang Akashi Seijuuro.

"Kau tau, Kouki—"

Akashi oleng. Beruntung Furihata menangkap Akashi sebelum pria itu menyentuh trotoar. Akashi cegukan sekali sebelum melanjutkan omongannya yang terhenti.

"Sebenarnya aku—"

"Em, ayo duduk dulu, Akashi-san."

Kemudian Furihata membawa Akashi ke ujung trotoar—batasan antara trotoar dengan jalan raya—dan menduduki Akashi di sana dan Furihata menyusul setelahnya.

"Berani sekali kau—hik, memotong omonganku, Kouki. Dan lagi, menyuruhku—hik, duduk di jalanan seperti ini? Kau pasti sudah gila, Kouki."

"Ha'i Ha'i,"ucap Furihata pasrah.

Mereka berdua diam. Tak lama setelahnya, Akashi menyandarkan kepalanya tepat di pundak kiri Furihata yang membuat pria bersurai sewarna tanah itu terkejut bukan main.

"Sebenarnya, Kouki, aku menunggu mu."

Perkataan Akashi membuat Furihata nyaris terkena serangan jantung. Dengan nafas yang teratur, Akashi kembali melanjutkan omongannya dan tidak mengindahkan Furihata yang wajahnya kini semerah tomat dan jantungnya yang berdetak lebih cepat.

"Kenapa Akashi-san menungguku?"tanya Furihata yang membuat dirinya merasa bahwa dia menggali kubur nya sendiri.

"Kau tau, rasanya aku hanya ingin dibawa pulang olehmu, saat aku mabuk."

Wajah Furihata lagi-lagi memanas, kali ini sampai telinga.

"Lalu darimana Akashi-san tau kalau aku pulang kerja lewat sini?" Masih tidak puas, Furihata kembali cari mati.

"I do my research, Kouki."

Rasanya jantung Furihata akan melompat keluar kalau-kalau Akashi akan mengatakan kalimat aneh lebih dari ini.

"Jadi, bisa bawa aku pulang sekarang, Kouki?"


disclaimer :

KnB milik Fujimaki Tadatoshi,

kalo cerita ini punyaku.

warning : shounen-ai, ooc, typo

honorable mention : paper rings dari taylor swift.

— Paper Rings, 2O21 —


Akashi mendengus kesal. Padahal sudah dua minggu berlalu semenjak dirinya dan Furihata bertemu kembali setelah enam tahun lamanya tidak bertemu, bukannya melakukan pendekatan dan hal berbau romansa lainnya, Furihata Kouki malah bermain lari-larian dari nya.

Mulai dari mengganti jalur pergi dan pulang kerja nya, pergi kerja saat matahari belum terbit dan pulang lebih awal, hingga berlari seperti orang kesetanan saat melihat ujung sepatu Akashi.

Akashi merasa heran. Kenapa seorang Furihata Kouki yang disukai nya malah takut kepada dirinya? Padahal Akashi merasa kalau wajah nya jauh lebih tampan dari seluruh pria di dunia—anggap saja begitu kalau tidak mau kena gunting—, lalu dia juga kaya, dan pastinya, Akashi tidak bau ketiak.

Lantas, mengapa Furihata masih menghindarinya?

Demi menghilangkan kebingungan nya, hari rabu ini dengan ikhlas dia menghabiskan waktunya di kantor Furihata demi bertemu sang pujaan hati. Akashi bahkan rela cuti satu hari ini—yang pastinya membuat Akashi akan bekerja berpuluh-puluh kali lebih keras dikemudian hari—dan duduk manis di sofa yang terletak di lobi kantor Furihata.

Ah, itu dia. Di ujung jalan, Akashi bisa melihat Furihata berjalan santai dengan menenteng tas laptopnya dan lagi! Apa-apaan senyuman manis yang tidak pernah diperlihatkan kepada Akashi itu!

Akashi lagi-lagi mendengus malas sambil mengeluarkan handphone dari dalam sakunya. Sebut saja Akashi fanatik karena rela mengambil foto Furihata yang sedang tersenyum secara diam-diam. Karena, hey! Furihata Kouki jika berada di hadapannya hanya gemetar ketakutan dengan pandangan mata ke tanah. Benar-benar menyebalkan—walaupun Akashi tetap suka, sih.

Furihata berjalan masuk ke dalam gedung kantor nya dan benar saja, manik sebesar kelereng sewarna tanah itu bergetar dan mulut kecil itu terbuka tutup. Akashi kemudian berdiri dan berjalan mendekati Furihata yang kini sudah menggenggam tali tas nya erat-erat dengan tatapan waspada.

"Selamat bekerja, Kouki. Berhubung ada yang ingin aku tanyakan, aku tunggu sampai kau pulang, Kouki."

Lalu Akashi kembali berjalan menuju sofa yang ia duduki tadi, meninggalkan Furihata yang masih was-was ditempatnya. Tak lama kemudian, Furihata memperbaiki posisi berdiri nya dan berdehem pelan. Gerakan Furihata yang semakin lama semakin mendekati arahnya membuat Akashi salah tingkah—yang pastinya dapat dia handle dengan baik karena Akashi Seijuuro adalah absolut—.

Oh! Benar saja! Furihata kemudian berdehem kecil lagi tepat di hadapan Akashi yang sedang duduk dengan elegan, sambil menyesap kopi malah.

"Dia dapat kopi darimana coba??!" Batin Furihata tepat setelah Akashi selesai dengan kopinya. Ingin Akashi tertawa karena raut wajah Furihata mudah sekali dia baca.

"Kalau tidak salah, di depan ada coffee shop, Kouki, apa aku benar?"

Langsung saja kepala Furihata menoleh ke depan gedung kantor tempat dia bekerja, dan benar saja. Ada toko kopi di sana. Yang terjadi kemudian adalah wajah Furihata yang memerah malu karena selama ini dia tidak sadar kalau ada toko kopi di sana. Ah, ingin sekali Akashi memotret nya dan mengabadikan foto nya di museum.

"Em, kalau boleh tau, Akashi-san ada urusan—"

"Tidak boleh tau."

"O-oh, oke."

Akashi bisa merasakan atmosfir canggung yang tercipta di antara mereka berdua, tapi Akashi mencoba tidak peduli demi hubungan mereka berdua.

"Bukankah sudah aku bilang kalau aku ada urusan denganmu?"ucap Akashi lalu kembali menyesap kopi nya. Tangannya kemudian membuka koran yang terletak di meja dan mata berbeda warna tersebut mulai meneliti satu-satu isi koran yang ia pegang.

"K-kalau begitu, bisa kita selesaikan sekarang?"ucap Furihata lagi.

"Aku tidak ingin kita selesai sekarang, Kouki.".

Yang Akashi lihat kemudian adalah mulut Furihata yang kembali terbuka-tutup serta wajah hingga telinga nya memerah.

"Jadi kau lebih memilih menemaniku dibanding bekerja, ya, Kouki?"

Tersadar, Furihata setelahnya berlari secepat kilat menuju lift tanpa sedikitpun menolehkan kepalanya ke arah Akashi. Menutupi mulutnya, Akashi kemudian tertawa kecil dengan senyuman selebar daun talas.

Akashi menunggu sekitar tiga jam sebelum Furihata menghampiri nya dengan wajah lesu—tetapi masih was-was dan takut-takut— tak lupa tas nya ia gandeng dan berjalan dengan sangat pelan menuju Akashi.

Akashi melirik jam tangannya. Aneh, padahal masih ada sekitar tujuh jam lagi sampai Furihata diperbolehkan pulang. Dan lagi, waktu jam makan siang bahkan belum mulai—Oh, Akashi menyeringai setelahnya.

"Ada apa Kouki? Sudah rindu padaku?"

Furihata dengan sekuat tenaga agar desahan kesal nya tidak terdengar oleh Akashi. Ingin sekali rasanya Furihata memaki pimpinan nya karena memperbolehkan dia pulang duluan hanya karena ada Akashi—Eh? Oh! Sepertinya Furihata tau siapa dalangnya.

"Apakah Akashi-san mengancam atasanku dengan gunting agar aku dipulangkan lebih dulu?"

Seringai Akashi lebih lebar dari sebelumnya. Ternyata bujukannya berhasil?

"Oh, Kouki, ternyata kau tidak tau kalau berprasangka buruk kepada orang lain itu tidak baik?"ucap Akashi yang membuat Furihata ingin sekali mencakar wajah tampan tapi ngeselinnya itu.

"Maaf."

Furihata memilih mengalah kemudian mengambil napas panjang. Setelah pertimbangan yang agak lama, Furihata akhirnya mengikuti amanah dari sang petinggi.

"Akashi-san, mau makan siang bersama?"ucap Furihata dengan niat setengah-setengah.

Akashi tersenyum menyeringai.

"Mau bukan kata-kata yang tepat, Kouki. Seharusnya kau bilang 'sudikah Akashi Seijuuro yang maha tinggi makan siang bersama aku yang rakyat jelata?', begitu."

Furihata menghela napas pasrah.

"Sudikah Akashi Seijuuro makan siang bersama rakyat jelata seperti aku ini?"ucap Furihata ogah-ogahan.

"Baiklah jika kau memaksa."

Furihata lagi-lagi menghela napas pasrah. Lelah akan Akashi yang rasanya membuat tubuh dan jiwa nya seolah-olah bekerja dua kali lebih lipat.

"Em, Akashi-san, bisa kita makan burger saja?"tanya Furihata setelah menimbang apakah Akashi mau dibawa ke restoran murah.

"Oh, apa perlu kita Amerika? Ku dengar di sana mereka—"

"Maji Burger saja cukup, Akashi-san."

Kemudian mereka berdua menuju Maji Burger dengan menggunakan mobil Akashi, itupun setelah pemaksaan karena Furihata ingin naik taksi saja—sendiri. Tapi sekali lagi, siapa yang bisa menolak seorang Akashi Seijuuro? Jawabannya tidak ada.


Seminggu sudah waktu berjalan semenjak Akashi dan Furihata makan siang berdua di Maji Burger. Tapi—lagi-lagi tapi, Furihata sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda dia membalas perasaan Akashi. Ini mengesalkan.

Padahal seminggu ini Akashi sudah memberi perhatian—yang sangat berlebihan sampai-sampai Furihata di chat semenit sekali yang mana akhirnya Furihata nge block semua akun sosial media nya Akashi—, lalu Akashi juga sudah bicara lemah lembut—walaupun saat penolakan keluar dari mulut Furihata, gunting merah hampir saja melayang kalau saja Akashi tidak mengingat bahwa itu adalah Furihata Kouki—, dan terakhir, Akashi sudah mau meluangkan waktu nya untuk mengantar jemput Furihata—yang menyebabkan Furihata Kouki memilih untuk pindah kos an—, tapi Furihata tetap saja tidak mau menyerahkan hati nya.

Kalau menurut Akashi, mereka lebih seperti kucing dan tikus yang tidak pernah damai. Tentu Akashi berperan sebagai kucing merah yang perkasa karena Akashi Seijuuro tidak pantas dibandingkan dengan makhluk rendahan seperti tikus yang suka kotor dan hidup di genteng rumah orang.

Akashi menghela napas. Sudah terhitung beberapa kali helaan napas kesal keluar dari mulut Akashi dengan subjek yang selalu sama.

Kalau dibilang bermain tarik-ulur, jawabannya sama sekali bukan! Karena Furihata hanya risih, bukan hanya ingin perhatian Akashi.

Sekarang, Furihata sedang berada di salah satu perpustakaan yang berada di Tokyo dengan niat mengerjakan pekerjaan nya yang tidak bisa dia selesaikan karena waspada terhadap Akashi—sebut saja Furihata alay, tidak masalah, karena memang benar adanya—.

Setelah mendapat tempat yang bersebelahan dengan stop kontak, Furihata mendudukkan pantat nya di kursi yang lumayan tinggi dan menyebabkan dia jinjit terlebih dahulu untuk menaiki kursi tersebut lalu mengeluarkan laptop dan berkas-berkas yang dia bawa dari kantor.

Selama satu setengah jam, hidup Furihata berada di perpustakaan tenang-tenang saja. Tepat satu jam lewat tiga puluh satu menit, Furihata refleks mendengus kesal yang sebisa mungkin dia tahan.

"Kau menguntitku, ya, Kouki?"

Furihata memilih untuk mengacuhkan ucapan Akashi Seijuuro yang sekarang sudah duduk di sebelahnya sambil membaca buku yang entah apa.

"Berani sekali kau mengabaikan aku, Kouki. Asal kau tau, aku ini absolut—"

"Aku selalu menang dan aku tidak pernah salah, iya tau, sekarang diam."

Akashi berdecih, tidak menyangka bahwa Furihata berani melawan perkataannya dan bahkan menyuruh nya diam. Sialan. Kalau saja yang di sebelah Akashi bukan Furihata Kouki, sudah bisa dipastikan orang tersebut sudah bercumbu mesra dengan gunting merah Akashi Seijuuro.

"Ada hal apa ke sini, Akashi-san?"

Wah, Furihata mengajaknya berbicara. Harus Akashi masukkan ke dalam daftar tujuh keajaiban dunia.

"Mungkin, menemuimu?"

"Lebih baik aku pergi—"

"Kau mau aku gunting?"

Furihata otomatis mematung. Kemudian Akashi membawa Furihata kembali menduduki kursi nya.

"Dengar, Kouki. Aku tidak tau kenapa kau selalu menghindariku, tapi, boleh aku tau alasannya?"

Furihata tidak menjawab. Memilih menutup mulut rapat-rapat sambil menghindari tatapan tajam Akashi yang seolah menusuk jantungnya.

"Lupakan. Sekarang, jawab pertanyaan baruku, Kouki. Tidak bisakah kita setidaknya berteman?"—walaupun tentunya aku ingin lebih.


Berteman dengan Akashi Seijuuro, ya? Sepertinya menarik.

Kalimat yang dua bulan lalu terbesit di otak Furihata membawa hubungan Akashi dan Furihata kini berada di jenjang pertemanan. Kesan pertama Furihata setelah berteman dekat dengan Akashi adalah, Akashi adalah pria yang baik walau agak nyeleneh.

Sekarang Furihata sedang berlari sekuat tenaga menuju restoran tempat mereka janjian. Furihata tau kalau dirinya sudah terlambat dan Akashi pastinya sudah duduk manis dengan tatapan tajam nya menunggu Furihata sedari tadi.

Salahkan saja taksi yang dinaikinya yang tiba-tiba saja mogok dan menyebabkan Furihata harus lari secepat kilat sejauh dua kilometer.

Furihata akhirnya sampai di depan gedung restoran mahal yang dipilih Akashi dengan napas satu-satu. Furihata memilih untuk rukuk sebentar sembari mengatur kembali napasnya.

Setelah menghabiskan waktu tiga menit, barulah Furihata melangkah masuk yang langsung saja dihadang oleh satpam.

Kesal, Furihata menelpon Akashi tanpa pikir panjang. Alhasil, Akashi menjemput pria coklat itu ke luar. Mereka berdua masuk ke dalam dengan Akashi yang melangkah duluan dan Furihata yang mengikuti di belakang setelah memberikan cemoohan kepada satpam yang menghadang tadi.

"Apa-apaan! Emangnya aku se gembel itu untuk masuk ke sini?"gerutu Furihata yang masih kesal.

Akashi terkekeh tertahan kemudian melihat pakaian yang dikenakan Furihata dari atas sampai bawah. Tangannya dia letak di dagu—seolah juri, menilai dengan kerutan di dahi.

"Untuk ukuran restoran level sepuluh, sangat gembel."

Furihata kesal. Tak lama pukulan pelan ia layangkan ke lengan Akashi dan berjalan duluan.

"Meja nomor 12 di sebelah kiri, Kouki, bukan kanan!"

"AKHH IYA IYA!!"

Kemudian Akashi berjalan menuju meja di mana Furihata sudah duduk duluan.

"Wah, tumben sekali tuan muda Akashi Seijuuro terlambat seperti ini. Hal seperti ini bukannya bisa mencoreng nama baik Akashi?"

Furihata berucap membuat Akashi menyeringai dan memberikan tatapan tajam

"Tidak tau diri sekali kau, Kouki, berkata seperti itu pada orang yang menunggu mu selama setengah jam."

"Oh, apakah sampai karatan?"

"Kau mengolokku?"

Furihata kemudian mendengus kesal.

"Salah Akashi-san sendiri yang mengejekku tadi,"ucap Furihata sambil memajukan sedikit bibirnya—merajuk.

Tak lama Akashi mendudukkan diri di hadapan Furihata yang mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Akashi mencoba menyembunyikan senyum lebarnya saat Furihata ketauan mencuri pandang ke arah nya. Setelahnya, wajah Furihata memerah menjalar hingga telinga.

"Jadi, mau makan apa?"


Musim dingin, Akashi mengajak—memaksa—Furihata pergi ke suatu tempat yang Furihata sendiri tidak tau di mana tepatnya tempat nya di singgung Akashi sejak tadi.

Mereka berada di mobil Akashi dengan pria berambut merah itu yang berada di kursi supir dan Furihata duduk di sebelahnya selama sekiranya dua jam. Furihata tak henti-hentinya menghela napas.

"Mau ajak aku ke mana, sih?"tanya nya bosan.

"Sebentar lagi sampai, Kouki. Pakai mantel, syal, sarung tangan, dan topi beanie mu sekarang."

Pasrah, Furihata melakukan apa yang di suruh Akashi walaupun sangat kesulitan karena tidak cukup ruang yang tersisa di mobil sempit dua kursi milik Akashi.

Tepat setelah Furihata memakai tetek-bengek yang disebut Akashi, mobil diparkir sembarang. Kemudian Akashi turun setelah memakai mantel nya.

Akashi membuka kan pintu mobil bagian Furihata dan mengulurkan tangannya. Tidak ingin berdebat, Furihata meraih tangan Akashi tanpa banyak omong.

"Memangnya boleh parkir di sini?"

"Ini kawasanku, Kouki. Sudah aku beli tadi pagi."

Furihata tercengang. Pikiran Akashi Seijuuro benar-benar tidak bisa dia perkirakan. Akashi kemudian mengajak Furihata berjalan di jalan setapak yang berada di kiri dengan posisi Furihata berada di kiri Akashi. Putih salju memenuhi pandangan Furihata ke manapun dirinya melihat.

"Akashi kenapa tidak pakai sarung tangan? Memangnya tidak kedinginan?"tanya Furihata saat tersadar bahwa kedua tangan Akashi tidak tertutupi kain rajut tebal seperti yang ia kenakan di tangannya.

"Sengaja supaya kau genggam,"kata Akashi sambil menyeringai dan menatap Furihata. Tindakan itu tentu saja membuat pria coklat tadi salah tingkah.

Di pukul pelan lengan kiri Akashi, kemudian Furihata memilih berjalan duluan. Bisa Furihata dengar gelak tawa Akashi yang menyebalkan.

"Jadi, Kouki, ada genggaman untukku, tidak?"tanya Akashi yang Furihata yakin pasti godaan semata.

Kalian bisa sebut Furihata murahan karena sekarang dirinya melepas sarung tangan sebelah kanan nya kemudian diraihnya tangan kiri Akashi. Kini sarung tangan sebelah kanannya sudah berpindah ke tangan Akashi.

Belum sempat merespon tindakan Furihata, pria coklat itu lagi-lagi mengejutkannya dengan menggenggam tangan kiri Akashi dan membawanya ke saku mantel sebelah kanan yang saat ini dipakai Furihata Kouki.

"Biar Akashi tidak kedinginan."

Akashi salah tingkah. Genggaman tadi dilepas paksa oleh Akashi yang membuat Furihata bingung setengah mati. Kejadian selanjutnya membuat Furihata mengerjap tidak percaya.

Akashi. Seijuuro. Memeluk. Furihata.

Furihata membatu. Otaknya masih belum menerima keadaan saat ini.

"Em, Akashi, Kenapa tiba-tiba?"

Bukannya menjawab, Akashi malah mengeratkan pelukan searah mereka.

"Sebentar saja, Kouki,"ucapnya pelan.

"Ha'i Ha'i."

Furihata yang pasrah kemudian membalas pelukan Akashi dan mengelus-ngelus punggung Akashi Seijuuro.

"Cup cup cup."

"Aku tidak nangis, bodoh." Lagi-lagi Akashi berucap pelan. Furihata tertawa.

"Kau berani menertawakan ku, Kouki? Aku? Akashi—"

"Seijuuro yang absolut, selalu benar, dan tidak pernah kalah. Iya iya."

Padahal lagi kupeluk, bisa-bisanya masih sesombong ini? Batin Furihata sambil tersenyum geli.

"Jangan pernah mengolokku bahkan dalam batinmu, Kouki."

Kemudian pelukan dilepaskan. Akashi kembali menautkan tangan mereka dan membawanya ke saku mantel sebelah kirinya dan berjalan duluan—yang mau tau tak mau membuat Furihata oleng dan berjalan agak cepat.

"Tadi kenapa tiba-tiba peluk, sih?"tanya Furihata sambil mensejajarkan langkah mereka.

"Bukan urusanmu."

"Akashi salting, ya? Hayo ngaku!"goda Furihata Kouki yang kemudian dihadiahi tatapan sinis dari seorang Akashi Seijuuro.

"Iya. Kenapa?"

Furihata tersedak. Ucapan jujur Akashi membuat otaknya berhenti bekerja. Soalnya, Akashi tidak pernah jujur mengenai hal yang akan mempermalukan dirinya. Tetapi sekarang, dia terang-terangan mengaku kalau dia salah tingkah dihadapan Furihata?

Aku memang keren.

"Kenapa berhenti?"

"Eh, hehehehe."

Kemudian perjalanan mereka yang entah kemana dihabiskan Furihata untuk mencaci-maki Akashi Seijuuro karena sudah membuat hatinya berantakan.

Mereka berjalan sekitar tiga menit, dan tibalah di sebuah kolam renang amat luas yang dikelilingi oleh pohon sakura dengan pemandangan kota yang amat cantik.

"Sudah sampai."

Ucapan Akashi sama sekali tidak menginterupsi Furihata yang masih sibuk melongo, menikmati pemandangan teramat indah yang kini berada di depan matanya langsung.

Tapi, hal yang membuat Furihata terheran adalah, mengapa Akashi membawanya menuju kemari? Apalagi, ada kolam renang yang menurut Furihata ada pusat dari semua keindahan ini?

"Pertanyaan bagus, Kouki."

Hal selanjutnya terjadi adalah tubuh Furihata yang sudah berada di dalam air atas dorongan dari Tuan Muda Akashi Seijuuro. Bahkan, Furihata belum sempat merangsang kejadian secepat kilat itu.

Setelah beberapa detik, barulah dia menjerit kedinginan.

Akashi tersenyum kecil, kemudian berjongkok di tepi kolam.

"Mari sini aku ambil mantel dan syal mu. Pasti berat kalau terkena air,"ucap Akashi sambil mengulurkan tangannya.

Furihata dengan tubuh menggigilnya kemudian membuka mantel serta syal yang masih terpasang dibadannya dan memberikan kepada Akashi.

Akashi menerima dengan senang hati. Yang Akashi tidak kira adalah, keberanian Furihata untuk menarik kakinya masuk ke dalam kolam berenang.

Dengan suara gemetar, Furihata berucap kesal, "Kalau aku masuk, Akashi juga harus masuk!"

Kini, semua tubuh Akashi sudah berada di dalam kolam berenang. Mendengus kesal, Akashi kemudian berjalan menuju Furihata yang masih menggigil badannya.

Dipeluknya tubuh bergetar Furihata, kemudian Akashi berucap, "Mau keluar atau berenang saja?"

Dalam pelukan, Furihata berbisik, "Berenang saja sebentar. Toh tidak ada bedanya mau keluar sekarang atau nanti."

Akashi mengangguk lalu melepaskan pelukan mereka.

"Yasudah, ayo kita balapan."


Keduanya terduduk di balkon rumah kecil—bagi Akashi, tetapi tentu saja tidak sekecil itu bagi Furihata— yang tak jauh dari kolam renang yang mereka tinggalkan sekitar dua jam lalu.

Setelah mandi—dengan air panas tentunya—dan berganti baju—jangan tanya kenapa bisa ada baju ganti, karena Furihata sama sekali tidak tahu—, mereka kemudian berjalan menuju balkon dan duduk di sana dengan menyelimuti diri dengan tiga lapis selimut tebal dan ditemani dengan dua cangkir coklat panas yang Akashi bawa entah darimana.

Hari sudah kelam. Pemandangan malam tak kalah indahnya. Dengan suasana dingin dan banyaknya cahaya warna-warni sejauh mata memandang, serta bulan dan bintang yang dengan eloknya memancarkan sinar terang membuat malam ini terasa sangat terang.

"Terima kasih, ya, Akashi, sudah bawa aku kemari,"ucap Furihata sambil tersenyum.

Sayang seribu sayang, Akashi tidak dapat menikmati senyuman Furihata yang bisa terbilang senyuman tulus pertama yang Furihata tampilkan saat bersama Akashi Seijuuro.

"Tak masalah."

Kemudian mereka memilih diam sambil menyesap coklat panas yang hampir dingin karena rendahnya suhu malam ini. Furihata yang dibalut selimut tiga lapis saja masih bisa merasakan dinginnya hawa malam hari ini.

"Akashi tau? Kalau saja sekarang ini Akashi bisa lihat aku, pasti kaget soalnya aku kalau kedinginan langsung membiru,"ucap Furihata setelah menelan degukan terakhir coklat panas—setengah dingin—nya.

"Oh? Seperti warna tembok rumah kakakmu?"

"Oh! Yang kita cat bersama waktu itu?! Benar sekali,"ucap Furihata, kemudian mereka tertawa bersama.

"Akashi pernah ajak siapa saja ke sini?" Pertanyaan Furihata membuat alis Akashu berkerut.

"Apa maksudmu? Tempat ini baru aku beli tadi pagi. Jadi, kau yang pertama."

Furihata tersipu, tapi tidak puas.

"Lalu? Akashi pernah kemana saja dengan—"

"Dengar, Kouki, aku tidak pernah punya kekasih sebelumnya. Jadi, jangan nyari penyakit."

Furihata tersipu lagi.

"Jadi, ayo pacaran."

Akashi menoleh cepat. Raut kaget tidak bisa dia kendalikan selama beberapa detik. Tak lama, Akashi mengatur kembali raut wajahnya.

"Tidak."

"Eh?! Aku pikir Akashi—"

"Diam, Kouki. Harusnya aku yang bertanya, Bolehkah aku menjadi kekasihmu?"

Furihata mengangguk saja, tak paham dengan pikiran Akashi Seijuuro. Walau demikian, perasaan tak bisa dibohongi, Furihata tetap memerah hingga telinga.

Di dalam selimut yang mereka pakai berdua, Akashi memeluk Furihata Kouki dari samping.

"Senang sekali akhirnya penantianku selama enam tahun mendapatkan hasilnya."

Furihata hanya diam sambil menyenderkan kepalanya kepada bahu Akashi. Bisa Furihata rasakan jantung Akashi yang berdebar cepat, membuat Furihata lega. Ternyata bukan dia saja yang merasa seperti ini. Furihata tersenyum.

"Ayo kita pulang?"

"Ayo."


"Boleh aku panggil Sei?" Pertanyaan Furihata saat mereka sedang makan malam di rumah Furihata membuat Akashi menoleh dengan cepat. Ini adalah salah satu dari banyak momen yang dia tunggu-tunggu. Yaitu mendapat panggilan kesayangan dari Furihata Kouki—Kekasih dua bulannya.

"Silakan."

"Hehehe, Sei nama yang lucu."

Kemudian Furihata nyengir-nyengir sendiri. Akashi melanjutkan makannya dengan tenang.

"Sei, puji aku dong."

Akashi sebenarnya tidak suka—sangat—diganggu, terlebih saat dia sedang makan. Tapi seolah berkencan dengan Furihata, setiap kali makan, pasti ada saja hal yang dia katakan. Tapi tak apa, Akashi bisa sabar.

"Kau lucu, tapi biasa saja. Kau bodoh, tapi aku suka."

Furihata bergidik. Kemudian bibirnya ia majukan—ngambek ceritanya. Lalu mereka melanjutkan makan dengan hening karena Furihata mogok bicara.

Lima menit kemudian, Furihata berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mencuci piringnya. Akashi menyusul tak lama kemudian dan mencuci piringnya sendiri. Akashi kemudian mengikuti Furihata yang berjalan cepat menuju kamarnya.

Mereka tak lama kemudian duduk dipinggir ranjang Furihata.

"Ayolah, Kouki. Jangan begini. Mari tidur saja, aku lelah sekali rasanya,"kata Akashi tegas namun terdenger sedikit nada permohonan di sana.

Furihata lalu menghela napas.

"Maaf."

Akashi tersenyum kecil lalu merentangkan tangannya—meminta pelukan. Menerima kode dari sang kekasih, Furihata segera saja menerima pelukan Akashi dan menenggelamkan wajahnya didada Akashi lalu menghirup kuat aroma tubuh Akashi. Akashi sendiri meletakkan dagunya dipundak Furihata. Kelopak mata ditutup saat punggungnya dielus oleh Furihata. Rasanya seluruh beban Akashi hilang begitu saja.

"Sudah hilang lelahnya?"tanya Furihata setelah mempertahankan pelukan mereka selama tiga menit.

"Belum. Kalau kau cium, mungkin bisa aku pertimbangkan."

"Sei!" Bukannya mendapatkan ciuman, punggung Akashi malah dipukul.

Pelukan dilepas. Akashi menatap Furihata lamat. Tak lama, Furihata menghela napasnya malas.

"Jangan diganggu, ya."

Kemudian, Furihata mencium kening Akashi sekali.

"Sekali, karena aku tau Sei mengalami hari yang melelahkan."

Lalu, Furihata mencium kedua pipi Akashi.

"Dua kali, karena aku mau kita baik-baik aja, Sei."

Terakhir, Furihata menempelkan bibir nya sebanyak tiga kali pada bibir Akashi.

"Tiga kali, karena aku tau Sei mau aku cium. Selesai."

Akashi terdiam. Sungguh, tingkah Furihata ini benar-benar membuatnya hilang kendali. Diraupnya tubuh Furihata, lalu dipersatukannya hidung mereka berdua.

"Boleh aku cium?"

Anggukan Furihata kemudian membuat Furihata menyesal. Karena kejadiam setelahnya menyebabkan bibir cowok coklat itu bengkak.


Malam minggu, Akashi membawa Furihata ke puncak gunung entah apa yang sudah dia beli sabtu sorenya. Mendengar hal itu, Akashi sempat dimarahi Furihata karena menjadi pribadi yang boros, tapi jawaban Akashi membuat Furihata tersipu. Memang hebat sekali Akashi membolak-balikkan perasaan Furihata.

"Jendelanya aku turunkan, ya, Sei?"tanya Furihata yang mendapatkan anggukan dari Akashi.

"Ambil dulu selimut di kursi belakang."

Furihata menurut. Dia memutar badannya dan mengambil selimut tebal yang berada di kursi belakang dan kemudian dibalutinya tubuhnya dengan selimut tebal berwarna merah tersebut. Setelahnya, barula Furihata menurunkan kaca jendela sampai setengahnya.

Memang sih, tidak kelihatan apa-apa, tapi angin sejuk yang masuk membuat perasaan Furihata menjadi lebih baik. Dilangit sana, hanya ada bulan tanpa bintang yang bersinar. Tak heran malam ini sedikit gelap dibanding malam sebelumnya yang masih bertabur bintang.

Sepuluh menit perjalanan, akhirnya mobil Akashi berhenti. Akashi dan Furihata kemudian turun dari mobil—tentunya setelah Akashi menyuruh Furihata memakai jaket tebal—atas perintah Akashi.

Furihata terkesima dengan pemandangan di hadapannya. Cahaya warna-warni di kota yang tak pernah tidur itu sangat indah.

"Kau selalu tau spot yang indah, Sei."

Akashi tersenyum, lalu membawa tangannya menuju pundak Furihata. Dia merangkul kekasihnya dengan rapat, supaya tidak kedinginan katanya.

Lalu keduanya diam mendengar angin. Furihata menguap tak lama setelahnya membuat Akashi menoleh.

"Hey, masa sudah mengantuk?"

Furihata mengangguk atas pertanyaan aneh Akashi.

"Ini sudah jam sepuluh, Sei."

Akashi mengangguk.

"Aku tidak menyangka sudah tujuh bulan kita bersama, Kouki."

Furihata diam saja mendengar perkataan Akashi. Kalau sudah membawa umur hubungan mereka, biasanya Akashi meminta sesuatu darinya.

"Terimakasih, Kouki, sudah mau bersama denganku selama ini."

"Iya, aku juga, terimakasih Sei."

Lalu mereka diam. Enam menit kemudian, Akashi merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya tersebut.

"Kouki, aku suka benda bersinar. Tapi, aku bakal menikahimu dengan cincin kertas ini."

Cincin kertas berawarna merah kemudian diberikan kepada Furihata dan dipasangkan ke jari manisnya.

Furihata masih terdiam.

"Aku benci kebetulan, kecuali saat kita berawal dari musuh lalu teman, dan menjadi seperti ini."

Tak ada respon. Tapi Akashi tidak menyerah.

"Jadi, Kouki, mau menikah denganku?"

Sumpah, Furihata rasanya mau pingsan saja.


End.

author's note :

halo semua! gimana endingnya?

hehe, sengaja ending nya aku serahin ke imajinasi kalian semua..

so, jangan lupa beri review yaa!

bye!!