"Aku diterima jadi murid Bookman?" tanya Timothy.
Mata anak itu berbinar senang ketika Lavi mengangguk. Dengan lantang dia berkata, "Yes!" sembari mengepalkan kedua tangannya.
Timothy sama sekali tidak menyangka kalau dirinya menjadi murid Lavi!
"Tapi ... kau harus tahu kalau aku akan mengujimu selama seminggu," ujar Lavi tegas.
Ya, mumpung kita tidak diperbolehkan ke mana-mana, sih. Batin Lavi, mengingat ultimatum Komui yang menuruh mereka agar tetap di sekitar Kuro no Kyoudan.
"Tentu saja aku siap!" Jawab Timothy.
Anak berambut biru itu telah menantikan hal ini semenjak dia masuk ke Kuro no Kyoudan. Tentu saja dia sudah bersiap akan tes yang akan dihadapi di masa depan.
Lavi tersenyum tipis, anak ini mengingatkan dirinya yang berusia delapan tahun.
Lihat binar mata itu, masih penuh dengan keingintahuan beserta harapan besar ketika mempelajari soal sejarah dan manusia.
Si rambut oranye menepuk pundak Timothy pelan, lalu berkata, "Setelah diterima jadi murid, jangan pernah menyesalinya."
Timothy menggeleng pelan, senyumnya tak luntur juga. Dengan mantap, anak berambut biru itu berkata, "Tidak akan."
x.x.x.x
Karena tidak ada kegiatan selain menulis, mengajari Timothy, dan berlatih, Lavi pun memutuskan untuk menguatkan ikatan benang merah orang lain.
Setidaknya, Lavi ingin menguatkan penjagaan Kuro no Kyoudan agar orang-orang di sekitar sini tidak menjadi akuma.
Hampir tiap hari Lavi pergi ke luar dari Kuro no Kyoudan, dia menggunakan kesempatan menemani orang-orang yang memiliki keperluan di luar markas mereka.
Kali ini, yang dia temani adalah Kanda.
Ah, lebih tepatnya ... dia yang memaksa untuk menemani Kanda, sih.
"Baka Usagi, kenapa jalannya lama sekali? Bodoh."
Lavi terkekeh kecil melihat Kanda yang marah-marah. "Yuu, jangan buru-buru begitu, dong. Soba rasa terbarumu itu takkan habis, kok."
Si oranye segera mundur perlehan, Mugen mengacung sombong di depan wajahnya.
"Berisik. Cepat jalan," ujar Kanda sembari menurunkan pedangnya. Lelaki itu segera berbalik.
"Kalau soba spesialnya hari ini habis, akan kupotong kepalamu," ancam Kanda dengan nada dingin.
Merinding, Lavi pun akhirnya berjalan lebih cepat.
Ah, harusnya tadi aku bawa Lenalee juga, pikir Lavi dalam hati.
x.x.x.x
Seperti yang diduga, kedai soba kesukaan Kanda ramai bukan main. Karena tidak tahan mengantri lama, Lavi izin untuk pergi sebentar.
Tentu saja Kanda nampak tidak peduli, sih. Hanya saja dia bilang akan menunggu Lavi di kedai itu, jadi tidak ada masalah.
Lavi tertawa kecil. "Kanda itu ... ketus-ketus begitu perhatian juga."
Menatap sekeliling, dalam bola mata hijaunya terpantul benang merah di setiap sudut jalan. Lavi merasa cukup senang karena usahanya dalam menebalkan benang ini tidak sia-sia.
Ah, ya ... omong-omong soal benang, ada yang aneh dengan punya Kanda.
Kalau biasanya orang yang punya soulmate, benang merah mereka akan tetap terhubung sejauh apa pun. Jadi, kalaupun ditarik, masih ada ujungnya.
Hanya saja punya Kanda ... benang merah lelaki itu terputus.
Tentu dia pernah melihat benang merah yang putus, terima kasih pada Tyki yang menggunting benang-benang itu.
Hanya saja, kalau punya Kanda ... dia rasa bukan digunting oleh Tyki.
Selain itu juga ... ada keanehan lain pada benang merah Kanda. Walau terputus, tapi entah kenapa saat ini benang merahnya seperti ada ... ikatan baru?
"Hola, Gantai-kun!"
"WAA!" teriak Lavi kaget. Raut wajahnya pucat saat melihat Tyki berada di sampingnya.
"Kok kau bisa ada di sini!?" tanya Lavi dengan nada khawatir. Dia melirik kanan kiri, takut ada Noah lain yang mengikuti.
"Tenang saja, hanya aku saja kok di sini," jawab Tyki sembari tersenyum senang, "Sudah kuduga kau akan kemari. Melihat hasil karyamu, ya?"
Lavi tak pernah merasa sebangga ini sebelumnya. "Tentu saja. Bagus, 'kan?"
Tyki mengangguk, menyetujui benang merah yang terhampar di depan mata mereka.
Senyuman menyebalkan datang dari wajah Tyki. "Bagus, kok. Hanya saja karena kau, aku jadi tidak bisa bekerja."
Lavi menatap Tyki dengan wajah polos. "Oh, benarkah? Wah, aku sama sekali tidak mengetahui hal itu," lengkap dengan nada mengejek.
Dalam hati anak itu tertawa puas melihat Tyki Mikk menampakkan raut wajah kesal.
"Benarkah? Bukankah karena kau tahu makanya mengacaukan pekerjaanku, bukan?" senyuman lebar mampir di wajah Tyki. "Tapi tidak masalah, sih. Di satu sisi aku juga cukup senang kau menerima saranku untuk jadi cupid mereka."
"Jangan besar kepala, aku jadi cupid karena kemauanku sendiri." Lavi menjawab ucapan Tyki dengan tegas.
Walau memang Tyki dan Allen yang menyarankan dirinya untuk jadi cupid, tapi toh ... Lavi awalnya tidak mau melakukan hal itu.
Namun, setelah apa yang terjadi ... dia menyadari bahwa dirinya tak suka melihat benang merah itu terputus. Ikatan orang-orang itu ... tak seharusnya menderita.
Mata sehijau daun itu akhirnya menatap Tyki. "Hei," ujar Lavi, pandangannya begitu serius.
"Apa kau juga yang memutuskan benang merah Yuu?" tanya Lavi pada akhirnya.
Tyki mengedip bingung. "Siapa itu Yuu?"
Bahu Lavi seketika mengendur, jadi lebih rileks. Walau dugaannya benar bukan Tyki yang memotong benang itu, dia harus memastikan karena hanya lelaki itu yang memiliki kemampuan memotong benang merah.
"Hei, kau belum jawab pertanyaanku," ujar Tyki sebal.
"Soal apa?"
"Yuu," jawab Tyki sembari mendecih. Oh, apa lelaki ini mendecih? Lavi tidak salah dengar, kan? "Siapa itu Yuu? Kenapa kau memanggilnya begitu akrab?"
Lavi memandang Tyki dengan pandangan nakal. "Apa ini? Kau cemburu?"
"Kalau aku bilang iya apakah kau akan senang?" tanya Tyki sembari tersenyum usil.
"Lavi."
Baik Lavi maupun Tyki menoleh, sosok pria dengan pedang, rambut hitam terikat rapi menatap kedua orang itu heran.
"Kau lama sekali, Sialan," ujarnya sembari memicingkan mata.
"Yuu, jangan galak-galak, dong," kata Lavi santai. "Bukannya kau bilang mau menungguku di kedai? Kenapa malah repot-repot ke sini? Merindukanku, yaaa."
"Diam atau kutebas kau," Kanda kemudian menatap Tyki dengan galak. "Lalu, kau ini siapa?"
Bagaimanapun, penampilan pria ini terlalu mencolok. Pakaian ala gembel, Kacamata tebal, rambut tidak terawat. Kok bisa Lavi punya teman urakan begini?
"Oh, kau tidak tahu?" tanya Tyki dengan nada jenaka. "Aku ini pacarnya Lavi."
Kanda syok.
Lavi syok.
Tyki tersenyum lebar.
"Kau!" ujar Lavi dengan emosi memuncak. Tyki sendiri tidak peduli, cukup menikmati anak berambut oranye dengan emosi.
"Kau bohong, 'kan? Mana ada Bookman yang menjalin hubungan!" ujar Kanda sembari mengacungkan pedangnya.
Hanya saja, reaksi yang diinginkan berbeda dari yang dibayangkan. Tyki malah memasang wajah kaget, menatap Lavi dengan pandangan terluka.
"Astaga ... kau Bookman? Kau menyembunyikan fakta kalau kau itu Bookman?"
Kanda kini menatap Lavi dengan pandangan tak terdefinisi. Dia memang bukan orang yang suka ikut campur, tapi untuk kali ini, dia rasa perlu penjelasan karena bingung dengan apa yang terjadi.
Lavi pun meneguk ludah, ciut menatap Kanda. "Yuu, aku bisa ceritakan semuanya secara lengkap. Asal kita pergi dari sini dulu, oke?"
Si rambut oranye membuang napas lega ketika Kanda menerima usulnya. Kedua eksorsis muda itu pergi meninggalkan Tyki.
Sebelum pergi meninggalkan Tyki, Lavi memberi pria itu jari tengah dan dibalas senyuman mengejek oleh yang lebih tua.
