"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 4 : Kedatangan sang Mucikari (flashback end)


Manik karamel itu terbuka ketika setitik sinar matahari memantulkan cahayanya dari luar. Yang pertama kali Yaya lihat adalah langit-langit kamar yang tampak terang dan berbeda dari kamarnya. Suara dengkuran halus membuat Yaya menatap ke sampingnya, dan seketika tatapannya menjadi kosong.

Ah, dia sudah ingat sekarang. Dia sudah dihajar habis-habisan dengan pria tampan yang masih tertidur dengan nyenyak di sampingnya ini.

Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan. Dia gagal menjaga harta berharganya, yang seharusnya menjadi hadiah untuk suami tercintanya di masa depan. Seketika Yaya merasa dirinya sangat kotor.

Wajah Yaya memerah antara malu dan marah setelah mengingat betapa ganasnya Taufan memperawaninya. Sungguh, Yaya tidak pernah menduga bahwa dirinya akan dihabisi dengan keras hanya dengan satu malam. Ia masih bisa merasakan rasa nyeri yang merambat pada seluruh tubuhnya, dan itu semua berasal dari pusat intinya. Keperawanannya diambil secara paksa. Tidak ada kenikmatan seperti yang pernah diceritakan oleh Ying, yang ia dapat hanyalah kesakitan dan tubuhnya pegal-pegal. Karena keganasan Taufan memporak-porandakan tubuhnya, Yaya merasa dalam dua minggu ini ia akan berjalan dengan terpincang-pincang.

Mungkin bagi sebagian perempuan pulau Rintis, mereka akan menjadi orang paling bahagia karena berhasil tidur dengan salah satu keturunan Mechamato yang paling diincar. Namun bagi Yaya sendiri, ia merasa ingin muntah setiap mengingat betapa ganasnya Taufan memperawaninya. Tentu itu bukan gejala kehamilan, tidak mungkin sel sperma pria itu bisa menembus sel telurnya hanya dalam satu kali main dan secara singkat langsung menjadi janin.

Yaya merasa mual karena sosok Taufan ternyata melebihi batas imajinasinya. Pria itu tampaknya sudah berpengalaman bermain secara kasar, dapat dilihat dari caranya memperawaninya.

Wajah dan tubuh Taufan memang sangat sempurna, tetapi untuk perilakunya..., entahlah..., Yaya tidak tahu. Apakah pria itu memang seberengsek itu? Atau hanya karena pengaruh obat perangsang yang diberikan oleh Mimy pada mantan kekasihnya?

Ah, benar. Ini semua gara-gara sih mucikari Mimy itu. Dia yang membuat Yaya harus memberikan secara percuma-cuma kegadisannya.

Menghela nafasnya, Yaya berdiri sembari mengabaikan rasa perih yang menusuk di pangkal paha dalamnya. Dengkuran halus masih setia menemani pergerakan wanita itu dalam memungut pakaiannya. Yaya dengan hati-hati bergerak. Pokoknya, sebisa mungkin ia tidak akan menimbulkan suara gaduh yang dapat membangunkan sih monster yang telah merebut paksa kegadisannya.

Sambil sedikit bersungut dalam hati, Yaya mengambil pashmina plisket coklat mocha miliknya yang sudah terkoyak-koyak dan terletak jauh dekat pintu kamar mandi. Saking liarnya sih Taufan, membuat pashmina baru sekali ia pakai harus rusak tak berbentuk. Yaya segera memakai kembali pakaiannya, dan pashminanya itu ia jadikan tudung kepalanya untuk menyembunyikan rambut dan sebagian wajahnya. Mengingat, pasti setiap hotel memiliki cctv, dan Yaya tidak ingin terlibat dengan keluarga Mechamato. Semua ini di luar kendalinya. Lagipula, siapa yang tahu Yaya akan ditumbalkan oleh Mimy karena dendam pribadinya itu?!

Tangan lembut itu berhenti mengancingi kemejanya, padahal tinggal satu mata kancing lagi yang harus itu masukkan. Mata Yaya seketika membola saat melihat beberapa uang kertas berwarna merah dan potongan kertas nota kecil terletak di atas nakas di samping ranjang yang ditempati Taufan. Dengan langkah pelan, wanita itu berjalan ke arah nakas itu. Matanya membaca dengan seksama tulisan yang ada di nota kecil tersebut.

'Terima kasih malam panasnya. Sesuai dugaan, kau memang layak mendapatkan gelar rajanya bercinta.'

"Dasar perempuan sialan!" desis Yaya dengan suara pelan. Tidak pernah Yaya merasa sangat marah seperti saat ini.

Yaya tahu, tulisan tersebut pasti ditulis oleh Mimy. Tidak salah Yaya memberi perempuan itu gelar sebagai mucikari, karena kenyataannya di sini Yaya berperan sebagai jalang yang dijual.

Yaya yakin, sih mucikari itu pasti diam-diam masuk ke sini saat Yaya dan Taufan tertidur setelah sesi bercinta mereka yang panas. Dan tentunya, isi tulisan itu pasti ditujukan pada Taufan, bukan Yaya. Di sini, Yaya hanyalah berperan sebagai budak pemuas nafsu sang Raja.

Tangan mungil Yaya terulur, hampir mengambil nota kecil dan beberapa lembar uang itu. Namun, ketika suara lenguhan terdengar, jantung Yaya berdebar dengan kencang. Yaya menolehkan kepalanya sebentar, dan ia bersyukur saat melihat Taufan hanya mengubah posisi tidurnya.

Melupakan nota kecil dan beberapa lembar uang tersebut, Yaya memilih untuk melarikan diri secepatnya sebelum dirinya tertangkap oleh netra safir seperti samudra milik Taufan.

Dengan mengabaikan rasa sakit pada pangkal pahanya, dan mengabaikan satu kancing bajunya yang masih belum tertutup dan memperlihatkan leher jenjangnya yang penuh akan bercak kissmark, Yaya berlari keluar tanpa suara.


"Mbak Put, hari ini Yaya nggak masuk lagi?"

Kuputri, sang pemilik kafe tempat Yaya bekerja yang kebetulan baru saja mengantarkan pesanan pelanggannya berhenti tepat di meja perempuan tiongha berkacamata yang dikenalnya sebagai sahabat satu-satunya sang anak buah.

Perempuan dengan setelan biru langit itu mengangguk sembari berkata, "Iya, Ying. Tapi hari ini dia nggak ada izin sih, mbak juga nggak bisa menghubungi dia dari subuh tadi."

Ying, sahabat satu-satunya Yaya itu hanya bisa menyerngit mendengar jawaban bos sang sahabat. Tumben sekali, tidak seperti biasanya Yaya bersikap seperti itu, ucapnya dalam hati.

"Aneh banget, Yaya nggak kayak pernah begini lho, mbak. Dia tuh, mau sesakit apapun pasti tetap maksain datang," sahut Ying dengan nada yang sarat akan kebingungan. "Dan kalau memang dia benar-benar nggak bisa datang, biasanya dia ngasih informasi lagi. Nggak kayak begini,"

"Mbak juga bingung, Ying. Biasanya Yaya juga ngasih info lagi ke mbak, tapi hari ini bahkan dihubungi aja dia nggak bisa. Nomornya selalu berada di luar jangkauan. Mbak mau nanya ke teman kuliahnya, tapi, kan, satu-satunya teman dia cuma kamu, Ying. Makanya, mbak kira kamu ke sini mau ngasih informasi ke mbak kalau Yaya masih nggak bisa masuk. Eh, ternyata kamu juga nggak tahu keberadaan dia," tutur Kuputri dengan panjang dan lebar.

"Ya udah deh mbak, nanti habis sepulang dari kafe mbak, aku bakal coba cek dia rumahnya. Takutnya dia benar-benar sakit parah dan mencoba menyembunyikannya dari kita,"

"Kalau gitu, mbak titip slip gajinya Yaya untuk bulan ini ke kamu ya, Ying. Bentar, mbak ke ruangan dulu buat ngambil amplopnya."

Ying yang mendengar perkataan Kuputri hanya mengangguk. Perempuan bersetelan biru langit itu pun meninggalkan Ying mengambil barang yang ingin ia titipkan, sedangkan Ying, gadis tiongha itu kembali menikmati makanannya


Yaya menatap nanar sebagian tubuh telanjangnya yang terpampang jelas di depan cermin dengan ukuran seperempat berbentuk oval yang memang sudah ada di dalam kamar mandi rumahnya. Terdapat banyak beberapa bercak-bercak merah keunguan pada tubuhnya dan yang paling menonjol terdapat pada bagian payudaranya. Perempuan bermanik karamel itu tersenyum miris, lalu tangannya segera menggosok tubuhnya, mencoba menghilangkan ruam-ruam merah tersebut termasuk aroma pria yang telah menggagahinya.

Namun, tampaknya itu sia-sia. Ruam-ruam merah itu tidak mungkin akan langsung menghilang. Menghela nafasnya, Yaya pun membasuh tubuhnya dengan air guyuran shower yang dingin. Setelah dirasa sudah bersih, tangannya mengambil handuk kemudian melilitkannya di tubuhnya.

Ia kembali menatap pantulannya di cermin. Seketika, Yaya mengingat tulisan yang ada di nota kecil itu.

"Kau menjijikkan," ungkapnya kepada dirinya sendiri. Yaya tertawa miris, walau hanya sebentar.

Ini benar-benar terjadi. Pada akhirnya, Yaya harus menjual tubuhnya untuk membayar hutangnya. Semua gara-gara dirinya yang dengan bodohnya membenarkan arlojinya saat di jalanan. Seandainya saat itu dia tidak nekat bersikap ceroboh seperti itu, semua yang terjadi kemarin tidak akan menimpanya.

"Aku memang bodoh sekali, hahaha," monolognya lagi. Sekarang ia keluar dari kamar mandinya dan berjalan menuju kamarnya yang memang berada di lantai atas.

Sembari berjalan menuju kamarnya, ia teringat dengan bau harum leather yang dimiliki Taufan, dan juga wajah tampannya. Kalau boleh jujur, Yaya mengakui ia cukup menyukai harum tubuh dan wajah tampan pria itu. Lagipula, wanita mana yang bisa menolak pesona Taufan? Yang pasti bukan Yaya, sih. Terus, kalau dipikir-pikir sebenarnya kejadian itu juga bukan salah Taufan sepenuhnya. Yaya merasa mereka berdua adalah korbannya. Tentu, korban dari sang mucikari, Mimy Cakrawidana.

Tapi jika harus memilih, Yaya tentu akan memilih untuk tidak tidur dengan Taufan Al Mechamato. Yaya hanya perempuan dari kalangan biasa, hartanya juga tidak banyak selain rumah kecil peninggalan ayahnya yang ia tempati saat ini. Oleh karenanya, setidaknya Yaya harus bisa menyimpan kegadisannya, salah satu harta berharga wanita yang di zaman modern seperti sekarang berharga sangat murah. Jika dirinya tidak memiliki uang dan wajah cantik yang mendukung, setidaknya Yaya ingin memberikan keperawanannya pada sang suami di masa depan kelak. Anggap saja itu sebagai ungkapan terima kasihnya pada sang suami, karena telah mau menikah dengannya. Tetapi, tampaknya itu sekarang hanya akan menjadi angan-angannya saja.

"Sudahlah, daripada terus memikirkan kejadian yang udah terjadi, lebih baik aku memasak saja."

Selesai memakai kaos turtleneck lengan panjangnya, Yaya meninggalkan kamarnya. Ia berjalan ke kotak P3K, mengambil obat pencegah kehamilan yang telah ia beli tadi setelah pulang dari hotel tersebut. Yah, kebetulan kemarin malam itu masa suburnya, makanya sehabis pulang dari hotel tersebut ia lekas ke apotek. Yaya tidak ingin terlibat dengan keluarga Mechamato, terlebih lagi jika keluarga tersebut tahu bahwa dirinya terlibat dalam skandal dengan salah satu keturunan mereka. Bisa-bisa, kehidupan tentramnya akan berakhir. Selain itu, Yaya tidak ingin anaknya lahir tanpa mengetahui ayahnya apalagi dicap anak haram di negara yang sangat tidak ramah terhadap anak hasil di luar nikah.

Sehabis meminum obat pencegah kehamilan itu, Yaya pun membuka kulkasnya, mencoba mengecek apa yang ia punya untuk dimasak menjadi santapan sarapannya.

'TOK TOK TOK!'

Suara ketukan pintu yang keras dan tidak sabaran membuat Yaya sedikit memaki di dalam hati. Mengambil kerudung langsung berwarna pink yang terletak pada kursi makannya, Yaya berjalan ke depan dan segera membuka pintu yang catnya sudah mulai pudar itu.

Dan mata karamelnya terbelalak.

Di depannya, Ying—sahabatnya—berdiri dengan raut wajah tampak panik dan menoleh ke kanan dan kiri.

"Ying?"

Panggilan Yaya membuat Ying kini menatap ke depan. Raut paniknya kini berubah menjadi lega. Perempuan bersurai hitam kebiruan gelap itu pun langsung menghambur ke pelukan Yaya, membuat Yaya hampir terjengkang ke belakang.

"Ada apa? Kamu kok—"

"Bodoh! Yaya bodoh!" Perkataan Yaya dengan cepat dipotong oleh gadis berkacamata itu. Ying memeluk erat Yaya, sedangkan yang dipeluk hanya diam. "Kamu tuh kalau sakit ngasih kabar kek ke aku, sama mbak boss-mu juga. Jangan diam-diam aja! Kamu bodoh, tahunya bikin aku khawatir aja!" tambahnya bersungut memarahi gadis berkerudung pink itu.

Mendengar omelan Ying, Yaya hanya tersenyum kecil. Perempuan itu mengelus punggung sang sahabat yang masih betah memeluknya.

"Maafin aku ya, Ying. Iya, aku yang salah di sini. Aku lupa ngabarin ke kamu sama mbak Put kalau aku masih pusing, soalnya ponselku mati habis baterai dan belum ku charger," ucapnya berbohong. Tidak mungkin ia menceritakan kepada sahabatnya tentang kejadian sial yang menimpanya semalam.

Ying mendengus, perempuan berdarah tiongha itu pun melepaskan pelukannya pada tubuh Yaya. Mata safirnya menatap Yaya dengan lekat-lekat, mencoba mencari kebohongan sang sahabat. Sedangkan Yaya yang ditatap seperti itu hanya bisa meringis.

"Kamu habis nangis, ya?" tanya Ying sembari memegang wajah Yaya.

Yaya menggeleng, "Nggak kok," kilahnya. "Ying, daripada diam di sini, mending kita masuk aja yuk? Terus, itu kamu bawa apaan? Makanan buat aku, ya?" Yaya menarik tangan Ying, membawanya masuk ke rumahnya guna mengalihkan pembicaraan tadi.

"Iya, ini aku bawakan ayam rendang kesukaan kamu. Dan terus, ini ada slip gaji dari mbak Kuputri buat kamu. Katanya, tinggal kamu doang yang belum ambil gaji bulan ini." Ying membuka tasnya setelah meletakkan kotak makan berisi makanan kesukaan Yaya. Tangannya dengan cepat mengambil amplop yang dititipkan Kuputri tadi dan langsung memberikannya kepada Yaya.

Yaya segera mengambil amplop itu. Wajahnya tersenyum sumringah. "Makasih ya, Ying," ucapnya dan Ying hanya mengangguk. "Kalau begitu,kamu mau minum apa? Biar aku buatin," tawarnya kepada sang sahabat

"Air mineral aja,"

"Serius? Kalau teh es, gimana? Mau nggak?"

Ying mendengus, tapi tak lama perempuan itu mengangguk. Hal itu membuat senyum Yaya semakin merekah. Tampaknya kehadiran Ying dapat membuatnya untuk melupakan kejadian yang menimpanya kemarin malam.

"Oke, bentar ya. Aku buatin, kamu tunggu di sini."

Dan setelah berkata seperti itu, Yaya meninggalkan Ying di ruang tamu sembari membawa kotak berisi makanan kesukaannya.


"Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa kunci rumahmu! Kamarmu juga! Kalau ada apa-apa, telpon aku. Aku pamit dulu."

Yaya hanya menganggukkan kepalanya ketika mendengar nasihat sahabat masa kecilnya itu. Ying, yang memberikan nasihat kemudian pergi meninggalkan perkarangan rumah Yaya dan kini hanya meninggalkan Yaya sendirian.

Merasa punggung sang sahabat sudah tidak terlihat lagi, Yaya pun memutuskan menutup kembali pintu rumahnya. Saat ini, ia ingin beristirahat membaringkan tubuhnya yang kekenyangan sehabis makan siang bersama Ying.

'TOK TOK TOK!'

Namun, baru beberapa langkah ia mau meninggalkan ruang tamu, terdengar suara ketukan pintu yang tak kalah keras dan sangat tidak sabaran. Dahi Yaya menyerngit, kali ini siapa lagi yang mengunjunginya? Tidak mungkin Ying, karena ia sangat yakin sahabatnya itu bukan tipe orang pelupa yang suka meninggalkan barangnya.

"Sebentar," ucap Yaya ketika suara ketukan pintu di luar semakin keras. Dalam hati, dia memaki sang pelaku yang tak sabaran itu.

Dengan ogah-ogahan, Yaya membuka kembali pintu rumahnya. Manik karamelnya kembali dibuat terbelalak.

Kali ini, di depannya, seseorang yang tidak ingin ia temui berdiri di depannya. Perempuan yang tak tahu malu telah menjebaknya, berdiri dengan gaya angkuhnya.

Apa yang dilakukan oleh sepupunya di depan rumahnya ini?

Setelah berhasil menjebak dirinya... ternyata Mimy masih mempunyai muka juga untuk bertemu dengannya.

"Apa yang kau mau?" Dengan wajah galak dan dinginnya, Yaya bertanya.

Melihat Mimy yang tampak memasang wajah tak bersalah itu membuat Yaya ingin sekali menampar wajah rupawan perempuan itu. Tapi, tentu saja Yaya masih waras untuk tidak melakukan hal tersebut. Dirinya masih bisa berpikir jernih, tak ingin tersulut emosi yang akan semakin membahayakannya.

"Bisakah kita bicara?" Yaya menukikan alisnya tak suka mendengar nada bicara Mimy yang tampak tenang dan santai.

"Tidak. Kurasa, urusan kita dan hubungan kita sebagai keluarga sudah selesai kemarin malam," jawab Yaya dengan dingin. Perempuan itu hampir menutup pintunya, namun, tangan lentik dengan banyak perhiasan yang menggantung itu menahannya.

"Kau tidak ingin tahu perihal potretmu dan Taufan yang kuambil saat sesi bercinta kalian?"


Yaya kembali menangis. Sekarang, Yaya sedang bersama dengan Mimy di ruang tamu. Mereka melihat potret yang diambil oleh Mimy. Kali ini tatapan Yaya tidak berhenti menatap beberapa foto yang menampilkan sesi panasnya dengan putra kedua keluarga Mechamato itu.

"Kupikir kau sudah puas menangis tadi pagi, makanya aku sengaja datang agak siang," ucap Mimy sambil melirik Yaya yang masih sibuk menangis.

"Sebenarnya, apa salahku sehingga kau tega melakukan semua ini? Kau dendam kepadaku karena sudah merusak mobil mewahmu?" Yaya bertanya dengan lirih, kali ini isakannya sudah berhenti. Dia mencoba untuk lebih tenang saat ini.

Mimy mengedikkan bahunya, matanya menatap Yaya dengan pandangan geli, "Jangan kepedean, aku tidak dendam padamu, hanya saja aku ingin balas dendam kepada Taufan," ujarnya singkat tanpa beban.

"Mengapa harus melibatkan aku?" tanya Yaya lagi. Ia menatap shock Mimy.

"Aku tidak melibatkanmu, kau diperkosa olehnya di luar rencanaku," sanggah Mimy. "Sebenarnya, Yaya, kita berdua ini korbannya."

Yaya menatap tak percaya Mimy. Apa tadi katanya? Mereka berdua adalah korban? Yang benar saja! Di sini, hanya Yaya lah korban. Dia yang diperkosa oleh Taufan, dan itu juga karena Mimy yang menguncinya dengan pria bernafsu seperti binatang itu. Di sini, Yaya lah yang kehilangan keperawanannya. Keperawanan masih bisa diketahui dan di check ke rumah sakit, tapi keperjakaan tidak akan ada yang tahu. Taufan Al Mechamato, pria itu pasti masih bisa bebas mengaku dirinya masih perjaka di depan umum. Toh, meski jika dia sudah tidak perjaka, masih banyak perempuan di luaran sana yang mau dengannya. Berbeda dengan Yaya, jika ia mengaku sudah tidak perawan, pastinya dia akan dicap wanita yang tidak-tidak. Wanita yang tidak baik, wanita nakal.

"Apa katamu tadi? Kau juga korban? Kau gila, ya?" Yaya menatap sinis Mimy. "Dengar ya, nona mucikari. Kau menjualku kepada mantan kekasihmu sendiri. Kau menjualku, SEPUPUMU SENDIRI. Aku nggak tahu dan nggak paham apa maksud motifmu ini, tetapi yang ku tahu, kau sudah membohongiku, dan sekarang kau juga dengan lancangnya mengambil potretku yang diperkosa oleh mantan kekasihmu itu?! Kau benar-benar sudah gila ya, Mimy!" sergah Yaya sambil menekan kata 'sepupumu sendiri'. Saat ini ia benar-benar marah, tentu saja. Sudah dibohongi, dijebak, dan sekarang potret panasnya juga dengan seenaknya diambil oleh perempuan yang menjebaknya.

Hening. Mimy tampak diam setelah Yaya melampiaskan emosinya. Sedangkan Yaya, wanita itu kini tampak mengurut dahinya yang mulai pusing.

"Sekarang pergilah dari rumahku, Mimy."

Mimy tetap diam. Perempuan itu menatap lekat-lekat Yaya yang kini menatapnya dingin.

"Apa lagi? Apa lagi yang ingin kau tunjukkan kepadaku?" Yaya bersedekap dada, kakinya yang satunya ia naikkan ke atas meja. Saat ini, ia benar-benar tidak ingin bersikap sopan santun dengan Mimy.

"Aku ke sini ingin memberikan penawaran kepadamu," ucap Mimy tenang.

"Tidak, aku tidak—"

"Dengarkan dulu, Yaya. Kumohon, ini penawaran terakhirku padamu."

"Haaah..." Menghela nafasnya, Yaya membenarkan posisi duduknya. "Katakanlah apa yang kau mau!" lanjutnya dengan nada marah.

"Aku ingin mengirimkan fotomu ini kepada Taufan."

BRAK

Yaya menggebrak mejanya. Tubuhnya bahkan kini telah terangkat sedikit, mata hazelnya menatap marah dan benci pada Mimy yang tampak tenang.

"Apa kau sudah gila?! Kau ingin aku dikuliti oleh keluarga Mechamato?!" Yaya benar-benar marah besar saat ini. "Keluar dari rumahku. SEKARANG!"

Mimy tetap diam. Perempuan itu segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, dua orang pria berbadan besar datang dengan sebuah sertifikat rumah dan 4 buah koper yang berisi uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit. Kedua pria itu meletakkan koper yang terbuka berisi uang tunai itu dihadapannya.

"Aku akan memberikanmu semua ini sebagai kompensasi atas kehilangan keperawananmu, Yaya," ucapnya santai.

Yaya terkekeh geli. Ia menatap sinis Mimy. "Tidak semua harus dibayar dengan menggunakan uang, nona mucikari. Sekarang, kau keluar dari rumahku!" sergahnya dengan nada semakin keras. Bahkan saking kerasnya, membuat dua pria berbadan besar dibelakang Mimy tersentak.

Mimy menghela nafasnya pelan. Perempuan itu pun segera bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju pintu keluar diikuti dua ajudannya. Sebelum keluar, perempuan itu menatap Yaya kembali.

"Aku tetap akan mengirimkan fotomu pada Taufan. Suka atau tidak, seharusnya kau tahu, aku akan tetap mengirimkan foto sesi bercinta kalian kepadanya. Dan tenang saja, aku pastikan akan mengirimkan foto wajahmu yang sudah diedit," ucapnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan perkarangan rumah Yaya.

Tubuh Yaya melemas setelah mendengar perkataan Mimy. Gadis itu jatuh terjerembab dan air matanya yang sedari tadi ia tahan kini tumpah kembali.

"ARGHHHH!!!"


Peek A Boo

Chapter 4 : Kedatangan sang Mucikari (flashback end)

To be continued


Author's note:

Chhapter 4 sudah update. Jangan lupa untuk reviewnya hehe. By the way, Happy Ied Mubarak buat yang merayakan hari ini ya.

Sampai jumpa di next chapter~


Omake

Suara dering telpon membuat Mimy dengan semangat mengangkat ponselnya. Dia masih di jalan, mau menuju ke rumahnya setelah kembali ke rumah Yaya. Senyumnya semakin melebar saat melihat nama kontak yang memanggilnya.

Amar Deep. Partner in crime-nya semasa SMA hingga sekarang.

"Halo. Gimana, Mar? Udah selesai?"

"Semua sudah selesai ku edit, tapi...," Di seberang sana, Deep sedikit menjeda ucapannya, "...videonya benaran mau kau sebarkan? Kau sudah minta izin pada perempuan polos itu?"

Mimy terdiam sebentar. "Sudah, kau tenang saja," ucapnya berbohong. Terdengar helaan nafas lega di balik ponselnya.

"Kapan kau ingin menyebarkan videonya ini?"

Senyum Mimy mengembang. "Dua minggu lagi. Tolong bantu aku ya, Deep."

Omake end.