"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 7 : They (finally) met


"Aunty Ying!"

Ying yang baru saja masuk ke pintu masuk restoran yang sudah didirikan Yaya 2 tahun yang lalu tersenyum kecil ketika melihat seorang gadis kecil memanggil namanya. Gadis kecil dengan kerudung kuning itu melepaskan tangannya dari genggaman sang pengasuh dan berlari ke arahnya. Mengetahui gadis berusia 4 tahun itu menghampirinya, Ying pun berinisiatif untuk berjongkok agar sejajar dengan tinggi gadis cilik itu.

"Halo Yacha, sayangnya aunty~" Ying tersenyum lebar pada gadis kecil itu. Sedangkan Yachana, si balita itu langsung menghambur kepelukan Ying.

"Yacha juga tayang tama aunty, hehehe," Yachana—atau kerap dipanggil Yacha itu—mengangkat wajahnya untuk bertemu pandang dengan Ying sambil memamerkan deretan giginya yang tampak putih mulus dan rapi.

Gemas dengan kelakuan gadis cilik bermanik safir itu, tangan Ying langsung mencubit pelan pipi gembil sang bocah berumur empat tahun itu.

"Sayangnya aunty ini lucu sekali," tutur Ying, tangannya masih tidak lepas dari pipi gembil putri sahabat baiknya itu. Mendengar pujian dari bibinya itu, Yachana hanya tersenyum kecil dengan wajah merona. "Oh ya, bunda sama abangnya Yacha mana? Kok, cuma Yacha sama mbak Amy doang yang ada di sini?" tanya Ying, mata birunya mengedar ke seluruh ruangan restoran, mencari keberadaan sahabatnya dengan bocah lelaki yang memiliki rupa sama seperti Yachana.

"Kami di sini." Mendengar suara Yaya, Ying segera menoleh. Yaya tampak habis keluar dari pintu khusus menyimpan bahan-bahan masakan untuk keperluan stock restoran dengan sosok balita lelaki di dalam gendongannya.

"Halo, Ufik gantengnya aunty~" seruan Ying membuat bocah lelaki bersurai hitam dengan poni kirinya berwarna putih itu menyembunyikan wajahnya ke dalam ceruk leher sang ibu. Melihat reaksi bocah itu, Ying terkekeh geli. "Anakmu yang cowok ini masih aja malu kalau ketemu aku, Ya," lanjutnya berkata.

Yaya hanya terkekeh. Ibu muda dua anak itu mengelus lembut rambut hitam bercampur putih sang anak. Ia berjalan mendekati Ying dan sang putri yang kini berlari memeluk erat kakinya.

"Tumben sekali kau datang pagi ke sini, biasanya juga agak siangan," celetuk Yaya tenang.

"Iya, soalnya ada sesuatu yang ingin aku omongin ke kamu," balas Ying. Perempuan berkacamata dengan frame bulat itu menggaruk pipinya sembari tersenyum meringis menatap Yaya.

Alis Yaya terangkat sebelah. Perempuan yang menggunakan bergo hijab berwarna lavender itu pun bertanya, "Mau ngomongin apa? Kalau memang penting, kita omongin di dalam ruanganku aja. Mau nggak, Ying?"

Ying hanya mengangguk. Segera, Yaya menoleh ke arah Amy, pengasuh anaknya. Amy yang paham dengan lirikan sang bos segera mengambil Taufik dari gendongan sang ibu dan untung saja bocah itu tidak rewel, sedangkan tangannya yang bebas menggenggam tangan mungil Yachana yang juga menurut saja.

"Amy, kamu jagain Yacha sama Ufik dulu ya," titahnya pada sang pengasuh. Amy, sang pengasuh mengangguk paham. Netra Yaya kini beralih kepada kedua anaknya yang kini menatapnya dengan tatapan polos. Dengan perasaan sayang perempuan itu mengelus dan mencium sang anak secara bergiliran, sembari berkata, "Yacha sama Ufik dengan mbak Amy dulu ya. Bubun sama aunty mau ngomongin hal penting dulu. Selama sama mbak Amy, jangan nakal ya nak,"

Kedua bocah berbeda gender dengan wajah serupa itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon. Setelah mengatakan hal tersebut pada putra-putrinya, Yaya pun pergi membawa Ying masuk ke ruangan kerjanya.


"Kau masih nggak mau menyerah mencari perempuan yang pernah kau tiduri 4 tahun yang lalu?" Fang bertanya dengan malas. Lelaki bermata merah itu mendengus kesal saat melihat respon Taufan yang hanya diam sambil berkutat dengan dokumennya. "Sudahlah, Fan! Lupakan saja wanita itu, lagian selama empat tahun ini kita mencarinya nggak pernah ada hasilnya. Ketiga saudaramu juga udah berhenti mencari perempuan itu," lanjutnya tetapi respon Taufan masih tetap sama. Melihat itu membuat Fang memaki temannya itu dalam hati.

"Apa sih yang kau takutkan jika kita nggak menemukannya? Kau takut dia tiba-tiba muncul dengan membawa anakmu, begitu?!"

Sontak Taufan mendelik ke arah Fang. Menandakan dirinya tidak suka dengan obrolan yang disinggung pria berambut seperti landak itu. Saat ini ia tak berniat membicarakan perempuan itu. Kepalanya sudah dipusingkan dengan pekerjaan, jika Fang membahas perempuan itu malah membuat kepalanya seperti ingin pecah.

Jujur saja, Taufan tidak mengerti dengan jalan pemikiran wanita itu. Ia pikir wanita itu akan muncul dan mengancam dirinya serta keluarganya, tetapi ternyata...? Bahkan waktu sudah terlewati empat tahun ini, perempuan jalang itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya.

Mungkinkah perempuan itu tidak hamil? Atau mungkin dia memilih menggugurkannya?

Entahlah, Taufan pusing sekali saat ini. Intinya, ia sedang tidak dalam kondisi mood yang bagus untuk membahas wanita itu!

"Sudahlah Fan, kita hentikan saja mencarinya. Mungkin saja perempuan yang kau cari itu tidak hamil. Lagipula, aku rasa dia nggak berniat jahat padamu. Terus, aku juga berpikir dia itu korban sama sepertimu, dia pasti telah dijebak sama orang yang ingin menjatuhkan reputasimu," lanjut Fang bertutur. Dalam hati, Taufan membenarkan perkataan pria itu.

"Nah, sekarang mending kau lupakan masa lalu. Mending kau kembali ke Pulau Rintis, berkumpul lagi sama keluargamu. Terus, jangan lupa sekalian cari pasangan hidup. Ingat bro, umurmu sudah mau kepala tiga. Gempa, Blaze, Ice aja udah punya keluarga kecil. Terus sih Thorn sama Solar sudah tunangan. Hali juga udah nambah anggota keluarga baru, mana langsung dapat dua kek jackpot. Kau nggak iri gitu ngelihat para saudaramu udah punya keluarga sama gandengan buat dipamerin? Kau nggak iri sama aku yang bakalan nikah bulan depan?"

Lagi-lagi Taufan mendelik tajam ke arah Fang yang menaik-turunkan alisnya. Dasar pengkhianat!

"Nggak bakalan aku iri sama kalian, cuih. Aku masih mau fokus ke pekerjaan. Terus, aku juga masih nggak mau nikah, bikin ribet aja," ucap Taufan dengan jujur.

Mendengar jawaban Taufan, Fang hanya mendengus. "Dasar kolot. Awas, nanti kau didahuluin sama sih Gopal baru tahu rasa," ejeknya.

"Bodo amat,"

Hening. Baik Taufan ataupun Fang tidak lagi bersuara. Taufan sibuk dengan mengecek berkas-berkasnya, sedangkan Fang, pria itu tampak merebahkan tubuhnya di sofa panjang milik Taufan sembari memainkan ponselnya.

Ngomong-ngomong masalah pernikahan, berkat video skandalnya dengan perempuan jalang itu menyebar dengan cepat, ibunya sudah tidak pernah menjodoh-jodohkannya lagi. Saat dirinya akan dijodohkan, Taufan pasti akan berkelit dan membawa skandalnya sehingga sang ibu memilih bungkam.

Ah, berbicara mengenai ibunya, Taufan jadi teringat bahwa nyonya Mechamato itu akan berkunjung ke apartemennya malam ini. Ini adalah kunjungan kedua Tamara setelah setahun yang lalu sempat menjenguknya ke kota Hilir dan menginap selama seminggu. Taufan sih awalnya senang-senang aja ibunya itu mau mengunjunginya bahkan sampai menginap. Tetapi, untuk kali ini pria itu tampaknya tidak begitu senang dengan kehadiran sang ibu. Hal itu dikarenakan permintaan Tamara yang sangat merepotkan. Ibunya itu kini sudah berpesan padanya, agar membelikan sebuah rendang ayam yang pernah ia cicipi saat menetap sementara di kota Hilir. Masalahnya, Taufan tidak tahu rendang ayam milik restoran mana yang pernah ibunya cicipi itu, ibunya juga tidak tahu nama restorannya. Yang tahu hanya sekretarisnya saja, Suzy, yang di mana selama tiga bulan ini izin cuti untuk bulan madu.

"Fang, kau tahu nggak restoran yang menjual ayam rendang enak di sini di mana?"

"Nggak tahu. Mending kau tanya ke Gopal aja, jangan ke aku. Kalau kau nanya aku, kau salah orang," Fang menyahut dengan tidak santai.

"Kalau begitu, tolong aku dong panggilkan Gopal?"

Fang mendelik sinis. "Panggil aja sendiri," tuturnya kemudian meninggalkan Taufan sendirian di ruangan pria itu.

Anak setan, umpat Taufan dalam hati. Dengan malas, pria bermata safir itu menekan tombol telepon kantor untuk menghubungi sih karyawan yang juga teman baiknya.

"Gopal, datang ke ruangan gue sekarang,"


"Jadi, kamu mau ngomong apaan, Ying?"

Tanpa berbasa-basi, Yaya langsung bertanya kepada sahabatnya yang kini duduk di depannya.

"Ini undangan buat kamu," ucap Ying sembari menyerahkan sebuah undangan pada Yaya. Itu adalah undangan pernikahannya dengan sang kekasih.

Yaya mengambil undangan tersebut dan membacanya. Netra karamel wanita berusia 24 tahun itu membulat. Ia menoleh menatap perempuan bersurai hitam kebiruan itu tak percaya, sedangkan Ying hanya terkekeh kecil.

"Wah, selamat Ying. Ya ampun, aku nggak nyangka banget akhirnya kamu sama pacarmu sampai ke jenjang pernikahan juga." Bola mata karamel wanita berkerudung lavender itu tanpa sadar ada tumpukan air mata. Yaya tampak terharu dengan kabar pernikahan sang sahabat.

"Hehehe, makasih Yaya," sambut Ying sembari terkekeh.

"Habis nikah berarti kamu nggak bakal sering main ke sini dong?" tanya Yaya penasaran.

"Justru habis nikah, aku bakal tinggal di sini. Fang sekarang memegang jabatan tinggi di perusahaan cabang milik kakaknya di sini, jadi dia memutuskan untuk tinggal di sini aja sehabis menikah."

Mendengar jawaban Ying, Yaya hanya mengangguk saja.

"Mimy gimana? Dia nggak kamu undang?"

Ying menghela nafasnya. "Di undang kok, tapi dia nggak bisa pergi. Soalnya dia udah hamil besar, jadinya mertuanya nggak ngizinin dia pergi dari Jepang. Mana ini anak pertamanya dan cucu pertama di keluarga mertuanya juga," ucapnya menjelaskan keadaan Mimy. Semenjak kehamilan Yaya, hubungannya dengan sepupu Yaya itu menjadi dekat. Dan Yaya tahu itu tapi dia tetap diam, tidak ingin ikut campur. Dan Ying terkadang menjadi perantara Mimy dengan kedua anak Yaya tanpa sepengetahuan sahabatnya itu.

"Oh begitu," Yaya hanya ber'oh' ria saja sebagai respon menanggapi.

"Memangnya kalian masih lost contacts ya?" Ying bertanya penasaran.

"Masih. Tapi baguslah, urusanku sama dia juga udah kelar, kan? Jadi, kami nggak perlu repot-repot berhubungan lagi," jawab Yaya dengan santai.

Ying yang mendengarnya hanya tertawa terbahak-bahak. Dirinya sangat puas sekarang Yaya menjadi perempuan bermulut pedas walaupun sebenarnya perempuan itu bermulut pedas hanya ditujukan kepada Mimy, yang telah membuat perempuan penyuka warna merah muda itu harus bersembunyi dari dunia—tepatnya pada keluarga Mechamato karena skandalnya dengan anak kedua keluarga tersebut.

"Yaudah, aku pamit pulang dulu. Takut sih Fang nyariin aku, soalnya aku nggak ngabarin apa-apa ke dia," beranjak dari duduknya, Ying menutup pembicaraan mereka.

Kedua sahabat itu pun berjalan ke luar dari ruangan. Saat keluar, kini kawasan restoran Yaya sudah mulai ramai pengunjung. Amy, pengasuh kedua anak kembar Yaya segera pergi menghampiri sang bos dengan dua bocah di sisi kanan-kirinya.

"Bubun, sudah selesai bicalanya?" tanya Yachana sembari menatap Yaya dengan mata birunya yang polos.

"Udah sayang. Sekarang aunty Ying mau izin pamit dulu nih," balas Yaya sembari mencubit pelan wajah gembil sang putri.

"Aunty Ying mau pulang?" Yachana mengalihkan pandangannya ke Ying. Perempuan tiongha berkacamata itu mengangguk. "Yah, padahal Acha mau main sama aunty," gadis kecil berkerudung kuning itu tampak lesu, membuat Ying merasa bersalah.

"Nanti ya sayang kita mainnya. Sekarang aunty harus pulang dulu, aunty udah ditunggu sama uncle soalnya," ujar Ying lembut. Tangannya mengelus sayang kepala Yachana yang tertutup kerudung.

"Janji ya nanti aunty mainnya lama sama aku?" Yachana menunjukkan jari kelingkingnya, membuat Ying gemas sendiri dengan tingkah putri sahabatnya itu.

"Janji," Ying mengaitkan jari kelingkingnya dengan Yachana, membuat bocah empat tahun itu tersenyum lebar memamerkan giginya yang rapi.

"Yaudah, aunty pamit dulu ya. Bye bye Yacha, bye bye Ufik," pamit Ying sembari tersenyum lebar.

Yaya tersenyum kecil, satu tangannya melambai pada Ying, sedangkan yang satunya ia gunakan untuk menggerakkan tangan sang putra, Taufik, yang malu-malu untuk melambai ke Ying. Berbeda dengan Taufik, Yachana justru paling bersemangat melambaikan tangannya sembari mengucapkan selamat tinggal pada Ying.


"Sumpah, Taufan nih nyebelin banget. Makin nambah umur, makin semena-mena sama aku." Di jalanan, Gopal tidak henti-hentinya merutuki sang sahabat dan juga bos tempat dirinya bekerja.

Mobil sedan yang dikendarai oleh lelaki tamil itu pun berhenti di depan restoran berpapan nama "Sweet Escape" yang ramai pengunjung. Menurut informasi yang dia dapat dari karyawan lain, restoran ini adalah restoran yang memiliki masakan ayam rendang paling enak dengan nuansa bikin rindu rumah dan juga menjadi restoran tempat di mana Suzy, sekretaris Taufan, selalu membelikan pesanan nyonya Mechamato tersebut. Selain ayam rendangnya yang memiliki cita rasa yang nampol, restoran ini juga menyajikan masakan Malaysia yang lain tak kalah sedapnya, dan tidak lupa dengan dessert-nya, terlebih lagi biskuit yang dibuat sang owner yang katanya memiliki cita rasa yang unik. Tidak hanya itu saja, menurut berbagai review di sosial media, tempat yang baru dibuka 2 tahun yang lalu di kota Hilir itu pelayanannya juga ramah dan gercep. Makanya, restoran ini menjadi salah satu restoran paling direkomendasikan saat berkunjung ke kota Hilir baru-baru ini.

Suara lonceng berbunyi saat Gopal membuka restoran tersebut. Hal yang pertama mata onyx-nya lihat adalah ramainya pengunjung yang tampak menikmati makanan mereka. Dengan mantap, Gopal akhirnya berjalan ke meja bar kasir. Di sana, berdiri seorang kasir perempuan sedang menebarkan senyum padanya.

"Selamat datang, mau pesan apa ya masnya?" tanya sang kasir, seorang wanita bersurai pirang dikuncir kuda itu dengan lembut. Membuat hati Gopal berdegup kencang.

"Mas?"

Tersentak, Gopal akhirnya berdehem. Pria itu tampak melirik buku menu yang tersedia di depannya. Dengan hati yang berdebar-debar, pria tamil itu pun mencari menu ayam rendang yang diinginkan oleh ibu temannya itu.

Ah. Ketemu.

"Saya pesan menu yang ini mbak, 30 porsi ya mbak, take away," ucapnya menunjuk menu ayam rendang yang ada pada menu.

Sang kasir—Amy—mengikuti arah jari Gopal, lalu kemudian mencatatnya di buku kecil.

"Baik, mas. Ayam rendangnya 30 porsi dan take away, ya?" tanya Amy kembali, mencoba memastikan. Gopal mengangguk.

"Apa ada pesanan yang lain?"

Gopal terdiam. Dia menatap kembali buku menu tersebut, tetapi tidak menemukan menu yang dicarinya. Dengan memberanikan diri, akhirnya pria itu bertanya.

"Mbak, menu special-nya yang biasanya di review itu kok nggak ada di menu, ya?"

"Ah, menu special, ya? Mas mau pesan itu?"

Gopal mengangguk, walaupun ragu-ragu.

"Bentar ya mas, saya tanyain ke owner saya dulu. Soalnya, menu itu memang jarang ada mas, cuma dikeluarkan di saat promo tertentu dan hari penting aja," ujar Amy menjelaskan. "Masnya nggak pa-pa saya tinggal sebentar dulu?"

Gopal kembali mengangguk. Tak lama, sang kasir bersurai pirang dikuncir kuda itu pergi ke belakang. Tidak lama, hanya memakan waktu 10 menit. Setelah itu, sang kasir kembali dengan wajah menyesal dan tangan mengatup memohon maaf.

"Mohon maaf ya mas, owner saya ternyata lagi di luar. Saya juga barusan check di belakang, menu special-nya sudah sold out semua pagi tadi. Sekali lagi, saya mohon maaf ya mas,"

Gopal yang mendapatkan pelayanan seperti itu hanya menanggapi dengan anggukan kikuk. Ternyata, restoran ini benar-benar sesuai dengan review di sosial media. Pelayanannya sangat bagus dan ramah, pantas saja selalu ramai pengunjung.

"Jadi, nggak ada pesanan yang lain selain 30 porsi ayam rendang yang di take away, kan, mas?"

"Iya mbak, cuma itu doang," sahut Gopal.

"Oke, semuanya jadi RM. 36,61 ya mas." Gopal kembali mengangguk. "Oh ya mas, karena ini ada 30 porsi, apa mas mau menunggu? Soalnya di tempat ini kayaknya nggak cukup untuk pesanan mas," lanjut Amy sambil menunjuk tempat ayam rendang yang memang sisa sedikit.

"Makan waktu berapa lama saya harus menunggu ya mbak?"

"Kira-kira 30 menit mas. Bagaimana, mas mau menunggu?" Gopal melirik arlojinya. 30 menit, itu cukup lama. Belum lagi dia juga ada rapat bersama Taufan membahas soal rancangan robot terbaru yang akan diluncurkan oleh pria itu 15 menit lagi.

"Wah, kayaknya nggak bisa deh mbak. Saya juga ada rapat bentar lagi," ucap Gopal. "Oh ya mbak, di sini ada jasa pesan-antar nggak? Kalau ada, saya pakai jasa itu aja. Soalnya ini saya ada rapat bentar lagi."

Amy tersenyum mendengarnya. Ini mah rezeki nomplok namanya. Sudahlah memesan 30 porsi, mau makai jasa pesan-antar juga, ucapnya dalam hati.

"Ah, ada kok mas. Tenang aja, ongkirnya nggak mahal kok. Kalau sama ongkir, semuanya jadi RM. 43,2 mas," tutur Amy menjelaskan.

"Baiklah, saya pakai jasanya. Tolong kirimkan ke alamat apartment ini ya, kirimnya terserah jam berapa, asal rendangnya masih tetap hangat saja soalnya itu untuk nyonya saya," ucap Gopal sembari menyerahkan secarik kertas copyan berisi alamat apartemen Taufan yang memang sengaja di copy oleh pria itu. Amy hanya mengangguk paham.

Setelah memesan dan membayar, Gopal akhirnya pergi keluar dari restoran tersebut. Di perjalanan, matanya tak sengaja melihat seorang bocah perempuan dan bocah lelaki berlari memasuki restoran tersebut, di susul oleh perempuan berhijab lavender yang tampak membawa banyak paper bag. Matanya masih menatap ke arah pintu restoran yang tadi dimasuki oleh sih dua bocah kembar dengan seorang wanita yang ia tebak adalah ibunya, sebelum akhirnya mengerjap saat mendengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat, pria itu mengecek ponselnya dan di sana terpampang nama sang bos yang juga teman baiknya, sih Taufan.

"Iya, ini aku mau jalan. Sabar dikit dong," ketusnya sembari berjalan memasuki mobil. Di seberang telpon, Taufan juga berkata dengan keras.

"Udah dulu, aku udah mau jalan ini. Bentar lagi aku sampai, kau diam saja. Udah ya, bye!"

Menutup telponnya secara sepihak, Gopal meletakkan ponselnya di dalam dashboard mobil. Matanya kembali memandang ke arah restoran tersebut, tampak di kaca tembus pandang itu dua bocah berwajah seiras sedang bermain bersama dengan seorang wanita berjilbab lavender mencium kedua bocah itu bergiliran.

"Mukanya kayak nggak asing," gumam Gopal pelan. Tak lama, ia pun segera menarik gas mobilnya dan pergi dari kawasan restoran tersebut.


"Mbak Ya, hari ini kita untung besar, lho, mbak!"

Yaya yang sedang menggunakan apronnya menatap bingung ke Amy yang sedari tadi tampak menggebu-gebu untuk bercerita.

"Untung besar gimana maksudmu?"

Amy tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya. "Ada yang mesan ayam rendang 30 porsi di take away. Tapi karena dia ada rapat, jadi makai jasa pesan-antar," ucapnya menjelaskan dengan heboh. "Oh ya mbak, dia juga tadi nyari menu special, tapi kata anak-anak udah sold out ya pagi tadi, jadi dia cuma mesan 30 porsi ayam rendang."

"Alhamdulillah," Yaya yang mendengarnya mengulum senyum. Dia tak menyangka, menu special-nya ternyata banyak juga digemari dan dicari pelanggan.

Padahal Yaya sangat ingat, dulu saat ia membuat menu itu di kafenya Kuputri, selalu tidak laku. Yap, menu special-nya itu adalah biskuit yang sedari dulu ia buat. Biskuit gagal dan mematikan yang selalu dibilang rasanya seperti kertas ampelas oleh beberapa pelanggan Kuputri. Namun, sekarang tampaknya biskuitnya mulai memiliki penggemar. Walaupun rasanya kini jauh lebih lumayan enak dan bisa dikonsumsi daripada buatannya yang dulu.

"Amy, ayam rendangnya 30 porsi udah siap!" teriak seorang pelayan yang bekerja sebagai chef di restoran Yaya.

"Oke, bentar aku—"

Belum sempat Amy menjawab, Yaya sudah memotong ucapannya. "Biar aku aja yang antar. Kali ini, biarkan aku yang bekerja."

"Tapi mbak..." Gelengan lembut Yaya membuat Amy menghentikan protesnya.

"Kamu jaga kasir sama Yacha dan Ufik aja selama aku mengantar pesanan ini. Kalau ada yang ingin dibeli sama mereka, kamu tinggal ambil saja uang di kasir. Mengerti?" Yaya melepaskan apronnya. Perempuan itu berjalan ke dapur untuk mengambil pesanan 30 porsi yang menggunakan jasa pesan-antar restorannya.

"Bubun mau kemana?"

Langkah kaki Yaya berhenti ketika mendengar suara putranya. Merunduk, Yaya menatap lembut wajah Taufik yang masih memandangnya dengan mata biru polosnya.

"Bubun mau antar pesanan pelanggan dulu. Ufik sama Yacha tinggal dulu di sini sama mbak Amy, ya?" ucapnya lembut, masih dengan tubuh merunduk.

Taufik menggeleng. Bocah lelaki itu memeluk erat betis Yaya.

"Ufik mau iclkut..." gumam bocah itu, masih tidak mau melepaskan kaki sang ibu.

"Ufik tinggal sama mbak Amy dan Acha aja dulu, Bubun nggak lama kok. Nanti pas pulang, Bubun bawain mobil-mobilan deh buat Ufik," masih tak menyerah, Yaya berusaha merayu sang anak lelaki dengan berjanji membelikannya mobil-mobilan.

Mendengar kata mobil-mobilan, Taufik melepaskan pelukannya pada kaki sang ibu. Mata birunya berbinar menatap wajah Yaya.

"Janji ya, Bun? Janji ya?"

Yaya mengangguk mantap. "Janji," katanya.

Taufik segera berjingkrak-jingkrak sembari tertawa. Yaya yang melihatnya terkekeh, begitu juga Amy yang kini menggendong Yachana yang tertidur pulas.

"Amy, aku titip Ufik sama Yacha padamu ya~" Amy mengangguk paham mendengar permintaan Yaya. "Oh ya, alamatnya di mana ya tadi?" Yaya bertanya.

"Ini mbak ada di kertasnya..."


Tangan Yaya tidak berhenti-henti memencet tombol bel yang berada tepat di samping pintu apartemen bergaya minimalis. Kali ini sudah kesepuluh kali ia memencet tombol tersebut, tetapi masih tidak ada jawabannya sama sekali.

Mungkinkah Yaya salah alamat? Melihat kembali secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat yang diberikan oleh Amy, Yaya yakin ia tidak mungkin salah alamat. Tulisan itu memang mengarahkannya pada apartemen mewah bergaya minimalis yang Yaya yakini harganya mungkin berkali-kali lipat lebih mahal dari restorannya. Rasanya, Yaya ingin pergi saja dan menitipkan pesanan yang diantarkan olehnya itu ke tetangga sih pembeli. Tetapi, ia takut justru itu akan semakin merepotkan orang lain. Jadi, Yaya memutuskan untuk menunggu dua puluh menit, dan jika dalam kurung waktu tersebut sang pembeli tidak datang juga, Yaya akan meletakkan pesanan 30 porsi ayam rendangnya di depan pintu, setelahnya Yaya akan pergi pulang.

Dalam hati Yaya sedikit merutuki Amy yang tidak meminta nomor ponsel si pelanggan. Perempuan itu memang cekatan, tetapi kadang ceroboh juga. Jika sudah begini, bagaimana caranya agar Yaya bisa menghubungi si pelanggan tadi?

Lagi, Yaya menekan bel itu dengan brutal. Ia tak berniat untuk lama-lama di sini, takut kedua anaknya itu—terutama Taufik—akan rewel dan kangen ditinggal olehnya. Dibandingkan Yachana, Taufik adalah anaknya yang memiliki sifat yang rewel dan tidak suka ditinggal lama-lama olehnya. Bocah lelaki berusia 4 tahun itu akan menangis kencang dan bertingkah menyebalkan jika Yaya meninggalkannya cukup lama. Membayangkan Amy yang akan kerepotan karena ulah putranya membuat Yaya merasa pening pada kepalanya.

"Hei, kau mau merusak bel apartemen milikku, ya?!" Suara tudingan husky yang maskulin dan berat itu menyapa telinga Yaya.

Akhirnya datang juga, dasar lamban, cih, umpat Yaya dalam hati.

Yaya berbalik sambil berkata, "Ah, akhirnya Anda datang juga. Saya dari restoran ingin mengantarkan—" suara Yaya hilang dengan sendirinya. Manik cokelat karamel wanita itu membola menatap sosok pria yang sangat dikenalinya, kini berdiri angkuh di depannya.

Safir bertemu dengan cokelat karamel bening.

Dengan balutan kemeja putih yang dua kancingnya sudah dilepas, dan jas yang disampirkan di pundak kirinya..., Yaya sangat yakin pria ini baru saja pulang dari bekerja.

Jangan bilang jika pria ini yang memesan 30 porsi ayam rendang dari restorannya? Tapi, kenapa secepat ini? Kenapa secepat ini Yaya harus bertemu dengan pria yang ingin Yaya hindari sampai mati sekali pun.

Mengapa pria ini ada di Kota yang sama dengannya? Bukankah seharusnya pria ini di Pulau Rintis? Kenapa dia ada di Kota Hilir?

Mengapa ayah biologis kedua anak kembar kesayangannya ada di sini? Sejak kapan?

Sejak kapan Taufan Al Mechamato meninggalkan Pulau Rintis dan tinggal di kota yang sama dengannya?


Peek A Boo

Chapter 7 : Bertemu Ayahnya Yachana dan Taufik.

To be continued


Author's note :

Sebenarnya aku cuma mau double update, but keknya aku berubah pikiran. Aku bakalan update sampai mentok chapter 9/10 deh? soalnya draftnya juga udah banyak dan juga sudah direvisi waktu aku di desa paman hehehe. by the way, jangan lupa tinggalkan jejak berupa review ya~~