"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 11 : Awal dari penyelidikan


"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Tamara sedang meletakkan makan malam yang sudah selesai dipanaskan olehnya di meja makan ketika mendengar suara putra keduanya yang tampaknya baru kembali dari bekerja. Wanita paruh baya itu buru-buru berlari ke ruang tengah setelah melirik jam dinding yang menempel di dekat pintu masuk dapur, sudah pukul sepuluh malam ternyata. Ia melihat Taufan dengan wajah sedikit letih sedang menyandarkan tubuhnya di sofa masih lengkap dengan jas kerjanya.

"Kamu memang biasa pulang jam segini, Fan?" tanya Tamara sembari mendudukkan bokongnya tepat di samping sang putra.

Taufan lekas menoleh, menatap ibunya dengan tatapan kelelahan. "Nggak juga sih, Bun. Biasanya aku juga pulang awal, biasanya juga nginap di kantor karena lembur...," ia menjeda sebentar ucapannya. "Sebetulnya hari ini aku lembur. Tapi, karena aku mikirin Bunda yang sudah jauh-jauh dari Pulau Rintis buat mengunjungi aku, makanya aku memutuskan untuk pulang dan menyelesaikan sisa semua pekerjaanku di apartemen."

Mendengar jawaban sang putra, Tamara tersenyum haru. Wanita itu memeluk Taufan sambil sesekali mencium pipinya, memperlakukannya seperti saat pemuda itu masih kecil. Taufan tidak protes, pria itu malah membalas dengan menghujam ciuman tak kalah banyak di kening sang ibu.

Inilah yang membuat Tamara memperlakukan Taufan sedikit 'spesial' dari ketujuh putranya. Berbeda dari keenam putranya yang terkadang tsundere ketika diperlakukan seperti saat mereka kecil, Taufan justru menerima saja dengan santai bahkan justru kadang bermanja-manja dengannya.

"Kamu sudah makan malam?" Tamara kembali bertanya yang direspon gelengan oleh Taufan. "Yaudah, kalau begitu makan sana. Bunda baru saja habis selesai memanaskan lauk pauk bekas makan siang tadi. Sayang kalau dibuang, mubadzir," lanjutnya kemudian menarik tangan Taufan, memaksa sang putra bangun dari posisinya.

Kedua ibu dan anak itu pun berjalan beriringan menuju dapur. Sesekali Taufan bercerita tentang kesehariannya di kantor pada sang ibu.


Sehabis makan malam yang sangat terlambat, Taufan tidak langsung melanjutkan pekerjaannya. Pria itu memilih untuk kembali ke ruang tengah apartemennya demi bisa berbincang-bincang dengan sang ibu.

"Bunda jadi pulangnya besok?" tanya Taufan ketika sang ibu datang dari dapur dengan membawa nampan berisi kue kering dan dua cangkir teh.

"Nggak tahu, lihat aja nanti. Lagian, Ayahmu masih belum ada ngehubungi Bunda nih." Tamara meletakkan nampan itu ke meja. Ia meletakkan cangkir itu satu per satu, dimulai dari teh untuk Taufan kemudian untuk dirinya sedangkan untuk kue kering ia biarkan tetap di atas nampan.

Hening. Kedua ibu dan anak itu tidak berbicara dan memilih untuk meminum teh mereka.

"Fan..."

Merasa namanya dipanggil, Taufan menatap ibunya dengan alis terangkat sebelah.

"Ya, Bun? Kenapa?"

Tamara diam. Dari raut wajah ibunya, Taufan tahu ada sesuatu hal serius yang ingin dibicarakan oleh ibunya itu kepadanya. Apa ibunya ingin berbicara soal perjodohannya kembali? Jika memang dugaannya itu benar, saat ini ia sedang tidak mood untuk membicarakan hal itu.

Di sisi lain, Tamara tampak bingung untuk mulai berbicara kepada putra keduanya. Ia ingin membicarakan soal tentang dirinya yang bertemu dengan duplikat Taufan, tetapi ia tidak tahu ingin mengatakannya dari mana.

Di dalam kepalanya, ia masih terbayang-bayang dengan rupa kedua bocah yang ditemuinya tadi saat ingin pulang dari restoran bernama Sweet Escape itu. Mereka bak pinang dibelah dua dengan ketujuh putranya. Selain rupanya, kedua bocah berbeda jenis kelamin itu juga mewarisi helaian rambut putih pada bagian rambut depannya—ini adalah rambut yang menandakan mereka adalah keturunan keluarga Mechamato— dan juga mata safir seperti milik Taufan—yang membedakannya hanyalah punya kedua bocah itu agak pudar tidak seperti punya putranya yang seperti warna langit di siang hari.

Dilihat dari penampilan kedua bocah tersebut, Tamara yakin bahwa kedua bocah itu adalah 'keturunan' Mechamato. Dan Tamara sangat yakin bahwa kedua bocah itu adalah 'keturunan' yang ditakutkan oleh keluarganya selama empat tahun terakhir ini. Keturunan yang tidak diharapkan baik oleh suaminya, Amato, dan juga putranya sendiri, Taufan.

"Bun? Kenapa bengong?" Pertanyaan Taufan membuat Tamara tersentak. Wanita itu pun mencoba untuk tersenyum manis walaupun tampak kaku. "Lagi mikirin apa sih? Oh ya, Bunda tadi manggil aku kenapa? Mau ngomongin apa?" Taufan kembali bertanya.

"Kalau Bunda mau ngomongin soal perjodohan, aku nggak bakal tanggapi ya. Bunda tahu, kan, aku bisa urus sendiri masalah percintaan aku," ungkapnya dengan intonasi kesal.

Tamara menatap lekat wajah Taufan. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Nggak, bukan soal itu kok. Bunda cuma mau nanya sesuatu sama kamu."

"Mau nanya apa?"

"Kamu ... masih mencari keberadaan 'perempuan itu'?"

Taufan terdiam. Tamara dapat melihat raut wajah putranya itu kini menjadi dingin.

"Ah, kamu tak perlu menjawabnya jika tak ingin," ucap Tamara sambil memaksakan senyumannya.

Taufan tidak bersuara dan memilih untuk meminum tehnya dengan santai sesekali mengambil kue kering yang disiapkan ibunya. Karena pertanyaan Tamara, keadaan mereka kini menjadi sunyi. Dalam hati wanita berkepala lima itu mengutuk kebodohannya yang kembali mengungkit soal perempuan yang membuat martabat keluarganya—terutama putranya, Taufan—tercoreng.

Kali ini aku cari tahu saja dulu sebelum menceritakan kejadian hari ini padanya, batin Tamara berkata.

Tidak sanggup dengan keheningan yang mencekam itu, Tamara memutuskan untuk masuk ke kamar tamu yang memang selalu ia pakai saat berkunjung ke apartemen Taufan. Namun, belum sempat dirinya beranjak dari duduknya, Taufan terlebih dahulu berpamitan padanya untuk ke kamar dan melanjutkan pekerjaannya.

Setelah kepergian putranya itu, Tamara segera mengambil ponselnya. Tangannya yang lentik itu menekan dengan lama tombol voice note pada whatsapp sambil berbicara.

"Ilham, besok anterin Bunda ke restoran yang tadi sebelum kita pulang ke Pulau Rintis lusa. Bunda mau bawain oleh-oleh buat suami, anak, dan cucu-cucu Bunda. Tenang, buat kamu juga ada kok." Dan setelah mengatakan itu, Tamara kembali mematikan ponselnya. Wanita itu pun kemudian masuk ke kamarnya.


Yaya sedang mengantarkan pesanan pelanggan terakhir saat Amy menelponnya. Tidak seperti biasanya kasir yang merangkap menjadi nanny kedua buah hatinya itu menelponnya di saat jam kerja seperti saat ini. Apakah ini tentang Taufik dan Yachana?

Kebetulan kali ini Yaya menitipkan kembali kedua anaknya pada Amy karena jika ia membawa kedua buah hatinya itu bersamanya, ia takut Taufik dan Yachana akan terkena hujan. Saat pergi tadi, langit mulai gelap. Selain itu, kedua anaknya juga tertidur nyenyak di ruangannya setelah puas bermain bersama. Ia tak tega mengganggu waktu tidur anak-anaknya.

"Halo Amy, ada apa? Apa ada madalah?" Yaya berjalan sambil mengapit ponselnya di telinga. Mengabaikan tatapan orang-orang yang berlalu lalang memasuki lobby apartemen.

"Anu... bukan begitu, mbak Yaya. Ini ... ada pelanggan yang memesan menu spesial untuk dijadikan buah tangan. Di sini sudah habis soalnya mbak, malah kurang. Apakah di apartemen mbak masih ada stoknya?"

Langkah Yaya terhenti. Ia terlihat sedang berpikir lama, sampai tidak menyadari bahwa saat ini ia berdiri di tengah-tengah lobby.

"Eumh... kurasa masih ada. Memangnya seberapa banyak yang diperlukan oleh pelanggan itu? Apakah kurangnya sangat banyak?" tanya Yaya, ia kembali berjalan. Namun, kali ini bukannya berjalan menuju pintu keluar, melainkan ke sofa lobby yang ada didekat pintu keluar.

"Eumh... sekitar 25 bungkus lagi deh mbak kurangnya. Di sini ada 75 bungkus, sedangkan yang diperlukan oleh pelanggan ini sekitar 100 bungkus."

Yaya duduk, menyamankan bokongnya di sofa yang empuk. Ia bahkan bersandar sambil menyilangkan kedua kakinya.

"Ah, ternyata hanya segitu. Yah, kurasa masih ada stoknya. Nanti, habis ini aku akan langsung mampir ke apartemen untuk mengambil stoknya. Kau bisa menyuruhnya untuk menunggu sebentar."

"Siap mbak."

"Bagaimana dengan Ufik dan Yacha? Apa mereka sempat menangis mencariku?" Yaya kembali bertanya. Wajah ibu muda si kembar itu melembut saat membayangkan wajah penuh tangis kedua buah hatinya.

"Iya, tadi pas bangun mereka nangisnya kencang banget mbak, apalagi sih Ufik. Tapi sekarang nggak lagi, kok. Nih, mereka lagi makan es krim sambil main dengan pelanggan yang memesan menu spesial buatan mbak. Apalagi sih Ufik nih mbak, lengket banget sekarang sama pelanggan. Dia bahkan nggak mau lepas dai pangkuan pelanggan kita."

Yaya tersenyum hangat. Tidak menyangka bahwa putranya kini sudah tidak takut lagi dekat dengan orang baru. Biasanya putranya itu akan bersembunyi dibelakangnya ataupun dibelakang Amy saat ada pelanggan yang ingin mengajaknya bermain.

"Ah, baiklah. Katakan pada mereka berdua bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang. Katakan juga bahwa aku membawakan cake kesukaan mereka."

"Siap mbak!"

Ada jeda sejenak, Yaya hampir ingin memutuskan panggilan mereka. Namun, ucapan Amy membuat Yaya mengurungkan niatnya.

"Mbak Yaya, kupikir restoranmu akan semakin lebih popular setelah ini! Kemungkinan restoranmu ini akan naik tingkat menjadi restoran berbintang tiga!"

Mendengar intonasi Amy yang tampak menggebu-gebu Yaya hanya terkekeh geli. "Kenapa kau berkata seperti itu?" tanyanya dengan nada geli.

Di seberang sana, Amy berteriak girang sebentar, sampai akhirnya ia melanjutkan lagi kata-katanya. "Mbak pasti bakalan bilang aku halu habis ini! Tapi mbak, kali ini aku benaran nggak lagi menghalu! Ini benaran! Menurutku restoran mbak bakalan ramai kedatangan pengunjung setelah ini! Mbak tahu nggak ... pelanggan yang sedang bermain dengan Ufik dan Yacha ... yang memesan menu spesial mbak ... ternyata dia dari keluarga tersohor! Dan ternyata ini kunjungan keduanya ke restoran mbak setelah kemarin bersama putranya itu!"

Lagi, Yaya terkekeh. Ia sedikit terhibur dengan nada bicara Amy yang terlihat seperti fans yang sedang membicarakan cowok-cewek kpop idolanya.

"Kamu kayaknya terlihat senang sekali. Memangnya siapa sih? Apa orangnya sangat terkenal?"

"Iya mbak! Sangat terkenal pakai banget malahan! Mereka bahkan sering muncul di televisi dan merupakan salah satu keluarga terkaya di Malaysia! Saat ini bahkan putranya sedang merintis perusahaan robot di sini!"

"Oh ya? Siapa memangnya?"

"Itu lho mbak, menantunya keluarga Mechamato! Ibunya Taufan Al Mechamato dan keenam kembarannya...!

...Tamara Yusharani! "

'DEG'

Dan detik itu juga, tubuh Yaya mematung di tempat. Wajah wanita itu memucat dan bola mata karamelnya bergetar hebat.


Peek A Boo

Chapter 11 : Awal dari penyelidikan

To be continued


Author's note :

Hai, hai! Aku balik bawa chapter 11~

By the way, chapter ini aku dedikasikan untuk aerzyy karena selalu meninggalkan jejak berupa review hehehe. Chapter 12 lagi dalam tahap revisian, kalau nggak subuh nanti, besok aku bakal up.

Seperti biasa, jangan lupa untuk review ya hehehe.