"Peek A Boo" by jennetchs
Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta
Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.
Chapter 12 : Bertatap muka untuk pertama kalinya
Hal yang pertama kali Yaya lihat saat tiba di depan restorannya adalah seorang pria berambut hitam panjang yang diikat model man bun berdiri tenang di samping mobil mewah bermerek Mercedes-Benz C-Class yang terparkir beberapa meter menghadap pintu masuk restorannya. Setelah membayar taksinya, Yaya dengan cepat memasuki restorannya.
Ia mencoba tidak menghiraukan kehadiran lelaki tersebut.
Seperti biasa, saat pintu terbuka, suara lonceng akan berdenting. Harum masakan dan kue yang wangi menusuk memanjakan indera penciumannya. Biasanya Amy akan datang menyambut kedatangannya dan celotehan kedua buah hatinya akan menghangatkan telinganya.
Namun, kali ini tampak berbeda. Restorannya kali ini tampak lenggang, sepertinya para pengunjung sudah pada pulang mengingat ini sudah pukul delapan malam, waktu untuk restorannya tutup.
Di depan pintu masuk , Yaya termangu melihat pemandangan di depannya. Yaya merasa matanya mulai terkena iritasi ketika melihat pemandangan kedua buah hatinya tampak nyaman bermain dan berceloteh dengan neneknya. Seharusnya ia merasa haru jika melihat pemandangan seperti itu, tetapi kali ini Yaya hanya bisa meringis dan mencoba menahan rasa mual setelah melihat pemandangan tersebut.
Bagus. Apa lagi sekarang? Ini semua diluar skenarionya. Bertemu anggota keluarga Mechamato tidak pernah ada didalam kamus hidupnya. Kemarin putranya, dan sekarang ibunya. Padahal Yaya hanya ingin hidup tenang bersama kedua malaikat kecilnya.
Sekarang, bagaimana cara Yaya untuk bersandiwara dengan baik agar tidak dicurigai?
"Bubun!" Taufik dan Yachana berseru girang ketika mereka menemukan sang ibu. Hal itu membuat Tamara—sosok wanita yang memangku mereka—dan Amy yang tadinya berbincang-bincang kini juga ikut menatapnya.
Yaya mendekat, lalu membungkuk sopan sembari tersenyum manis—yang tentu saja dipaksakan. Ia duduk manis berhadapan dengan nyonya keluarga Mechamato itu yang kini menatapnya dari atas sampai bawah.
"Apakah Anda sudah lama menunggu saya, nyonya?" Yaya memulai percakapan sambil memasang postur tubuh profesional. "Ini sisa pesanan Anda. Benar hanya kurang 25 bungkus saja, kan?" Wanita itu mencoba mengabaikan tatapan meneliti wanita di depannya dan menyodorkan sebuah kotak besar berisi stok menu spesial yang dipesan oleh sang pelanggan.
Tamara diam, lalu tak lama tersenyum kecil dan mengangguk sembari bertanya balik. "Apakah ini kedua anakmu?" suaranya terdengar lembut, namun entah mengapa mampu dapat membuat nyali Yaya menciut.
Masih memasang postur profesionalismenya, Yaya mengangguk sembari tersenyum kikuk. Kenapa harus tanya soal kedua anakku sih, sungutnya dalam hati.
"Sempurna," komentar Tamara dengan ambigu.
"Terima kasih," Yaya merasa bahwa perkataan itu untuk kedua anaknya bukan dirinya, jadilah ia menjawab dengan ambigu juga.
Kedua bocah itu dengan semangat beranjak lari dari pangkuan Tamara dan menuju ke arah Yaya. Mereka kemudian berlomba-lomba untuk duduk dipangkuan sang ibu. Yaya mengangkat Taufik dan Yachana secara bergiliran, memangkunya di masing-masing pahanya. Kedua tangannya yang telah mengambil tisu basah dari tasnya kini bergerak mengusap pipi gembil kedua buah hatinya itu, membersihkan sisa es krim yang melekat di wajah mereka.
"Bubun, tante ini tadi bawa Ufik sama Yacha beli es klim di sana!" celoteh Taufik riang sambil menunjuk ke arah luar restoran.
Sang adik, Yachana mengangguk antusias. "Iya bun, es klimnya enak banget!"
Yaya tersenyum hangat menatap kedua buah hatinya. Secara bergiliran ia pun mencium pipi gembil kedua bocah itu. "Sudah bilang terima kasih?" tanyanya dan kedua anaknya itu mengangguk lucu.
"Kau sungguh beruntung," celetukan Tamara membuat tubuh Yaya tersentak. Iris cokelat karamelnya menatap iris cokelat madu di depannya. Tamara lagi-lagi tersenyum manis kepadanya.
Apa maksudnya dengan sungguh beruntung itu?
Apakah wanita tua ini sudah tahu sesuatu mengenai kebenaran tentang kedua buah hatiku? tanya Yaya dalam hati.
"Apa maksud Anda? Kenapa Anda berkata seperti itu?" Yaya bertanya. Ia membenarkan posisi duduknya yang sedikit terusik saat Yachana dan Taufik mulai menggeliat meminta turun dari pangkuannya.
"Kau memiliki putra dan putri yang sangat rupawan." Pandangan Tamara teralihkan pada Taufik dan Yachana yang kini sedang bersenda gurau bersama di pangkuan Yaya. "Ayah mereka pasti sangat mencintaimu. Aku benar, kan?"
Yaya terdiam. Wanita itu sedang berusaha mencerna ucapan Tamara yang terdengar sangat ambigu. Yaya tidak bodoh, ia sangat tahu wanita kelas atas di depannya ini adalah wanita yang sangat pintar dan tidak mudah untuk dibodohi.
Mencoba terlihat tersipu dan kasmaran, Yaya memandang Tamara dengan malu-malu. "Ya, Anda benar. Mendiang suami saya memang sangat mencintai saya," ucapnya sembari menekan kata 'mendiang suami' di kalimatnya.
Lagi, Tamara hanya tersenyum manis kepadanya. Yaya benar-benar merasa tak nyaman diberi senyuman seperti itu olehnya.
"Ah, begitu. Pantas saja kedua anakmu tidak mirip sama sekali denganmu," Tamara kembali berkata. "Dahulu ada pepatah yang mengatakan bahwa kemiripan pada fisik anak dapat memperlihatkan seberapa besar cinta kedua orang tuanya. Awalnya aku tak percaya dengan pepatah seperti itu, tetapi ketika aku melihat kedua anakmu, aku menjadi percaya. Sudah pasti suamimu lebih mencintaimu dibandingkan dirimu padanya."
Bertepatan dengan Tamara mengatakan hal tersebut, Taufik dan Yachana juga turun dari pangkuannya. Kedua bocah itu berlari ke arah Amy dan membawa nanny mereka ke ruangan sang ibu. Meninggalkan Yaya dan Tamara berbicara berduaan.
Yaya tak bergeming, dalam hati ibu muda tersebut bertahan mati-matian untuk tidak terlihat gugup di depan nenek dari anak-anaknya.
Tamara memandangnya kembali. Tatapan wanita itu membuat Yaya menelan ludah. "Benar, bukan? Suamimu pasti sangat mencintaimu. Makanya menurutku kau sungguh beruntung."
Yaya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Itu hanyalah sebuah pepatah. Kenyataannya, kami sama-sama saling mencintai, cinga kami saling sama besarnya. Walaupun rupa kedua anak kami tidak seperti saya, saya masih menurunkan gen rambut saya pada putri kami dan gen sifat saya pada putra kami," jawabnya seadanya.
"Ah, kau cukup romantis ternyata," sambut Tamara. Yaya hanya tersenyum kaku sebagai responnya. "Ah, sepertinya aku sudah terlalu lama di sini." Yaya mengikuti arah pandang Tamara yang terjatuh pada sebuah jam dinding yang menempel didekat bar kasir. Sudah pukul sembilan malam, ternyata ia dan wanita itu sudah menghabiskan waktu selama sejam. "Kalau begitu, aku pamit. Masakan restoranmu sangat enak, kau benar-benar berbakat dalam dunia masak." Tamara berdiri, Yaya pun ikut berdiri sambil tersenyum canggung. "Ke depannya, aku akan mengajak suami serta keluargaku dan juga teman-temanku untuk makan di sini."
Lagi, Yaya hanya tersenyum canggung. Tidak perlu, kuharap ini menjadi kunjungan terakhirmu karena aku akan segera pergi dari hidup kalian! batinnya berkata.
Setelah sedikit cukup berbasa-basi berpamitan, akhirnya Tamara keluar dari restorannya. Yaya mengantarkan kepergian wanita itu sampai akhirnya mobil mewah yang membawa wanita itu meninggalkan perkarangan restorannya, ia pun masuk menyusul kedua anaknya dan Amy yang berada di ruang kerjanya.
"Yang tadi itu pemilik restorannya, Bunda?" Ilham yang sedang menyetir memulai pembicaraan.
"Iya."
"Wah, masih muda ternyata. Hebat juga perempuan semuda itu sudah bisa membangun bisnis sendiri,"
Mendengar perkataan supir pribadinya, Tamara menyetujuinya dalam hati. Dilihat dari wajahnya pun Tamara tahu, Yaya tampaknya masih berusia awal dua puluhan. Mungkin umurnya masih sekitar 24-25 tahun?
"Walaupun tampak muda, dia itu sudah punya dua anak lho. Kembar lagi."
"APA?" Tamara terkekeh ketika melihat wajah terkejut Ilham dari kaca mobil. "Ya, kirain masih single, ternyata sudah berkeluarga. Pupus deh harapan saya," ujaran Ilham membuat Tamara memandangnya geli. "Anaknya yang dua tadi itu ya Bun? Yang sama perempuan berambut pirang dikuncir kuda itu?"
Tamara mengangguk. "Mereka menggemaskan, bukan?" tanyanya antusias.
Ilham mengangguk. "Mereka cantik dan tampan. Dan sekilas, saya bisa melihat wajah mereka mirip para tuan muda saat kecil. Apalagi yang laki-laki itu, saya seperti melihat copyan tuan muda Taufan," komentarnya.
Tamara tak bergeming. Dalam keheningan itu, diam-diam otaknya sedang berpikir. Benar juga apa yang dikatakan oleh tangan kanannya itu. Dilihat dari manapun, bocah lelaki itu seperti Taufan saat kecil.
Mata birunya dan rambut hitam kecoklatan dengan sejumput rambut putih dibagian depan rambutnya yang merupakan rambut keturunan khas keluarga Mechamato. Hanya saja... yang membedakan dirinya dan Taufan adalah mata birunya yang tampak agak pudar dan juga sejumput rambut putih di bagian depannya terdapat di sebelah kiri.
"Putrinya mengingatkanku dengan foto lama Taufan saat kecil yang menggunakan wig," ucapan Tamara itu membuat Ilham menyerngit.
"Benarkah?" Ilham bertanya dengan nada penasaran.
Tamara mengangguk. "Ya, aku masih menyimpan fotonya yang itu di album," jawabnya sambil membenarkan posisi duduknya di jok belakang. "Ah, aku ingin cucu perempuan dari anak-anakku. Sudah cukup memberikanku cucu lelaki, aku ingin sekali mempunyai cucu perempuan yang bisa kuajak bersenang-senang bersama..."
Peek A Boo
Chapter 12 : Bertatap muka untuk pertama kalinya
To be continued
Author's note :
Loha~~ chapter 12 udah update. Untuk chapter 13 bakal menyusul. Btw, di sini ada yang bernasib ngenes kek Jenn nggak sih? Nggak dapat komik bbbglxy 2 isu final hiksrot. Karena ongkirnya mahal, Jenn jadi nggak lengkap ngoleksi komiknya. Semoga pas Mei nanti masih ada terus Jenn bisa ngoleksi lengkap komiknya. Nunggu di webtoon lama soalnya wkwkwk.
