"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa www Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 13 : Penyelidikan Dimulai


"Jadi ... kau benar-benar tidak bisa hadir ke pernikahanku?"

Yaya mengangguk lesu, manik karamelnya menatap Ying dengan tatapan bersalah. Kemarin malam, setelah kepulangan Tamara dari restorannya, Yaya langsung menghubungi Mimy—tanpa perantara Ying—dan membeberkan bahwa ibunya Taufan, Tamara, datang berkunjung ke restorannya. Ia juga telah memberi tahu bahwa kedua buah hatinya, Yachana dan Taufik juga sudah bertemu dengan nenek mereka. Mendengar hal itu, tentu saja Mimy terkejut dan ia langsung memberitahu Yaya bahwa dalam dua minggu lagi—yang awalnya dijanjikan tiga minggu—semua berkas kepindahan Yaya dan kedua anaknya akan beres.

Entah memang sudah direncanakan oleh Tuhan atau tidak, Yaya sangat bersyukur mengetahui informasi dari sepupu jauhnya itu. Untunglah ia tak perlu menunggu lama untuk pindah dari Malaysia agar menghindar dari keluarga Mechamato. Yaya sudah lelah bermain petak umpet, kali ini ia yakin setelah kepergiannya dari sang negara tercinta, hidupnya dan kedua malaikatnya akan damai. Tidak akan ada lagi bayang-bayang keluarga Mechamato menerpa keluarga kecilnya.

Setelah menghubungi Mimy, paginya tadi Yaya menelpon sang sahabat, Ying, dan menceritakan semua kejadian semalam. Ying yang memang kebetulan masih di kota Hilir karena mengurus berbagai macam keperluan untuk pernikahannya yang akan dilaksanakan bulan depan, langsung datang ke restorannya. Sahabatnya itu menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan yang untungnya bisa dijawab semua olehnya.

"Maafkan aku ya, Ying. Tapi, aku benar-benar nggak bisa hadir. Mimy sudah mengurus semua surat kepindahanku, dia bahkan sudah membelikan sebuah rumah tepat di samping rumahnya di Jepang sana untukku dan kedua anakku. Aku juga harus cepat-cepat pergi dari sini jika tidak ingin ketahuan oleh keluarga Mechamato, apalagi Taufan," lirih Yaya sambil menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Ying, tidak ingin melihat raut terluka sahabat baiknya itu.

Padahal ia sudah berjanji pada Ying, jika wanita itu menikah, maka Yaya dan kedua anaknya yang akan pertama kali datang menjadi tamu spesialnya. Tapi, semuanya kini menjadi berantakan. Permainan petak umpet yang dimulai olehnya dan Mimy serta Ying tidak bertahan lama seperti yang mereka perkirakan, dan kini Yaya juga tak bisa menepati janjinya pada Ying.

Ying menghela nafasnya ketika melihat tingkah Yaya yang memang sangat mudah merasa bersalah. Wanita tiongha itu menepuk pelan kedua pipi wanita beranak dua itu, membuat Yaya yang tadinya menunduk kini menatapnya.

"Kau nggak perlu minta maaf dan merasa bersalah begitu, aku nggak pa-pa kok. Lagipula, semua ini bukan salahmu. Semua ini pasti sudah direncanakan oleh Tuhan. Jadi, kamu nggak usah merasa bersalah seperti ini ya? Aku benaran nggak pa-pa. Saat ini, keamananmu dan kedua anakmu lebih penting daripada kau datang ke pernikahanku," tutur Ying lembut sambil tersenyum lebar memamerkan deretan giginya pada Yaya yang termangu.

"Hiks. Maaf Ying, hiks..."

Yaya menangis. Hal itu membuat Ying tersentak. Wanita pengoleksi kacamata itu menatap kalut sang sahabat yang kini menangisnya semakin kencang. Membuat beberapa pelanggan restoran dan beberapa pegawai perempuan penyuka serba warna-warni pink itu kini menatap ke meja mereka. Ya. Kali ini mereka memang tidak sedang berbicara di ruangan kerja Yaya, melainkan satu ruangan dengan para pelanggan.

"Yaya? Kenapa? Jangan nangis gini dong, kamu malah bikin aku mau nangis juga. "Ying berdiri dari duduknya. Perempuan itu menatap khawatir Yaya yang makin terisak-isak dan segera memeluknya.

"Sudah ya, jangan menangis. Aku benaran nggak pa-pa kok kalau kamu nggak datang. Keselamatanmu dan kedua anakmu lebih penting. Sudah ya, Ya..."


Taufan meregangkan otot-otot tangannya setelah sehabis rapat tadi. Kini, hanya tinggal dia, Fang, dan Gopal di ruangan khusus rapat. Kedua sahabatnya itu masih berkutat dengan berkas laporan mereka yang memang ada beberapa yang perlu direvisi, sedangkan Taufan sendiri kini merenung melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Waktunya untuk ishoma—istirahat dan jam makan siang serta sholat dzuhur.

"Kalian lapar nggak sih guys?" Ini Gopal yang bersuara. Lelaki tambun itu menatap kedua temannya yang kini juga menatapnya. "Kita istirahat bentar, yuk. Kita cari tempat makan siang yang enak. Aku lapar banget nih," lanjutnya sambil mengelus perutnya yang memang sudah berbunyi.

"Kau itu selalu lapar melulu, padahal pas sebelum rapat tadi, aku lihat kau sudah mengunyah lima bungkus roti isi daging, huh!" Fang berdengus, matanya menatap datar Gopal yang kini terkekeh tak jelas.

"Ya maaf, soalnya aku kalau nggak ngisi perut dulu, nggak bakalan bisa fokus rapat. "Gopal memungkasi ucapannya dengan nada kesal.

"Ada terus alasanmu itu."

"Alasan apanya? Kan, memang benar aku dari dulu nggak—"

"Sudahlah, hentikan. Kalian ini sehari nggak berdebat bakalan mati kali, ya?" sela Taufan, jujur saja dia sudah lelah dengan perdebatan kedua sahabatnya yang tidak ada ujungnya jika tetap dibiarkan itu. Karena tidak ingin mendengarkan perdebatan yang nanti akan semakin melantur kemana-mana, Taufan akhirnya ikut bergabung dalam pembicaraan mereka. "Nah, sekarang mending kita cari tempat yang enak untuk makan siang. Aku juga sudah lapar," setelah berkata seperti itu, Taufan berdiri dari duduknya. Pria itu terlebih dahulu berjalan keluar ruangan disusul oleh Gopal dan Fang yang membawa sebuah totebag berukuran sedang berwarna kuning dengan tali berwarna ungu.

"Enaknya kita makan di mana?" tanya Taufan ketika mereka bertiga sudah berada di elevator yang tertutup menuju ke lantai dasar kantor. "Kau ada saran nggak, Pal?" lanjutnya bertanya sambil iris safirnya melirik Gopal yang kini sibuk dengan ponselnya.

"Pal! Woi, Gopal!"

Gopal tersentak, pria itu menoleh menatap Taufan yang kini menatapnya kesal.

"Eh, eungh ... aku nggak jadi ikut deh makan siang sama kalian," ucapnya dengan nada canggung.

"Kenapa nggak jadi? Bukannya kau yang mengajak kami tadi?" Fang bersungut. Pria bermanik indigo itu menatap kesal Gopal yang tersenyum kikuk sembari menggaruk pipinya.

"Iya nih, kenapa nggak jadi?" Taufan ikut menimpal.

Gopal yang masih menggaruk pipinya itu terkekeh canggung sembari berkata, "Itu... aku disuruh sama appa buat ketemu dengan perempuan pilihannya. Yah, kalian tahu sendirilah, appaku masih nekat menyuruhku untuk kencan buta dengan perempuan yang dia bantu carikan."

"Oh...," hanya itu respon Taufan dan Fang setelah mendengar jawaban Gopal.

"Maaf ya, lain kali aja kita makan bareng. Btw, doain dong semoga kali ini aku berjodoh sama perempuan pilihan appa. Nanti aku traktir deh pas kita makan bareng," pinta Gopal sambil memasang wajah memelas.

"Iya, aku doain deh," sahut Taufan, sedangkan Fang tidak bergeming yang mana hal itu membuat Gopal dalam hati mengutuk sahabatnya yang memiliki rambut seperti pantat ayam itu. "Kalau kau Fang, ada saran nggak tempat yang enak buat kita makan di mana?" Taufan mengalihkan perhatiannya pada Fang yang kini menatapnya.

"Hmm... ke tempat kau dan ibumu saja kemarin, apa sih namanya ... sweet ... sweet ... ah sudahlah, aku lupa!"

Gopal terkekeh kecil melihat Fang yang tadi sempat tersulut emosi. "Sweet Escape namanya," ucapnya, berniat memberitahu Fang nama restoran terkenal itu.

Fang mengangguk-angguk. Tampaknya ia sudah mengingatnya. "Katanya di sana masakannya enak-enak bukan, Pal?" tanyanya dan diangguki oleh Gopal.

"Iya, enak-enak. Pelayanan mereka juga bagus banget. Worth it lah untuk tempat bersantai dan menghabiskan waktu bersama keluarga atau pun sahabat di sana." Gopal melirik Taufan yang kini terdiam. "Kenapa kawanmu nih, Fang? Kok tumben tiba-tiba diam?" bisiknya pada Fang yang tampak tak acuh.

"Entahlah, bukan urusanku juga. Mungkin dia sedang memikirkan tender proyek tadi."


"Lokasinya strategis juga. Pantasan saja mereka selalu ramai pengunjung."

Taufan tak bergeming mendengar komentar Fang yang kini terlebih dahulu berjalan memasuki restoran bernama Sweet Escape tersebut. Bunyi lonceng segera menyapa telinganya saat pintu itu didorong, mata safirnya mulai bergerilya— menatap ruangan yang penuh interior minimalis dan ramainya pengunjung yang tampak sedang menikmati waktu istirahat mereka.

Lalu, safirnya berhenti saat pandangannya jatuh pada meja bar kasir. Di sana, ada perempuan yang pernah mengantarkan pesanannya untuk sang ibu saat itu. Perempuan dengan pashmina diamond merah muda itu menatapnya dengan terkejut.

Di sisi lain, Yaya tak pernah menyangka restorannya akan kedatangan lagi sosok pria yang sialnya juga ayah kandung kedua buah hatinya untuk kedua kalinya—yang pertama saat pria itu membawa ibunya dan mereka tidak bertemu (untungnya). Ini pertemuan kedua mereka, meski pun begitu Yaya sejujurnya benar-benar tidak siap secara mental.

"Se–selamat datang di Sweet Escape!" Dalam hati Yaya merutuki dirinya yang sempat terbata. Dengan cepat tangannya mengambil ponselnya dari saku celana. Jari-jari lentik itu mengetikkan beberapa teks untuk di kirim ke Amy.

Untunglah Taufik dan Yachana sedang ikut dengan Amy mengantarkan pesanan ke rumah pelanggan yang memesan masakan restorannya secara online. Mungkin tak lama lagi mereka akan segera pulang.

'Amy, bisakah kau mampir belikan 20 keping cokelat batang di supermarket terlebih dahulu sebelum pulang? Aku baru ingat bahwa stok cokelat di rumah untuk membuat biskuit telah habis dan aku lupa membelinya kemarin. Aku sangat memerlukannya hari ini. Oh ya, sekalian kau belikan Ufik dan Yacha es krim dan snack kesukaan mereka ya.'

Yaya bernafas lega saat pesan itu terkirim. Sebenarnya, stok cokelat batangnya masih lumayan banyak untuk digunakan dalam membuat biskuit. Namun, Yaya tak peduli. Ia lebih memilih membuat Amy dan kedua anaknya mengantri di supermarket dan berada cukup lama di luar daripada mereka pulang cepat dan harus bertemu dengan Taufan. Kebetulan Yaya mengingat jadwal bahwa di saat jam istirahat seperti ini, maka supermaket itu akan ramai pengunjung dan tentunya antriannya akan panjang.

Pokoknya ia harus mengulur waktu agar kedua buah hatinya itu tak bertemu dengan sang ayah mereka. Yaya tak bodoh, walaupun dirinya tidak tamat kuliah, ia tahu jika Taufik dan Yachana bertemu dengan Taufan, maka keselamatan mereka bertiga—atau berlima, termasuk Mimy dan Ying—akan dalam bahaya.

Seperti kata pepatah. Darah lebih kental daripada air. Taufan mungkin akan bisa langsung mengenali wajah kedua buah hatinya, mengingat Taufik dan Yachana benar-benar mewarisi rupanya.

'Oke, mbak Ya.'

Balasan Amy membuat Yaya tersenyum kecil. Sekarang hanya tinggal dirinya yang perlu mengendalikan diri, baik ekspresi wajah atau pun tingkah lakunya.

"Ingin pesan apa?" Yaya bertanya sopan saat lelaki berkacamata itu berada di depannya. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan menyelidik, membuat tangannya berkeringat dingin.

"Aku seperti pernah melihatmu," bukannya menjawab pertanyaannya, pria berkacamata ini malah menatapnya lekat-lekat. Mati-matian Yaya harus menahan sikap profesionalismenya dan terus tersenyum manis."Kau Yaya... temannya Ying bukan?" lanjutnya bertanya.

Mendengar namanya dan sang sahabat disebut, Yaya mengerjapkan matanya. Wanita itu memperhatikan dengan seksama pria di depannya itu. Dia berambut raven keunguan dengan model rambut seperti pantat ayam, dengan bola mata berwarna nila dan berkacamata. Yaya tampak pernah melihat pria di depannya itu, tapi ia tak ingat pernah bertemu di mana.

"Ah, kurasa kau tidak mengingatku. Perkenalkan, namaku Liau Siau Fang, atau kau bisa memanggilku Fang. Aku pacarnya Ying—ah, sekarang mungkin bisa dibilang calon suaminya? Kita pernah bertemu sebelumnya dulu, tapi tampaknya hanya aku yang masih mengenali dirimu, haha..."

Bola mata Yaya terbelalak. Ia ingat sekarang, pria itu adalah Fang. Kekasih dan calon suami Ying yang dulunya sering berkunjung di cafe milik Kuputri saat dirinya masih bekerja di sana. Kemudian manik karamelnya itu melirik kembali pada Taufan yang tampak menatap Fang dengan wajah terheran-herannya. Tunggu... apa mereka berdua saling kenal? tanyanya dalam hati.

"Ah, ya ... maafkan aku. Aku sendiri memang tipe orang yang nggak dapat mengingat wajah orang lain jika aku lama nggak bertemu dengan mereka," sambut Yaya dengan canggung.

Fang hanya tersenyum."Berarti kau tipe orang yang mudah mengingat seseorang dari namanya, ya?" tanyanya dan Yaya mengangguk kaku. "Oh ya, aku dengar dari Ying, katanya kau mendirikan sebuah restoran di sini. Apa ini restoran yang dimaksudnya?"

Yaya mengangguk. "Ya ... ini restoran milikku," ia menjawab seadanya.

"Wah, tak kusangka kau sudah memiliki restoran sendiri. Padahal dulu kau hanyalah seorang pelayan di restoran yang sering aku kunjungi," tutur Fang.

"Cepatlah memesan, Frengky!" suara husky itu menginterupsi percakapan Fang dan dirinya. Yaya melirik sekilas Taufan yang kini memasang senyum menyebalkan.

Dalam hati Yaya menyetujui perkataan Taufan. Benar. Cepatlah memesan! Lebih cepat mereka memesan, maka akan lebih cepat mereka pergi dari sini! Yaya jadi sedikit was-was jika antrian di supermarket itu tidak terlalu panjang dan berujung membuat kedua buah hatinya pulang lebih cepat lalu bertemu dengan Taufan.

Itu sama sekali tidak boleh terjadi!

"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, sialan..!" desis Fang sambil manik nilanya menatap tajam Taufan. Kemudian pria itu menatap Yaya kembali. "Ah, aku ingin memesan satu hot chocholate dan dua porsi carrot cake muffins."

"Makan di sini atau take away?"

"Di take away aja," ini Taufan yang menyahut.

Yaya mengangguk. Tangannya dengan lihai mengetik keyboard pada mesin cash register, mengetikkan pesanan Fang. Dalam hati ia bersyukur kedua pria itu tak makan di restorannya.

"Mas yang satunya ingin pesan apa?" tanya Yaya sopan, mencoba bersikap tenang walaupun dirinya sangat tidak nyaman menatap iris safir Taufan yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip.

"Samakan saja, tapi untuk cake-nya diganti jadi seporsi kaya toast," jawabnya seadanya. Yaya mengangguk lagi kemudian mengetik kembali pada keyboard pada mesin cash register itu.

"Dua hot chocholate, dua carrot cake muffins, dan satu kaya toast. Jadi, semua totalnya dua puluh lima ringgit ya," ucap Yaya sembari menatap kedua pria itu. "Ingin dibayar terpisah atau digabung?"

"Digabungkan saja." Taufan mengeluarkan black card-nya. Memberikannya pada Yaya.

"Baiklah. Silahkan ditunggu di sana ya,"

Dan kedua pria itu pun menunggu di tempat yang ditunjukkan oleh Yaya.


"Taufan tidak ada di kantornya?" Tamara sedang mengemas-mengemaskan barang bawaannya untuk dibawa pulang malam ini ketika mendengar informasi dari Ilham, tangan kanannya yang dia tugaskan untuk mengawasi sang putra.

Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatannya dan menaruh perhatian penuh pada Ilham yang mengangguk dan tidak bergeming sedari tadi, tetap diam pada posisinya.

"Menurut informasi yang saya dapatkan dari salah satu bawahan saya yang melihatnya, tuan muda tadi pergi bersama tuan Fang. Kata mereka, tuan muda dan tuan Fang makan siang di luar," jelas Ilham dengan tenang.

Tamara menyerngitkan dahinya. Taufan makan di luar? Ini tak seperti tingkah sang anak. Putra keduanya itu palingan akan memesan makanan di luar, tapi jika makan di tempat itu sama sekali tidak mungkin terkecuali memang dipaksa. Apakah Fang memaksa putranya itu? Kalau benar, Tamara akan mengucapkan terima kasih kepada pemuda tionghoa itu. Mungkin ia akan mengirimkan berbagai macam parsel ke rumah keluarga Fang sebagai ucapan terima kasih nanti.

"Kau tahu mereka makan siang di mana?" tanya Tamara.

Ilham mengangguk. "Sweet Escape." Dan pernyataannya itu mampu membuat raut wajah Tamara yang tadinya tenang kini tampak menyeringai.

"Ilham..." suara Tamara tampak tenang, tapi Ilham tahu wanita yang pernah menyelematkan hidupnya itu terlihat sangat serius kali ini. "Cari informasi tentang Sweet Escape—maksudku informasi tentang pemiliknya. Cari tahu semua informasi tentang wanita bernama Yaya itu, termasuk anak-anaknya. Cari tahu semua tentangnya, bahkan informasi yang tak penting sekali pun. Dan juga, jangan pernah lalai dalam mengawasi Taufan."

Mendengar perintah sang nyonya Mechamato, Ilham hanya mengangguk. Kali ini, Tamara harus mencari tahu kebenaran tentang wanita pemilik restoran itu. Bagaimana kedua anak wanita itu bisa memiliki rupa yang sama persis dengan ketujuh putranya.

"Sepertinya aku akan menetap sedikit lebih lama di sini..."


Peek A Boo

Chapter 13 : Penyelidikan Dimulai

To be continued


Author's note :

Chapter 13 update. Chapter 14 menyusul besok yaw. Jangan lupa tinggalkan jejak~