Ying duduk dalam diam. Wanita itu menundukkan kepalanya, menghindari bertatapan dengan sang calon suami yang bersedekap dada dihadapannya.
Fang menatap lekat calon istrinya yang masih diam, mengunci mulutnya. Pemuda itu kemudian menghela nafasnya sambil memjit peningnya. Sungguh, ia benar-benar pusing saat mendengar penjelasan dari Ying tadi. Siapa sangka ternyata selama ini calon istrinya mengetahui dan ikut membantu menyembunyikan sosok perempuan yang dicari-cari oleh Taufan dan keluarganya? Dan perempuan itu adalah sahabat baik sang calon istrinya sendiri, sih Yaya.
"Aku akan kembali ke kantor. Aku juga akan memberi tahu pada Taufan bahwa perempuan yang selama ia cari-cari berada didekatnya dan melahirkan keturunannya!" Fang bangkit dari duduknya, berjalan menuju keluar dari kamar Ying.
Mata safir Ying membola. Perempuan itu lekas ikut bangkit dan menahan lengan sang calon suami. Membuat Fang berhenti melangkah dan menatapnya dengan tatapan paling dingin yang pernah diberikan pemuda itu padanya.
"Lepaskan tanganku, Yue Jie Ying," desis Fang.
Ying menggeleng. Tangan wanita itu semakin erat memegang lengan Fang walaupun dalam hati ia bergetar ketakutan mendengar namanya dipanggil lengkap seperti itu.
"Aku akan hitung mundur dari angka lima. Jika kau masih tidak mau melepaskan tanganku, terpaksa aku akan melakukan keke—"
"Lakukan! Jika kau ingin melakukan kekerasan padaku, lakukanlah!" potong Ying cepat. "Tapi, setelah kau puas menyakitiku, aku mohon padamu Fang, jangan melaporkan pada sahabatmu bahwa perempuan yang selama ini ia cari bersama keluarganya adalah Yaya. Aku mohon padamu, sungguh..." sambungnya sambil meringkuk dan menangis dalam diam.
"Aku memang salah karena telah menyembunyikan semua ini darimu, hiks. Tapi...ini demi Yaya, sahabatku yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri... dan juga ini demi dua keponakanku..."
Hening. Tatapan dingin pemuda berambut raven keunguan yang tadinya itu mendingin kini berubah menjadi tatapan sendu. Fang mensejajarkan tubuhnya pada tubuh kecil Ying, menatap lekat wanita yang masih menangis dalam diam kemudian memeluknya erat.
"Bodoh. Mana mungkin aku tega menyakiti wanita yang kucintai," bisik Fang di telinga Ying. Pemuda berkacamata itu mengelus sayang punggung Ying membuat wanita itu menangis dengan suara kencang.
"Jangan laporkan Yaya dan kedua anaknya pada Taufan, hiks. Aku mohon padamu, Fang. Yaya... wanita itu hanya korban, begitu juga kedua anaknya. Kumohon..."
Fang hanya diam. Pemuda itu mengecup berulang-ulang dahi sang calon istri sembari tangannya menghapus air mata yang membasahi wajah tirusnya.
"Kumohon Fang, berjanjilah padaku..." pinta Ying, menatap sang calon suami dengan wajah memelas.
"Aku berjanji..." akan memberitahu pada Taufan suatu saat nanti. Maafkan aku, Ying. tambahnya dalam hati.
"Peek A Boo" by jennetchs
Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta
Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.
Chapter 17 : Terbongkar (I)
Yaya membisu. Mata coklat karamelnya masih melebar. Jantungnya serasa seperti sedang ikut lomba lari maraton. Tentu ekspresi tersebut sudah bisa diprediksikan oleh Tamara. Jadi Tamara memilih untuk diam, bersabar dan menunggu Yaya dapat mengatur emosinya.
"A–apa maksud Anda? Ke–kenapa Anda memanggil kedua anak saya dengan marga keluarga Anda?" Setelah sekitar tiga menit berlalu, Yaya berhasil menekan ketakutan dan keterkejutannya. Dia bahkan kini membuka sedikit mulutnya dan berwajah bingung, berusaha menampilkan kesan sosok wanita polos dan terkesan tak tahu apa-apa tersebut.
Tamara terkekeh. Matanya melirik pada meja bar kasir dan bertemu pandang dengan sang pelayan kasir yang dia duga juga bekerja sebagai pengasuh kedua cucunya. "Sebaiknya kita membicarakan hal seperti ini di tempat yang privasi, Yaya," mendengarnya membuat Yaya mengikuti arah pandang Tamara, matanya bertemu pandang dengan Amy yang menatapnya bingung.
Wanita tua ini benar. Pembicaraan ini sangat esensial. Tak boleh ada yang tahu, bahkan Amy sekali pun. Namun..., jika Yaya mengiyakan perkataan Tamara, maka secara otomatis Yaya membenarkan bahwa Taufik dan Yachana adalah keturunan keluarga Mechamato. Tapi jika Yaya menolak...
Amy dan karyawannya yang lain bisa saja menguping. Dan ini tidak bagus. Selain itu, para pengunjung restorannya juga masih sangat ramai, membicarakan hal krusial seperti itu di tempat yang terbuka hanya akan membuat hidupnya semakin berantakan.
Lagipula, menurut Yaya, nyonya Mechamato di depannya ini bukanlah wanita yang bodoh. Sangat tidak mungkin dia asal berbicara tanpa sebuah dasar. Yaya tidak mau mengambil risiko..., sudah pasti sih nenek dari kedua buah hatinya ini membawa bukti tentang hidupnya dan kedua anaknya.
Untuk saat ini, mau tidak mau Yaya akan menurut.
Yaya mengangguk tenang. Meski begitu, Tamara dapat melihat bahwa tubuh wanita itu gemetaran. Ibu dari kedua cucunya ini sepertinya sangat ketakutan dan waspada.
Tipikal wanita cekatan.
"Amy... jika Ying datang bersama Ufik dan Yacha nanti, bisakah kau langsung menyuruhnya untuk membawa mereka pulang ke rumah? Kau juga bisa mengikuti mereka, hari ini kau bekerja setengah hari saja, biar sisanya aku yang melanjutkan. Kau nanti ikut pulanglah dan temani kedua anakku," bisik Yaya setelah sampai didekat Amy. Perempuan itu meninggalkan Tamara yang bersedekap dada sambil memasang wajah datar.
"Apa tidak apa-apa mbak Ya? Bukankah semalam saya juga sudah—"
"Iya, tidak apa-apa... sekalian nanti kau minta pada Ying untuk singgah ke tokoh hewan, katakan saja padanya bahwa aku memintamu untuk menemani Yacha dan Ufik untuk membeli hewan peliharaan baru. Kali ini mereka ingin melihara hamster, jadi bantu mereka ya untuk memilihnya..." potong Yaya. Perempuan itu tak bisa berpikir lebih jauh. Otaknya saat ini sedang memprogram alasan-alasan yang bisa menyelamatkan kedua anaknya.
Amy hanya mengangguk. Walaupun dalam hati wanita itu sangat ragu dengan keputusan bosnya itu. Apa Yaya benar-benar yakin dengan keputusannya untuk membelikan hewan peliharaan lagi pada kedua anaknya itu?
Pasalnya, baru tiga hari yang lalu kedua bocah itu kehilangan hewan peliharaannya. Amy masih ingat betapa histerisnya Taufik dan Yachana yang menangis kencang ketika menemukan anak kucing kesayangan mereka mati dalam keadaan mengenaskan. Yang dikhawatirkan oleh Amy adalah kondisi kedua kembar seiras itu.
"Kau tak perlu takut. Aku hanya ingin mengetahui beberapa hal darimu." Tamara berkata dengan tenang. Sedangkan Yaya, wanita itu masih asik menunduk dan memainkan jari-jarinya. Yaya mulai mencari-cari jalan keluar dari situasi ini.
Saat ini Yaya telah membawa Tamara dan tangan kanan wanita itu masuk ke ruangannya. Mereka berdua duduk berhadapan, sedangkan tangan kanan Tamara berdiri di belakang wanita itu.
"Kau adalah... wanita berambut cokelat, sih lawan main Taufan yang ada di dalam video sex tape putraku, kan?"
Yaya terdiam. Perempuan itu kini berusaha untuk berkelit. "Eum... maaf nyonya, tetapi saya tak mengerti ucapan Anda." Yaya menggigit bibirnya. Dia tahu, ini tidak akan bisa membuatnya selamat. Tentu saja... apalagi wanita di depannya ini menantu dari keluarga Mechamato yang tak mudah untuk dibodohi.
Tamara mengerutkan keningnya. Perempuan ini masih berusaha berkelit rupanya. Menghela nafasnya, Tamara melirik Ilham yang berdiri di belakangnya. Ilham yang mengerti pun langsung mendekat dan mengeluarkan beberapa lembaran demi lembaran kertas. Menyerahkannya pada Yaya.
Dengan ragu, Yaya menerima berkas tersebut. Ia kemudian membukanya dan mata karamelnya kini melebar.
Persembunyiannya selama empat tahun ini terbongkar sudah.
Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga.
Sekarang yang menjadi pertanyaan Yaya adalah... apakah keluarga Mechamato sudah mengetahui ini? Apakah Taufan juga sudah mengetahui ini? Makanya pemuda itu selalu datang ke restorannya dan mencoba menangkapnya diam-diam?
"Berhenti bermain-main denganku, Yaya. Jangan anggap aku sebagai wanita yang mudah untuk kau bodohi," desisan itu membuat Yaya menelan ludahnya kasar. Tangan wanita itu berkeringat dingin. "Aku akan memberimu dua pilihan. Mengakulah di sini, atau kau lebih memilih mengaku di pengadilan?"
Mata karamel Yaya membulat. "Pe–pengadilan...?" bibirnya memucat. Ya... sepertinya, Yaya sudah tidak bisa berbohong lagi.
Keadaan hening sejenak. Yaya menarik nafasnya panjang, kemudian membuangnya perlahan. Matanya bersitatap dengan mata cokelat madu Tamara, membuatnya kini meremas rok dengan model according yang dikenakannya.
"Benar. Saya adalah perempuan berambut coklat yang ada di video itu..."akunya dengan nada lirih. Dengan takut-takut mata karamel itu mencuri pandang ke arah Tamara. Yaya ingin tahu bagaimana ekspresi wanita itu sekarang.
Yaya menggigit pipi dalamnya. Dia sangat gugup bahkan ketika Tamara tetap diam memasang tampang datar dan tenang.
"Lalu kau bekerja sama dengan Mimy? Dia sepupumu juga, kan? Ah ya, walaupun kalian hanya sepupu jauh." Senyuman kecut yang ditampilkan Tamara itu menjadi tanda alarm bahaya untuk Yaya. "Kenapa kau lakukan itu, Yaya?" Yaya tahu, ada geraman marah di suara wanita paruh baya itu.
Tentu saja Tamara marah. Karena skandal tersebut, putranya hampir ditendang dari keluarga Mechamato. Ini mengejutkan untuknya. Belum lagi dirinya yang merasa dikhianati oleh Mimy, sejujurnya Tamara sudah terlanjur memberikan lampu hijau untuk wanita itu sebagai calon menantunya.
Rasanya Tamara ingin terbahak karena takdir ini!
Di saat Taufan, Gempa, Solar, Halilintar dan suaminya itu gencar-gencarnya mencari wanita dalam video skandal itu dan justru tak membuahkan hasil. Justru dirinya, yang sama sekali tak menaruh minat untuk mencari dan menguak siapa wanita berambut cokelat dalam video tersebut... malah menemukannya pertama kali.
Tamara jadi mengiyakan perkataan yang pernah ibunya ucapkan dulu. Saat dicari dia tidak ada, namun saat tak dicari dia justru ada.
Dunia ini sungguh lucu.
Yaya diam. Kenapa dia melakukan ini? Sejujurnya, Yaya tak menginginkan hal ini terjadi. Semua itu terjadi begitu saja. Saat Mimy dengan tega menjebaknya, atau saat obat pencegah kehamilannya tak berfungsi sebagaimana semestinya.
Memangnya Yaya siapa? Dia hanyalah seorang yatim yang saat itu tidak punya pilihan lain selain menurut.
Tapi, apakah Yaya akan menyalakan Mimy sekarang? Tentu tidak. Yaya sudah berjanji tidak akan menyeret Mimy lebih jauh sebagai peran antagonis. Mimy sudah banyak membantunya... dan kali ini Yaya tidak ingin bersikap egois. Yaya tahu semua ini adalah kesalahan Mimy, tetapi dia sudah memaafkannya. Baginya, tak perlu lagi mengungkit masa lalu. Jika ditanya siapa yang harus mati diantara mereka berlima, maka akan dengan senang hati Yaya memilih dirinya sendiri. Yaya lah yang patut disalahkan untuk semua ini.
Tapi apakah Yaya rela jika harus mati dan meninggalkan kedua buah hatinya?
Jawabannya tentu saja tidak! Tapi Yaya juga tidak ingin mengorbankan orang lain hanya demi kepentingan pribadinya.
"Jawab aku, Yaya. Kenapa kau melakukan hal itu?" Tamara mengulang kembali pertanyaannya.
Yaya mengangkat wajahnya. Mata karamelnya bersirobok dengan mata cokelat madu Tamara. "Karena saya memerlukan uang..." jawaban dengan nada terkesan tenang itu membuat Tamara semakin marah. Karena uang katanya? Hanya karena uang... perempuan ini hampir membuat keluarganya berantakan.
Perempuan sialan!
"Uang?" Tamara bertanya. Dirinya masih berusaha untuk tetap tampil tenang serta elegan dan tak menampar wanita murahan di depannya ini.
"Iya. Sejujurnya nyonya, ini semua salah putra Anda. Dia memainkan perasaan Mimy... dan tentu saja itu membuat perasaan sepupu saya sakit hati. Karena perbuatan putra kedua Anda itu, membuat Mimy harus membayar saya dengan harga mahal hanya untuk menghancurkan reputasi putra Anda!" Dalam hati Yaya, wanita itu kagum pada dirinya sendiri yang bisa bersandiwara sejauh ini. Ketika melihat manik cokelat madu itu berkilat marah, Yaya justru mengumbar senyum manisnya. "Restoran ini dan rumah yang saya tempati sekarang adalah bukti transaksi kami."
Entah keberaniannya datang dari mana, tetapi Yaya merasa ada sesuatu yang mendorongnya... mendorongnya untuk menjadi perempuan yang berani mengambil risiko.
Tentu, Tamara mengetahui betul perihal itu, mengenai restorannya dan rumah yang ditempati olehnya.
Tamara diam sebentar sebelum akhirnya wanita itu bernafas dengan tenang. Sejujurnya, Tamara terkejut dengan reaksi wanita di depannya ini... begitu pula dengan Ilham yang Tamara rasa kini menganga tak percaya.
"Lalu? Apakah sekarang kau akan menggunakan kedua cucuku sebagai alat untuk mendapatkan marga Mechamato?"
Entah kenapa... otak Tamara mulai kosong. Apalagi saat mendengar suara kekehan yang keluar dari bibir mungil si Yaya.
Perempuan ini bernyali juga rupanya. Tak seperti yang telah diperkirakan oleh Tamara.
Yaya menggeleng. "Tidak. Sama sekali tidak, nyonya. Niat saya sebenarnya hanya sampai nama baik putra Anda tercemar. Dan itu sudah terjadi. Namun, saya tak menyangka jika rencana ini justru menghasilkan kehidupan baru... terlebih lagi dua kehidupan baru. Karena sejujurnya, saya sudah mengonsumsi obat pencegah kehamilan," ucapnya jujur.
Tamara masih diam. Dia tak menangkap kebohongan di sana. Jika dipikirkan dengan logika pun, perkataan Yaya memang benar. Tak ada maksud lain..., jika memang ada, pasti sejak hari pertama kehamilan atau hari pertama dia melahirkan dia akan datang dan meminta pertanggung jawaban pada keluarganya, terutama pada putranya, Taufan.
"Bagaimana dengan Taufan?" Tamara bertanya lagi.
Yaya menyerngitkan dahinya. "Saya tidak mengerti maksud Anda," ucapnya. Justru di sini Yaya lah yang penasaran mengenai Taufan. Apa pria itu sudah mengetahui perihal ini?
"Tidak mengerti?!" nada Tamara terdengar sangat kesal di telinga Yaya. "Kau bukannya barusan bertemu dengan putraku? Aku bisa mencium bau parfum Taufan darimu!" ujarnya sambil menunjuk Yaya yang terkesiap. "Mengaku padaku, kalian sedang berkencan, kan?"
Yaya menggelengkan kepalanya. "Maaf nyonya, tetapi sepertinya Anda salah paham. Saya dan tuan Taufan hanya bertemu membahas soal bisnis, bukan berkencan seperti yang Anda duga."
Tamara diam. Jawaban Yaya di telinganya itu terdengar sangat jujur. Namun, tetap saja Tamara sedikit merasa was-was... karena banyak kemungkinan dapat terjadi.
Seperti misalnya sebenarnya putra keduanya itu dan perempuan di depannya ini sudah menikah tanpa sepengetahuan keluarganya, atau mungkin mereka backstreet. Mungkin saja Taufan yang pertama kali mengetahui bahwa Yaya adalah perempuan yang dicarinya, dan ketika wanita itu mengandung besar makanya dia memilih untuk menikahi wanita itu diam-diam lalu tumbuh rasa benih-benih cinta di antara mereka berdua. Tentu saja... hal seperti itu bisa saja terjadi. Taufan hanya sedang menyembunyikan Yaya dan kedua anaknya... dia hanya takut jika hubungan mereka tidak disetujui oleh keluarga Mechamato, terlebih lagi Amato.
Itulah yang Tamara pikirkan.
Ini semua terlalu banyak kebetulan.
Putranya yang selalu berhasil menghindari jebakan para wanita tapi tiba-tiba terlibat dalam skandal.
Perusahaan putranya yang pindah ke kota besar seperti kota Hilir. Dan wanita di depannya ini juga kebetulan menetap di kota ini setelah beberapa minggu sang putra dipindah tugaskan.
Lalu sekarang Tamara mendapati kedua bocah yang memiliki fisik seperti putranya.
Semua bagaikan benang merah. Tamara hanya takut jika sedari awal Taufan dan Yaya yang merencanakannya. Bisa saja mereka sudah berpacaran sejak lama. Jika memang ini adalah sebuah kebetulan, maka Tamara benar-benar ingin bertepuk tangan.
Sungguh, takdir cinta putra keduanya itu seperti serial telenovela!
Tetapi Tamara tak bisa menampik kebetulan ini. Tidak ada bukti bahwa mereka berdua menjalin hubungan. Dan terlihat sekali bahwa Taufan tak tahu apa pun.
Dan yang terpenting adalah bukti konkret yang menjurus jika semua ini adalah ulah Mimy Cakrawidana dan perempuan dengan asal usul tidak jelas di depannya ini.
Bukan Taufan sang putra.
Sungguh sangat lucu. Lalu... bagaimana reaksi putra keduanya nanti jika tahu bahwa perempuan di depannya ini telah melahirkan dan membesarkan darah dagingnya? Kalau ternyata perempuan ini adalah ibu dari dua anak kembarnya? Kalau perempuan ini adalah perempuan bersurai coklat yang selama ini dicarinya? Mungkinkah putra keduanya itu akan loncat kegirangan dan menyeret Yaya langsung ke kantor agama untuk segera menikah? Mengingat Tamara mengetahui dari Ilham bahwa selama beberapa minggu ini putranya itu senang sekali makan siang di restoran Yaya dan pulangnya akan selalu bergelagat seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Tidak! Tamara sangat yakin suaminya tak akan menyetujui itu. Ya... Amato itu orang yang pemilih, apalagi asal usul Yaya yang tidak jelas dan bukan dari keluarga terhormat.
Memikirkannya membuat kepala Tamara serasa mau pecah.
"Baiklah. Anggap saja aku salah paham dan lupakan masalah tadi." Tamara berkata final. Sedangkan Yaya, wanita itu hanya mengangguk.
"Nyonya Tamara... jika hal yang Anda khawatirkan adalah saya yang akan membongkar jati diri Taufik dan Yachana kepada publik... maka Anda dan keluarga Anda tidak perlu takut. Saya tidak akan melakukan itu."
Kali ini Yaya ingin bernegosiasi. Sepertinya rencananya untuk kabur ke Jepang akan jadi hal yang sia-sia. Dia harus melapor ke Mimy setelah pembicaraan mereka selesai nanti.
"Saya bersumpah... kami tidak akan membuat masalah untuk keluarga Anda. Jika saya mengingkarinya, maka saya akan dengan senang hati mempertaruhkan nyawa saya untuk keluarga Anda," lanjut Yaya dengan memasang wajah serius. Yaya yakin, uang bukanlah jaminan untuk keluarga Mechamato... mengingat mereka adalah salah satu keluarga paling terkaya di Malaysia. Jadi Yaya akan menjadikan nyawanya sendiri sebagai jaminannya.
Tamara menghela nafas. Tidak akan membuat masalah katanya? Sayangnya putra keduanya itu sudah terpincut oleh wanita di depannya ini, walaupun sepertinya Taufan tidak sadar bahwa dirinya sedang jatuh cinta. Tamara bisa apa? Ditambah lagi, tampaknya cinta putranya itu bertepuk sebelah tangan.
Memalukan. Ini adalah kali pertama seorang keturunan Mechamato cintanya bertepuk sebelah tangan. Karena sejujurnya, dulu Tamara lah yang menyatakan perasaannya pada Amato.
Tamara bangkit dari duduknya. Ia tak mau ambil pusing untuk saat ini. "Kita pergi, Ilham," ucapnya. Masalah ini akan Tamara pikirkan nanti. Ini di luar rencananya.
Ilham yang sedari tadi mengamati hanya mengangguk walaupun wajahnya tampak tak yakin.
"Ba–bagaimana dengan putra dan putri saya, nyonya Tamara?" Yaya gamam saat Tamara mau pergi.
Tamara berhenti sejenak. Matanya memandang Yaya datar. "Ini menyangkut darah Mechamato, aku tak akan mengambil keputusan yang singkat. Jadi... aku akan membiarkanmu dulu. Sampai aku akan memutuskannya nanti."
Yaya memainkan jari-jarinya. Matanya menatap langsung pada netra coklat madu Tamara. "Mungkin ini terdengar egois, tetapi saya akan menyetujui segala keputusan Anda, nyonya Tamara. Asal Anda bisa menjamin nyawa putra dan putri saya... bahkan jika Anda akan mengambil mereka dari saya, maka saya akan rela dan tak akan melawan," ujarnya.
Tamara diam, matanya menatap Yaya dalam. Jawabannya yang terdengar tulus di telinganya itu membuat Tamara terpikirkan satu pertanyaan untuknya.
"Pertanyaan terakhir, nona Yaya." Tamara ragu, tetapi dirinya ingin tahu jawaban dari mulut wanita di depannya ini. "Apa kau menyesal dengan kesalahan yang telah kau lakukan, Yaya?"
Iris coklat madu dan karamel itu bertemu. Yaya diam dan sedang berpikir.
"Tidak, nyonya Tamara. Saya tidak menyesal," ucapnya sambil mengumbar senyuman manis. "Jika saya bisa kembali ke masa itu, maka saya akan memilih jalan yang sama. Karena Taufik dan Yachana bukanlah kesalahan... dia adalah keajaiban yang dititipkan Tuhan pada saya."
Peek A Boo
Chapter 17 : Terbongkar (I)
To be continued.
Omake
Mikoto duduk dengan kasar di kursi penumpang di belakang. Terdengar helaan nafasnya yang tak kalah kasarnya.
Dirinya lelah, meski hati kecilnya begitu senang karena memiliki cucu kembar yang diidamkannya dari putra keduanya itu.
Permasalahannya adalah Amato dan perempuan bermata karamel itu.
"Bunda? Bagaimana setelah ini?" Ilham bertanya, tangannya masih terampil mengemudikan mobil.
Mata coklat madunya melirik sebentar ke Ilham. Lagi, Tamara menghela nafasnya. Apa yang akan dilakukannya?
"Aku tidak mau memiliki menantu sepertinya," ujarnya jujur.
"Maaf?"
"Ya... dia hampir menghancurkan keluargaku hanya demi dibayar oleh Mimy Cakrawidana. Bukankah itu artinya dia perempuan yang jahat?"
Perempuan licik dan jahat. Itulah yang Tamara nilai dari jawaban si Yasmine Andriyana.
"Eum... tapi bunda, jika melihat—ekhem—videonya... sepertinya nona Yaya adalah korban."
Tamara tak bersuara. Itu juga adalah penilaian awal Tamara. Sebelum-sebelumnya, Tamara sangat mahir dalam menilai kepribadian seseorang hanya melihat dari raut wajahnya. Awalnya Tamara merasa jika Yaya adalah perempuan yang baik... bahkan jiwa keibuannya sangat memancar. Entah dari gerak-geriknya, maupun lisannya.
Tapi... saat mendengar semua yang dilakukannya itu demi uang... entahlah. Hati Tamara menjadi sangat ragu pada wanita itu.
"Jadi?" Ilham kembali bertanya.
Sedangkan Tamara kini tersenyum menatap jalanan. "Besok aku akan ke Jepang," jawabnya.
"Ingin menemui nona Mimy?" Ilham menyerngit saat mengatakannya. Bertepatan dengan mencari tahu tentang Yaya, dirinya juga berhasil melacak di mana sekarang posisi wanita tersebut dan memberitahu secepatnya pada Tamara.
Tamara mengangguk. Benar... dirinya harus bertemu dengan Mimy Cakrawidana. "Iya. Kau tahu Ilham? Orang yang bijak adalah orang yang mengambil tindakan dari berbagai sudut cerita."
Benar... Tamara tidak akan mau percaya begitu saja. Dia harus bertanya juga pada Mimy.
"Bagaimana jika nona Yaya berbohong? Bagaimana jika nona Yaya juga dijebak?" Tamara mulai kesal dan sebal. Entah kenapa Ilham kini menjadi seorang yang cerewet dan terlalu kepoan.
"Apalagi? Aku akan mendukung keduanya... toh putraku menyukainya!" suaranya agak membentak, dan Ilham hanya meringis.
Hening sejenak sampai Ilham lagi-lagi bertanya.
"Bagaimana jika nona Mimy membenarkan ucapan nona Yaya? Jika apa yang dilakukan oleh nona Yaya hanya demi uang adalah kebenaran?"
Tak ada jawaban dari sang nyonya, sepertinya nyonyanya itu sudah lelah menawab semua pertanyaannya.
Ilham hampir menghela nafas maklum, namun tertahan saat mendengar gumaman nyonya besarnya itu.
Gumaman yang sangat lirih dan terdengar pahit.
"Apalagi? Sudah tentu wanita itu harus disingkirkan dari hidup putraku ataupun kedua cucuku."
Author's note:
Chapter 17 sudah di-update! Maaf ya minggu lalu jenn nggak update, soalnya lagi sibuk. Untuk chapter 18 minggu ini bakal aku update kok!
By the way, jenn ingin mengucapkan terima kasih pada aerzyy yang senantiasa hadir mereview fanfic ini. Jenn juga ingin mengucapkan terima kasih sama Ellena Nomihara karena mau mampir membaca fanfiksi banyak drama ini wkwkwk. See you next chapter~
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa review ya~
