Apa dia korbankan Yaya saja? Apalagi saat perempuan itu yang memintanya tadi.

"Pertanyaan apa?" Mimy menyerngitkan dahinya, berpura-pura lupa.

Tamara berdengus. Wanita itu menatap tajam Mimy. "Yasmine Andriyana. Benarkah dia menerima uangmu dan bekerja sama denganmu untuk menjebak putraku?"

Mimy diam sejenak, kemudian matanya melirik pada perutnya yang membesar, memasuki bulan kesembilan dan beberapa minggu lagi ia akan melahirkan bayinya. Tangannya mengelus sayang perutnya, ia kemudian menatap langsung pada netra cokelat madu Tamara.

Yah... mau bagaimana lagi?

Mimy menyeringai senang. Maaf Yaya, batinnya berkata.

"Tentu saja... dia menerima uangku dan bekerja sama untuk menjatuhkan reputasi putra tersayangmu itu. Semua yang dikatakan oleh Yaya adalah benar..."


"Peek A Boo" by jennetchs

Boboiboy/ Boboiboy Galaxy belongs to (c) Monsta

Warning(s) : Alternatif universe, no power, Boboiboy Taufan x Yaya area! elementalsiblings! adultchara! ooc, smut, drama, romance, hurt/comfort, bahasa Indonesia (baku dan non-baku), typo, sensitive words, sexual intentions, and rape scene, etc.


Chapter 19 : Lies exposed


Hening sejenak. Tamara berusaha meneliti mata Mimy, mencoba mencari kebenaran di sana. Saat mulut Tamara hampir membuka, Mimy menginterupsinya.

"Apa kau berharap aku menjawabnya seperti itu?" Mimy tersenyum ramah, namun tampak tak tulus sama sekali. "Jika kau berharap begitu, maka maafkan aku. Karena kenyataannya... tidak sesuai dengan harapanmu."

Tamara menatap Mimy dengan tatapan memicing tajam, menelisik kembali dan mencoba mengartikan ucapan wanita di depannya ini yang menurutnya sangat berbelit-belit.

"Kenyataannya, aku lah dalang sesungguhnya dari skandal yang menimpa anak kesayanganmu itu. Yaya, sepupuku dan ibu dari cucumu, dia hanyalah seorang korban atas kelicikanku." Mimy mendongakkan wajahnya dengan angkuh, menekan kata cucu terhadap Tamara. Mimy sangat menghormati Tamara, tapi dalam kasus yang sekarang ini, Mimy tak boleh terlihat seperti rusa dihadapan singa betina. Kali ini, Mimy harus terlihat sama kuatnya dengan wanita itu.

"Begitukah?" lirih tapi mendesis. Tatapan Tamara sama sekali tak teralihkan dari wajah Mimy. Khas dari seorang Mechamato sekali, selalu berusaha menekan lawan bicaranya dengan tatapan. Mata adalah senjata terkuat untuk membuat lawanmu gugup, dan saat kegugupan itu muncul, maka sebuah celah akan datang menyeranngmu.

Namun kali ini sulit.

Nyonya Fujimura di depannya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang cukup menakutkan.

"Aku sama sekali tak mengerti apa tujuanmu dengan mendatangiku seperti ini, apalagi menganggu waktu istirahatku dan suamiku," kata-kata 'mu' itu Mimy tunjukkan untuk Tamara.

Tamara sedikit meringis sedih mendengarnya. Bagaimana pun, dirinya dan Mimy sempat sangat dekat bagaikan menantu dan mertua. Mimy selalu memanggilnya dengan sebutan 'Bunda' seperti anak-anaknya, tapi sekarang... ah tentu Tamara mengerti dengan situasi yang mereka hadapi. Keduanya kini sedang berperang dingin.

"Tidak seperti Mechamato sekali. Bukankah biasanya kalian akan bergerak dengan senyap sehingga orang yang kalian incar akan hancur dengan sendirinya." Itu adalah sindiran keras Mimy kepada keluarga Mechamato, yang memang sering menggunakan cara tersebut untuk menghancurkan beberapa orang yang dianggap menghalangi jalan mereka. Dulu juga Mimy takut dengan itu, namun semenjak hubungannya membaik dengan Yaya, Mimy mulai menghargai kehidupannya sendiri.

Tamara diam, meskipun itu adalah kalimat sarkasme, namun dirinya sama sekali tak merasa tersindir.

Tamara dan para wanita dari keluarga Mechamato tak pernah melakukan itu, karena hanya para lelaki di keluarga Mechamato lah yang bekerja demikian. Dirinya bukannya ingin menyalahkan suami dan anak-anaknya ataupun pria lain dari keluarga Mechamato yang lain. Hanya saja, itulah kebenarannya. Mereka kejam hanya untuk menunjukkan kepada orang lain untuk tidak macam-macam dengan keluarga Mechamato.

Tamara hanyalah wanita karir yang merangkap menjadi ibu rumah tangga yang kebetulan mendapat anugerah untuk menjadi seorang nyonya Mechamato. Jika tidak diusik, Tamara yakin keluarga Mechamato tak akan melakukan hal-hal yang melanggar batas kemanusiaan.

"Tunggu...! Mungkinkah dua keponakanku itu, Yacha dan Ufik berhasil menarik perhatianmu, nyonya Mechamato? Apa setelah bertemu mereka, kau menjadi orang yang lebih lembut daripada biasanya?" Mimy tersenyum kecil, namun dari wajahnya tampak raut kemenangan yang dilihat Tamara.

Menjadi suatu prestasi bagi Mimy karena dirinya bisa menyudutkan seorang Mechamato sejauh ini. Mimy juga sudah siap dengan panah yang keluar dari mulut wanita di depannya yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri.

Mari anggap saja pertengkaran mereka seperti pertengkaran antara seorang ibu dan putrinya.

Meskipun begitu, Tamara sama sekali tak merasa tersudutkan.

Kali ini Tamara malah tersenyum. Wanita di depannya ini memang luar biasa, dia masih bisa menjaga ekspresi dan gerakannya meski sudah dipojokkan dengan kata-kata yang cukup pedas. Menjadi menantu dan hidup di keluarga Mechamato yang kebanyakan jago memainkan ekspresi wajah mereka telah melatihnya.

"Kamu terlalu banyak bicara ya, nyonya Fujimura." Kali ini giliran Tamara. "Padahal aku sama sekali tak mendesakmu. Kenapa? Apa kau sedang ketakutan." Kali ini Mimy mengeratkan tangannya sendiri, sedikit meremas bagian bawah dress hamil yang dikenakannya.

"Apa?"

"Siapa yang berbicara berbelit-belit sekarang? Padahal kau sama sekali tidak tahu tujuanku." Bibirnya tersenyum memandang Mimy.

Tidak tahu tujuannya? Jangan bercanda! Tentu Mimy tahu... wanita itu ingin menekankan Yaya.

Mimy tak bisa lagi menahannya.

"Dengar nyonya Tamara! Kau jangan mencoba untuk mencari masalah," Mimy mendesis berharap desisannya membuat Tamara sedikit takut padanya. Tapi itu tidak bekerja! Justru saat ini perempuan di depannya ini sedang tersenyum geli.

Dan jijik.

Nyoya Tamara? Apa benar-benar mereka menjadi asing sekarang?

"Mencari masalah? Kau yang mencari masalah duluan dan hampir menghancurkan keluargaku!" Mata Tamara yang tadinya menatap mata Mimy kini beralih ke perut wanita itu yang tampak membulat. "Kau akan menjadi seorang ibu, kan? Bagaimana perasaanmu jika suatu saat anakmu ditendang dari keluargamu?"

Mimy terdiam, itu adalah balasan telak yang mengenai titik terlemahnya.

Tentu saja jawabannya adalah sakit. Mimy tak mau itu terjadi. Dia mulai paham dengan apa yang dirasakan oleh Tamara. Karena kini, dirinya juga akan menjadi seorang ibu dalam beberapa minggu lagi. Mimy tak bisa memperkirakan lagi seberapa tegarnya seorang Yaya. Bahkan sepupunya itu sudah siap jika dipisahkan dari kedua anaknya, asal mereka berdua selamat.

Beban Yaya sudah terlalu banyak.

Mimy bersumpah, Yaya akan baik-baik saja bersama kedua buah hatinya.

"Aku tak membicarakan tentang diriku, nyonya Mechamato." Tamara mengerti ucapan Mimy. Bukan dirinya sendiri yang dikhawatirkan oleh wanita itu, melainkan si ibu keponakannya yang juga akan jadi calon besannya.

Tamara terkekeh, di sana ada nada yang sarat akan kekesalannya. Matanya melihat pantulan dirinya di cangkir tehnya. Lalu, siluet Yaya dengan wajah seriusnya muncul di sana. "Maksudmu, wanita yang tak jelas asal-usulnya itu?" yang dimaksud Tamara adalah Yaya.

Mimy kesal, dan marah. Apalagi saat Tamara mengatakan bahwa sepupunya itu adalah perempuan dengan asal usul tak jelas. Mimy bisa merasakan sarkasmenya dari ucapan si nyonya Mechamato. Asal usul yang tak jelas. Yang artinya, Yaya tak layak disandingkan dengan keluarga Mechamato.

"Terserah kau mau menyebutnya seperti apa, tapi jangan pernah menganggu mereka. Yaya maupun kedua anaknya, mereka adalah orang-orangku." Ini adalah sebuah ancaman yang dilemparkan Mimy. Mimy tak menyangka, perasaannya pada Yaya membuatnya menjadi orang yang pemberani seperti ini! Oh ayolah... siapa yang akan berani menentang keluarga Mechamato?

Mimy akui, dia berani juga karena memiliki suaminya sebagai tamengnya. Maksudnya adalah... keluarga Fujimura.

"Sadari posisimu sebelum kau berani mengancamku, Cakrawidana!" suara lembut Tamara berubah menjadi dingin dan menusuk. Bahkan Tamara membawa nama keluarga lamanya. Cakrawidana? Apa itu tandanya Tamara akan melakukan sesuatu pada keluarganya?

Cuih! Mimy tak takut!

"Posisi? Seharusnya kau tidak lupa bahwa siapa aku sekarang!" Suara Mimy tak kalah dingin. Oh, sekarang Mimy merasa amat sangat berdosa karena dia terlihat seperti membangkang pada ibunya sendiri. "Aku adalah menantu dari keluarga Fujimura. Tentunya, kau tidak lupa siapa keluarga Fujimura, kan?"

Tentu Tamara tahu. Jika Mechamato berkuasa atas kekayaan dan perusahaan robot serta cokelat di Malaysia, maka keluarga Fujimura kebalikannya. Selain menghasilkan para aktor ternama di Jepang dan dunia, mereka juga merupakan keluarga yang berkuasa di dunia gelap di negara Sakura tersebut. Meski hanya rumor, tapi Tamara tentu percaya, jika keluarga Fujimura adalah salah satu keluarga yang bergerak di kalangan Yakuza.

Walaupun begitu, Tamara tidak takut! Tamara bisa menebak, keluarga Mechamato akan tetap menang. Hanya saja..., akan ada memakan korban jiwa. Walaupun hanya satu atau dua orang, dirinya sangat peduli terhadap itu. Apalagi untuk putra-putranya. Ataupun kerabat keluarga yang lainnya.

"Segerombolan tikus tak akan pernah menang melawan harimau, nyonya Fujimura."

Mimy terkekeh, matanya menatap mengejek Tamara. "Siapa bilang aku mengincar kemenangan, nyonya Mechamato? Kau tahu sendiri, aku hanya menginginkan sebuah kehancuran," ucapnya tenang.

Dan itu sesuai dengan dugaan Tamara. Mimy hanya akan mencari korban jiwa. Tanpa sadar, bibirnya tertarik ke atas. Tamara tersenyum. Tidak ia duga Mimy kini berubah menjadi wanita yang mengerikan namun pantas untuk dihormati. Andai keenam putranya—kecuali Taufan—belum memiliki pasangan masing-masing, sudah dipastikan ia akan menjodohkan salah satu dari mereka dengan Mimy. Dengan penampilannya yang seperti itu, Mimy sangat cocok menjadi salah satu bagian keluarga inti Mechamato.

Tamara berdengus. Tak menyangka Mimy akan berbuat sejauh ini. "Kupikir wanita sepertimu tak terlalu mempedulikan orang lain. Tapi, ada apa ini? Mengapa kau sangat ingin melindunginya?"

Mimy tertawa sarkas saat mendengarnya.

"Orang lain? Jangan salah paham! Anda lupa, kami ini masih sepupu walaupun sepupu jauh? Selain itu, dia bukan orang lin untukku!" lalu Mimy kembali melirik perutnya yang membesar sambil mengelusnya. Tamara mengikuti arah pandang Mimy, melihat perut wanita itu yang melebar. Lalu saat matanya mencoba memandang mata Mimy, wanita itu juga ikut menatapnya.

"Asal nyonya Mechamato tahu, dia akan menjadi besanku! Salah satu dari si kembar, akan menjadi menantuku!"


Yaya kelimpungan. Di pagi buta, kedua anaknya sudah menjerit menangis. Yah, Yaya sudah menebaknya. Meski Yachana dan Taufik adalah seorang penyayang binatang, tapi usianya masih terlalu dini untuk bisa mengurus binatang dengan benar.

Hamster yang dibelinya dua hari lalu sakit.

Yaya menghela nafas. Dia berusaha menenangkan kesedihan kedua buah hatinya.

"Kita ke dokter Stanley aja ya?" Yaya berusaha membujuk. Inilah kesulitan saat menghadapi anak yang sedang merengek. Jika diabaikan, mereka akan tetap menjerit, tapi saat dipedulikan mereka akan semakin tambah menjerit.

Oh ya ampun! Yaya benar-benar pusing.

Yachana dan Taufik masih menangis meraung, mereka mengelus sayang kedua hamster yang tampak tidak lincah dan sudah dua hari berhenti makan seperti biasanya. Yaya meringis melihatnya.

"Ayolah sayang, jika ditunda nanti sakitnya mereka akan tambah parah." Yaya lagi-lagi membujuk. Dia berusaha untuk tak mengeraskan suaranya. Kepribadian anak akan terbentuk sesuai dengan tindakan dari orang tuanya.

Oleh karena itu, Yaya selalu berhati-hati.

Yachana masih sesegukan, sedangkan Taufik kini sudah berjalan ke arahnya sambil menggendong hamster miliknya. Putranya itu kemudian memberikan hamster itu ke tangannya.

Yaya bernafas lega, saat Yachana sudah berhenti menangis dengan bibir yang mengerucut.

"Nah sekarang, ayo kalian mandi ya dengan Bubun. Habis itu kita ke dokter Stanley," dan kedua anaknya itu hanya patuh masih dengan mata berair yang lucu.


"Nona Mimy terlihat sangat berbeda ya kemarin malam?" ucap Ilham, membuka pembicaraan diantara dirinya dan sang nyonya. Dirinya masih tetap fokus menyetir untuk mengantar sang nyonya menuju ke bandara. Hari ini mereka akan pulang ke Malaysia karena Tamara sudah tidak memiliki urusan di Jepang.

Semuanya sudah clear. Semua kebenaran yang dicarinya sudah terungkap.

Tamara hanya bergumam seadanya membalas basa-basi dari Ilham sembari menatap jalanan kota Tokyo yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit yang tinggi.

"Saya rasa ini semua karena nona Yaya," Ilham melanjutkan lagi, masih berusaha menarik atensi sang nyonya.

"Entahlah." Lagi Tamara bergumam malas menjawabnya.

"Nona Yaya seperti memiliki sesuatu yang bisa membuat orang lain tertarik padanya,"

Tamara menoleh, menatap datar pantulan wajah Ilham dari spion tengah yang bergantung atas plafon mobil. "Kenapa begitu?" tanyanya dengan nada malas. Walaupun begitu, dia tetap menghargai orang yang mengajaknya bicara.

"Karena saya juga sepertinya tertarik padanya." Ilham mengatakan itu bukan berarti dia menyukai Yaya. Kata tertarik di sini memiliki arti yang berbeda dengan rasa suka ataupun cinta. Tertarik di sini lebih ke arah seperti Ilham tidak bisa membencinya, dan lebih ingin tahu tentangnya.

Hening sebentar. Sampai akhirnya llham mendengar Tamara berdengus kepadanya. "Jangan berani-berani kau untuk menyukainya! Dia akan menjadi menantuku dan istri Taufan! Walaupun kau sudah kuanggap seperti anak sendiri, wanita itu hanya kuberi restu pada Taufan!"

"Ah, bukan begitu maksud saya. Maafkan—eh?" kalimat Ilham terhenti. Tunggu dulu, barusan nyonya-nya bilang apa? Menantunya? Apakah itu berarti nyonya-nya...

Sudah merestui?

"Bunda, Anda..." Ilham ragu-ragu sedangkan Tamara tersenyum kecil.

"Yah..., mau bagaimana lagi?" ujarnya dengan tersenyum kecil yang tak lepas dari wajahnya. Seperti kata Ilham, Yaya memiliki daya tariknya sendiri. "Lagi pula, ada putri manis dan pangeran tampan yang harus bahagia dengan keluarga yang lengkap, kan?" mata cokelatnya memandang jalanan, beberapa orang berlalu-lalang di sana. Dan ada segelintir keluarga yang sedang berjalan santai di sana. Ayah, ibu, anak kecil perempuan dan anak kecil lelaki.

"Kalau begitu... tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi oleh Anda, kan?" Ilham melirik dari spion depannya, entah kenapa, nyonya-nya itu kembali menyendu.

Apa dia mengatakan hal yang salah?

Khawatir? tentu ada. Justru banyak dikhawatirkan oleh Tamara. Seperti bagaimana perasaan Yaya pada putranya, ataupun yang paling penting adalah tanggapan Amato, suaminya itu sendiri nantinya.

Sekarang yang perlu Tamara lakukan adalah menyembunyikan Yachana dan Taufik dari Amato hingga dirinya siap untuk mengungkapkannya.

Mungkin dirinya akan bersengkokol dengan Taufan setelah ini.

Meski begitu...

Tamara berpikir keras. Apa yang bisa meluluhkan kekerasan kepala suaminya itu agar Amato bisa luluh?

100% Tamara yakin bahwa Amato akan menolak Yaya menjadi menantunya. Tamara akui Yaya memang memiliki daya tariknya tersendiri. Namun, itu tak akan cukup membuat Amato akan menyukainya..., karena kelemahan terbesar Yaya adalah, asal usul keluarganya yang tidak jelas.

Dia gadis yatim dengan kehidupan yang melarat. Dan Tamara yakin, suaminya itu menginginkan menantu yang memiliki keluarga terhormat sepertinya.

Kepala Tamara seperti akan pecah memikirkannya.

Apa dia mengancam untuk minta cerai saja agar Amato bisa luluh? Ah, lupakan! Itu pemikiran yang gila. Lagi pula, Tamara yakin Amato akan baik-baik saja tanpa dia, justru dia yang akan menyesal nantinya jika pria itu menyetujui ancamannya.

Yah, terserahlah... masalah Amato, akan dirinya serahkan pada putranya. Jika putranya benar-benar menginginkan Yaya dan mencintai wanita itu, maka sudah seharusnya Taufan bisa mengalahkan kekeras kepalaan ayahnya.

Ah, ngomong-ngomong tentang Taufan, Tamara jadi kepikiran. Perihal wanita berambut coklat yang dicari olehnya dan Yaya adalah orang yang sama.

Apa Tamara perlu memberitahukannya?

Tanpa sadar, sudut bibir Tamara terangkat. Toh, tidak perlu, pikirnya.

Biarkan saja. Terkadang melihat seorang putra delima karena cinta, adalah hiburan tersendiri bagi orang tua.

Petak umpetnya harus tetap berjalan. Meski begitu...

Yaya tetap sudah kalah.


"Kedua hamster ini terkena penyakit sembelit. Mereka dehidrasi, dan ada salah juga pada bedding-nya. Maka dari itu, aku sarankan tambahkan buah atau sayur kubis dalam porsi makanan mereka, atau jika tidak, kamu bisa memberikan satu tetes minyak sayur setiap hari. Dan pastikan, mereka mendapatkan air minuman yang bersih." Dokter Stanley adalah dokter hewan terkenal di daerah ini. Selain kemahirannya, dia juga terkenal ramah dan memiliki tampang yang lumayan enak dipandang. Sebelum hamster, Yaya dan kedua anaknya pernah ke sini juga... saat anak kucing milik kedua anaknya itu menghilang. Yachana dan Taufik yang memang masih bocah itu mengajak bundanya untuk meminta tolong pada Stanley untuk menemukan kucing mereka yang hilang itu.

Saat itu Yaya malu sekali. Faktanya... Stanley adalah dokter hewan, dia bukan animal communicator yang dapat dengan mudah mencari hewan yang hilang. Oh, jika mengingatnya, Yaya ingin sekali menguburkan kepalanya sendiri seperti burung unta. Tentu saja! Siapa yang tidak malu menanyakan perihal hewan peliharaanmu yang hilang kepada dokter hewan malah bukannya ke ancom.

"Ah, begitu... terima kasih, Stanley." Yaya tersenyum manis. "Kalau begitu, apa kami bisa membawanya juga sekarang?"

"Bisa kok, Ya. Tapi yah, jangan lupa untuk melakukan saranku yang tadi."

"Ah, baiklah. Sekali lagi, terima kasih Stanley."

Stanley mengangguk. "Sama-sama. Lagi pula, ini sudah menjadi pekerjaanku, "ucapnya.

Kemudian hening. Yaya dan kedua anaknya hanya diam memperhatikan Stanley dengan seksama memasukkan kembali kedua hamster itu ke dalam kandangnya. Kemudian, dokter hewan itu memberikan kedua kandang hamster itu pada Yachana dan Taufik yang menerimanya dengan senang.

"Jadi... berapa biayanya?" tanya Yaya sambil mengeluarkan dompetnya.

Stanley menggeleng, kemudian berkata ucapan yang sudah Yaya duga, "Tidak perlu."

"Kau ini, selalu saja memberikan keringanan biaya padaku. Aku ini orang yang mampu, tahu?" omel Yaya membuat dirinya seolah tersinggung. Dia tersenyum canggung sambil mengeluarkan dompetnya. Meskipun Yaya suka dengan hal-hal gratisan, namun tetap saja dia memiliki hati dan otak untuk berpikir. Stanley membuka klinik hewan juga kan karena mencari uang, tapi entah mengapa pemuda itu selalu memberikannya perlakuan spesial pada dirinya dan kedua anaknya jika mengobati hewan peliharaan mereka.

Ada hal yang akhir-akhir ini membuatnya tidak nyaman. Tentang gosip yang beredar di kalangan ibu-ibu komplek perumahannya yang juga mengobati hewan peliharaan mereka di klinik dokter hewan tersebut.

Gosip tentang Stanley yang menyukai dirinya.

Ini gila! Masa iya? Dia itu janda yang ditinggal mati suami yang hidup mengurus kedua anak kembarnya! Ah, maksudnya adalah itu yang mereka tahu. Meskipun Yaya bukankah janda, tapi dirinya ini sudah tidak perawan! Mana mungkin pemuda itu mau dengannya, kan? Apalagi jika Stanley mengetahui fakta bahwa Yaya ini adalah pendosa karena hamil di luar nikah! Pemuda itu pasti akan memandang jijik padanya.

Karena kabar yang sudah beredar tentang perasaan dokter hewan ini, membuat Yaya merasa tak enak. Yaya tidak mau berhutang budi jika nantinya akan ada maksud dibaliknya. Meski Yaya tahu, Stanley melakukannya dengan sangat tulus.

"Bukan begitu, tapi aku kan hanya memeriksa mereka, tidak memberikan mereka obat. Jadi, ya, kamu gak perlu mengeluarkan biaya untuk hal-hal seperti itu," jawab Stanley. Yaya ingin protes, tapi tak jadi saat seorang wanita tersenyum dan menyapa dirinya.

Wanita itu keluar dari pintu yang bertuliskan 'khusus karyawan, yang tidak memiliki kepentingan dilarang masuk'.

"Mbak Aya!" senyumnya tak kalah ramah seperti milik Stanley.

"Ah, selamat pagi, Melody." Melody, karyawan klinik hewan Stanley yang bekerja sebagai asistennya. Dia memiliki kembaran bernama Mellissa yang seumuran dan dia juga bekerja sebagai teknisi veteriner pada klinik hewan ini.

Melody mendekati Taufik dan Yachana yang kini duduk di kursi tunggu sambil bernyanyi. Entah sejak kapan kedua anaknya itu sudah duduk dengan nyaman seperti itu, sehingga Yaya tak menyadarinya.

"Jadi, kali ini hamster kalian sakit bukan hilang?" Melody berjongkok di depan Taufik dan Yachana.

Kedua bocah kembar seiras itu berhenti menyanyi lalu menyembunyikan wajah mereka yang memerah dengan kandang hamster yang mereka pegang. Adegan lucu itu membuat ketiga orang dewasa di sana tertawa. Yaya dapat merasakan kehangatan di sini.

"Ah, ya, Stanley! Aku dapat voucher makan nih!" suara Melody membuat Yaya menatap keduanya penasaran. Mata karamelnya melihat dua voucher makan di restoran yang Yaya tahu sangat mahal. "Aku gak bisa datang besok, soalnya ada kencan sama pacarku. Buat kamu aja."

Stanley menyerngitkan alisnya. "Kenapa diberikan padaku? Kenapa gak kau kasih ke Mellisa, kembaranmu itu."

"Aku juga ada kencan," sahut Mellisa yang juga datang dari ruangan yang sama seperti Melody tadi. Kembaran Melody itu berjalan mendekati Stanley, lalu menyikut pinggang yang dokter tersebut hingga membuat Stanley meringis kesakitan. "Kebetulan ada mbak Aya di sini, kau bisa mengajaknya," ujarnya sambil tersenyum jahil.

Yaya bisa melihat, wajah Stanley mulai memerah. "A–apa-apaan sih kalian! Dasar dua saudara bodoh! Kalian lupa, Yaya juga punya kesibukannya sendiri tahu?!"

Yaya tidak mungkin menerima itu, karena itu adalah tindakan pemberian harapan. Tetapi sepertinya Melody dan Mellisa juga ingin sekali menjodohkannya dengan Stanley. Apa kedua sahabat dekat pemuda itu juga berharap padanya?

Oh ya ampun! Yaya semakin tak enak saja.

Mellisa menatap Yaya dengan tatapan memohon sambil berkata, "Mbak Aya, kamu nggak sibuk, kan? Kamu bisa, kan, nemani si bujang lapuk ini." Yaya semakin tidak enak. Apalagi saat melihat Stanley memarahi dua kembar itu dengan wajah memerah. Kedua sahabat pemuda itu memang sering menggoda Stanley setiap kali ia datang untuk mengobati hewan peliharaannya.

Yaya bisa menangkapnya, lirikan harapan dari Stanley untuknya.

Apakah Yaya harus mulai mencoba membuka hatinya? Tapi...

Taufan Al Mechamato. Bayangan pria tampan itu memenuhi kepalanya.

Yaya tak bisa. Apalagi sekarang kebenaran tentang dirinya dan kedua anaknya diketahui oleh nyonya Mechamato. Yaya harus fokus pada masalahnya sendiri yang menyangkut masa depan kedua anaknya. Yaya juga berharap dirinya juga masih memiliki masa depan.

Yaya mendongak, akan menolak permintaan tersebut. Namun, saat manik karamelnya menangkap senyum tulus dari ketiga orang tersebut, Yaya tak sanggup untuk tak mengganggu.


Peek A Boo

Chapter 19 : Exposed Lie

To be continued.


Author's note :

Hola, jenn balik bawa chapter 19. Hayoloh aerzyy udah suudzon sama Mimy wkwkwk. Chapter panjang ini jenn dedikasikan untuk aerzyy dan ellena wkwkwk. Sorry jenn baru sempat update karena sibuk dengan perkuliahan. Chapter 20 jenn usahakan secepatnya. Sampai jumpa fi next chapter~ jangan lupa review-nya hehehe

with love

Jennetchs