Denpasar, adalah ibu kota dari Provinsi Bali. Belakangan di pertengahan abad ke 20, pemerintah Indonesia fokus mengembangkan potensi pariwisata kota dan provinsi ini, yang mana akhirnya terwujudkan juga, seperti yang bisa dilihat di saat ini. Namun meskipun begitu, apa yang terlihat saat ini bukanlah suasana turis ataupun wisatawan yang tengah menikmati keindahan kota ini, namun panik dan chaos yang menyebabkan mereka semua berlarian kesana kemari. Banyak dari mereka berlarian menuju ke arah markas ABRI. Namun, kebanyakan dari mereka masih terjebak di beberapa ruas jalan.

*Duar

Mobil ADRI milik Kodam Udayana yang terjebak di Jalan Ahmad Yani meledak setelah di hantam peluru nobav N-5. Kedua prajurit yang mengiringi seorang perwira tampak pucat saat berpikir bahwa perwira yang mereka kawal telah meninggal, namun setelah asap hitam yang menyelimuti mobil tadi hilang tertiup angin, tak ada bekas-bekas keberadaan sang perwira sedikitpun, dari potongan tubuh bahkan percikan darah sedikitpun.

"Disana!" Tunjuk salah satu prajurit bermasker hitam ke arah truk pengangkut air mineral aseli pegunungan yang terparkir di sebelah timur jalan.

Sang perwira yang nampak sehat walafiat, terlihat tengah menggerakkan-gerakkan tangan dan mulutnya. Nampak jelas bahwa dia tengah mengatakan sesuatu melalui kode.

"Kembali ke markas, dimengerti!" Ucap prajurit bermasker hitam tadi yang langsung berdiri, namun dihentikan oleh rekannya.

"Tetapi, bagaimana dengan beliau?"

"Dia pasti bisa menemukan cara. Berlari ke selatan saja sudah cukup untuk kembali ke markas."

Rekannya kemudian terdiam sejenak, mengingat lokasi mereka saat ini dengan markas.

"Baiklah kalau begitu, ayo!" serunya sembari bergegas menyusuri gang sempit disitu untuk mencari jalan keluar terdekat.

Disisi lain, Leonid yang tengah menunggu serangan balik dari prajurit negara Madzhapahit, setidaknya menurut apa yang mereka yakini, merasa curiga karena tak ada lagi tembakan dari mereka. Sementara itu, jalanan di depan mereka tampak telah kosong, kecuali tumpukan mobil yang menghalangi jalan.

"Peleton A maju ke depan, sisir daerah di depan!" Perintahnya melalui radio magis.

Awalnya dia ragu apakah harus mengirim keseluruhan peleton atau regu saja. Namun mengingat situasi yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakan ke mereka dalam briefing, maka dia yakin ini adalah pilihan yang terbaik.

Segera setelah perintah diterima, peleton A yang terdiri dari 25 orang mulai bergerak maju kedepan, menggunakan formasi segitiga di mana ada bagian sayap kiri dan kanan beserta regu inti di tengah, mereka bergerak mengendap-endap ke depan. Bersenjatakan AS-99, Ruchnoy Pulemyot Serdyukov, alias RPS, dan bahkan tiga orang prajurit tampak menggotong Perenosnoye Protivotankovoye Oruzhiye 97, alias PRO 97 di punggungnya, sesuatu yang nampak seperti alat untuk meluncurkan sebuah proyektil penghancur kendaraan.

Selagi menunggu kabar, Leonid memutuskan untuk menghubungi Komando Regional mengenai situasi saat ini.

"Granitsa ke Serdtse, meminta pasukan anti udara tambahan segera, ganti!"

"Serdtse kepada Granitsa, apa yang terjadi di sana sebenarnya? Kami mendengar suara baku tembak dan ledakan hebat juga teriakan beberapa prajurit dari beberapa radio, ganti."

"Madzhapahit ternyata tidak seperti yang dikatakan oleh para peneliti di TVR, mereka sudah memiliki mobil, senapan serbu, bahkan pesawat. Sangat memungkinkan bahwa mereka telah memiliki nobav pula."

"Dimengerti. Namun, apakah Mozu tidak cukup untuk mengatasi ancaman dari pesawat itu?"

"Saya rasa...akan lebih baik jika kita bersiap akan yang terburuk."

"Serdtse kepada Granitsa, laporan diterima. Akan kami sampaikan laporan Anda kepada pimpinan untuk dipertimbangkan permintaan bantuan ini, selesai!"

Markas Besar Kodam Udayana

Kepanikan tampak tengah muncul di dalam wilayah markas ini. Staff berlarian kesana kemari dan personil militer tengah menyiapkan alutsista dan kendaraan mereka. Warga sipil yang tengah berada di sekitar wilayah zona merah langsung di ungsikan keluar dari markas ke wilayah lain yang dirasa lebih aman dengan bantuan polisi.

"Baik, ini yang terakhir!" Teriak seorang prajurit ADRI ke sopir truk bertuliskan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia yang penuh dengan warga sipil di belakangnya.

Memberikan sinyal tangan oke, truk-truk itu mulai tancap gas dan meninggalkan Sang prajurit itu dibalik kepulan asap gas karbon dioksida. Setelah menyaksikan truk terakhir hilang di balik tikungan jalan, dia pun berbalik kembali berjalan menuju Mabes.

Sementara itu didalam mabes, para staf berulang kali menerima laporan mengenai keberadaan militer asing bersenjata berat yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kota Denpasar.

"Baik-baik, saya terima laporannya. Akan saya teruskan lapor-"

Mendadak, saluran telepon melalui layanan internet itu terputus. Sang staf berulang kali mencoba memeriksa apakah ada yang salah di alat yang dia pakai, namun tak kunjung menemukannya.

"Apa yang sedang terjadi?" Gumamnya heran.

Seorang kepala staf tiba-tiba berlari memasuki ruangan itu dan berkata, "Ada ledakan hebat disusul oleh tiang tower komunikasi jatuh kebawah, disusul oleh listrik yang mulai dijatuhkan semua di utara menurut beberapa laporan, sepertinya itu sebabnya." Ucap kepala staf itu.

Informasi yang sama telah disampaikan ke Pimpinan Kodam beserta Pejabatnya di dalam ruangan rapat.

"Untuk merangkum laporan yang kita dapatkan secara singkat, pasukan asing ini menggunakan tank T-55 dengan varian yang belum jelas dan bersenjatakan senapan serbu FN FNC. Laporan paling baru, mereka bergerak lurus mengarah ke selatan. Begitulah perkembangan situasi terkini." Jelas seorang Perwira yang mengakhiri laporannya.

Mayor Jenderal Avriansyah mengangguk, bersama dengan para pejabat tinggi dan menengah Kodam yang tengah hadir di Markas Besar.

"Dimengerti. Selanjutnya, bagaimana dengan status kesiapan satuan-satuan tempur di sekitar Denpasar?" Tanyanya dengan wajah yang dia usahakan agar tetap terlihat tenang, meskipun didalam bertolak belakang dengan penampilan luarnya.

"Yonif 900 butuh waktu setengah hari mobilisasi, Yonmek 741 setidaknya dua hari, sementara Denkav 4 seharusnya juga satu hari, namun Mayor Kavaleri Nyoman Datha mengatakan bahwa mereka tengah mempercepat prosesnya menjadi beberapa jam, sebisa mungkin. Dua tank ringan dilaporkan telah siap!" Jelas Brigadir Jenderal Tatang Haryanto.

"Baiklah kalau begitu. Dalam hal ini, bantuan dari pusat pasti lebih lambat daripada mereka. Lalu..." Sang Mayor Jenderal terdiam sejenak, sembari memainkan jari-jari tangan kanannya yang mengetuk meja dengan ritme yang cepat. Nampak dia agak ragu untuk mengutarakan pikirannya, namun suara gaduh oleh para staf di luar meyakinkannya untuk mengatakannya kepada para bawahannya ini.

"Bagaimana?" Tanya Brigadir Jenderal Tatang yang penasaran, karena situasi saat ini jelas sedang tidak bagus, dan mereka harus bertindak dengan cepat.

"Karena tidak ada bantuan yang bisa kita harapkan dalam waktu singkat ini, maka saya ingin menyarankan untuk memindahkan markas besar ke markas Detasemen Kavaleri 4 yang jauh lebih aman di selatan sana. Terlebih lagi, bergerak ke utara nampaknya tidak akan terlalu aman."

"Saya mengerti!" Balas Brigadir Jenderal Tatang disusul oleh para bawahannya yang lain.

"Baiklah kalau begitu, bubar! Kita akan bertemu lagi di Denkav 4 malam ini."

Segera setelah perintah diberikan, rapat darurat pun selesai dan perintah evakuasi ke selatan langsung diumumkan oleh operator melalui pengeras suara ke seantero markas.

"Perintah evakuasi! Sesegera mungkin ambil barang-barang penting ke markas Denkav 4 dan hancurkan yang tak bisa dibawa! Diulangi..."

Berjalan melewati para staff yang berlarian kesana kemari membawa barang-barang penting bak semut yang rumahnya diasapi, pemimpin Kodam Udayana, Mayor Jenderal Avriansyah bergegas menuju rumah dinasnya yang baru dia datangi hari ini, dan harus dia tinggalkan pada hari ini juga.

*Ceklek

Membuka pintu rumah, dia mendapati bahwa rumahnya ini kosong melompong tanpa ada satupun orang di dalamnya. Dia berjalan memasukinya dan melihat ke arah kamar untuk mencari istrinya dan...kosong. Hal yang sama berlaku juga di kamar mandi dan dapur. Sekitaran rumah juga kosong.

"Dimana Nadiya?" Gumamnya.

Mendadak, dia teringat dengan dua prajurit yang ditugaskan olehnya untuk menjaga istrinya itu.

"Erik, mana itu nomornya.." Gumamnya sembari mengecek handphonenya.

Terakhir online dua jam yang lalu, jelas bukan tanda yang bagus. Menyadari bahwa waktu semakin mepet karena pasukan asing itu memiliki tank MBT yang masih dipakai oleh Suriah dalam operasinya melawan ISIS di dekade kemarin, ditambah oleh pasukan ABRI disini tidak memiliki persenjataan yang cukup untuk saat ini, maka dia dengan berat hati terpaksa meninggalkan rumah ini tanpa menunggu istrinya.

Dalam waktu singkat, dia langsung mengambil secarik kertas HVS kosong dan menuliskan pesan untuk pergi ke markas Denkav 4, juga meninggalkan pesan di whatsapp kepada istrinya, teman istrinya, serta Erik dan Anwar, dua prajurit yang dia tugaskan itu.

"Ini seharusnya cukup."

Setelah mengambil barang-barang yang dirasa penting dan meninggalkan yang tidak, ia pun langsung mengambil motornya dan melaju dengan cepat menuju markas Denkav 4 yang terletak di Kuta, Badung.

Disisi lain, Nadiya, temannya dan kedua prajurit yang mengawasi mereka tengah berhenti sejenak di pinggiran jalan.

"Berhenti disini tidak aman," ucap Erik sembari mengecek sekitar mereka.

"Tetapi, aku sangat haus," keluh Kiara.

Anwar memutar matanya saat mendengar hal itu. Dia memang tidak suka dengan misi melindungi ini, dan jelas tidak akan dia ambil jika saja ganjarannya tidak tinggi. Namun, situasi ini jelas diluar dugaan, dan jika dia tahu hal ini akan terjadi, jelas dia akan menolak misi ini.

"Akan ku carikan minum," ucapnya sembari berjalan menuju toko Indomaret yang terletak di seberang jalan.

Setelah menyeberang jalan dengan mudah karena kemacetan yang ada ditambah oleh dirinya adalah seorang tentara, ia pun langsung memasuki Indomaret yang hampa itu. Biasanya akan ada Mas atau Mbak yang menyambut dengan kalimat, "Selamat datang di Indomaret, selamat berbelanja!"

Namun, pegawainya nampaknya telah pada kabur dan ada beberapa warga yang juga tengah memborong berbagai makanan dan minuman dengan bebasnya. Meskipun anehnya, tak ada yang mengambil uang di meja kasir. Ia cek dan memang masih utuh, sepertinya.

"Menarik," gumamnya.

Sang prajurit itu langsung mengambil dua buah bungkus rokok surya sebelum beralih ke lemari pendingin untuk membeli empat botol pocari sweat secara gratis tanpa bayar satu rupiah pun. Setelah memasukkannya ke bungkus plastik, barulah dia meninggalkan Indomaret itu dan kembali ke Erik dan dua wanita itu.

"Minumlah ini." Ucapnya sembari memberikan bungkus plastik itu.

"Terimakasih," jawab Kiara sebelum mulai membuka sebotol pocari sweat.

Dia mengangguk, kemudian menoleh ke Erik sembari menawarkan sebungkus rokok Surya yang dia beli secara gratis dari Indomaret tadi.

"Makasih."

Erik langsung mengeluarkan sebatang dan menaruhnya di mulut sebelum mencari korek api yang dia taruh di salah satu sakunya. Setelah ketemu, barulah dia nyalakan rokok itu dan menghembuskan asapnya, bersamaan dengan tekanan yang dia terima ini.

"Oh iya, berapa uang yang kau keluarkan ini secara total?"

"Nol rupiah." Jawab Anwar segera setelah pertanyaan itu dilontarkan.

Wajah Erik nampak heran dan tak percaya, menjadi salah satu alasan kenapa dia kemudian lanjut bertanya dengan pertanyaan, "Nol?"

"Yap, betul sekali. Nol, gak ada yang jaga disana."

"Oh, pantas. Ngomong-ngomong, Mayor Jenderal Avriansyah menyuruh kita langsung pergi ke markas Denkav empat."

"Iyakah?"

"Ya, cek WA mu, dan akan keliatan. Meskipun jaringannya sangat jelek entah kenapa, mungkin akibat pertempuran."

Erik lanjut memandangi jalanan di depannya ini, dimana kemacetan yang tak kunjung usai membuat beberapa pengemudi memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hal itu pun langsung disusul oleh para pengemudi lain di belakang, dan selanjutnya dan selanjutnya.

"Baik, kita lanjut bergerak sekarang, apakah kalian sudah siap?" Tanya Erik ke Nadiya dan Kiara.

"Ya, kami sudah siap!" Jawab Kiara mantap.

Setelah mendengarkan jawaban itu, Erik langsung berjalan di depan, memimpin rombongan sementara Anwar berjalan di belakang mereka, menjaga dari belakang.

*Dor

*Ratata

Baku tembak tengah berlangsung di pertengahan akhir jalan Ahmad Yani dengan awal jalan Kartini antara pasukan ADRI dibantu AKRI yang seadanya, baik jumlah maupun peralatan terhadap pasukan asing yang muncul entah darimana itu.

"Pertahanan mereka terlalu bagus," keluh seorang prajurit yang seragamnya berkamuflase gelap.

Ia pun langsung berjongkok di balik gang rumah sebelum kemudian bergerak perlahan ke balik sebuah mobil dan kemudian membidik senapan AS-99nya. Tepat saat dia hampir sukses menembak seorang prajurit, tiba-tiba beberapa peluru mendarat di bagian depan mobil itu.

"Sial," umpatnya sebelum kemudian bergerak kembali ke posisi dia sebelumnya.

"Dimitri!" Teriak seseorang.

Saat dia menoleh ke arah suara yang berasal dari belakangnya, terlihatlah seorang perwira dengan pangkat Letnan berlari menghampirinya sembari mempertahankan posisinya yang merendah dan melindungi kepalanya dengan tangan kirinya. Di belakangnya terdapat beberapa sekitaran tiga orang yang menyusulnya dibelakang.

Setelah mereka semua sampai di belakangnya, sang Letnan pun berkata, "Dimitri, aku ingin kau dan Lev untuk naik ke lantai dua bangunan di depan ini dan menembaki pasukan musuh yang jauh di belakang sana, kau paham!" Perintah sang Letnan.

Tak pakai banyak tanya, dia pun langsung menjawab, "Siap paham!"

"Bagus, kami akan memberikan tembakan perlindungan selama kalian bergerak. Sekarang, bergerak!"

Dimitri dan Lev yang diperintahkan untuk bergerak langsung menyiapkan amunisi dan alat bidik mereka, sementara Letnan dan prajurit yang lain sibuk menyibukkan pasukan Madzhapahit dari membalas tembakan. Secara praktis, mereka berhasil membuat pasukan itu tak dapat berkutik oleh hujan peluru yang mereka buat.

Sang Letnan, sementara itu menarik pin granatnya dan setelah tiga detik berlalu langsung dia lempar ke arah mobil di depan, yang saat meledak turut meledakkan beberapa mobil di dekatnya. Ledakan itu cukup hebat, terlihat dari beberapa prajurit Madzhapahit yang ikut terlempar oleh akibat dari ledakan itu.

"Sekarang!" Teriak sang Letnan.

Kedua prajurit tadi langsung berlari di antara mobil-mobil dan motor yang berserakan di jalanan. Dibalik lindungan asap dan tembakan perlindungan dari kawan-kawan mereka, akhirnya mereka sukses memasuki rumah yang hanya berjarak beberapa meter itu.

"Baik, pintu sudah kututup. Perlukah kita blokade juga Lev?" Tanya Dimitri. Prajurit dengan rambut berwarna putih yang tidak umum itu sudah berancang-ancang untuk menggeser kursi yang letaknya tak jauh darinya.

"Kurasa, tidak. Nobav akan sampai tak lama lagi, sementara pasukan dibawah sudah lebih dari cukup untuk merepotkan pasukan dunia ini." Balasnya dengan nada tegas meskipun wajahnya masih datar seperti biasanya.

"Baiklah."

*Kaboomm

Sebuah ledakan terdengar dari luar, mengagetkan mereka berdua yang tak siap untuk mendengarkan itu lagi. Dimitri mengecek situasi terkini di luar melalui jendela dengan menyibak gorden. Nampak jelas ledakan itu berasal dari mobil yang dijadikan perlindungan oleh salah satu rekan mereka telah ditembaki terlalu banyak sehingga meledak. Meskipun begitu, mereka tidak yakin kenapa. Bahan bakar magis seharusnya tidak meledak semudah itu oleh peluru. Namun mereka akhirnya ingat bahwa ini bukan dunia mereka, dan menurut penjelasan di awal dunia ini tidak memiliki sihir. Beberapa granat kemudian terlihat dilemparkan oleh pasukan Madzhapahit, namun dia tak ingin terlalu mengurusi itu dan menutup gorden.

Setelah memastikan bahwa pintu itu telah tertutup rapat dan jika terbuka ada suaranya, mereka langsung naik ke lantai atas dengan memasang kewaspadaan penuh. Senapan AS-99 sudah mereka arahkan ke depan dengan jari yang selalu siap untuk menembak jika ada ancaman di depan.

"Dimana tangganya?" Tanya Lev yang berjalan didepan agak bingung.

Setelah tak menemukan apapun di bagian rumah sebelah kiri, mereka langsung pindah ke bagian rumah sebelah kanan dan tak lama kemudian terlihatlah dapur dengan tangga di dekatnya. Matanya melihat ke sekitar, memastikan apakah keseluruhan ruangan itu bersih dari kemungkinan entitas bernama musuh.

"Aman, lanjut!" Ucapnya.

Mereka pun langsung bergerak menaiki tangga dan saat mereka sudah diatas, tiba-tiba...

"Hiyaaatt!"

Seorang bapak-bapak melayangkan parangnya ke arah Lev yang suksesnya berhasil dia hindari. Meskipun begitu, wajahnya masih tak dapat menyembunyikan ekspresi kagetnya saat hampir di bacok.

Namun dia belum bisa santai karena ada lagi pemuda lain yang mencoba menusukkan pisaunya ke arah dirinya. Dengan sigap, dia langsung menampar tangan yang memegang pisau itu ke sisi lain sebelum kemudian melakukan manuver untuk menjatuhkan pemuda itu ke lantai. Setelahnya dia mencekik leher pemuda itu sampai kehabisan nafas.

Di sisi lain, Dimitri yang harus berurusan dengan parang itu menghindar dengan berjalan mundur ke belakang untuk menghindari sabetan parang. Sial bagi dirinya karena dia berada di tangga, yang berarti dia terjatuh ke bawah. Setidaknya dia memakai helm dan membawa tas di belakang meskipun sakitnya tetap terasa. Bapak itu langsung berjalan ke bawah dengan cepat, membuat Dimitri tidak memiliki banyak pilihan selain mengambil pistol di saku dan menembakkannya ke bapak itu. Satu meleset karena dihindari, namun tembakan ke dua sudah pasti mendarat di perut, disusul ketiga yang mendarat di jantung, menjamin diangkatnya nyawa bapak itu.

"Kau tak apa?" Tanya Lev sembari menjulurkan tangan kanannya untuk membantunya berdiri.

"Ah, mungkin aku perlu istirahat sejenak." Jawabnya sembari menahan rasa sakit, meskipun dia tetap menerima uluran itu untuk naik ke atas.

Setelah sampai di lantai dua, dia pun langsung di dudukkan di pojokan, untuk kemudian beristirahat sejenak dan meminum air. Kemudian dia memeriksa keseluruhan perlengkapannya dan kaki kanannya yang terasa sakit sekali. Meskipun tak ada luka yang terlihat, namun dia yakin di dalam pasti berbeda.

Sementara itu, Lev yang kondisinya oke langsung menuju posisi yang di perintahkan tadi dan menyiapkan senapannya. Melalui teropong, dia bisa memastikan bahwa ada beberapa pasukan Madzhapahit yang seragamnya berbeda, yang satu hijau, yang satu hitam, dan yang satu coklat. Entah apakah itu tanda unit yang berbeda atau apa, namun dia tak terlalu memikirkannya. Yang pasti, dia langsung menembaki beberapa musuh.

"Sedikit juga disini, tidak seperti dugaanku." Ucapnya saat dirinya lanjut melihat jumlah pasukan musuh yang mengambil posisi di sepanjang jalan dan sekitarnya.

Sayangnya, tak lama kemudian dirinya harus berhenti menembak saat, "Argh!"

Dirinya langsung mundur ke belakang sembari memegang pundak kanannya. Saat dia memeriksa tangan kirinya itu, darah merah segar menempel di telapak tangannya.

"Kau tak apa?" Tanya Dimitri khawatir.

"Hanya seperti ini...sudah biasa dan normal. Asalkan bukan kepala, harusnya kau sudah tahu itu." Jawab Lev sembari menyandarkan dirinya di dinding dan menatap ke langit-langit, berusaha mengatur ritme nafasnya agar kondisinya bisa tetap se-fit mungkin.

Tak lama kemudian, suara ledakan kembali terdengar disusul oleh suara rentetan senapan mesin, mesin kendaraan tempur yang berisik dan rantai yang berputar bercampur aduk dengan suara besi-besi yang seperti dilindas oleh sesuatu yang berat. Hal itu berlangsung untuk waktu yang cukup lama, sangat cocok untuk dijadikan sebagai ASMR bagi beberapa orang tertentu.

"Ah, brigade tank itu sudah kembali bergerak. Kita sudah bisa sedikit santai, untuk sekarang." Ucap Lev lega.

Dan begitulah, mereka bersantai sejenak memulihkan tenaga sebelum kemudian berjalan menuruni tangga dan keluar dari rumah itu. Disana, mereka langsung disambut oleh Letnan mereka yang baru saja akan membuka pintu untuk menjemput mereka. Baik Letnan maupun anggota peleton yang lain terkejut saat melihat Lev bersimbah darah di pundak kanannya.

"Medis!" Teriak sang Letnan dengan wajah yang panik.

--

Link Server Discord: https/discord.gg/daenserver