Malam terasa mencekam saat Yaya berjalan di jalanan lengang perumahan elit di ibukota. Meskipun masih jam 8, suasana terasa sepi di sini. Padahal setahu Yaya, jalanan ini akan sepi ketika pukul 9 lewat. Aneh. Dan pikiran Yaya mulai memikirkan hal-hal mengerikan. Gadis berkerudung itu menatap sekitar dengan was-was, dan kakinya melangkah cepat tanpa ia sadari.

Yaya merapatkan jaketnya. Merapal doa dalam hati sebanyak mungkin agar ia tidak dipertemukan orang jahat atau hantu penunggu seperti kuntilanak dan pocong. Ia tidak ingin hidupnya berakhir hanya karena kaget jika pocong tiba-tiba muncul di depannya. Atau karena ia disapa kuntilanak yang bergelantungan di pohon.

Karena terus melangkah cepat dan kebanyakan melamun, kaki Yaya tak sengaja tersandung batu dan hampir membuatnya terjatuh. Yaya meringis. Mengusap pergelangan kakinya yang terasa nyeri. Ia sempat berpikir penunggu jalanan ini membaca pikirannya, dan membuatnya tersandung karena tidak terima.

Yaya menggelengkan kepalanya cepat. Kenapa ia terus memikirkan hal konyol di saat seperti ini?

Setelah dirasa kakinya baik-baik saja, Yaya kembali berjalan. Namun ketika langkah keempat, kaki Yaya mendadak berhenti. Bukan karena melihat pocong atau kuntilanak. Melainkan seseorang, yang duduk terkulai lemas bersandar pada tiang. Yaya mengernyitkan matanya, mencoba lebih memfokuskan matanya karena cahaya yang remang-remang. Kakinya tanpa sadar mendekat, mendekat, sampai akhirnya wajah seseorang itu terlihat jelas.

Dan saat itu juga mata Yaya melebar.

"Astaga!" Yaya berjongkok di samping lelaki tersebut, menatap jelas wajah yang dipenuhi luka itu. Pelipisnya mengeluarkan darah, sudut bibirnya robek, dan ada dua luka sayatan di pipinya, serta luka lebam di mana-mana. Tangan kiri lelaki itu memegangi perutnya, dan sesekali lelaki itu meringis kesakitan.

"Mas? Mas masih sadar?" Yaya nggak tahu harus memanggilnya apa, karena ia tidak tahu lelaki ini sebayanya atau lebih tua darinya, jadi kata 'mas' keluar begitu saja dari mulutnya. Cowok itu tidak menjawab, dan ringisannya tidak terdengar lagi. Yaya panik. Ia menaruh telunjuknya di bawah hidung orang asing itu, bernapas lega setelah merasakan embusan napas dari sana.

"Aku kira mati. Ternyata cuma pingsan," ucap Yaya pelan. Ia celingak-celinguk kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Disini sangat sepi, dan Yaya tidak mungkin meninggalkan cowok ini begitu saja dalam keadaan terluka. "Aduh, gimana, nih."

Yaya memaksa otaknya untuk berpikir. Ia harus membantu lelaki ini walaupun tidak mengenalnya. Tapi, bagaimana? Apa ia harus membawanya ke rumah sakit? Yaya menggeleng, rumah sakit sangat jauh dari sini. Memanggil ambulans pun tidak mungkin karena bisa memakan waktu sampai dua jam. Memanggil bantuan? Tapi ke siapa? Ini sudah sangat sepi dan kendaraan yang lewat melaju di atas rata-rata. Atau, membawanya ke rumah?

Yaya menggigit bibirnya. Rumahnya memang tinggal satu belokan lagi dan itu tidak jauh. Ia bisa memapah lelaki itu dan mengobatinya di rumah. Tapi, masalahnya, ibunya pasti sudah pulang. Ibunya akan marah ia membawa cowok ke rumah, apalagi orang asing, meski Yaya niatnya menolong. Dan lagi, pasti ibunya akan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan, dan itu membuat Yaya tersudut.

Gadis itu akhirnya menghela napas. Tidak ada pilihan lagi. Yaya memejamkan mata, mulai meyakinkan dirinya. Untuk masalah ibunya nanti, Yaya akan mencari solusinya. Yang penting, lelaki ini harus diselamatkan dulu.

"Mas? Tahan sebentar, ya? Rumah saya deket dari sini kok, tahan ya mas! Jangan mati dulu!" ujar Yaya yang ia sendiri pun tak yakin lelaki ini mendengarnya atau tidak.

Yaya meletakkan tangan kiri cowok itu ke lehernya, lalu mulai mengangkat tubuh yang lebih berat darinya itu. Sumpah, ini berat banget. Baru berdiri aja Yaya udah ngos-ngosan. Dengan memaksakan dirinya, Yaya mencoba melangkahkan kakinya. Namun baru dua langkah, mereka berdua ambruk.

"Ayo dong mas, bangun! Mas berat tau!" sungut Yaya kesal dan mencoba mengangkat tubuh cowok itu lagi. Yaya kembali melangkahkan kakinya, dan kali ini berhasil walau terseok-seok. Beberapa kali ia mengeratkan rangkulannya, agar tidak timpang sebelah dan membuat mereka jatuh.

Perjalanan ke rumahnya seperti terasa sangat lama. Yaya ngos-ngosan sepanjang jalan, dan sesekali melirik cowok yang ia rangkul ini. Matanya yang memejam tertutup poni rambutnya yang sedikit panjang, dan hanya menyisakan separuh wajahnya yang terlihat. Bila diperhatikan, cowok ini lumayan tampan meski setengah wajah saja.

Setelah sampai, Yaya membuka pintu pagar rumahnya yang tidak dikunci. Ia berjalan terseok-seok lagi, dan menyandarkan tubuh cowok itu di dinding samping rumahnya. Yaya harus memastikan keadaan terlebih dahulu.

"Tunggu disini! Aku gabakal lama, oke?" ujarnya yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban.

Yaya segera berlari masuk ke dalam, mendapati ruang tamu kosong dan terdengar suara dentingan piring yang seperti sedang dicuci dari dapur. Ia bergerak ke sana, menemukan Bi Ijah tengah bersenandung sambil mencuci piring.

"Bi Ijah!"

"Eh? Si enon? Udah balik, Non?" Bi Ijah berbalik menatapnya. Yaya tidak menggubris pertanyaan itu, ia mendekati pembantu rumahnya dan memohon.

"Bi, ibu dimana?"

"Di kamar, Non."

"Oke. Bibi bisa bantu aku?" Bi Ijah mengernyit, menatap penuh tanya anak Tuannya ini. Sedangkan Yaya, ia tidak bisa menyembunyinkan wajah panik dan memohonnya.

"Bibi ke kamar sekarang, terus itung sampai 100." Bi Ijah semakin mengernyit bingung. Namun belum sempat ia protes, Yaya sudah mendorongnya untuk masuk ke kamar. "Plis, Bi! Bantu aku kali iniiiiii aja!" Yaya segera keluar rumah setelah ia yakin Bi Ijah tidak protes lagi.

Lelaki asing itu masih di sana dengan posisi yang sama. Yaya bernapas lega. Ia mengangkat tubuh cowok itu, memapahnya masuk ke dalam dan menaiki tangga menuju kamarnya. Beruntung cowok itu tidak pingsan total, Yaya jadi bisa sedikit terbantu untuk menuntun cowok itu menaiki tangga. Jika tidak, mungkin mereka berdua sudah berguling ke bawah dengan mengenaskan.

Dengan cepat, Yaya menyandarkan cowok itu di dinding kamarnya hati-hati. Belum sempat dirinya memeriksa kembali lukanya, suara ibunya terdengar di luar sana. Yaya panik, segera keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat saat dilihatnya sang ibu sudah berada di undakan tangga teratas.

"Yaya? Udah pulang?" tanya Ibunya sambil berjalan mendekat.

Yaya tersenyum panik. "Iya, bu, hehe."

Sang ibu mengernyit bingung melihat wajah panik anaknya. "Kamu kenapa?"

"Ah, nggak. Cuma... capek aja," kilah Yaya berusaha setenang mungkin.

Meski belum puas dengan jawaban Yaya, ibunya akhirnya menghela napas. "Yaudah, makan gih. Udah ibu siapin di meja." kata ibunya dan Yaya menghela napas lega diam-diam.

"Iya, bu. Nanti aku makan."

Ibunya berbalik meninggalkan dirinya. Yaya mengusap dada lega. Setelah memastikan ibunya benar-benar turun, Yaya kembali masuk. Menatap lekat cowok yang masih pingsan itu. Ia segera mengambil kotak P3K di bawah ranjangnya, kemudian duduk di sebelah cowok itu.

Yaya mengambil kapas, menuangkan alkohol di sana, dan mendekat ke cowok itu lalu menyingkirkan rambut berantakannya agar ia lebih leluasa mengobati. "Tahan ya, bakal sakit ini," ucap Yaya dan mulai menekan luka itu dengan kapas dilumuri alkohol.

Cowok itu berkali-kali meringis. Yaya terus meminta maaf selama mengobatinya. Ia menempelkan plester diakhir, lalu melihat cowok itu dalam diam. Ketika matanya tak sengaja melihat tangan cowok itu terus memegangi perut, Yaya dihampiri rasa penasaran.

"Permisi..." izinnya, ketika tangannya mengangkat tangan cowok itu agar tidak memegangi perutnya lagi. Yaya tahu ini lancang, tapi ia merasa ada yang aneh kenapa cowok itu terus menekan perutnya. Saat tangannya menyibak baju cowok itu, Yaya menatap ngeri. Ternyata di sana ada luka lebam besar di bagian kiri. Pantas saja sedari tadi dipegangin.

"Sssshhhhh..." Cowok itu meringis tertahan ketika lukanya bertubrukan dengan obat merah. Yaya terkesiap, berhenti sebentar sembari menatap wajah kesakitan cowok itu.

"Eh, maaf, maaf. Sakit banget, ya? Sumpah, aku minfa maaf banget," Yaya terus merasa bersalah. Tapi ia juga tidak berhenti menempelkan obat merah itu ke lukanya.

10 menit terlewati, akhirnya semua luka cowok itu sudah ia obati. Yaya melihat jam, ternyata sudah jam 9. Ia membereskan peralatan P3K, lalu berniat ke bawah untuk makan malam ketika matanya tak sengaja menangkap pergerakan di kepala cowok itu.

Yaya kembali mendekat. Menekuk kedua kakinya dan duduk di depan cowok itu. Badannya sedikit ia condongkan dengan kedua tangan menyanggah di kedua sisi. Menatap lekat mata cowok itu yang bergetar dan perlahan terbuka.

Pandangan mereka bertemu.

"Udah... sadar?" Yaya bertanya pelan. Sementara manusia di depannya ini menunjukkan wajah bingung yang sangat kentara.

"Lo... siapa?" tanyanya dengan suara rendah.

Yaya menggigit bibirnya. Dia tiba-tiba merasa takut. "Aku... Yaya. Yang nyelametin kamu."

"Nyelametin?" Cowok itu berniat bangun, namun kembali duduk ketika perutnya terasa sangat sakit. Yaya semakin mendekat. Menahan bahu cowok itu agar tetap bersandar pada tembok.

"Jangan bangun dulu! Mas belum sembuh." ujarnya dan semakin membuat kernyitan di dahi cowok itu terlihat jelas.

"Mas? Gue masih kelas 11." protesnya ketika mendengar kata 'mas' keluar dari bibir cewek didepannya.

Yaya gelagapan. "Eh, iya, maaf-maaf." kata Yaya canggung.

"Terus... ini dimana?" Kedua mata cowok itu melihat sekitar, tepatnya ruangan yang didominasi warna pink ini.

"Di kamar aku." jawab Yaya polos. Ia mendekatkan wajahnya, membuat cowok di depannya memundurkan wajah refleks karena terkejut. "Kalo kamu... nama kamu siapa?"

Sempat hening selama 10 detik dengan menatap wajah gadis itu, sebelum bibirnya menjawab pelan.

"Gue..."

"Gue Boboiboy."

To Be Continued

gue gatau kenapa gue bisa nulis ini:((( tetiba kangen BoYa anjir, terus gue nulis ini ampe ga nyadar. padahal niatnya pen nulis fiksi, eh malah boboiboy:"(

gue gatau ini lanjut pa kaga. jd gosa ditungguin banget (pede bat anjir)

oke bay